Jumat, 07 Juli 2017

PANASNYA LANGIT DEMAK JILID 12

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 1
oleh : Marzuki

   Sebelum menunaikan tugas untuk menyelidiki pasukan bawah tanah Jipang Panolan, Lurah Arya Dipa memanggil bawahan sekaligus kawannya dari Wira Tamtama, yaitu Lurah Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Keduanya ia serahi tugas untuk selalu berada disamping Pangeran Anom, guna melindungi putra sulung Sultan Trenggono dari ancaman yang tak terduga. Selain itu tak lupa Lurah Arya Dipa menemui ayah angkatnya, ki Panji Mahesa Anabrang guna meminta bantuan prajurit telik sandi untuk menjadi penghubung antara dirinya berkaitan keadaan kotaraja sewaktu dirinya berada di luar kotaraja.

   Persiapan demi persiapan telah diselesaikan. Bersamaan berangkatnya iringan panjang pasukan Demak. Sungguh mengesankan dari pasukan yang akan melawat ke timur itu. Pataka berupa kain berwarna gula kelapa berkibar gagah di tengah iringan, yang menandakan keberadaan sang nata Demak. Selain itu terdapat berbagai umbul dan panji bercirikan kesatuan prajurit Demak yang dibanggakan kawula Demak.

   Dalam pada itu, agak jauh dari kerumunan orang - orang yang menyaksikan iringin pasukan Demak, Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya saat memperhatikan adanya orang yang mencurigakan. Orang itu terlihat mengamati semua pasukan Demak dan lebih bersungguh - sungguh ketika melihat prajurit pengawal Sultan Trenggono. Sejenak kemudian orang tersebut beringsut meninggalkan tempatnya dan hilang dibalik kerumunan orang.

   Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Lekas ia mengejarnya meskipun harus menyerobot dari tubuh orang - orang.

   "He.. ! Dasar anak setan !" seru orang yang merasa terganggu akibat ulah Lurah Arya Dipa.

   Lurah Arya Dipa tak menghiraukan omelan orang yang merasa terganggu. Ia terus menghambur mencari orang yang ia curigai. Syukurlah ia masih melihat kelebat bayangan berlari ke kelokan jalan. Oleh karenannya lekas dipesatkan kakinya mengejar orang tersebut. Dan benar saja, sehabis jalan berkelok dua orang terlihat jelas berjalan sembari membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat rahasia.

   "Kisanak... ! Harap berhenti... !" seru Lurah Arya Dipa.

   Dua orang berjalan di depan menghentikan langkahnya dan saling berpandangan satu dengan lainnya. Dahi keduanya mengerut dalam dan tak mengerti kenapa ada orang mencoba memperhentikan langkah mereka.

   "Ada apa kisanak ?!" salah seorang bertanya, sementara yang satunya dengan tatapan tajam memperhatikan penampilan Lurah Arya Dipa.

  Untungnya, saat itu Lurah Arya Dipa tidak mengenakan pakaian prajurit. Sehingga jatidirinya tak dapat dikenali oleh keduanya. Meskipun salah seorang dari kedua orang yang khususnya yang dikejar tadi masih terus mengamatinya.

   "Siapa kisanak ini ? Sejak aku lahir dan beranjak dewasa di kotaraja ini, aku tak mengenali kalian."

   "Ah.. Kami hanyalah seorang pengembara saja, anak muda." jawab lelaki berperawakan tinggi besar berkumis tebal, "wajar saja jika kau tidak mengenal kami."

   Lurah Arya Dipa mengangguk, "Pantas, kalau begitu darimana asal kisanak berdua ?" kembali Lurah Arya Dipa melemparkan pertanyaan.

   Tentu saja perlakuan pemuda itu membuat kedua orang lelaki itu sidikit mendongkol, tetapi orang berperawakan tinggi berkumis tebal mencoba mengendapkan perasaannya. Dan kemudian jawabnya sambil memaksakan bibirnya tersenyum.

   "Aku dari dukuh Banjar Rejo yang masuk telatah Ponorogo." jawabnya asal - asalan.

   Jawaban itu menimbulkan kecurigaan semakin dalam bagi Lurah Arya Dipa. Karena kadipaten Ponorogo merupakan telatah dimana masa kecilnya terlewati bersama ki Panji Mahesa Anabrang, lekaslah lurah muda itu mengetahui kalau orang berperawakan tinggi itu berkata bohong dan terbilang mengada - ngada. Tapi Lurah Arya Dipa tidak bersikeras membantah ucapan orang itu, melainkan malah membuat orang itu bingung.

   "Oh, jadi kisanak ini dari Banjar Rejo ?" kata Lurah Arya Dipa, terlihat ramah serta melanjutkan ucapannya, "Berarti kisanak kawula paman Demang Jati Rekso.. "

   Orang berperawakan tinggi berkumis tebal salah tingkah sambil menatap kawannya. Sementara kawannya yang berbadan kurus pendek juga menatapnya seraya mengedipkan mata memberikan isyarat. Selekas adanya isyarat, orang berperawakan tinggi berkumis tebal mulai menguasai keadaan dan telah berubah kasar. Bentakan kasar tiba - tiba menyeruak dari mulutnya.

    "He, jangan kau hiraukan kami, jika kau sayang nyawamu, anak setan !"

   Meskipun dalam hati tersenyum karena pancingannya tersambar, Lurah Arya Dipa berusaha berpura - pura kaget. Kakinya terjingkat dengan tubuh agak gemetar seakan akan jatuh lunglai, ia berkata, "A..Apa mak..sud kisanak ?"

   "Huh, belum sadar juga kau anak bengal ! Bila aku pelintir kepalamu, itu tandanya nyawamu melayang !" bentak orang berbadan kurus pendek.

   "Me..memangnya sa..lahku apa ?"

   "Jangkrik setan bengal !" Kembali orang berbadan kurus pendek itu menghardik, "Tidak usah banyak omong, pergilah selagi aku masih dapat menahan amarahku !"

   Bentakan itu membuat pemuda itu jatuh terduduk. Mengetahui itu, orang berbadan kurus pendek tersebut mengajak kawannya meninggalkan pemuda tadi dengan cepat. Keduanya berjalan mengarah padukuhan segaris lurus gerbang timur.

   Sepeninggal orang berbadan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek, Lurah Arya Dipa bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sudah cukup baginya untuk mengingat perawakan dan raut wajah kedua orang yang dicurigai. Ia tidak mengambil sikap lebih lanjut melalui jalan kekerasan demi ingin mengetahui lebih dalam siapa orang - orang tadi. Dalam hatinya ia yakin kalau keduanya berhubungan dengan pihak yang menentang Demak, entah itu orang - orang Bang Wetan atau yang lainnya.

    "Biarlah mereka keluar dari pintu gerbang. Aku yakin akan dapat mengejar keduanya." desis Lurah Arya Dipa.

    Pemuda itu kemudian mencari jalan lain yang arahnya juga ke gerbang timur. Meskipun agak jauh, akhirnya Lurah Arya Dipa hampir mendekati pintu gerbang dan di situ seorang kakek tersenyum menyambutnya.

   "Lama sekali kau, anakmas Kilatmaya... " sapa kakek itu.

   Lurah Arya Dipa tersenyum, "Maaf, Kyai. Tadi ada sesuatu yang membutuhkan perhatianku."

   "Mudah - mudahan bukan gadis penghuni padukuhan ini." goda kakek itu sembari tertawa.

   "Ah.. Tidak, Kyai... "

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 2
oleh : Marzuki

   Selanjutnya, pemuda dan kakek tadi melewati penjagaan pintu gerbang timur untuk selanjutnya menelusuri jalan yang membelah paduhan di luar kotaraja. Hanya berjalan kaki keduanya terus melanjutkan langkahnya, sembari salah seorang mencoba menanyakan sesuatu kepada pejalan kaki atau-pun penghuni padukuhan yang sedang dilewati.

   Apa yang diperkirakan oleh Kilatmaya tidak salah sedikit-pun. Jejak yang ditinggalkan oleh kedua orang yang sebelumnya dicurigai, dapat diikuti dengan mudah. Terakhir keberadaannya, kedua orang yang ia ikuti menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari tempatnya bertanya. Maka, Kilatmaya dan kakek yang bersamanya mencoba mendekati kedai kecil itu.

   "Ha.. Mumpung ada penjual dawet, ayo berteduh di pohon talok itu, Anakmas." ajak kakek yang bersama Kilatmaya.

   "Mari, Kyai." sambut Kilatmaya yang tiada lain Lurah Arya Dipa.

   Sambil duduk di bangku yang disediakan penjual dawet, keduanya memesan dua gelas dawet sambil mengisi waktu luang, berbicara dengan penjual dawet. Juga, tak lengah pengamatan Kilatmaya dari pintu keluar kedai, yang terbuka dan terlihat adanya orang yang ia ikuti.

   Cukup lama juga keduanya disitu, hingga akhirnya orang yang diikuti keluar dari kedai. Dua orang yang diikuti itu berlalu di jalan tepat di mana Kilatmaya dan kakek tua minum dawet. Namun kedua orang tadi tak sempat mengenali dan jalan sesukanya mengarah pertigaan timur padukuhan dan mengambil jalan ke kiri.

   "Mari, Kyai.. " desis Kilatmaya sambil berdiri dan membayar dawet yang telah diminum.

   Agar tidak diketahui orang - orang yang diikuti, Kilatmaya dan kakek tua berusaha menjaga jarak. Sehingga jarak dua iringin itu tidak terpaut jauh, apalagi sampai kehilangan jejak.

   Tak terasa jalan yang awalnya ramai dilalui banyak orang, semakin lama semakin jarang. Jalan-pun semakin sempit dan hanya selebar gerobak saja. Juga jalanan semakin tidak rata dan ditumbuhi rumput liar, meskipun tidak terlalu tinggi. Hal itu menjadikan Kilatmaya dan kakek tua tadi, bertambah hati - hati.

   Terik matahari tak terasa sudah semakin turun ke barat, membentuk bayang - bayang ke arah berubah haluan juga. Manakala memandang ke depan, dua orang berperawakan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek turun dari jalan menapaki tanggul sawah yang ditanami hijaunya palawija. Tindakan itu membuat Kilatmaya dan kakek tua untuk menambah kewaspadaan. Dugaan demi dugaan terselip dalam pikiran harus terurai untung ruginya, untuk terus mengikuti tanpa harus berbenturan secara langsung.

   "Sebaiknya kita berpencar, Anakmas.. " usul Kyai Jalasutro.

   "Baik, Kyai. Aku akan turun di tunggul sebelah sana." sambut Kilatmaya, setuju.

  Dari sisi berbeda keduanya mencoba mengikuti orang - orang yang mencurigakan, yang semakin lama tanggul sawah terlewati berganti tanah yang ditumbuhi semak belukar. Keadaan medan penuh samak belukar itulah, menjadikan Kilatmaya dan Kyai Jalasutro harus menyembunyikan keberadaannya berupa usaha menutup segala bunyi yang ditimbulkan, akibat gesekan antara anggota tubuh dengan daun atau-pun ranting. Sehingga orang yang diikuti tidak menyadari sama sekali kalau ada dua orang dibelakang mereka.

   Cukup dalam juga orang berbadan tinggi berkumis tebal dan kawannya berjalan. Sudah lebih dari ratusan tombak keduanya menjauhi pinggiran pedukuhan di luar kotaraja. Tapi setelah adanya bunyi aliran air, keduanya mencoba mencarinya. Dan setelah ditelusuri, nampaklah sebuah anak sungai berair jernih, bahkan sangking jernihnya terlihat ikan - ikan berenang kian kemari saling kejar mengejar bersama kawannya. Pemandangan itu memancing keduanya semakin mendekat, meskipun jalan yang akan dilalui agak terjal.

   Orang berperawakan pendek dan kurus duduk berjongkok seraya meraup air menggunakan kedua tanganya dan membasuhkan ke wajahnya. Tak mau ketinggalan, kawannya meniru membasuh wajahnya, juga meneguk air sungai yang jernih itu.

   "Ah.. Segar sekali air ini." desis orang berbadan tinggi berkumis tebal.

   Kawannya tertawa perlahan, "Hahaha.. Sama saja antara air sungai ini dan air Bengawan Sore."

   "He.. Sambu, air Bengawan Sore menjadi amis setelah darah Pangeran Sekar menetesinya."

   "Ah.. Itu hanya perasaanmu saja, Bajang. Bagiku semuanya sama, jika yang memerciki itu Trenggono atau-pun Bagus Mukmin."

   Pembicaraan keduanya terus berlanjut dan tak menyadari kalau ada orang yang mendengarkan. Semakin lama jatidiri Sambu dan Bangah sedikit terungkap, dimana keduanya adalah utusan sebuah perguruan di telatah timur Bengawan Sore. Satu hal yang membuat Kyai Jalasutro terkejut, yaitu nama perguruan yang mengingatkan perguruan dimana kawannya adalah pimpinan dari perguruan itu.

   "Ah.. " desuh Kyai Jalasutro, lalu katanya dalam hati, "Candra Bumi bukanlah sebuah perguruan yang mau mencampuri urusan keprajan."

   "Ada apa, Kyai ?" tanya Kilatmaya yang mendengar desuh Kyai Jalasutro.

   Kyai Jalasutro menoleh ke arah pemuda itu dan katanys, "Dua orang itu menyebut perguruan Cadra Bumi. Itulah yang membuatku sedikit sangsi, apakah keduanya benar - benar dari sana."

   Kilatmaya masih belum mengerti alasan mengapa orang tua disampingnya menyangsikan asal - usul Sambu dan Bajang, yang jelas - jelas menyebutkan asal mereka. Namun ketika akan meminta penjelasan lebih lanjut, terlihat Sambu dan Bajang akan meninggalkan tepian sungai. Karenanya, untuk saat ini lebih baik tidak menanyakan alasan kesangsian Kyai Jalasutro. Suatu saat atau mungkin dalam perjalanan, Kyai Jalasutro akan memberitahu lebih jauh.

   Yang paling utama untuk saat itu adalah terus mengikuti Sambu dan Bajang. Dari keduanya, tentu akan mendapatkan titik terang siapa mereka sebenarnya. Tidak menunggu lebih lama, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro kembali mengendap mengikuti Sambu dan Bajang. Aliran air sungai sudah tertinggal dan tidak terdengar lagi gemericiknya.

   Mendekati keremangan ujung malam hari, Bajang dan Sambu memasuki regol padukuhan. Keduanya memasuki regol tersebut yang masih terbuka lebar dan gardu perondan masih kosong. Namun, satu dua orang masih terlihat lalu - lalang mengisi jalan padukuhan, dengan kepentingan masing - masing. Dan di kanan kiri kediaman penghuni padukuhan sudak nampak nyala penerangan dalam menyambut sang malam. Tidak terlalu jauh, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro juga memasuki regol padukuhan. Suasana yang semakin redup sangat membantu keduanya agak mempersingkat jarak antara mereka dengan kedua orang yang dicurigai.

   Sepertinya malam itu orang yang mereka ikuti akan menginap di banjar padukuhan. Itu terbukti manakala Bajang dan Sambu membelok di jalan yang akan menuju sebuah bangunan yang berbeda dari bangunan lainnya. Sejenak keduanya berhenti tepat di depan regol. Dan saat itu dari dalam regol, seorang berjalan mendekatu keduanya dan menyapa dengan ramahnya.

   "Bisa aku bantu, kisanak ?"

   "Kisanak, kami berdua sedang dalam perjalanan dan kemalaman ketika melewati padukuhan ini. Karenanya, ijinkan barang satu malam untuk bermalam di banjar ini."  pinta Sambu, yang mencoba ramah.

   Sesaat orang yang keluar dari regol banjar itu mengamati dua pendatang itu. Ia harus hati - hati untuk mengijinkan orang lain yang akan memasuki banjar padukuhan yang ia jaganya. Ia tak ingin kecolongan sehingha akan mendapat dampratan dari ki Jagabaya atau ki Bekel padukuhun. Tetapi, setelah mengamati dan meyakini kalau keduanya tidak mencurigakan, orang itu mengijinkan dua pendatang itu menginap di banjar.

  "Baiklah, kisanak berdua. Ayo aku antar di gandok kanan banjar." kata orang itu, sambil mengantar keduanya ke gandok kanan.

  "Silahkan, beginilah keadaannya." orang itu mempersilahkan, setelah membuka pintu gandok kanan.

   "Terima kasih, ki.. "

   "Panut, panggil saja aku Panut." ucap ki Panut, memperkenalkan diri, "aku akan ke belakang, untuk mengambil beberapa potong Pohung."

   Tanpa menunggu jawaban dari tamu banjar, ki Panut melangkah pergi. Tetapi baru saja menuruni tlundak balai banjar, dua sosok mendekati regol banjar. Hal itu membuat kening ki Panut, mengerut. Namun, tetap saja ia langkahkan kakinya untuk mendekati regol banjar. Setelah dekat, terlihatlah seorang pemuda dan kakek tua tersenyum ramah sembari mengangguk hormat.

   "Selamat malam, kisanak. Apakah ini banjar padukuhan ini ?" tanya pemuda dengan halus.

   "Benar, ngger. Ini memang banjar padukuhan, dan aku yang diserahi ki Jagabaya untuk mengurusnya." jawab ki Panut, dan katanya lebih lanjut, "Angger dan kisanak ini dari mana dan akan kemana ?"

  Pemuda tersenyum, "Aku dan eyang ini dari Demak yang akan menyambangi kerabat di Jepara."

  Ki Panut mengangguk.

  "Tapi, hari sudah terlalu gelap untuk kami melanjutkan perjalanan. Oleh karenanya, jika kisanak berkenan, kami mohon menginap barang satu malam. Dan esok kami akan melanjutkan perjalanan yang tertunda."

   Dari tutur kata dan penampilan kedua pendatang yang ke-dua ini, ki Panut tidak mendapatkan adanya kejanggalan untuk menolak dua orang itu. Maka seperti dua orang pertama, ki Panut juga menerima pemuda dan kakek itu menginap di banjar. Untuk itulah ia antarkan ke-duanya ke gandok kiri dan mempersilahkan mereka.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 3
oleh : Marzuki

   Sampai terbitnya sang surya, tiada sesuatu yang terjadi. Banjar padukuhan yang mendapatkan dua iringan berbeda, tetap terasa seperti malam - malam biasanya. Bahkan ki Panut yang diserahi tugas untuk merawat serta menjaga banjar, sangatlah ramah dan baik hati. Pagi - pagi sekali ki Panut sudah menghidangkan wedang sere juga ketela rebus sisa tadi malam. Dua gandok yang terisi itupun, penghuninya menikmati hidangan untuk sarapan mereka.

   Usai menyantap hidangan yang disediakan, tamu gandok sebelah kanan berniat meninggalkan balai banjar. Keduanya sudah berdiri dan melangkah keluar pintu gandok. Saat itulah dari arah jalan, terdengar derap seekor kuda yang membuat dua orang itu berdiri dan menatap lurus ke arah regol halaman banjar. Tak terlalu lama seekor kuda berwarna hitam legam muncul memasuki regol dengan ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi tegap berdada bidang.

   Adanya derap kuda yang memasuki halaman regol tidak hanya membuat Bajang dan Sambu saja yang merasa penasaran, tetapi ki Panut, juga Kilatmaya dan Kyai Jalasutro yang berada di gandok kanan mencoba mengetahui penungga kuda. Namun dari semua yang melihat, Bajang dan Sambu-lah yang terkesan adanya perubahan diraut wajah mereka. Nampaknya Bajang dan Sambu tercekat tak percaya kalau di halaman banjar itu ada lelaki yang sangat mereka kenali.

   "Ba.. Jang, bukankah itu Raden Panji Tohjaya ?" desis Sambu.

   Bajang yang ditanya hanya mengangguk tanpa menoleh. Seakan - akan dirinya terkena sesuatu yang tidak terlihat dari lelaki yang disebut oleh Sambu.

   "Lebih baik kita lekas menyingkir darinya, Bajang." bisik Sambu, seraya menggamit kawannya itu untuk diajak pamit kepada ki Panut.

   "Kalian sudah ingin meninggalkan banjar ini, kisanak ?" tanya ki Panut, saat tamunya akan pamit.

   "Seperti yang aku katakan tadi malan, ki. Perjalanan yang jauh akan kami lanjutkan ketika fajar sudah merekah." sahut Sambu.

   "Baiklah, selamat jalan." ucap ki Panut.

   Maka, Bajang dan Sambu pergi dari balai banjar. Keduanya berjalan terus tanpa memperdulikan lelaki yang mereka kenal sebagai Panji Tohjaya. Sementara orang yang memang Panji Tohjaya, salah seorang Senopati Jipang Panolan tidak terlalu memperhatikan dua orang yang melewatinya.

  Sepeninggal Bajang dan Sambu, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro sebenarnya ingin cepat meninggalkan banjar padukuhan. Namun niat itu mereka urungkan manakala sebuah teguran halus menyapa Kilatmaya. Dan, tegur sapa itu berasal dari penunggang kuda yang baru saja memasuki regol halaman banjar.

   "Selamat pagi, ki Lurah Arya Dipa.. "

   Tentu saja teguran itu membuat Kilatmaya mengernyitkan alisnya. Bagaimana tidak ? Sungguh pemuda itu tidak mengenal orang yang menyapanya, dan baru hari itu ia bertemu dengan lelaki itu. Namun, sebelum ia bertanya lebih jauh, orang itu mendekat dan memperkenalkan diri.

  "Ki Lurah Arya Dipa, perkenalkan aku Panji Tohjaya dari Jipang." kata ki Panji Tohjaya, yang melihat kesan kebingungan dari wajah Lurah Wira Tamtama.

   "Maafkanlah jika aku mengejutkanmu, ki Lurah. Sudah lama sebenarnya aku mengenalmu. Yaitu saat aku ditugaskan dalam menyelidiki kematian Kakangmas Adipati Sekar, dimana aku harus menyelinap ke Ksatrian Demak. Saat itulah aku melihat kalau kau bertugas menjadi pengawal Raden Bagus Mukmin." kata ki Panji Tohjaya, lebih lanjut.

   Kilatmaya masih terdiam, sedangkan Kyai Jalasutro tidak mengerti arah pembicaraan dari ki Panji Tohjaya. Apalagi ki Panut, orang tua itu bingung tak karuan.

   "Hm... " desuh ki Panji Tohjaya, "Tetapi penyelidikanku yang seharusnya dapat menjernihkan kesalahpahaman keluarga keraton, malah ditepis mentah - mentah oleh orang - orang yang mengharapkan kehancuran anak cucu Sultan Patah."

   Kata yang terlontar terakhir berupa kekecawaan itu memancing rasa penasaran Kilatmaya. Karenanya pemuda itu mencoba menggali lebih dalam siapa dan apa maksud kedatangan orang yang mengaku Panji dari Jipang itu. Tentunya rasa waspada tidak pudar dengan cepat dari Kilatmaya. Karena bagaimana-pun segala sesuatu dapat saja terjadi. Namun ada sebuah ganjalan dalam hatinya, yaitu mengenai Bajang dan Sambu yang merupakan tali penghubung untuk mengorek siapa susungguhnya pimpinan dan niat mereka.

   Sebagai seorang yang lebih tua dan sudah kenyang pengalaman hidupnya, Kyai Jalasutro dapat menyelami isi hati pemuda disampingnya. Karenanya orang tua itu berbisik perlahan.

   "Anakmas tak perlu kawatir memikirkan dua orang tadi. Setelah Anakmas berbicara dengan kisanak ini, selekasnya kita langsung ke padepokan Candra Bumi. Jalan dan tempatnya aku masih dapat mengingatnya."

   Kilatmaya bernapas lega, "Terima kasih, Kyai. Bila tiada Kyai bersamaku, mungkin perjalananku akan menjadi lama."

   Kyai Jalasutro tersenyum.

   Kemudian Kilatmaya meminta waktu barang sejenak kepada ki Panut untuk diam di banjar guna berbicara dengan ki Panji Tohjaya. Syukurlah ki Panut memperbolehkan bagi ketiganya untuk tinggal barang sejenak di pringgitan balai banjar. Bahkan orang tua itu kembali menyuguhkan wedang sere beserta ketela rebus.

   "Maaf merepotkan, ki Panut." ucap Kilatmaya.

   "Hehehe... Tidak mengapa, ki Lurah." sahut ki Panut, yang sudah mengetahui kalau tamunya seorang prajurit Demak.

   Sepeninggal ki Panut, ki Panji Tohjaya memperkenalkan dirinya lebih terperinci. Semua itu ia katakan dengan benar karena sudah mengetahui sikap perilaku ki Lurah Arya Dipa, tentunya setelah melakukan penyelidikan berbulan - bulan terhadap pemuda itu. Selain itu juga adanya dorongan dari rasa kekecewaannya sejak hasil penyelidikannya yang ia sampaikan kepada Nayaka Jipang ditepis, dan seakan - akan tidak dianggap oleh sebagian Nayaka Jipang.

   Ki Lurah Arya Dipa mengangguk dan kadangkala mengerutkan keningnya mendengarkan penuturan ki Panji Tohjaya. Dirinya satu pikiran dengan ki Panji Tohjaya kalau otak pembunuhan Pangeran Sekar bukanlah Adipati Anom Bagus Mukmin.

   "Begitulah, ki Lurah. Meskipun selama ini aku tak dapat mengoyak kabut tebal kematian Kakangmas Adipati Sekar yang sesungguhnya, aku merasakan adanya tangan yang ingin memutus tali dampar kencono Jawa dari trah Glagahwangi." desis ki Panji Tohjaya.

   "Ki Panji, bukankah Jipang mempunyai seorang patih yang bijaksana ?" tiba - tiba Kyai Jalasutro menyela.

   Namun, ki Panji Tohjaya malah menghela napas, seakan ingin mengurangi beban di dadanya.

   "Ada apa, ki Panji ?" Lurah Arya Dipa bertanya.

   Sejenak ki Panji Tohjaya menatap jauh ke masa lampau, meskipun hal itu tidak akan kembali terulang, dan hanya menyisakan kenangan semata.

   "Benar, Kyai." kata itu terasa berat, "Patih Mentahun memang seorang yang bijaksana dan baik, dia merupakan kakak seperguruanku."

   "He... " Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro sedikit tercekat.

   "Entah mengapa sikapnya telah berubah dan cenderung berlaku tidak semestinya." keluh ki Panji Tohjaya.

   Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, hingga tak terasa hari semakin terang dimana mentari terasa terik sinarnya. Dalam waktu itu juga Lurah Arya Dipa menyempatkan menelisik sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan pasukan khusus Jipang, kepada ki Panji Tohjaya. Lurah Arya Dipa berharap dapat mendapat keterangan terperinci dari senopati Jipang Panolan itu.

  "Ki Panji, jika boleh tau, adakah kesatuan khusus yang akhir - akhir ini terbentuk di Kadipaten Jipang Panolan ?" tanya Lurah Arya Dipa.

  "Mungkinkah yang ki Lurah maksud ialah kesatuan pangatus Yuda Murda ?"

   "Yuda Murda... " ulang Lurah Arya Dipa.

   "Benar, ki Lurah." tegas ki Panji Tohjaya, seraya melanjutkan, "Yuda Murda adalah kesatuan yang dibentuk oleh Raden Arya Mataram adik Anakmas Adipati Arya Penangsang. Kesatuan ini terdiri dari seratus prajurit yang dipilih sendiri oleh Anakmas Raden Arya Mataram."

   Sejenak ki Panji Tohjaya berhenti karena meneguk wedang sere. Seusai itu barulah ia melanjutkan perkataannya.

   "Perlu ki Lurah ketahui, kesatuan Yuda Murda adalah kesatuan yang bertindak disegala medan dan keadaan tak menentu. Dan kesatuan ini tak memiliki ciri khusus layaknya Wira Manggala atau Wira Braja. Satu lagi, kemampuan mereka dua kali lipat diatas prajurit biasa."

   "Maksud ki Panji setara dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan ?" tanya Lurah Arya Dipa.

    "Bisa dikatakan begitu, ki Lurah." jawab ki Panji Tohjaya.

   Mendengar keterangan seperti itu, Lurah Arya Dipa tanpa sadar menoleh Kyai Jalasutro, yang sejak tadi hanya mendengarkan apa yang menjadi pembicaraan. Tetapi orang tua itu hanya menunggu sikap yang diambil ki Lurah Arya Dipa, sebagai orang yang bertugas secara langsung sebagai prajurit Demak.

  Bagi ki Lurah Arya Dipa, pembentukan kesatuan prajurit di Jipang sudah dianggap sebagai kesalahan. Karena, sudah sangat jelas bagi tata praja dimana ketentuan pembentukan sebuah kesatuan harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Demak. Ini jika dibiarkan berlarut - larut, paugeran tata praja akan mudah dibuat sesuka hati penguasa setempat, dalam masalah ini adalah kadipaten Jipang.

  "Bila ada pembentukan kesatuan itu, mengapa pihak Jipang tidak memberikan laporan, ki Panji ?"

   "He... Ah, laporan itu sudah disampaikan saat kunjungan ki Tumenggung Prabasemi, ki Lurah.."

   Ki Lurah  Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Gelar tumenggung yang baru saja disebutkan masih terasa terngiang di telinga lurah muda itu. Perjumpaan pertama ialah saat di lembah Telomoyo, ketika pasukan Demak akan menyerang tanah perdikan Banyubiru. Lalu pertemuan kedua bertepatan adanya kesalahpahaman di bukit Prawoto, dimana putra ki Ageng Gajah Sora membuat rusuh perburuan Kanjeng Sultan Trenggono.

   "Ki Tumenggung Prabasemi lagi... " desis ki Lurah Arya Dipa, dalam hati.

   "Baiklah, ki Panji. Bila aku kembali ke Demak, semua yang aku ketahui dari ki Panji, akan aku sampaikan kepada gusti Adipati Anom." kata ki Lurah Arya Dipa, "Lalu, kalau boleh tahu, akan kemana-kah selanjutnya kau, ki Panji ?"

   "Seperti yang aku bilang sejak awal. Kematian Kakangmas Adipati Sekar masih mengganjal dalam hatiku. Jipang yang lebih condong mempersalahkan pihak Adipati Anom, membuatku harus menempuh jalan sendiri, yaitu mencari otak dari pembunuhan itu." kata ki Panji Tohjaya, "Ada kemungkinan kalau tangan - tangan mereka berada di Jipang dan Demak."

   Ki Lurah Arya Dipa dapat mengerti suasana hati yang diderita oleh ki Panji Tohjaya. Dan salah seorang yang ia curigai adalah seorang tumenggung dari Demak itu sendiri, yaitu Tumenggung Prabasemi, seorang tumenggung yang mempunyai sikap tidak bisa diduga sama sekali.

   "Ah.. Sinar surya sudah semakin terik, ki Lurah. Bila kau ingin melanjutkan tugasmu, silahkan. Aku-pun juga lekas meninggalkan padukuhan ini." kata ki Panji Tohjaya.

   Maka pamitlah ki Panji Tohjaya kepada ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Derap kuda-pun terdengar meninggalkan regol halaman banjar, ke arah utara. Semakin lama semakin reda tak terdengar lagi, menyisakan debu dibelakangnya.

   Sepeninggal kepergian ki Panji Tohjaya, kini giliran ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro berpamitan kepada ki Panut. Tak lupa keduanya mengucapkan banyak terima kasih terhadap kebaikan ki Panut, yang sudah memperlakukan dengan sangat baik, selama di banjar padukuhan.

   Arah yang diambil oleh keduanya segaris lurus dengan jalan yang diambil oleh murid - murid padepokan Candra Bumi dan juga ki Panji Tohjaya, yaitu jalan ke arah utara.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 4
oleh : Marzuki

   Bunyi denting beradunya senjata terdengar begitu cepat. Tanah lapang yang ditumbuhi rumput pendek setinggi kurang dari mata kaki itu, berubah hiruk pikuk karena adanya lima orang mengeroyok seorang lelaki. Sehingga menjadikan lelaki itu harus berhati - hati dalam menentukan sikap tata geraknya, untuk menghalau datangnya serangan.

   Dua pedang dari dua orang pengeroyok melaju kencang dari dua sisi berbeda. Ditambah lagi seorang pengeroyok yang bersenjatakan nanggala, sudah menanti dibelakang lawannya. Sementara dua pengeroyok tersisa berdiri dua - tiga langkah sambil mengayun - ayunkan senjata mereka.

  Menyikapi tindakan yang dilakukan oleh para pengeroyoknya, lelaki tersebut tidaklah menunjukan rasa jerih barang sedikit. Malah, tombak pendeknya semakin tergenggam erat ditangan kanannya dan bergerak dahsyat tak terduga. Yaitu, menangkis serangan pertama pedang sisi kanan, lalu sambil menggeser kakinya, tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan lawan satunya yang mengakibatkan pedang orang itu terlepas. Lalu barulah menghadapi seseorang bersenjatakan nanggala dibelakangnya, berupa loncatan kecil sambil menghentakan tebasan keras ke arah lawan.

   Sungguh mengagumkan orang itu. Hentakan tadi dapat mencelatkan nanggala dari pemiliknya. Juga disusul tendangan keras ke dada lawan, hingga lawannya terjungkal keras menubruk pohon.

   "Kurang ajar.... !!!" geram kawan orang yang jatuh terkapar, seraya meloncat menebaskan kampaknya.

   Kampak ditangan orang berbadan tinggi besar layaknya raksasa, menderu tajam membelah udara. Karenanya lawannya harus bersikap lebih berhati - hati dalam menghadapinya. Belum lagi, masih ada tiga kawannya yang sepertinya akan ikut menyerang.

   Sebenarnya siapa mereka ini yang saling berkelahi di tanah lapang ?

   Beginilah awalnya. Setelah ki Panji Tohjaya meninggalkan banjar padukuhan, ia memacu kudanya ke arah utara. Kira - kira sepuluh tombak, kudanya dibelokan menuruti tikungan ke kiri. Dan terlihatlah ujung regol padukuhan, menandakan jalan keluar dari padukuhan yang kemudian tergantikan hamparan sawah.

   Jalan yang sepi memancing ki Panji Tohjaya untuk memacu kuda lebih cepat dari sebelumnya. Lari kudanya begitu pesat meninggalkan debu dibelakangnya. Dan puluhan tombak dilalui dan kini tiba ditanah lapang.

  Saat itulah dari sisi berbeda muncul orang - orang yang mengumbar derai tawa. Hal itu membuat ki Panji Tohjaya mengerutkan keningnya labih dalam. Karena tak mengerti sebab dari orang - orang itu tertawa kencang. Namun, kewaspadaan seketika menggelayuti hatinya, demi adanya perasaan yang tidak baik melintas dibenaknya.

   "Hoho.. Ini dia penghianat Jipang !" seru orang berbadan tinggi besar, dipinggangnya terselip kampak.

   "Benar, kakang. Kepalanya lumayan digantikan puluhan kepeng." sahut kawannya.

   Di atas kuda, ki Panji Tohjaya menghela napas. Sedikit banyak dirinya tahu kalau yang dihadapinya adalah orang - orang upahan seseorang yang menginginkan dirinya lenyap dari percaturan pemerintahan Jipang Panolan. Meskipun dirinya sendiri sangat jarang berada di pura Jipang. Namun, dihadapannya maut mengancam dirinya, sehingga mau tidak mau kekerasan sepertinya tidak dapat dielakan lagi. Dan selanjutnya terjadilah perkelahian di tanah lapang antara ki Panji Tohjaya dan lima orang penghadang.

   Dan saat ini kampak seorang yang sepertinya adalah pemimpin kelompok penghadang, menebas kepala ki Panji Tohjaya dengan sebatnya. Tetapi si-empunya kepala tak mau membiarkan lepas dari batang leher, maka berusaha menghindar ke belakang, akan tetapi si pemimpin penghadang tidak membiarkan mangsanya lepas dengan mudah. Pemimpin penghadang langsung membelokan kampaknya mengarah pundak lawan.

    "Triiing.....!"

   Mata tombak ki Panji Tohjaya masih mampu menahan laju daripada kampak lawan, serta sedikit perubahan gerak dari tombak yang awalnya untuk bertahan, berubah haluan menyerang berupa tusukan langsung.

   "Haiit... !" desis pemimpin penghadang yang hampir saja bahunya tertusuk mata tombak.

   Terancamnya pemimpin penghadang, membuat anak buahnya ikut membantu lagi. Dua pengguna pedang ditambah seorang yang memakai rantai berbandul sebagai senjata andalannya. Ketiganya sepertinya akan bekerja sama satu dengan lainnya. Itu terbukti saat tata gerak ketiganya sangat serasi dan condong dapat menutupi kelemahan kawannya.

   "Bagus, Gento. Pimpin kawanmu melumatkan Tohjaya !" seru pemimpinnya.

   Orang berjuluk Gento hanya mengangguk tanpa berpaling. Dia dan kawannya terus mengintari lawannya sambil memutar rantai berujung bandul bola berduri. Dan dibarengi teriakan keras, ketiganya mulai bergerak secara bersamaan, yaitu menyerang lawannya.

   Sungguh mengejutkan tindakan dari Gento dan kedua kawannya. Serangan serentak dari sudut dan sasaran berbeda, juga cepat dan mematikan, akan membuat lawan bingung dan kalut tentunya. Tetapi betapa bingungnya ketiga orang itu yang mendapati lawannya sirna tak tampak sama sekali.

   Sementara pemimpin penghadang terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Orang yang ia kira akan lumat tubuhnya, tiba - tiba lenyap tak terbekas sama sekali. Sadarlah ia mengenai seorang yang ia incar selama ini adalah salah seorang murid dari padepokan Sekar Jagat di gunung Lawu, adik seperguruan Patih Mentahun.

   Rupanya ki Panji Tohjaya telah mengungkap ilmu yang ia pelajari dari paman gurunya ki Wijang Pawagal, yaitu Alang - Alang Kumitir. Itu baru sekelumit ilmu yang bersumber di padepokan Sekar Jagat dan hanya tiga - empat orang saja yang mampu menerapkan, dan salah satunya ki Panji Tohjaya. Karenanya, tak dapat dipungkiri jika para penghadang yang memiliki ilmu kanuragan sebatas kekuatan kewadagan, gampang terperdaya.

   Tubuh ki Panji Tohjaya sehabis terelakan oleh serangan Gento dan kedua kawannya, tahu - tahu sudah di belakang pemimpin penghadang seraya melekatkan mata tombak kyai Giri di tengkuk orang itu. Tentu saja tindakan ki Panji membuat tubuh pemimpin penghadang bergemetaran, terkejut bercampur rasa jerih.

   "A.. ampuni aku, tu.. tuan.. " pemimpin penghadang itu merengek minta ampunan, sementara anak buahnya bingung.

   "Sangat mudah aku mengampunimu, kisanak." sahut ki Panji Tohjaya, "Asal saja kau mau berbicara mengenai orang yang mengupahmu."

   Mulut pemimpin penghadang itu kelu. Sebenarnya sangat mudah dalam menyebutkan orang yang menyuruhnya. Tetapi, dahulu waktu ia menerima perintah, ia sudah berjanji tak akan angkat bicara walau nyawanya melayang. Namun, keadaan yang ia hadapi saat ini juga akan mengancam nyawanya, jika ia terus berdiam. Akibatnya peluh mulai menyeruak membasahi wajah dan tubuhnya, apalagi mata tombak semakin menyakitkan di tengkuknya.

   "Ah.. Sepertinya kesetiaanmu terbayarkan oleh nyawa dalah wadagmu, Kisanak." desis ki Panji Tohjaya, disertai menekan tengkuk lawan menggunakan tombak pendeknya.

   "Ba.. Baik, tuan. Aku akan angkat bicara.. " suara pemimpin penghadang agak gemetar.

   "Jangan, kakang !" seru Gento.

   Seruan Gento tak digubris oleh pemimpinnya. Bibir orang itu sebentar lagi mulai bergerak, namun sesuatu yang mendebarkan telah terjadi. Suara jerit kesakitan menggema membelah udara tanah lapang. Suara yang berasal dari mulut pemimpin penghadang itulah gema tadi, juga adanya pisau belati menancap di keningnya dan membuat orang itu jatuh tertelungkup.

   Kejadian itu membuat ki Panji Tohjaya kaget, namun belum selesai rasa kagetnya, teriakan demi teriakan terulang susul - menyusul. Tiga tubuh para penghadang rubuh dengan luka sama antara yang satu dan lainnya, yaitu semuanya terluka di kening akibat lemparan pisau belati.

   "Pengecut.... !" teriak ki Panji Tohjaya, sembari mengeliarkan pandangannya menyapu seluruh tempat. Namun tak ada balasan.

   Walau masih tidak ada pergerakan yang mencurigakan, ki Panji Tohjaya tetap waspada. Tombak pendek Kyai Giri pemberian ki Wijang Pawagal semakin erat tergenggam menyilang di depan dada. Matanya setajam raja rimba terus mengamati pohon ataupun semak belukar dekat tanah lapang, yang berjarak agak jauh. Ditunggu - tunggu, masih tiada sesuatu yang mencurigakan.

   "Siapa gerangan penyerang gelap tadi ?" batin ki Panji Tohjaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 5
oleh : Marzuki

   Sehabis melempar pisau belati berturut - turut, orang itu bergegas beranjak dari tempat menyelinapnya meninggalkan rindangnya pohon juwet, dan mendekati tanah lapang. Jalannya sangat tenang seolah tiada sesuatu yang terjadi dan merasa tak bersalah terhadap empat nyawa yang terkapar di tanah lapang. Seringai mulutnya bagai anjing liar terangkum jelas seakan puas menikmati sisa - sisa bangkai mangsa yang habis digerogoti tinggal tulang belulang, tak perduli dengan keadaan disekitar, padahal di situ berdiri sang raja rimba.

   Dialah Soca Welirang, lelaki beringas dan keji, pembunuh berdarah dingin tak memandang mangsanya lelaki atau perempuan, dewasa atau kecil, kawula alit atau orang ningrat, golongan hitam atau putih, semuanya dia babat sesuai orang yang memerintahkan. Maka tak heran jika namanya mencuat menggegerkan tanah Jawa bagian tengah dan wetan. Bahkan orang ini merupakan buronan kesultanan Demak dan beberapa kadipaten. Tetapi karena kedigdayaan dan berbagai ilmu yang ia miliki, selama ini ia dapat melenggang bebas menjelajahi rimba dan padukuhan.

   Kedatangan Soca Welirang di tanah lapang itu menjadikan ki Panji Tohjaya semakin meyakini kalau dirinya adalah sasaran utama pihak tertentu, yang mengharapkan meruncingnya hubungan kadipaten Jipang Panolan dan Demak. Sejenak ki Panji Tohjaya meregangkan kelopak matanya lebih lebar manakala melihat adanya lambang bulan sabit dalam lingkaran, menandakan lambang perguruan Candra Bumi di telatah Jipang.

   "Pusaka itu... " desis ki Panji Tohjaya.

   Desis lirih itu terdengar oleh ki Soca Welirang, yang menanggapi dengan mempermainkan senjata di tangannya. Seolah memamerkan pusaka yang sepertinya dikenali oleh ki Panji Tohjaya. Kemudian ki Soca Welirang tertawa datar sembari berkata.

   "Orang yang memiliki senjata ini lumayan tangguh hingga membuat keringatku terperas. Namun, aji yang bersumber dari Candra Bumi tak dapat sejajar dengan kerasnya kehidupan gunung Welirang."

   "Atau mungkin karena umurnya semakin tua, tulang - tulangnya menjadi keropos ? Hahaha.. Nasibnya memang na'as. Muridnya durhaka dan memintaku membungkamnya selamanya." sambung ki Soca Welirang.

   "Hm... Lalu apa maksud Kisanak yang ringan tangan dan membunuh mereka ?" tanya ki Panji Tohjaya.

   "Cecurut tak tahu diri. Setelah mendapat seikat kepeng malah ingin berkhianat. Jadi pantaslah jika mereka terkapar.. " sahut ki Soca Welirang seraya tertawa.

   "Kau salah, Kisanak. Tidak seharusnya nyawa seseorang dengan mudah dan enteng kau binasakan. Betapa beratnya tanggung jawab kelak yang kau hadapi dihadapan Sang Pencipta." sanggah ki Panji Tohjaya.

   Telinga ki Soca Welirang cukup tebal mendapatkan nasehat dari ki Panji Tohjaya, ia hanya menanggapi dengan gelak tawa saja. Bagi pembunuh berdarah dingin ini, nasehat - nasehat yang memperingatkan pertanggung-jawaban di alam langgeng sudah sekian kali ia dengar dari mangsa atau korbannya. Dan semuanya berakhir sia - sia kecuali terenggutnya nyawa para orang - orang yang memperingatkan ki Soca Welirang.

   "Hahaha... Dari sekian murid Sekar Jagat yang aku temui, kau-lah satu - satunya yang berbeda, Tohjaya. Mulutmu masih dapat menyebut ucapan - ucapan anak polos. Lain halnya dengan saudara - saudara seperguruanmu yang terpikat kemilaunya gemerlap harta dan jabatan." kata ki Soca Welirang, bergemuruh.

   "Bicara apa kau ini ?"

   "Hahaha... Kura - kura dalam perahu. Mulutmu bisa berkata menyangkal, tetapi aku yakin jika hatimu berucap lain jika menilai saudara - saudara seperguruanmu." ki Soca Welirang bergegas berkata lebih lanjut, "Patih Mentahun, Haryo Kumara dan Haryo Sardulo, semakin hari menunjukan biangnya... "

   "Cukup... !!" teriak ki Panji Tohjaya.

   Tetapi ki Soca Welirang tetap melanjutkan perkataannya, "Dari lima macan, terpaksa dua macan muda harus dibinasakan agar tidak mencakar macan - macan tua. Ah... Senopati andalan Jipang harus meregangkan nyawa karena keserakahan saudara tuanya."

   Sebenarnya ki Panji Tohjaya sudah menduga kalau salah seorang saudara seperguruannya adalah orang dibalik kejadian ini. Tetapi saat disebutkan tiga macan tua, ki Panji Tohjaya agak bimbang. Mungkinkah saudara tertua perguruannya juga terlibat ? Meskipun akhir - akhir ini orang yang ia segani itu mulai berubah tindak tanduknya, tetap saja ia ragu - ragu untuk menilainya.

   "He, Tohjaya ! Susulah kakak seperguruanmu, ke alam kubur !" tiba - tiba ki Soca Welirang berteriak sembari menjulurkan senjata rampasan.

    Terbeliak mata ki Panji Tohjaya, dikarenakan mendengar kalau ia harus menyusul saudaranya ke alam kubur. Berarti salah satu saudaranya sudah dikalahkan ki Soca Welirang. Tetapi siapa ? Ah, teringatlah kata dua macan muda yang harus dibinasakan. Itu berarti dirinya dan....

   Tak sanggup ki Panji Tohjaya berangan - angan. Lebih baik ia bergegas melayani sergapan lawan yang bukan sembarang lawan. Untunglah ki Panji Tohjaya sempat bertemu dengan paman gurunya, ki Wijang Pawagal dan mendapat tuntunan lebih mantab bersumber ilmu tingkat tertinggi perguruan Sekar Jagat, dan juga mewarisi salah satu pusaka perguruan yaitu tombak pendek Kyai Giri.

   Menggunakan Kyai Giri sebagai piranti memapaki serangan yang diluncurkan oleh ki Soca Welirang, ki Panji Tohjaya dapat mementahkan benturan senjata yang sebenarnya hanyalah tindakan penjajagan dari lawannya. Selanjutnya benturan demi benturan sering bersinggungan menggetarkan udara sekitar tanah lapang. Ilmu keduanya sangat mendebarkan terlukis dari tata gerak juga olah senjata, bagai se-ekor macan melawan kerasnya banteng. Menimbulkan derak tanah, kesiur angin tajam, terkoyaknya udara mengakibatkan rumput rusak parah.

  Semakin lama tataran terus meningkat bertambah hebat dan menyeruakan tata gerak rumit penuh tipuan dan kembangan yang sebenarnya mengancam dan mematikan bagi siapa yang lengah. Hanyalah kewaspadaan, ketelitian dan keuletan menyatu bercampur dengan ketangkasan olah pikir, olah rasa dan olah bantin yang kuat-lah akan menjadi pemenang, walau menang di sini tidaklah menang sejati.

   Kala itu gada di tangan ki Soca Welirang mengayun keras ke arah kepala ki Panji Tohjaya, hanya saja ki Panji Tohjaya sangat sigap memiringkan kepala, sehingga gada ki Soca Welirang tidak mengenai kepala ki Panji Tohjaya. Kenyataan itu cepat ditanggapi ki Soca Welirang dengan membelokan gadanya mengejar tubuh ki Panji Tohjaya, akan tetapi murid perguruan Sekar Jaga tidak tinggal diam, maka bergegas merendah sembari menusukan tombak pendeknya.

   Hebat benar ki Soca Welirang. Tusukan lawan berhasil dihindari seraya melempar tubuhnya menyamping sembari menggemplangkan gadanya ke kepala lawan. Sekali lagi gadanya menumbuk udara kosong, dan bahkan ia harus melenting karena adanya serangan balasan. Menjadikan perkelahian itu seru dan sengit saling serang menyerang menggunakan jenis senjata yang berbeda. Dari mulai munusuk, memukul dan menyodok disertai tenaga dahsyat.

   Bertambahnya sang waktu mulai adanya pergeseran nyata tataran yang semakin memuncak mendekati tenaga cadangan, menimbulkan getaran - getaran tajam di sekeliling tubuh keduanya. Udara dibuat bergelora terasa hangat dan lama kelamaan memanas, seiring menguaknya ilmu simpanan yang siap saling dibenturkan. Dari ki Panji Tohjaya, aji Brajadaka manjing dari dalam tubuhnya, sementara lawannya juga mengungkap salah satu ilmu andalannya juga yang bersumber kekuatan panas. Beradu dua ilmu berbeda dalam penyebutan tetapi sebenarnya memiliki kesamaan dari inti sumbernya, menjadikan perkelahian semakin sengit dan seru.

   Upaya - upaya mengenai tubuh lawan berbentuk pukulan berlambarkan aji Bajradaka di tangan ki Panji Tohjaya dan aji Tapak Geni di tangan ki Soca Welirang, berjalan alot dan terkesan sulit bagi masing - masing pihak. Itu semua karena adanya bekal dan pengalaman dari keduanya yang cukup untuk mempertahankan anggota tubuh mereka dari cengkeraman ganasnya api. Namun lambat laun, salah seorang terperdaya dalam kelengahan dan harus terbayar oleh ganasnya ilmu lawan.

   "Bangsat.... !" teriak ki Soca Welirang, saat pundaknya terhantam pukulan lawan.

   Pundak orang itu bagai keselomot bara api, bahkan kain pakaiannya berlubang sebesar kepalan tangan. Meskipun begitu, ki Soca Weliran memiliki daya tahan tubub yang bagus. Tidak terlalu lama sakitnya berangsur hilang dan hanya meninggalkan bekas semata. Dirinya tidak tinggal diam dan untuk mendukung tekadnya, ilmunya semakin ia tingkatkan. Kakinya bagai tergantikan pegas membuat orang itu mudah melenting jauh ke depan, seraya menyongsongkan gada rampasan dari perguruan Candra Bumi.

   "Byaaar.... "

   Gada itu menumbuk tanah dan membuat tanah berlubang besar. Bisa dibayangkan jikalau gada tadi mengenai ki Panji Tohjaya, yang tubuhnya terdiri dari tulang berbalut daging dan darah, tentu akan lumat bila dipikir secara nalar.

   Geleng - geleng kepala ki Panji Tohjaya melihat keampuhan gada berwarna kuning kehitaman itu. Patut diwaspadai jika pusaka ampuh tergenggam ditanggan seorang ki Soca Welirang yang memiliki tenaga dahsyat. Lantas upaya dari ki Panji Tohjaya ialah ikut meningkatkan ilmunya, dan tadu sewaktu melihat adanya gempuran gada, ki Panji Tohjaya telah mengungkap aji Alang - Alang Kumitir dan berhasil nenyelamatkan dirinya.

   Sementara itu, dalam diri ki Soca Welirang, timbul rasa kesal terhadap lawan satu ini. Ia tidak menyangka kalau lawannya masih dapat melayaninya sejauh ini. Padahal dirinya mampu mengalahkan Senopati Rakai Wekar, kakak seperguruan ki Panji Tohjaya dengan mudah melalui aji Tapak Geni yang tersalurkan ke gadanya. Dia tidak mengira kalau selama ini lawannya mendapat gemblengan secara langsung oleh ki Wijang Pawagal, murid tertua Panembahan Sekar Jagat Sepuh dan kakak seperguruan ki Danurpati atau Panembahan Sekar Jagat Anom guru ki Panji Tohjaya.

   "Setan mana yang manjing dalam tubuh macan muda ini ?" batin ki Soca Welirang, sambil memusatkan nalar budinya.

   Licik, kejam dan tak terikat paugeran adalah ciri yang dimiliki ki Soca Welirang. Maka tak heran jika serangan gelap akan ia lakukan untuk meraih kemenangan. Kali ini ilmu hitam ia gunakan dengan sembunyi - sembunyi. Tiada tanda - tanda mengisyaratkan kalau orang ini memiliki ilmu dan akan mempergunakannya di tanah lapang ini.

   "Mati kau.... !" desisnya dalam hati.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 6
oleh : Marzuki

   Rajah Kala Pati adalah sebuah ilmu berasal dari penyembahan bathara Kala putra bathara Guru dan bathari Durga, salah satu bathara penuh angkara murka. Ilmu ini menurut penuturan kuno tersirat di sebuah batu arca berbentuk kepala empat dan tangan juga empat yang ditemukan oleh Wiku kerajaan Wengker, pada jaman Mataram kuno pemerintahan Maharaja Empu Sendok.

   Waktu itu setelah sang Wiku mempelajarinya dan mencerna inti sari dari guratan di dasar arca, sangat terkejut dengan apa yang ditimbulkan akibat merapal aksara kawi. Badannya gemetar menggigil kedinginan bagai terendam air telaga di puncak Wilis, tetapi sekejap kemudian hawa panas yang amat sangat menyeruak keluar menjadikan sang Wiku menderita bukan kepalang, dan perubahan kembali terjadi dimana hawa dingin menghampiri sang Wiku dan dilanjutkan hawa panas terulang lagi berkali - kali. Baru terakhir kemudian keadaan sang Wiku kembali seperti sediakala, malah terasa sejuk menjalari tubuhnya.

   Dicobanya untuk melangkahkan kaki. Kejadian tak terduga membuat sang Wiku terpana tatkala merasakan adanya getar merambat turun menjalar ke dalam tanah dan mengarah ke gundukan batu padas.

   "Byaaar..... !"

   Gundukan batu ambyar menyisakan debu hitam kelam. Terperanjatlah sang Wiku demi menyaksikan akibat dari tenaga dahsyat yang menyeruak dari dirinya. Ia tidak menyangka kalau hasil dari merapal aksara kawi, merubah dirinya seperti itu. Namun untuk menambah keyakinannya sang Wiku mencoba merapal aksara kawi, kali ini tiada perubahan yang membuat tubuhnya menderita, lalu ia hujamkan kakinya ke tanah seraya memusatkan arah sasaran yang ia kehendaki, yaitu sebuah pohon Gayam sebesar paha orang dewasa.

   "Byaaar... !"

   Nasib sial dialami oleh pohon Gayam, dimana sebuah kekuatan dahsyat menggrogoti batang, cabang, ranting dan daunya berubah layu menghitam legam dan hangus. Bisa dibayangkan jika tenaga itu ditimpakan kepada mahkluk hidup lainnya, sungguh tak terbayang apa yang terjadi. Bahkan sang Wiku sendiri ngeri apabila membayangkan. Ilmu itu seperti menyebarkan racun mematikan jika yang dikenai adalah mahkluk hidup.

   Sebagai seorang Wiku yang selalu mendekatkan diri kepada Hyang Suci, pikiran dan hati jernih telah mendorongnya untuk menghilangkan ilmu itu. Hati kecilnya mantab untuk menggolongkan ilmu itu sebagai ilmu yang tak seharusnya dipelajari oleh manusia, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah parah berupa kematian tentunya. Maka untuk itu ia mencoba menghapus pancaran ilmu tersebut dari dalam pikiran, hati dan wadahnya. Akan tetapi baru saja ia memulai, tiba - tiba langit berubah gelap, sang surya terbenam oleh gerombolan awan hitam, dan guntur terdengar membahana memekakan gendang telinga.

   Patung arca yang semenjak awal diam tak bergerak, mendadak matanya bersinar memancarkan warna merah menggidikan bulu kuduk. Batu yang semestinya tidak memiliki nyawa, bangkit berdiri tegak dan menghadap ke arah sang Wiku. Dari salah satu wajah, tersungging senyum yang sekejap kemudian berubah seringai mengerikan, lalu menggeram bagai sang raja hutan belantara.

   "Kau tak akan mampu menghapus ilmu yang sudah kau pelajari itu, manusia. Ilmu itu lain dari yang lain seperti yang pernah kau hapus. Karenanya jika kau ingin menghapusnya, kau harus mencari seorang lelaki untuk menyembahku. Setelah itu baru kau akan bebas dari cengkraman ilmu itu di dalam tubuhmu !"

   Habis berkata begitu, langit kembali seperti sediakala dan patung bathara Kala duduk seperti semula, layaknya patung pada umumnya.

  Dan begitulah perjalanan ilmu itu hingga entah bagaimana ki Soca Welirang mempelajarinya dan mampu menggunaka ilmu hitam tersebut. Sekarang ilmu Rajah Kala Pati sudah diterapkan untuk menghabisi lawannya. Tenaga dahsyat mengandung racun menjalar menyusup tanah mengarah kepada lawannya yang berdiri tegap penuh kewaspdaan.

   Dalam pada itu ki Panji Tohjaya dalam diamnya juga mendapatkan ada sesuatu yang ganjil terhadap lawannya. Karenanya ia sempat memusatkan nalar budinya untuk mengungkit ilmunya aji Brajadaka serta aji Sepi Angin. Dua ilmu melebur menjadikan tenaga dahsyat memutar ke seluruh urat nadinya, dan saat itulah berbenturan dengan ilmu gelap lawan yang menyusup dari bawah kakinya dan terus naik menjalari kakinya. Ki Panji Tohjaya terkejut dengan adanya tenaga aneh yang sepertinya melawan dan menggerogoti kakinya. Tetapi Senopati ini berusaha melawan melalui pengerahan ilmu gabungan, hingga akhirnya terjadila upaya dorong - mendorong dari ilmu itu.

   Rasa sakit dan pedih menyiksa kaki ki Panji Tohjaya sebatas betis. Dorongan kuat dari tenaga aneh rupanya dapat membobol tenaga gabungan Brajadaka dan Sepi Angin, menambah penderitaan yang dialami ki Panji Tohjaya, dimana dua kaki sebatas betis telah berubah menghitam legam, dan membuat lunglai tubuh Senopati itu. Jatuhlah tubuh ki Panji Tohjaya yang tak dapat menopang lagi berat tubuhnya. Jika ini terus berlanjut, bisa dipastikan ki Panji Tohjaya akan binasa di tangan ki Soca Welirang.

    Meskipun besar musibah melanda seseorang, tetapi apabila Dzat Yang Maha Agung belum berkenan mencabut nyawanya, kematian akan terhalang untuk sementara dan selamatlah orang itu. Begitu juga dengan keadaan ki Panji Tohjaya, dimana dalam keadaan sekarat muncul orang yang baru saja dijumpai, yaitu ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Kedua orang itu terkejut melihat keadaan yang dialami oleh ki Panji Tohjaya. Bergegas keduanya melompat ke arah ki Panji Tohjaya dan satunya lagi ke arah ki Soca Welirang.

   Kedatangan dua orang itu menghentikan tindakan ki Soca Welirang untuk menghabisi ki Panji Tohjaya. Untuk sementara ilmu Rajah Kala Pati ia tarik kembali demi menghadapi terjangan seorang pemuda. Demi menghindari terjangan itu, ki Soca Welirang mengisar kakinya sekaligus mengayunkan gada rampasan ke arah lawan barunya. Tetapi lawannya bukanlah anak yang baru turun gunung setelah selesai menuntut ilmu, pemuda itu adalah murid pilihan Resi Puspanaga dalam bimbingan mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu, sehingga sangat mudah melayani ayunan gada hanya dengan mengibaskan saja.

   "Tobiil.... !" seru ki Soca Welirang, takjub terhadap pemuda yang dapat melencengkan gadanya.

   Akan tetapi ki Soca Welirang tak mau berhenti disitu saja, gadanya bergerak lagi mengejar tubuh lawannya dengan cepat. Ia yakin kali ini gadanya pasti menumbuk pemuda kurang ajar itu, namun untuk kedua kalinya ki Soca Welirang dibuat kesal bukan main, karena sekali lagi lawannya hanya merunduk sembari mengibaskan tangannya. Kibasan tersebut mengandung tenaga cukup kuat dan membuat tubuh ki Soca Welirang terhempas ke belakang, beruntung dirinya dapat menjaga keseimbangan, sehingga badannya tak terjengkang.

   Sementara itu tak jauh dari tempat ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa beradu dada, Kyai Jalasutro mencoba membantu ki Panji Tohjaya menepi dan memeriksa keadaannya. Betapa terkejutnya Kyai Jalasutro setelah mengetahui keadaan ki Panji Tohjaya. Keadaan Senopati itu sangat parah, kedua kakinya hitam legam penuh kerutan, menandakan daging yang membalut tulang tersedot oleh ilmu Rajah Kala Pati. Bahkan kaki ki Panji Tohjaya sudah tak dapat digerakan lagi, lumpuh.

   "Ki Panji, apakah yang kini kau rasakan ?"

   "Sebuah tenaga mengerikan... Terasa terus.. Menggerogoti dagingku... " jawab ki Panji Tohjaya, terbata - bata karena menahan pedih yang ia rasakan.

   "Semoga upaya bisa mengurangi rasa sakit itu, ki Panji."

  Usai berkata, Kyai Jalasutro memusatkan nalar budinya untuk mencoba menyalurkan tenaga sucinya. Tangan Kyai Jalasutro menempel di betis ki Panji Tohjaya, begitu menempel hawa sejuk dari tangan Kyai Jalasutro menyusup betis secara perlahan, tetapi sebuah perlawanan sisa tenaga ilmu Rajah Kala Pati masih kuat dan mendorong hawa sejuk keluar kembali. Sungguh kejadian itu mengejutkan Kyai Jalasutro, baru kali ini selama melalang buana sesuatu yang aneh ia temui.

   "He... " desuh Kyai Jalasutro, tak enak hati.

   "Terima kasih, Kyai.." desis ki Panji Tohjaya, lirih, "Se..baiknya Kyai mem..bantu ki Lurah.."

    Sejenak ki Panji Tohjaya terhenti karena napasnya agak sesak, tetapi dia mencoba melanjutkan kata - katanya untuk memperingatkan Kyai Jalasutro.

   "Orang i..tu ki Soca We..lirang, Kyai. Seorang pem..bunuh berdarah di..ngin."

   Kyai Jalasutro mengernyitkan alisnya, gelar yang diucapkan oleh ki Panji Tohjaya belum pernah ia dengar. Walau begitu, melihat ilmu yang diterapkan oleh orang itu, patut mendapatkan perhatian yang besar. Namun, Kyai Jalasutro tak ingin juga langsung turun membantu ki Lurah Arya Dipa, tiada lain takut menyinggung Lurah Wira Tamtama itu, meskipun ia tahu kalau pemuda itu bukanlah seorang yang tinggi hati. Karenanya ia untuk sementara mengawasi jalannya perkelahian, dan apabila amat mendesak barulah ia turun gelanggang.

   Dalam saat bersamaan, di kalangan adu kekuatan sangatlah seru dan sengit. Pemuda yang menggagalkan upaya terakhir ki Soca Welirang untuk membinasakan ki Panji Tohjaya, membuat ki Soca Welirang semakin mantab meningkatkan ilmu tata geraknya. Gada dan juga tangannya penuh ancaman mematikan bagi lawan yang lengah. Ditambah lagi lambaran tenaga dahsyat menggebu - gebu meremukan mangsa. Pantaslah jika orang ini terkenal sebagai pembunuh ulung. Gelarnya saja dapat merontokan begundal - begundal kanuragan dan bahkan pemimpin kanuragan.

   "Setan alas ! Kau bisanya hanya meloncat - loncat saja, he !" seru ki Soca Welirang, tatkala lawannya hanya menghindari terjangannya dengan loncatan - loncatan  saja.

   Ki Lurah Arya Dipa menanggapi dengan tersenyum sembari melentingkan tubuhnya demi menghindari ayunan gada lawan. Pemuda itu berusaha melakukan penjajagan dahulu untuk mengetahui tenaga lawan, yang sebenarnya memiliki ilmu mengerikan. Selain itu adalah mencoba menggoda batas kesabaran lawan, supaya pergerakan lawan tidak sejalan dengan pikiran jernih, sehingga mengkalutkan tata gerak lawan. Tetapi apabila lawannya dapat membaca jalannya pemikiran ki Lurah Arya Dipa, tindakan itu akan menjadi piranta lawan untuk mengelabuinya dan menghancurkannya. Oleh sebab itulah, ki Lurah Arya Dipa juga selalu berhati - hati dan waspada dalam setiap langkahnya.

    Memasuki tataran lebih rumit, gada ki Soca Welirang tak dapat lagi dilihat sebelah mata, ki Lurah Arya Dipa-pun terpaksa melepas ikat pinggangnya sebagai senjata untuk menghadapi gada pusaka lawan. Namun dalam pada itu, lawannya merasa dihinakan oleh ki Lurah Arya Dipa yang melayaninya hanya menggunakan ikat pinggang. Hal itu menjadikan lawannya tak dapat lagi mengekang gejolak kemarahannya dan melibas ki Lurah Arya Dipa lebih ganas lagi dari sebelum - belumnya. Maka gada ditangan ki Soca Welirang sangat mengerikan disetiap ayunan dan gebrakannya.

   Bagi ki Lurah Arya Dipa, tindakan dari lawannya sangatlah wajar tatkala mendapatkan lawan hanya menggunakan ikat pinggang sehingga marah dan merasa diremehkan. Tetapi lawannya belum tahu apa sesungguhnya bahan ikat pinggangnya itu ? Ikat pinggangnya adalah sebagian daripada sisik ular naga yang memiliki keuletan luar biasa, serta apabila ikat pinggang itu dihantamkan ke batu sebesar kepala kerbau, niscaya batu itu akan pecah berkeping - keping. Dan pusaka ikat pinggang ini sudah sering terbukti dapat membuat lawan - lawan ki Lurah Arya Dipa menjadi takjub pada akhirnya, begitu juga halnya dengan lawannya kali ini manakala singgungan senjata terjadi.

  Mata ki Soca Welirang seakan - akan lepas dari kelopak matanya, karena tak percaya jika gadanya dapat ditahan lawan menggunakan ikat pinggang. Tidak sampai disitu saja, ikat pinggang ditangan lawannya telah mengibaskan gadanya, jika cengkeramannya tak kuat niscaya gada tersebut lepas dari tangannya. Akhirnya sadarlah ki Soca Welirang kalau ikat pinggang tersebut adalah benda pusaka, dengan itu ia tak akan gegabah menilai kemampuan lawan.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 7
oleh : Marzuki

   Hari semakin remang dimana sang Surya kembali dalam peraduannya. Tanah lapang terasa mencengkam karena lima tubuh menggeletak tak bernyawa. Agak di pinggir, seorang kakek tua menopang sosok tubuh tak berdaya dengan luka aneh terletak dikedua kaki yang menghitam legam. Sedangkan tak jauh dari keduanya, sosok - sosok layaknya hantu berloncatan kian kemari menambah keadaan menakutkan.

   Di langit kerlip bintang gemebyar menghiasi angkasa raya, seakan menjadi saksi tingkah pola manusia dalam merebutkan sesuatu keyakinan, yang kadang kala harus mengorbankan nyawa. Kejadian seperti itu kadangkala membuat bintang gemintang dan seluruh isi alam bosan, untuk selalu melihat dan melihat tetesan darah, jerit tangis, rintihan merana, geram kemarahan, dan nafsu - nafsu angkara. Tetapi semua itu adalah kodrat Yang Kuasa yang harus berjalan terus sampai kelak sang Surya terbit dari barat.

   Begitu-pun kali ini, tanah lapang sedang menggelar sebuah perkelahian untuk kesekian kalinya. Ganasnya gada mengayun deras dan dihadapi ikat pinggang yang memiliki dua bentuk berupa luwes atau-pun keras dalam menyikapi ganasnya gada. Belum lagi jika dua penggunanya menyalurkan tenaga cadangan atau ilmu - ilmu dari masing - masing sumbernya, yang tentunya berbeda bentuk dan jalur, menambah sengitnya adu tenaga dan kemampuan gerak yang terolah menjadi satu kesatuan sebagai piranti pertahanan atau bahkan penghancur lawan. Semuanya tergantung kepada si-pemilik ilmu itu sendiri.

   Dalam pada itu, gada ditangan ki Soca Welirang terlihat mengeluarkan pamornya, dimana cahaya kuning kehitaman nampak jelas di gelapnya malam. Sepertinya orang itu tidak lagi mengekang seluruh kemampuannya dalam menghadapi pemuda yang telah ikut campur dan mengganggunya, manakala ia hampir saja menewaskan mangsanya. Dan benar saja, gada yang dahulunya adalah milik pemimpin perguruan Candra Bumi, setelah ditangannya melibas pergerakan lawannya dengan ganas dan mengerikan. Jika sekali gada itu menghantam karang, dapat dipastikan karang tersebut akan lumat berserakan, apalagi manusia yang hanya terdiri dari tulang dan darah terbalut daging dan kulit. Sangat yakin dan pasti gada tersebut dapat menyelesaikan, itulah yang tersirat dalam benak ki Soca Welirang.

   Akan tetapi, semuanya itu tergantung dari campur tangan dari Dzat Suci. Walaupun ciptaanNYA hanya se-ekor garuda, tetapi jika Yang Maha Agung memberikan kelebihan terhadap garuda itu, meskipun garuda itu dihujani ribuan anak panah, dengan kelincahan dan kegesitannya mengepak sayap garuda dapat menghindarinya dengan mudah. Begitu-pun dengan ki Lurah Arya Dipa pada saat itu, kelincahan dan kegesitannya sangat luar biasa, seakan - akan punggungnya tumbuh dua sayap dan menerbangkannya. Dan itu adalah hasil dari salah satu ilmu yang tersirat dikitab Cakra Paksi Jatayu, yang disebut "Garuda Dirgantara" tataran awal.

   "Hebat... " puji Kyai Jalasutro, yang menyaksikan kehebatan ki Lurah Arya Dipa.

   Sementara bagi ki Soca Welirang menyaksikan dan merasakan kemampuan lawan, membuatnya kesal bercampur marah. Dia sudah mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya, tetapi lawan masih selalu dapat melayaninya. Ingin sebenarnya ia akan menerapkan ilmu pamungkasnya yang ngedap - ngedapi, tetapi kesempatan tidak pernah ia dapatkan barang sekejap, yaitu dimana lawannya harus menginjak tanah agak lama, karena lawannya ini selalu melenting ataupun meloncat bahkan mengudara.

   "Licin betul anak muda ini ! Apa mungkin ia tahu syarat ilmu Rajah Kalapati ?" tanyanya dalam hati.

   Tiada jawaban yang pasti. Malah ki Soca Welirang bergegas merendahkan tubuhnya manakala desir tajam terdengar memburu batang lehernya. Hampir saja kepala akan tanggal terpapas ganasnya ikat pinggang lawan, jika ki Soca Welirang tidak tanggap. Berhasil menghindari sergapan lawan, masih dalam keadaan merendahkan tubuh, ki Soca Welirang menyapu kaki lawan. Namun lawan dapat meloncat sembari melakukan tebasan hebat, dan ki Soca Welirang lekas menyilangkan gada diatas kepalanya.

  Percikan api timbul manakala dua senjata tadi berbenturan dengan kerasnya, membuat dua penggunanya mendapatkan kesan dan akibat yang sama, yaitu getaran merambat dan menusuk jari dan tangan keduanya. Bukan hanya itu saja, tubuh ki Lurah Arya Dipa dapat dibuat mental meskipun dengan kelincahannya pemuda itu dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Sementara bagi ki Soca Welirang kakinya yang masih setengah jongkok, melesak ke dalam tanah sedalam sekilan.

   Bergegas ki Soca Welirang merapal ilmunya setelah dapat meredakan rasa nyeri pada tangannya. Kesempatan untuk menggunakan ilmu Rajah Kalapati sudah di depan mata. Dan kali ini akan ia terapkan sepenuhnya agar lawan segera tewas.

   Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa yang sudah tuntas dalam mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu dan rontal Panembahan Anom, merasakan adanya marabahaya yang akan mencelakakannya. Ilmunya yang melebur dalam dirinya seakan bergolak dan membangkitkan ilmu Niscala Praba tingkat tinggi, sehingga tubuhnya terselimuti cahaya kuning kemilau. Selain itu aji Sepi Angin dan Gelap Ngampar ikut menyeruak, seakan - akan tak mau ketinggalan membantu raga yang telah ia huni.

   Sekejap kemudian tanah lapang di malam hari itu berderak hebat. Tanah bengkah segaris lurus antara ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Dari bengkahan tanah tercium bau anyir menyengat membuat penciuman tak nyaman. Bahkan Kyai Jalasutro dan ki Panji Tohjaya yang berada diluar jangkauan, merasakan pening dan mual. Itu semua akibat ilmu Rajah Kalapati yang mendekati kesempurnaan.

   "Buumm...! Buuummm...! Byaaar...!"

   Bumi bagai terhantam batu langit, menjadikan tanah lapang porak - poranda. Debu bercampur tanah dan rerumputan membumbung menutupi pandangan mata, menambah pekatnya malam. Apa yang terjadi ditengah lapangan masih tak dapat diketahui, apakah ki Lurah Arya Dipa kalah ? Ataukan ki Soca Welirang yang tumbang ? Atau malah keduanya mati sampyuh ?

   Di luar kalangan, hati Kyai Jalasutro berdebar hebat menyaksikan kejadian yang baru saja ia alami. Se-umur - umur barulah malam itu ia menyaksikan beradunya tenaga dahsyat yang mampu membuat tanah berderak hebat dan suara dentuman keras memekakan gendang telinga, juga bergolaknya udara malam di tanah lapang. Padahal, Kyai Jalasutro sendiri seorang linuweh dan tuntas kaweruh dalam dunia kanuragan dan jaya kawijayan, masih dibuat terpana dan takjub. Namun seiringnya waktu berlalu, orang tua itu gelisah memikirkan nasib ki Lurah Arya Dipa yang masih terkurung tebalnya debu.

   Semuanya pada akhirnya harus berlalu. Debu yang membubung mulai larut terhempas angin semilir dan luruh jatuh ke bumi. Lamat - lamat keadaan dimana kalangan tadi berada, berubah adanya, tanah padat ditumbuhi rumput setinggi kurang dari mata kaki, amblong selebar belasan pelukan orang dewasa dan sedalam satu tombak. Di sana juga tiada nampak satu kehidupan-pun yang terlihat, sehingga membuat kegelisahan Kyai Jalasutro satu - satunya orang yang masih dalam keadaan terjaga, karena ki Panji Tohjaya telah pingsan setelah mencium bau anyir dari rengkahan ilmu Rajah Kalapati.

   "Bagaimana ini ?" desis Kyai Jalasutro, bingung bercampur gelisah, "Bagaimana nanti aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatan Anakmas Lurah Arya Dipa kepada istrinya yang saat ini sedang mengandung ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 8
oleh : Marzuki

   Keadaan yang mencekam di tanah lapang yang saat ini sangat kental, menimbulkan masalah sendiri bagi serangga - serangga malam. Bunyi jangkrik, kerlipnya kunang, dan serangga lainnya lenyap begitu tenaga dahsyat meluluh lantahkan tanah lapang. Entah kemana serangga - serangga itu perginya, setelah kedatangan orang - orang ke tanah lapang yang sangat jarang dirambah manusia dan membuat kejadian yang sangat mengerikan berupa saling menyakiti diantara manusia itu sendiri. Namun akibat yang ditimbulkan berdampak besar terhadap kelangsungan ratusan bahkan ribuan serangga yang selama ini hidup di sekitar situ.

   Saat itu, yang mengganjal pikiran dan hati Kyai Jalasutro tidaklah mengenai dampak kerusakan terhadap kehidupan serangga, melainkan bagaimana akhir dari pergumulan adu sakti yang diterapkan oleh ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Bagaimana tidak gelisah ? Di bekas tempat beradunya dua tenaga dahsyat hanya menyisakan lubang tanah yang cukup besar, tanpa terlihat adanya sumber kehidupan sedikitpun. Sungguh mengerikan jika dua orang digdaya tadi sama - sama lumat tak menyisakan secuil daging atau-pun setetes darah. Betapa hebat dan mengerikan ilmu - ilmu yang baru saja disaksikan oleh Kyai Jalasutro, tak terpikir ilmu limpahan dari Gusti Agung kepada manusia bisa seperti itu.

   Karena tak mampu lagi mengekang gejolak hatinya, Kyai Jalasutro bangkit berdiri meninggalkan tubuh ki Panji Tohjaya yang tak sadarkan diri, mendekati kubangan luas di tengah tanah lapang. Meskipun gelapnya malam menyelimuti tempatnya berdiri, orang tua itu mencoba menajamkan matanya melalui ilmu Pandulunya demi mencari tubuh ki Lurah Arya Dipa, khususnya. Namun sudah berulang - ulang sepasang matanya menyelidiki, tak ada hasil yang didapat, kecuali tanah dan bebatuan. Dan pada akhirnya kesimpulan yang didapat ialah sesuatu yang sebenarnya tidak ia harapkan.

   "Maafkan aku, Anakmas Lurah Arya Dipa. Seharusnya aku tadi mendengarkan peringatan ki Panji Tohjaya dan membantumu, walau akhir yang didapat belum tentu beruntung." sesal Kyai Jalasutro.

   Sekali lagi orang tua itu mengeliarkan pandang matanya menyusuri lubang dihadapannya, untuk memastikan. Setelah yakin, perlahan orang tua itu membalikan tubuh dan beranjak dari tempatnya menuju tubuh ki Panji Tohjaya. Kemudian Tangannya meraih tubuh ki Panji Tohjaya dan dipanggulnya dan dibawa pergi dari tanah lapang.

   Sepeninggal kepergian Kyai Jalasutro yang memanggul ki Panji Tohjaya, tanah lapang menjadi sepi menyisakan lima tubuh tanpa nyawa dan lubang besar menganga. Sementara sejarak dua puluh tombak, diantara lebatnya semak belukar, sesosok tubuh hangus tergeletak tanpa nyawa, yaitu tubuh ki Soca Welirang. Sedangkan di sisi lain, juga sejauh kurang dari dua puluh tombak, ki Lurah Arya Dipa tergeletak tak sadarkan diri dan pakaiannya berlubang seperti bekas terbakar.

   Tadi, tatkala ilmu Rajah Kalapati menyeruak menghantam tubuh ki Lurah Arya Dipa, aji Niscala Praba  tertembus dan tubuhnya terserang tenaga jahat Rajah Kalapati. Untung saja tubuh ki Lurah Arya Dipa tersimpan tenaga dahsyat dari kitab Cakra Paksi Jatayu dan darah naga Anta Denta, yang dapat melawan balik ilmu lawan sehingga tidak dapat menggrogoti tubuhnya, seperti tubuh ki Panji Tohjaya. Selanjutnya kekuatan aji Gelap Ngampar dan Sepi Angin yang juga dimiliki ki Lurah Arya Dipa, menyeruak keluar kearah lawannya, dan saat bersamaan lawannya juga menerapkan aji Tapak Geni tingkat tinggi. Maka bertemulah tenaga - tenaga dahsyat, yang membuat dentuman keras menggelegar. Akibatnya tidak hanya tanah hancur saja, tubuh keduanya-pun tak pelak terhempas jauh. Dan kejadian seperti itu luput dari pengamatan Kyai Jalasutro.

  Baru kali inilah ki Lurah Arya Dipa mengalami perkelahian sampai - sampai tak sadarkan diri. Cukup lama matanya terpejam dan tubuhnya diam di bawah pohon. Sampai sang surya terbit dari langit timur, pemuda itu belum sadarkan diri. Hingga akhirnya sebuah suara merdu terdengar dan menghampiri tubuhnya.

   "Masih hidup, ayah."

   Orang yang dipanggil ayah itu bergegas berjongkok, kemudian memeriksa tubuh ki Lurah Arya Dipa dan orang itu menghela napas lega.

   "Sungguh hebat daya tahan pemuda ini." desis orang itu.

   "Apakah ayah akan menolongnya ? Apakah ayah tidak jera seperti waktu itu ?" tanya gadis yang pertama menghampiri tubuh ki Lurah Arya Dipa.

   Orang itu tersenyim mendengarkan pertanyaan sekaligus rasa was - was dari putrinya, "Nduk cah ayu, menolong orang yang menderita adalah pokok utama dari sifat manusia. Yang terpenting adalah menolong orang itu terlebih dahulu, masalah ia akan mengucapkan terima kasih atau malah membalas air tuba, janganlah kau risaukan."

   Putrinya menggeleng sambil menghela napas, tetapi tak menyanggah ucapan ayahnya. Malah kini matanya menatap wajah orang yang tak sadarkan diri itu. Tak dapat dipungkiri, tiba - tiba hatinya menilai wajah terpejam itu. Senyum tipis mengembang di bibir mungilnya, tapi selekas itu dicobanya untuk menampik angan - angan dari benaknya.

   "Kau tidak setuju dengan ucapanku, Nduk ?" tiba - tiba ayahnya bertanya dan itu membuat gadis itu gelagapan.

   "Ti.. tidak ayah.. " sahutnya seraya menundukan kepala, untuk menutupi rona merah diwajahnya.

   "Hm.. Sudahlah, sebaiknya kita bergegas membawanya."

   Orang itu meraih tubuh ki Lurah Arya Dipa dan dipanggul dipundaknya untuk kemudian dibawa pergi. Dibelakang, gadis putri orang itu, berjalan dengan sesekali memandang tubuh yang terjuntai dipundak ayahnya, entah apa yang ada dibenak gadis itu.

Kamis, 09 Maret 2017

Panasnya Langit Demak jilid 11

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 01
oleh : Marzuki

    Lewat setahun lamanya Arya Dipa berada di padepokan Karang Tumaritis. Keberadaannya di padepokan Telomoyo merupakan kebahagiaan tersendiri bagi para penghuni padepokan, khususnya bagi Panembahan Ismaya. Karena selain sebagai kawan berbincang, pemuda ini ikut membantu majunya padepokan Karang Tumaritis dalam berbagai bidang.

    Selain itu, pemuda ini tak segan - segan memberikan sumbangsihnya dalam bidang keprajuritan bagi cantrik yang akan mengabdikan diri mereka ke kotaraja atau kadipaten asal mereka. Bekal dasar berupa pengalaman pertama dalam dunia keprajuritan sangat berguna bagi para cantrik tersebut. Juga kemantaban hati dalam meraih cita - cita selalu dipupuk tanpa menimbulkan celah yang merugikan bagi diri meraka, yaitu dengan menghindarkan sifat tamak terhadap palungguhan.

   Cukup banyak cantrik padepokan Telomoyo yang memasuki pendadaran yang diselenggarakan oleh kesultanan Demak. Untunglah bekal yang mereka terima dari Arya Dipa yang dahulunya berpangkat Lurah prajurit, sangat membantu dalam melewati beberapa tahap pendadaran. Semuanya lulus dan diterima menjadi prajurit Demak tak terkecuali.

   Sementara itu, di hutan yang dijadikan tempat berburu Kanjeng Sultan, telah terjadi peristiwa yang menggemparkan. Seorang pemuda yang berjuluk Kebodanu, marah besar dan akan mengobrak - abrik perkemahan di mana Kanjeng Sultan Trenggono berada.

   Kebodanu ini rupanya seorang pemuda yang berasal dari tanah perdikan Banyubiru dan juga putra ki Ageng Gajah Sora. Juga dikenal dengan nama Arya Salaka atau Bagus Handoko. Dengan membawa tombak pusaka kyai Bancak, Kebodanu memimpin laskar Banyubiru yang terkenal trengginas serta berpengalaman dalam menghadapi berbagai perang gelar atau pun perang brubuh. Di dalam laskar itu juga hadir ki Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya, seorang bekas perwira Manggala Demak dan sekaligus guru Kebodanu.

   Laskar begitu banyaknya itu tentu saja cepat tercium oleh hidung tajam prajurit telik sandi Demak. Maka bergegas mereka melaporkan pergerakan pasukan yang tak dikenal itu kepada perwira pengawal Kanjeng Sultan. Sehingga membuat pemimpin pengawal keprajuritan Demak gusar bukan main. Pasalnya, prajurit yang mengawal Kanjeng Sultan dalam perburuan tak lebih dari seratus orang saja.

   "ki Lurah, ketiwasan..." seorang prajurit telik sandi, datang dengan napas tersengal - sengal.

   "Bicaralah yang jelas dan terang, prajurit.."

   "Ki Lurah, sebuah pasukan tanpa tanda pengenal sedang ke mari.."

   "He... !" Lurah pengawal itu terkejut, "Sudah di mana pasukan itu ?"

   Kemudian prajurit itu menunjukan ancar - ancar saat dirinya melihat iringan yang terlihat mengekor merayapi gumuk di barat dekat perkemahan. Terlihat perwira atasannya menunjukan wajah tegang, meskipun kemudian ia berusaha bersikap tenang dan berjalan menghadap senopati ki Panji Reksotani, untuk melaporkan adanya pasukan yang tidak dikenal.

   "Siagakan paukan pengawal dan perintahkan prajurit berkuda untuk mencari bantuan terdekat." kata ki Panji Reksotani, setelah mendengar laporan dari perwiranya.

   Keributan itu tak lepas dari pendengaran Kanjeng Sultan Demak. Betapa tenang sikap yang ditunjukan oleh putra ketiga Raden Patah itu. Menunjukan sikap sebagai seorang raja yang penuh wibawa tatkala mendengar kalau perkemahannya sedang dilanda prahara.

   "Hm... Sudah waktunya, apakah ini sudah waktunya, eyang ?" ucap Sultan Trenggono.

   "Sepertinya begitu, Cucunda Sultan." jawab seorang bangsawan tua yang duduk di samping Sultan Trenggono.

   Sultan Trenggono mengangguk perlahan. Diliarkan pandangannya ke segenap penjuru ruang perkemahan. Mata penuh wibawa itu menatap dua pemuda yang ia kenal lahir dan batinnya. Pemuda pertama seorang yang berkumis  dengan mata mengandung keganasan, yang dimiliki oleh putra mendiang Pangeran Sekar sedo ing lepen. Sedangkan satunya lagi yang duduk dibelakang bangsawan tua, yang ia kenal sejak pertemuannya di alas Ketonggo.

   "Dua pemuda yang mempunyai sifat bagaikan langit dan bumi." batin Sultan Trenggono, "Hm.. Mungkin bila aku tiada, Ananda Bagus Mukmin akan mendapat gangguan dari Ananda Arya Jipang. Meskipun saat ini ia tak berani menunjukan sikapnya secara terang - terangan terhadapku."

   Kemudian renungan Sultan Trenggono tertuju kepada pemuda satunya. Harapan besar telah ia tujukan kepada pemuda yang duduk di belakang bangsawan tua. Seorang pemuda berbaju kuning kecoklatan yang pernah mendapat hukuman berupa larangan memasuki kotaraja Demak.

   "Pengabdiannya sangat besar terhadap Demak. Waktu pendadaran ia mampu memimpin regunya dalam menumpas gerombolan di pesisir utara. Lalu ia juga pernah membuat pasukan di barat Jipang cerai berai, saat akan menyergapku. Juga terdengar kalau ia pernah menghadapi perwira Bang Wetan saat akan menyusup lewat Banyibiru." kata Kanjeng Sultan Trenggono.

   "Meskipin sejak awal ia akan aku anugerahi berupa warisan peninggalan kakeknya, paman Tumenggung Mahesa Praba, ia menolak dan memilih menjadi prajurit dasar. Hm... Apakah ini didikan ki Panji Mahesa Anabrang atau Resi Puspanaga ?"

   Lamunan Sultan Trenggono buyar manakala di luar sudah terdengar hiruk pikuk beradunya senjata. Rupanya pasukan yang dipimpin oleh Kebodanu sudah meluber memenuhi perkemahan dan menjadikan pertempuran yang seru. Meskipun pasukan pengawal terlihat terdesak, Sultan Trenggono belum memerintahkan orang - orang yang berada dalam ruang perkemahan, untuk bergerak.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 02
oleh : Marzuki

   Malam sebelum terjadinya penyerbuan, dua sosok bayangan dengan sebat melintasi semak belukar dan gerumbul perdu. Tiada yang mengira jika salah seorang dari sosok itu adalah Sultan Trenggono sendiri. Kanjeng Sultan yang ditemani oleh ki Panji Reksotani mencoba mengamati sebuah perkemahan yang didirikan oleh Laskar Banyubiru.

   "Mohon maaf Kanjeng Sultan, mengapa kita biarkan orang - orang Banyubiru dan Pamingit itu ?'" sebuah suara mengajukan pertanyaan.

   "Bersabarlah, ki Panji. Kita ke sini hanyalah mengamati saja." jawab sosok satunya.

   Perkemahan yang diamati itu sangatlah ketat dengan penjagaan yang rapat. Menunjukan betapa Laskar ini setara dengan keterampilan seorang prajurit saja. Tak heran hal itu membuat Kanjeng Sultan memuji kesigapan daripada Laskar itu. Itu semua tak lepas dari tuntunan yang diberikan oleh seorang bekas prajurit Wira Manggala.

   "Lihatlah, ki Panji. Tohjaya sangat terampil dalam melakukan pembelajaran terhadap pengawal - pengawal Banyubiru."

   Ki Panji Reksotani mengangguk, "Benar, Kanjeng Sultan. Walau begitu akankah bentrokan harus terjadi di esok hari ?"

   "Ijinkanlah, hamba untuk bertindak." ki Panji Mencoba mendapatkan perintah untuk mengobrak - abrik perkemahan Laskar Banyubiru.

   Kembali Sultan Trenggono menggelengkan kepalanya. Sebenarnya putra ketiga Raden Patah itu juga tak senang dengan tindakan yang dilakukan oleh Laskae Banyubiru yang dipimpin oleh Arya Salaka. Tetapi seseorang mencoba menenangkan hati Sultan Trenggono dan mengatakan kalau itu semua hanyalah sebuah permainan saja.

   Dalam pada itu, dua sosok muncul mendekati Sultan Trenggono dan ki Panji Reksotani. Seorang yang lanjut usia dan seorang lagi masih muda. Kedua sosok itu mengucapkan salam dan mengangguk hormat.

   "Oh, kau rupanya eyang." ucap Sultan Trenggono.

   Orang yang dipanggil eyang itu tersenyum, "Rupanya Cucunda memastikan dengan menilik secara langsung."

   Lalu lanjutnya, "Malam ini tak akan terjadi apa - apa, Cucunda. Gajah Sora dan Tohjaya tentu akan selalu menjaga Arya Salaka sampai esok hari."

   "Hm.. Eyang, lalu bagaimana nanti jika para Nayaka Praja di kotaraja jika mendengar apa yang terjadi di bukit Prawoto ? Bukankah mereka akan menudingkan telunjuk ke Banyubiru untuk digulung karena telah melakukan penyerangan terhadapku ?"

   Orang tua yang ternyata Panembahan Ismaya itu, menggelengkan kepalanya.

   "Cucunda pasti dapat menjelaskan dengan gamblang. Kalau itu semua hanyalah salah paham saja." kata Panembahan Ismaya, lalu lanjutnya, "Putra ki Ageng Banyubiru sedang gelap mata karena calon istrinya dilarikan seseorang yang berada dalam perkemahan Cucunda. Dan menganggap Cucunda berpihak kepada orang yang membawa kabur calon istri Arya Salaka."

   "Hm... Kau dengar sendiri ki Panji Reksotani."

   "Kasinggihan dawuh, Kanjeng Sultan." sahut ki Panji Reksotani.

   "Tak mengapa. Dengan dirimu aku sangat percaya." kembali Sultan Trenggono berkata kepada ki Panji Reksotani, lalu dipandangi wajah seseorang yang berdiri dibelakang Panembahan Ismaya, dan katanya, "Kilatmaya.."

   "Hamba, Kanjeng Sultan." sahut Kilatmaya atau Arya Dipa, sembari mengangguk hormat.

   "Eyang Buntara dan Kanjeng Sunan Kalijaga sudah mengatakan semua tentang tugas yang kau emban. Meskipun kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten tak dapat kau dapatkan, tetapi kau sudah mendapatkan kyai Sangkelat dengan membenturkan jiwamu menghadapi tokoh kanuragan dari Bang Wetan." sejenak Sultan Trenggono menghirup napas dan kemudian lanjutnya, "Karenanya, kau mulai malam ini mulai bebas dari hukumanmu dan kau akan kembali mendapatkan palungguhanmu sebagai Lurah Wira Tamtama."

   Getar hati pemuda itu bercampur aduk tak karuan. Akhirnya ia dapat kembali memasuki dunia keprajuritan dan dapat mengabdikan diri dekat dengan Demak.

   "Hamba, Kanjeng Sultan."

   "Dan untuk Eyang, aku harap mau mengikutiku ke perkemahan sampai kejadian ini tuntas sampai akhir."

   "Apakah ini menjadi sebuah tanggungan yang aku pikul, Cucunda ?" tanya Raden Buntara dengan senyum mengembang.

   Kanjeng Sultan-pun terlihat tersenyum, "Nasehat - nasehat dari Eyang-lah yang membuatku ingin menahan Eyang untuk tinggal sementara di bukit Prawoto."

   Ke-empat orang itu kemudian bergerak menuju perkemahan pasukan Demak tanpa sepengetahuan para pengawal prajurit.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 03
oleh : Marzuki

   Sinar terik sang surya rupanya tak seperti hari sebelumnya. Kali ini suara hentakan dan gesekan senjata terdengar meramaikan bukit Prawoto. Seorang anak muda dengan tandang yang mendebarkan membuat beberapa prajurit terhempas.

   "Minggir kalian ! Mana Karebet... !" seru pemuda itu.

   " He.. Siapa kamu yang berteriak lancang di depan perkemahan Kanjeng Sultan !" bentak seorang Lurah prajurit.

   Sambil bertolak pinggang Arya Salaka berkata lantang, "Inilah aku Kebodanu... !"

   "Pemuda kurang tata... !" bentak Lurah prajurit dengan kerasnya sambil berlari menyerang Kebodanu.

   Pedang tajam Lurah prajurit sudah terlepas dari warangkanya dan menebas tubuh lawannya. Namun rupanya lawan yang terlihat masih sangat muda itu, dengan mudah menghindari senjatanya. Bahkan sebuah sentuhan dari tangan lawan mengakibatkan pergelangan tangannya bagaikan diselomoti api. Hampir saja pedangnya lepas dari pegangan andai saja Lurah prajurit itu tak dapat mempertahankan dengan sekuat - kuatnya.

   Tak ingin diremehkan seperti serangan pertama, Lurah prajurit kembali bertindak. Kali ini ia lebih bersungguh - sungguh dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Cukup hebat juga tata gerak Lurah prajurit dari Wira Manggala ini. Kakinya yang secepat mengisar tanah telah bergerak menendang dada lawan. Bukan hanya itu saja, serangan itu berlanjut menggunakan pedangnya mengarah lawan yang akan kembali menghindari serangan pertama tadi.

   "Triiing... !"

   Wajah Lurah Wira Manggala menegang manakala mendapati pedangnya rompal dan hampir saja tubuhnya terkena gebukan tombak lawan. Tetapi sebagai seorang prajurit, hatinya terlatih menjadikan ketabahan dalam menghadapi maut yang datang sewaktu - waktu. Sebuah tata gerak meloncat mundur demi mendapatkan luang telah diperolehnya, lalu sekuat - kuatnya pedang ia lemparkan membidik tubuh lawan.

   Bidikan itu bukanlah bidikan biasa. Sebagai anggota pasukan Wira Manggala dan bahkan dengan jenjang kepangkatan Lurah, bidikan itu dilambari tenaga cadangan. Dan Lurah prajurit itu sangat yakin jika bidikannya akan tepat mengenai sasaran.

   Tetapi sebuah rencana yang dianggapnya sangat matang, jauh dari ketetapan yang diterima. Lawannya bukanlah lawan yang biasa, melainkan seorang pemuda keturunan Sora Dipayana dari Banyubiru, sekaligus murid kinasih dari Mahesa Jenar yang bersumber dari ilmu Pengging. Pedang yang dilemparkan putung tak karuan akibat dari tebasan tombak kyai Bancak.

   "Istirahatlah, ki Lurah.. " sebuah suara menegur Lurah prajurit.

   Lurah prajurit dan Kebodanu langsung mencari sumber suara itu. Terlihatlah seorang pemuda yang ditemani oleh seorang manusia memakai topeng.

   "Karebet... !" geram Kebodanu, tetapi wajahnya seketika mengkerut keheranan manakala memandang orang yang berada dibelakang Mas Karebet, "Kakang Kilatmaya... ?"

   "Iya, adi. Ini aku, Kilatmaya." sahut orang bertopeng, lalu katanya kembali, "Hentikan tingkah lakumu ini, adi."

   Sesaat Kebodanu mengalami kebimbangan. Ia tahu betul sosok bertopeng itu. Tetapi demi melihat wajah Mas Karebet, api yang hampir redup telah menyala kembali.

   "Tidak kakang !" serunya, "Sebagai seorang yang jantan, aku akan mengobrak - abrik siapa-pun yang berani melarikan calon istriku !"

   Kilatmaya dibalik topengnya tersenyum, "Lalu, apakah Kanjeng Sultan juga akan kau libatkan, adi ?"

   "Lihatlah sekitarmu dengan nalar yang bening. Bila kau meneruskan apa yang kau lakukan bersama Laskarmu, berarti seluruh kawulamu siap dicap sebagai pemberontak. Dan bukankah kau tahu hukuman bagi mereka yang memberontak sebuah pemerintahan yang sah ?!" kembali Kilatmaya bersuara.

   Belum lagi Kebodanu menjawab, Mas Karebet telah mendahuluinya, "Sudahlah, kakang Kilatmaya. Biarlah aku yang berbicara dengan adi Arya Salaka."

   Kilatmaya mengangguk. Sedangkan Arya Salaka terlihat napasnya kembang kempis menahan kemarahan.

   "Dengarlah, adi Salaka. Hentikan pertempuran antara Laskarmu dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan. Biarlah kita yang melakukan perang tanding." kata Mas Karebet.

   Arya Salaka akhirnya menerima tantangan dari putra ki Ageng Pengging Anom itu. Isyarat melalui tangannya telah menghentikan pertempuran yang terjadi. Tergantikan sebuah perang tanding yang melibatkan dirinya dengan Mas Karebet.

   Sementara itu tak jauh dari medan, seorang pemuda menunjukan wajah masam. Pemuda berpakaian layaknya seorang bangsawn itu terlihat tak menyukai apa yang terjadi di depan perkemahan Kanjeng Sultan Demak.

   "Paman Tumenggung, sebaiknya kita pergi saja." desis pemuda itu.

   "Tenangkan hati Raden. Kita lihat sampai tuntas permainan itu." sahut orang yang dipanggil Tumenggung itu.

   Kembali ke tengah kalangan, kedua pemuda yang masing - masing memiliki kemampuan mendebarkan itu, saling mempersiapkan diri. Kuda - kuda kokoh terlihat sama, menandakan tata gerak yang mereka lakukan dari sumber yang sama. Arya Salaka dan Mas Karebet mencoba mengadukan ilmu dari sumber Pengging.

   "Hiaaaaat.... !"

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 04
oleh : Marzuki

   Teriakan dahsyat mengawali adu kerasnya tulang, liatnya daging. Olah kanuragan dari sumber yang sama berbenturan dengan serunya. Loncatan kecil dan panjang ikut nampak mengiringi sentuhan - sentuhan ke tubuh masing - masing lawan. Yang tentunya ditanggapi dengan menghindarkan serangan dengan cara mengisarkan tubuh, melengos, atau-pun melenting jauh.

   Semua orang yang melihat sungguh kagum dengan apa yang mereka lihat. Tetapi tidak sedikit yang cemas mengenai keduanya, yaitu ki Mahesa Jenar, ki Ageng Gajah Sora, ki Kebo Kanigara, Rara Wilis, Endang Widuri dan yang lainnya.

   "Adi Mas Karebet, tentu dapat mengekang dirinya. Dan jika perlu, Eyang Panembahan atau Kanjeng Sultan akan melerainya." desis Kilatmaya.

   Suatu kali tangan Kebodanu melaju dengan keras menyasar dada Mas Karebet yang terlihat terbuka. Sekilas, Mas Karebet tak bergerak sedikit pun karena waktu untuk menghindar atau-pun menangkis sudah terlambat. Kepastian yang bakal terjadi tentu luka yang didapat oleh putra mendiang ki Ageng Pengging Anom.

   "Desss..... "

   Tangan keras Kebodanu berhasil mengenai dada lawannya. Namun raut wajah lawannya tak menampakan rasa sakit, meskipun tubuhnya terdorong dua - tiga tindak. Bahkan kuda - kuda yang kokoh sudah terpasang berlanjut tata gerak yang cepat penuh tenaga.

   "Apa tenaga banteng Banyubiru hanya sampai disini ?!" ucap Mas Karebet.

   "Huh... " geram Kebodanu, sembari beringsut menghindari tapak tangan lawan.

   Berlanjut-lah perkelahian itu disaksikan puluhan pasang mata. Tata gerak yang rumit dan penuh tenaga seiring waktu terus meningkat. Peluh yang mulai membasahi badan dan pakaian menjadikan keduanya bagai dua banteng yang merebutkan betinanya. Saling pukul, terus terulang bersamaan datangnya sepakan keras atau-pun dupakan penuh bahaya.

   Adu ilmu terus berlanjut sampai merambah tenaga cadangan. Udara disekitar keduanya mulai bergolak teraduk ganasnya tenaga jiwa muda Kebodanu putra Banyubiru dan Mas Karebet putra Pengging. Tanah yang dipijak bagaikan terkena bajakan petani dan daun yang menguning berhamburan jatuh lunglai ke bumi. Begitu-pun dengan para prajurit dan Laskar, menyingkir agak menjauh supaya tak terkena angin yang tajam akibat ilmu dua pemuda digdaya.

   Di kala itu, sosok pemuda yang tiada lain Raden Arya Jipang, terlihat mendongkol dengan tingkah laku dari Kebodanu dan Mas Karebet. Dalam hati pemuda itu, terbersit rasa tak senang terhadap keduanya. Apalagi diakhir - akhir ini, Raden Arya Jipang mendengar desas - desus mengenai putri pamannya yang akan dikawinkan dengan pemuda dari Pengging. Padahal pemuda itu hanyalah prajurit rendahan yang pernah melakukan kesalahan saat penerimaan prajurit baru Demak.

   "Paman Tumenggung.. "

   "Iya, Raden." sahut orang disamping Raden Arya Jipang.

   "Sebenarnya siapa pemuda Karebet itu ?"

   "Hm... Menurut laporan orang - orang kita, dia putra angkat nyi Ageng Tingkir. Dan ternyata, dia merupakan putra mendiang Raden Kebo Kenanga dari Pengging."

   "Raden Kebo Kenanga yang mendapat hukuman dari bapa guru Sunan Kudus itukah ?" tanya Raden Arya Jipang.

   Orang yang disebut paman Tumenggung itu mengangguk, "Benar, Raden. Orang yang mendapat hukuman dari Sultan Demak pertama, karena menganut ilmu Manunggaling Kawulo Gusti dari Syeh Lemah Bang."

   "Hm... Bila perkawinan itu berlangsung, itu sebuah tanda kalau pamanda Sultan Trenggono sudah terbalik hati dan pikirannya." desis Raden Arya Jipang.

   "Aduh, Raden. Mohon jangan berkata yang membahayakan jiwa Raden. Tempat ini banyak orang - orang yang tak sepaham dengan kita." bergegas orang itu menegur Raden Arya Jipang.

   "Ingat Raden, kekuatan kita barulah sekuku ireng bila dibandingkan kekuatan mereka. Serta waktunya belumlah menguntungkan bagi perjuangan kita." kembali orang itu berkata pelan.

   Mendengar itu, Raden Arya Jipang mengangguk dan membenarkan. Meskipun dalam hati tersimpan bara yang bergejolak hebat untuk menghanguskan orang - orang yang terlibat atas kematian Ayahnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 05
oleh Marzuki

   Tak terasa perang tanding antara Arya Salaka dan Mas Karebet sudah hampir mendekati akhir. Keduanya siap mengungkap ilmu pamungkas masing - masing. Nampak semakin nyata diperlihatkan bagaimana Arya Salaka memasang kuda - kuda yang kokoh dalam lambaran aji Sasra Birawa, warna terang memercik dari kepalan tangan pemuda itu. Sedangkan di depan, tak kalah menakjubkan adanya cahaya hijau kebiruan menyelimuti tubuh Mas Karebet, yang sudah mempersiapkan aji Lembu Sekilan.

   Beberapa wajah semakin tegang menyaksikan sikap daripada pemuda - pemuda pilih tanding. Terutama ketegangan itu terpancar dari wajah ki Ageng Gajah Sora, ayah Arya Salaka.

   "Aku akan menghentikan semuanya... " desis ki Ageng Gajah Sora, perlahan.

   Walau kata itu sangat lirih, ki Mahesa Jenar yang dekat dengan kepala tanah perdikan Banyubiru itu, mendengar juga. Oleh karenanya dengan cepat ki Mahesa Jenar menggamit kawannya supaya tak beranjak dari tempatnya.

   "Tenangkan hatimu, kakang.. " bisik ki Mahesa Jenar.

   Bagaimana bisa tenang seorang ayah yang akan menyaksikan anaknya berhadapan dengan maut ? Ki Ageng Gajah Sora tahu betul kehebatan aji yang diterapkan oleh Jaka Tingkir itu. Ilmu yang menurut penuturan dari orang - orang tua dahulu, pernah dimiliki juga oleh Mahapatih Gajah Mada, mampu melontarkan tenaga dahsyat yang dilancarkan lawan kembali kepemiliknya lagi.

   "Adi, Sasra Birawa akan mental ke tubuh putraku. Bagaimana aku dapat bersikap tenang ?"

   Ki Mahesa Jenar menghela nafas sejenak dan kemudian ucapnya, "Percayalah dengan kemampuan putramu, kakang. Biarlah permainan ini cepat selesai.."

   Mata ki Ageng Gajah Sora hampir tak berkedip. Apa maksud dari ucapan yang ia dengar dari kawan setianya iti ? Apalagi terlihat sunggung aneh disudut sahabatnya.

   Tiba - tiba suara ledakan keras terdengar menggemparkan bukit Prawoto. Rupanya aji Sasra Birawa meluncur deras menghantam kokohnya benteng kasat mata aji Lembu Sekilan. Debu tebal menghambur mengaburkan pemandangan ditengah kalangan. Namun sesaat terlihat sesosok tubuh mencelat dan bergulingan ke tanah.

   "Putraku..... !" teriak ki Ageng Gajah Sora dan ki Mahesa Jenar.

   "Adi Salaka.... " seru Kilatmaya.

   Memang kedahsyatan aji Sasra Birawa sangatlah besar yang diterapkan oleh Arya Salaka. Tetapi serangan itu membal ke tubuh pemuda itu kembali, sehingga membuatnya mencelat. Untunglah pemuda itu sudah digembleng oleh ki Mahesa Jenar dan beberapa orang tua, yang dapat membuat tubuhnya tetap utuh dari gempuran balik tenaganya.

   Perlahan Arya Salaka menyadari apa yang terjadi dan berusaha mengumpulkan tenaganya untuk bersila dan melancarkan peredaran darah dalam tubuhnya. Pening di kepala berangsur hilang, hanya saja dadanya masih terasa sesak bagaikan tersumbat batu sebesar anak kerbau.

   Saat itulah dari dalam kemah munculah beberapa orang dan mendekati kalangan. Perbawa dari orang yang berada paling depan, mampu membuat semua orang menunduk hormat. Rupanya Kanjeng Sultan Trenggono, sudah berpikiran untuk saatnya menyelesaikan permainan ini. Tentunya ditemani oleh Raden Buntara, salah seorang pangeran dari garis Majapahit.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 06
oleh Marjuki

   Dengan penuh wibawa, Kanjeng Sultan Trenggono memerintahkan agar supaya perang tanding antara Mas Karebet dan Arya Salaka, dihentikan. Juga tidak lupa meredekan suasana tegang yang menyelimuti bukit Prawoto dari Laskar Banyubiru maupun, pasukan pengawalnya. Tidak ketinggalan, walaupun sebagai seorang pemimpin tertinggi di tanah Jawa, beliau menyapa beberapa orang sepuh yang hadir dalam permainan ini. Yaitu, ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul dan ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru.

   "Agar suasana ini semakin semarak layaknya pertemuan antara kerabat sendiri, sudilah kalian semua singgah ke barak perkemahanku." kata Kanjeng Sultan Trenggono.

   "Segala titah Kanjeng Sultan, kami junjung tinggi... " seru sekalian dengan serentak.

   Mereka pun dijamu dengan hangat oleh Sultan Trenggono. Seolah tiada sesuatu yang terjadi saat sebelumnya. Dan memang kejadian tadi hanyalah sebuah permainan yang diramu oleh Pangeran Buntara dalam rangka mengembalikan Mas Karebet ke lingkup Demak. Juga menilik kehebatan Arya Salaka dimata Sultan Trenggono, sehingga menjadikan putra Banyubiru sebagai salah satu banteng bagi Demak, dimasa yang akan datang.

   Bukan hanya itu saja, kegembiraan sang Sultan semakin bertambah manakala juga hadir seseorang yang dahulu merupakan bagian Tamtama pasukan Demak, yaitu ki Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya. Rangga yang kini menjadi seorang yang dielu - elukan oleh kawula alit sebagai seorang yang berlaku kebajikan dalam menumpas segala tindakan yang menyimpang dari paugeran. Dia juga yang sangat gigih dan bertanggungjawab mencari pusaka Demak yang hilang dengan mempertaruhkan jiwa raganya, hingga dirinya telah dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Itu semua sudah terpikirkan oleh Sultan Trenggono setelah mendengarnya dari Pangeran Buntara.

   Karenanya, setelah menjelaskan dan menerangkan kejadian yang baru saja terjadi, Kanjeng Sultan Trenggono dan Pangeran Buntara menyanggupi seluruh keberlangsungan pernikahan antara ki Mahesa Jenar dan Rara Wilis cucu ki Ageng PandanAlas. Serta pernikahan Arya Salaka dan Endang Widuri.

   Bukan hanya itu saja, hal paling utama akan terjadi di kotaraja, dimana Putri Mas Cempaka akan disandingkan dengan Mas Karebet. Tentu saja warta itu membuat semua yang hadir meluapkan kegembiraan tak terkira. Rupanya sebentar lagi akan berlangsung keramaian di kotaraja dan Banyubiru. Kawula akan mendapat hiburan kesenian tak hanya semalam saja, tapi sepasar tiada henti - hentinya.

   Dalam pada itu, Pangeran Buntara mendekati Kilatmaya. Digamitnya bahu pemuda bertopeng itu dan diajak keluar. Udara diluar terasa lebih segar dan membuat tubuh bergairah dalam mengucap rasa syukur.

   "Angger, Kilatmaya.. " ucap Pangeran Buntara atau Panembahan Ismaya.

   "Iya, Eyang Panembahan.. "

   "Kau pun sudah waktunya membangun rumah tangga. Aku sudah mendengar kalau ada seseorang yang merindukanmu di kotaraja." kata Panembahan Ismaya.

   Tak terasa kepala pemuda itu menunduk. Sekian lama ia meninggalkan belahan hatinya yang rupanya masih setia menunggunya.

   Belum lagi Kilatmaya menjawab, Panembahan yang sudah kenyang dengan dunia ini, telah berkata sareh seakan disampingnya itu adalah cucunya sendiri.

   "Kali ini kau harus memikirkan keadaan dirimu sendiri, ngger. Karena aku merasakan untuk saat - saat ini Demak akan diselimuti kain tebal yang sulit diguncang. Oleh karenanya, tepatilah janjimu kepada kekasihmu itu.."

   Sebenarnya Kilatmaya atau Arya Dipa sendiri juga memikirkan apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya. Hatinya sudah mantab untuk segera membina rumah tangga bersama Ayu Andini. Karenanya ia-pun mengatakan dengan sejujurnya niatnya kepada Panembahan Ismaya.

   "Syukurlah jika angger berniat menyegerakan hubungan angger dengan nimas Ayu Andini.. " ucap Panembahan Ismaya.

   Waktu-pun berlalu dengan semestinya. Keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten sudah menempati ruang pembedaharaan kesultanan Demak Bintara. Serta beberapa waktu yang lalu, kotaraja nampak semarak dengan hiasan janur menandakan adanya penyelenggaraan perkawinan Putri Mas Cempaka yang disandingkan dengan Mas Karebet.

   Tak berpaut jauh dari kotaraja, dikediaman Panji Mahesa Anabrang juga melangsungkan perkawinan putra angkatnya, Arya Dipa. Penyelenggaraan yang diadakan secara sederhana itu rupanya tak menyurutkan sanak kadang yang bertempat jauh dari kotaraja. Hadir beberapa orang - orang yang sangat mengagumi Arya Dipa, dari Bang Tengah maupun Bang Wetan. Begawan Bancak atau Begawan Jambul Kuning bersama murid dan saudara seperguruannya telah datang sepasar sebelumnya. Juga Resi Puspanaga yang semakin tua tidak ketinggalan menyaksikan muridnya bersanding dengan putri angkat Resi Citrasena.

  Semaraklah kediaman ki Panji Mahesa Anabrang kala itu. Semuanya membicarakan kebahagiaan saja dengan riuhnya canda tawa. Tak lupa sebagian pemuda mencoba menggoda pengantin lelaki, hingga membuat Arya Dipa merah pipinya dan menundukan kepalanya. Rupanya seorang pemuda yang perkasa di medan perang, bertekuk lutut oleh candaan kawan - kawannya. Aji Niscala Praba, Sepi Angin dan Gelap Ngampar tak berdaya sedikit-pun.

   Menjelang siang, serombongan orang berkuda meriuhkan jalan di depan kediaman ki Panji Mahesa Anabrang. Rombongan itu ternyata adalah Kanjeng Sultan Trenggono yang diiringi oleh Adipati Anom dan juga putra menantunya. Bingunglah jadinya ki Mahesa Anabrang mendapati kunjungan sang nata Demak, walau hanya sesaat.

   Tak terlalu lama iringan Kanjeng Sultan berada dikediaman ki Panji Mahesa Anabrang, setelah mengucapkan selamat serta memberi petuah, beliau-pun kembali ke keraton, diantar oleh orang tua sampai di depan regol. Sepeninggal Sultan Trenggono, kediaman ki Panji Mahesa Anabrang masih ramai dihadiri sanak kadang dan undangan. Mereka bersuka cita atas menyatunya hubungan Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini, dalam membentuk sebuah keluarga.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 7
oleh : Marzuki

   Setahun lamanya setelah kemelut di bukit Prawoto, suasana Demak terlihat tenang tiada pergolakan. Pasukan Demak yang berada di Purbaya berhasil mendesak pasukan Bang Wetan. Kini Purbaya untuk sementara dibawah kendali Pangeran Timur, putra bungsu Sultan Trenggono.

   Dalam pada itu, di Demak sendiri muncul warta yang mengatakan adanya rencana Kanjeng Sultan untuk menyatukan telatah Bang Wetan ke dalam naungan Demak Bintara. Namun, sebelumny rencana itu harus ditunda dahulu, dikarenakan adanya sesuatu yang mendesak dan sangat penting. Yaitu mengenai telatah Jipang dan Pengging.

   "Kakang Patih, apakah Mas Karebet dan Arya Jipang sudah kau panggil ?" tanya Kanjeng Sultan Trenggono disuatu kali.

   Patih Wanasalam anom menghaturkan sembah dan barulah menyahut, "Hamba, Kanjeng Sultan. Ananda berdua sudah tiba dan siap menghadap."

  "Hm.. Suruh keduanya menghadap.. "

   Patih Wanasalam Anom memberikan isyarat kepada prajurit dalem untuk memanggil Mas Karebet dan Arya Jipang. Dan tak berselang lama, dua lelaki muda dengan perawakan gagah, memasuki ruang paseban dengan laku ndodok. Keduanya menghaturkan sembah layaknya seorang abdi terhadap gustinya, dan duduk bersila dengan kepala menunduk menatap lantai.

   "Ananda berdua.. " ucap Sultan Trenggono.

   "Hamba, Pamanda Sultan.. " sahut Arya Jipang.

   Sedangkan Mas Karebet juga tak ketinggalan, "Hamba, Ayahanda Sultan.. "

   Kanjeng Sultan mengangguk dan  menjelaskan kenapa beliau memanggil keduanya. Tiada lain pemanggilan keduanya mengenai berlangsungnya tata prajan di telatah Jipang maupun Pengging yang sudah lama kosong dari seorang penguasa. Maka untuk mengisi kekosongan itu, Sultan Trenggono yang sebelumnya sudah memperundingkan dengan sesepuh Kesultanan, menetapkan Arya Jipang sebagai Adipati baru di Jipang, dan juga menetapkan Mas Karebet menjadi Adipati di bekas telatah Pengging.

   Kemurahan berupa pengangkatan kedua pemuda pilih tanding itu, membuat keduanya bergegas mengucapkan banyak terima kasih. Tetapi agak berbeda dengan apa yang ada dalam hati Arya Jipang. Putra mendiang Pangeran Sekar itu menganggap kalau pengangkatan dirinya sangatlah lumrah, dan terkesan ada niat dibalik semua itu. Terutama ini menyangkut hubungan dirinya dengan pamannya, yang ia yakini ikut melenyapkan ayahandanya.

   Meskipun begitu, ia masih sadar siapa dirinya. Saat ini jalan yang paling baik ialah berlaku tenang tanpa menimbulkan gejolak, seperti yang dipesankan oleh Tumenggung Prabasemi atau-pun Tumenggung Haryo Kumara. Bahkan jika ia menerima pengangkatannya menjadi penguasa Jipang, ia akan lebih leluasa menggalang kekuatan sebanyak - banyaknya. Apalagi saat ini padepokan Sekar Jagat dibawah kepemimpinan Patih Mentahun, sepenuh tenaga mendukungnya. Juga beberapa perguruan disekitar Jipang.

   Maka sudah ditetapkan oleh Kanjeng Sultan, secepatnya kedua pemuda itu dengan didampingi oleh seorang Panji per-orangnya, akan mempersiapkan segala bentuk alat pemerintahan sebuah kadipaten. Mulai dari bangunan kadipaten, Nayaka Praja, perbendaharaan, umbul - umbul berupa rontek maupun panji dengan lambang bercirikan kadipaten tersebut, serta kelengkapan prajurit. Tak ketinggalan kadipaten itu harus menetapkan pamong praja dibawahnya dengan baik.

   Jika Jipang yang hanya melakukan perubahan sedikit, lain halnya dengan telatah bekas Pengging. Mas Karebet harus bekerja dengan keras untuk kembali meramaikan kadipaten yang akan dipimpinnya. Karenanya ia meminta bantuan uwaknya dan beberapa sesepuh, dalam membentuk kekuasaannya atas limpahan dari Demak. Dan atas pertimbangan dari uwanya ki Kebo Kanigoro, dicarilah sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari bekas kadipaten Pengging. Disanalah nantinya sebuah bangunan akan didirikan.

   Di kala pembangunan mulai dilaksanakan, Mas Karebet tiada menyangka kalau kawan - kawannya banyak yang datang dan membantunya. Dari Sela sebuah iringan dipimpin oleh Pemanahan dan Penjawi datang dengan peralatan yang memadai. Lalu Banyubiru nampak hadir putra ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka disertai pengikutnya. Juga hadir dari Butuh dan Tingkir.

   "Terima kasih, kakang berdua sudi datang kemari.. " ucap Mas Karebet menyambut Pemanahan dan Penjawi.

   "Hee, Adi. Bukankah kita bertiga sudah bersumpah dihadapan Kanjeng Sunan Kalijaga, kalau kita akan selalu bersama ?" kata Pemanahan, "Karenanya setelah kami mendengar kalau adi mendapar perintah membuka kembali telatah ini, kami bergegas kemari."

   "Benar, adi. Itu semua karena persaudaraan yang kita jalin." tukas Penjawi, "O, ya. Kakang Juru Mertani menitipkan pesan kepadamu, Adi."

   Mas Karebet baru menyadari kalau dari tadi ia tak melihat saudara seperguruannya yang tertua, "Apa dia tidak ikut bersama kakang berdua ?"

   "Begitulah.. Saat ini ada sesuatu hal yang harus ia kerjakan. Tetapi tenanglah, suatu kali ia akan berkunjung kemari." jawab Penjawi.

   Mas Karebet menggangguk. Ia pun juga menyambut sahabatnya yang lain. Ada ki Wuragil, Wila dan Mas Manca dari Butuh, yang pernah bersamanya saat menghadapi puluhan buaya putih. Semakin riuhlah suasana di tempat itu.

   Di hari berikutnya, mulailah perkerjaan untuk meratakan tanah dari pohon, ilalang, semak belukar atau-pun batu. Sebagaian yang lain mendapat tugas ke Pengging untuk mengambil batu yang sudah dibentuk menjadi ompak. Rupanya sebelumnya, ki Kebo Kanigoro sudah memesan ompak kepada seorang pengrajin batu di Pengging. Lainnya lagi bertugas ke sebuah hutan yang ditumbuhi pohon jati yang berukuran besar - besar, untuk nantinya dijadikan tiang bangunan utama.

   Pembagian tugas berjalan dengan baik. Pekerjaan di hari pertama berjalan lancar tiada suatu halangan. Sebagian kecil sudah didirikan barak sementara sebagai tempat bermalam serta tidak lupa sebuah dapur telah siap menjadi penopang para pekerja. Karena dari dapurlah sebuah tenaga sangat diperlukan oleh seorang manusia yang mengerjakan tugas sehari - hari.

   Sang waktu berjalan tiada henti. Semakin hari telatah yang sebelumnya sebuah hutan, mulai menampakan suasana baru sebuah permukiman. Sebuah pagar terlihat berdiri mengelilingi beberapa bangunan dengan kokohnya. Bukan hanya itu saja, di dalam pagar setinggi dua kali orang dewasa itu juga mulai terbentuk sebuah paugeran dan tata pemerintahan. Mas Karebet bersama - sama orang - orang tua seperti ki Kebo Kanigoro, ki Ageng Butuh, ki Ageng Ngerang, ki Ageng Banyubiru dan ki Ageng Selo, mulai membentuk tata prajan yang akan memilah dan menempatkan orang - orang yang tepat. Oleh karenanya, dengan hati - hati mereka menilai siapa saja yang pantas berada dalam susunan nayaka praja dan bidangnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 8
oleh Marzuki

   Malam itu, seperti malam sebelumnya, dimana sesepuh merundingkan susunan praja dan juga sebuah tetenger kadipaten yang akan berjalan ini. Dari ki Kebo Kanigoro, sebaiknya nama Pengging diharap tidak dipakai lagi.

   "Apa alasan kakang Kanigoro mengenyampingkan nama Pengging ?" ki Ageng Gajah Sora agak heran.

   Sebelum menjelaskan, ki Kebo Kanigoro menggeser duduknya. Lalu ucapnya, "Adi Gajah Sora. Aku mengusulkan hal itu, supaya masa lalu antara Demak dan Pengging terlupakan. Aku tak ingin jika nantinya jika Anakmas Karebet menjadi Adipati, permasalahan antara ayahnya dan mendiang Sultan Patah, diungkit - ungkit kembali."

   Para sesepuh mengangguk memahami maksud ki Kebo Kanigoro.

   "Lalu, kita sebut apa telatah ini pada nantinya.. ?" kini giliran ki Ageng Butuh yang bersuara.

   Suasana hening beberapa saat. Hingga suara binatang malam yang berada diluar terdengar nyaring. Suara cengkerik berderik - derik, seakan ingin mengusulkan sebuah nama. Tetapi kuasa Sang Illahi membuat kedua mahkluk ciptaan-NYA itu, tiada memahaminya.

   Suatu kali barulah sebuah suara dari pojokan terdengar meminta waktu untuk menyampaikan perkataan. Dan semua orang langsung tertuju ke arah suara tersebut.

   "Oh, Anakmas Lurah Arya Dipa. Adakah sesuatu yang ingin anakmas usulkan ?" tanya ki Kebo Kanigoro.

   Memang orang tadi ialah Lurah muda Tamtama dari Demak yang tiada lain ialah Lurah Arya Dipa. Tadi pagi ia baru datang mengiringi seorang Tumenggung Wreda atas perintah Sultan Trenggono dengan tugas menilik telatah yang akan dijadikan kadipaten oleh Mas Karebet. Sebelum sampai ditempat yang dituju, Lurah Arya Dipa berjumpa dengan Waliullah dari Kadilangu. Rupanya Waliullah tersebut menitipkan pesan kepada Lurah Arya Dipa, untuk disampaikan kepada para tetua yang sedang ikut membangun sebuah kadipaten.

   "Paman Kanigoro, dan para sesepuh sekalian. Sewaktu tadi aku dalam perjalanan, aku bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau menitipkan pesan berupa nama telatah ini." ucap Lurah Arya Dipa.

   Semua orang saling berpandangan satu dengan lainnya.

   Selanjutnya Lurah Arya Dipa menuturkan pesan yang ia dapat dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dimana beliau menyampaikan sebuah tetenger dari tempat yang akan menjadi sebuah kadipaten baru dibawah kekuasaan Demak. Telatah itu nantinya disebut kadipaten PAJANG.

   "Pajang... " desis semua yang hadir.

   "Begitulah, paman Kanigoro."

   "Hm... Baik, tetenger itu aku rasa sangat bagus." ucap ki Kebo Kanigoro.

   Mulai malam itu, telatah yang mereka buka sudah mendapatkan tetenger, Pajang. Semakin bergairahlah penghuni Pajang dalam menyongsong masa depan. Di mana hari berikutnya sebuah tatanan sudah diterapkan disertai bermacam bidang tata pemerintahan.

   Dengan datangnya Lurah Arya Dipa, ikut hadir juga Tumenggung Wreda yang menyampaikan titah dari Sultan Trenggono. Bila saatnya nanti pengangkatan telah siap, Mas Karebet akan mendapat kekancingan Adipati dan sebuah gelar, "Hadiwijaya". Selain itu, Mas Karebet harus menyusun orang - orang yang akan menempati dampar nayaka praja dan keprajuritan.

   Untunglah semuanya sudah tersusun tanpa adanya keributan dari setiap nama yang dicantumkan. Telah terpilih, Mas Manca sebagai patih kadipaten Pajang. Ki Pemanahan dan ki Penjawi mengisi bidang keprajuritan, sebagai panglima Tamtama di kadipaten Pajang. Selanjutnya ki Wuragil dan ki Wila diangkat sebagai Ngabehi abdi dalem. Wenang, Seorang pemuda yang masih cucu ki Ageng Butuh, dijadikan Senopati dibawah panglima Tamtama. Dan masih banyak lainnya, orang - orang yang berkemampuan mendapatkan pekerjaan sesuai bidangnya.

   "Baiklah.. Tugasku sudah tuntas dalam menilik telatah Pajang ini." kata seorang Tumenggung Wreda, "Kalau begitu aku mohon pamit, anakmas."

   Tumenggung Wreda yang dikawal oleh Lurah Arya Dipa-pun, meninggalkan Pajang. Apa yang dilihat di Pajang akan dilaporkan kehadapan Kanjeng Trenggono.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 9
oleh : Marzuki

   "Berhenti.. !" seru Tumenggung Wreda, seraya mengangkat tangannya.

   Lurah Arya Dipa yang berkuda agak dibelakang bergegas mendekati kuda yang ditunggangi oleh Tumenggung Wreda.

   "Kau juga mendengarkan suara denting benda itu, ki Lurah ?!" tanya Tumenggung Wreda, sesaat kuda Lurah Arya Dipa sejajar.

   "Iya, ki Tumenggung. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di balik belukar itu, ki Tumenggung." jawab Lurah Arya Dipa, seraya menunjuk sebuah belukar lebat.

   "Ijinkan aku memeriksanya, ki Tumenggung." Lurah Arya Dipa kembali berkata.

   "Hm.. Bawalah tiga prajurit sebagai kawan, ki Lurah."

   "Baik, ki Tumenggung."

   Lurah Arya Dipa kemudian mengajak tiga prajurit untuk memeriksa apa yang terjadi di balik belukar lebat, yang tak terlalu jauh dari jalan setapak. Semakin mendekati belukar, suara yang terdengar semakin seru. Ternyata setelah belukar itu disiakan, ada perkelahian yang tak seimbang. Tiga orang yang sepertinya sebagai pengawal seorang pedagang, mempertahankan diri dari libasan sepuluh orang.

   "Begal, ki Lurah." bisik seorang prajurit yang mengawani Lurah Arya Dipa.

   Lurah Arya Dipa mengangguk, lalu katanya, "Prajurit Werdi, laporkan kepada ki Tumenggung. Katakan apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku dan dua prajurit lainnya akan membantu pengawal yang sudah kepayahan itu."

   "Baik, ki Lurah." Selekas menyahut, prajurit itu langsung berlari ke tempat sebelumnya.

    Sementara itu, Lurah Arya Dipa bersama dua prajuritnya, mendekati arena di balik belukar.

   "Berhenti.... !" seru Lurah Arya Dipa.

   Seruan yang tak disangka - sangka itu, sesaat menghentikan perkelahian yang berat sebelah. Dua tanggapan berbeda menyembul dari hati kedua kelompok. Bagi kelompok pedagang dan pengawalnya, seruan itu membuat hati mereka sedikit longgar, dan menganggap orang yang menghentikan perkelahian akan berpihak kepada mereka, apalagi saat mereka mengenali ciri pakaian yang menunjukan kalau orang yang baru datang adalah seorang prajurit Demak. Berbeda halnya dengan kelompok yang terlihat kasar, mereka sangat terkejut bercampur kesal. Datangnya tiga prajurit telah menjadikan usaha yang hampir usai, terganggu.

   "Bagaimana ini, kakang ?" bisik salah seorang begal kepada seseorang yang sepertinya dijadikan pemimpin mereka.

   Sejenak pemimpinnya terdiam. Sepertinya ia membaca keadaan dan menimbang untung ruginya. Dalam hati orang itu, prajurit yang datang hanyalah tiga orang saja. Oleh karenanya setelah dipikir matang - matang, orang itu akan melanjutkan perburuannya. Tiga prajurit yang menghalanginya harus dilenyapkan. Maka seruan perintah dari mulutnya kembali menggerakan pengikutnya.

   "Habisi semuanya.... !"

   "He.. ! Buka mata kalian, kami prajurit Demak !" Lurah Arya Dipa memberi peringatan, dan lanjutnya, "Bila kalian melawan, kalian akan dipidanakan !"

   "Tutup mulutmu ! Kami bukanlah orang - orang yang jerih dengan cecunguk seperti kalian !" sanggah seorang yang berwajah seram, seraya membacokan goloknya.

   Lurah Arya Dipa cukup tenang dalam menghadipi lawannya. Meskipun lawannya berbadan besar dan memegang golok, sekilas memandang Lurah Arya Dipa mampu mengurai kemampuan lawan yang hanya mengandalkan kekuatan wadag saja. Karenanya hanya mengisar kaki sembari menggerakan tangannya, Lurah Arya Dipa membuat lawannya terdorong dan terseok - seok.

   Mengetahui kawannya dengan mudah dipermalukan, seorang lelaki jangkung menggeram sembari membabatkan kelewangnya. Namun orang itu terperangah sekaligus tak mengerti kalau tangan lawannya menyentuh lengan tangan dan menjadikan tangannya lemas. Dan kelewangnya lepas dari genggamannya. Belum lagi pikirannya menyatu, sebuah sentuhan membuat orang jangkung itu tersungkur pingsan.

   Dalam hanya sekejap, kelompok begal itu hanya menyisakan separuh orang saja. Rupanya tiga prajurit yang baru datang adalah prajurit - prajurit pilihan dari satuan Wira Tamtama. Jika pemimpinnya tahu dari awal, sejak dari pertemuan pertama pasti mereka akan tunggang langgang mencari keselamatan.

   "Menyerahlah kalian atas nama Demak !" seru Lurah Arya Dipa.

   Pemimpin begal itu akhirnya menyadari kesalahannya. Tanpa berpikir panjang, pemimpin begal meloncat pergi meninggalkan gelanggang diikuti pengikutnya, dan meninggalkan dua orang yang jatuh pingsan.

   "Jangan lari !" seru seorang prajurit, dan akan mengejar.

   "Tidak usah, prajurit Sono.. " Lurah Arya Dipa, melarang prajuritnya yang akan mengejar, "Marilah membantu mereka yang terluka dan ikat kedua tawanan itu serta sadarkan keduanya."

   "Baik, ki Lurah." kata prajurit Sono.

   Dalam pada itu, pedagang yang merasa hidupnya diselamatkan, bergegas menghampiri Lurah Arya Dipa dan mengucapkan terima kasih.

   "Itu sudah menjadi kewajiban kami, ki Sanak." kata Lurah Arya Dipa, "Akan kemanakah, ki Sanak ini ?"

   "Kami baru saja menghantar pesanan dari padukuhan di ujung jalan setapak ini, tuan prajurit. Tapi saat kami baru saja memasuki jalan setapak yang akan menuju Pengging, begal - begal itu menghadang kami." jawab pedagang itu.

   "Hm.. Apakah daerah sini sering terjadi kejadian seperti ini, ki Sanak ?"

   "Begitulah, Tuan. Sebenarnya jika tidak buru - buru, aku tidak berani memasuki jalan setapak itu hanya dengan tiga pengawal saja. Kami para pedagang biasanya membuat janji untuk berjalan bersama - sama jika melawati jalan setapak ini." terang pedagang itu.

   Lurah Arya Dipa mengangguk perlahan, "Hm.. Baiklah, marilah kita kembali ke jalan setapak."

   Bersama dengan Lurah Arya Dipa, pedagang dan pengawalnya menuju jalan setapak di mana disitu Tumenggung Wreda dan prajurit pengawal menanti. Lekas saja Lurah Arya Dipa menyampaikan apa saja yang sudah terjadi tanpa menambah atau mengerungi sedikit-pun. Tak lupa Lurah muda tersebut mengungkapkan pemikirannya menyangkut perkembangan jalur Demak dan Pajang, terutama dari ancaman keamanannya.

   Pemikiran dari Lurah muda Tamtama itu sangat sejalan dengan ki Tumenggung Wreda. Memang sebuah jalur yang menghubungkan antara Demak dan Pajang, hendaknya bersih dari ancaman gerombolan perampok dan sejenisnya. Dan hal itu berlaku di jalur - jalur jalan penting yang menghubungkan kotaraja dengan telatah - telatah kekuasaannya. Satu - satunya tindakan adalah meningkatkan jelajah petugas peronda dari prajurit kadipaten atau-pun tanah perdikan, dan kademangan.

   Kata ki Tumenggung Wreda terhadap pedagang yang akan ke Pajang, "Ki sanak.. "

   "Sendiko dawuh, ki Tumenggung.. "

   "Bila kau nanti tiba di Pajang, bergegaslah menghadap anakmas Karebet. Tuturkanlah kejadian yang kau alami mengenai kesulitan yang kau derita tadi." kata ki Tumenggung, "Aku yakin, anakmas Karebet akan cepat tanggap dan menugaskan pengawalnya untuk melakukan perondaan ditelatahnya."

   "Sendiko, ki Tumenggung. Semua yang ki Tumenggung pesankan, akan kami sampaikan."

   Dan selanjutnya mereka-pun berpisah. Sementara dua tawanan dari kelompok begal akan di bawa ke kotaraja, oleh ki Tumenggung Wreda dan Lurah Arya Dipa.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 10
oleh : Marzuki

   Semakin hari sang surya di langit Demak, nampak cerah dihiasi silir angin menyejukan penghuninya. Sejak pengangkatan Adipati Hadiwijaya di Pajang dan Adipati Aryo Penangsang di Jipang, prajurit Demak mulai berbenah diri. Disegala kesatuan terlihat sibuk mempersiapkan titah dari Sultan Trenggono. Tiada lain titah itu adalah pergerakan untuk mempersatukan telatah Jawa khususnya telatah Bang Wetan, ke dalam Demak.

   Pasukan Wira Tamtama, Wira Braja, Wira Manggala, Wira Radya, dan Wira Jalapati, setiap hari mengadakan gladi olah keprajuritan. Bahkan kesatuan Patangpuluhan yang bertugas mengawal Kanjeng Sultan Demak, selalu menyempatkan meningkatkan kemampuan olah yuda demi menjaga keselamatan junjungannya, maka tak heran bila di sanggar rumah mereka selalu nampak hidup.

   Menjelang senja hari, tatkala waktu tugas yang usai, Lurah Arya Dipa dipanggil menghadap ke ruang dalam keraton Demak. Lurah muda itu merasakan adanya sesuatu yang ganjil saat melangkahkan kaki ke ruang dalam. Seakan - akan ruang itu terdengar adanya isak tangis memenuhi ruangan.

   "Oh... Ada apa ini ?" tanyanya dalam hati.

   Namun pertanyaan itu tiada jawaban yang dapat menerangkan perasaannya. Kakinya terus melangkah beberapa tindak, dan selanjutnya laku ndodok hingga satu tombak, barulah Lurah Arya Dipa berhenti dan duduk bersila menghaturkan sembah kepada seorang yang duduk di dampar kencana, sedangkan di kanan kirinya diapit dua pengawal khusus.

   "Sembah hamba haturkan, Kanjeng Sultan." ucap Lurah Arya Dipa.

   "Iya.. Iya, Arya Dipa." kata Sultan Trenggono, "Bagaimana kabar keluarga kecilmu ? Aku dengar Ayu Andini saat ini mengandung putramu."

   "Atas pangestu Kanjeng Sultan, keadaan keluarga hamba tiada kekurangan sedikit-pun, Kanjeng Sultan. Usia kehamilan Ayu Andini semakin mendekati waktunya." kata Lurah Arya Dipa.

   Kanjeng Sultan Trenggono manggut - manggut. Bibirnya tersenyum cerah, seakan - seakan baru menerima warta gembira mengenai perihal kerabatnya. Sesungguhnya demikianlah isi hati beliau menyikapi keadaan yang melingkupi keluarga kecil Lurah Arya Dipa, yang sebentar lagi akan menyambut kelahiran buah hatinya. Bagi Kanjeng Sultan Trenggono, Lurah Arya Dipa bukanlah orang lain. Sejak pertemuan pertama, pemuda itu sangat menarik dan membuat hati Sultan Trenggono kagum.

   Sebenarnya Kanjeng Sultan Trenggono berkeinginan untuk memberikan tugas terhadap Lurah Arya Dipa yang berkaitan rencana beliau melawat Bang Wetan. Tetapi suara hatinya berkata lain. Entah mengapa hatinya gundah memikirkan keadaan Demak sepeninggalnya nanti. Itu semua terasa saat salah satu senopati telik sandi yang pernah menghadap secara sembunyi - sembunyi, melaporkan kecurigaan adanya tindakan diam - diam oleh sekelompok orang. Dan yang paling mengejutkan beliau ialah adanya gerakan pendam mengarah terhadap Adipati Anom.

   Maka dari itulah setelah dipikirkan dengan matang bersama penasehat kesultanan, diputuskan untuk mengamankan garis sah keprabon Demak, yaitu Adipati Anom yang saat ini disandang oleh Pangeran Bagus Mukmin. Pada nantinya tugas ini dibebanka ke pundak perwira yang mempunyai kemampuan mumpuni serta teruji kesetiaannya. Terpilihlah tugas itu kepada Lurah Arya Dipa.

   "Arya Dipa.. "

   "Hamba, Kanjeng Sultan.. " sahut Lurah Arya Dipa, sembari mencangkupkan kedua telapak tangan dikening.

   "Aku akan mempercayakan keselamatan Adipati Anom, terhadapmu. Jagalah Bagus Mukmin sepeninggalku nanti.. "

   Tercekat hati Lurah Arya Dipa seraya memandang walau hanya sesaat, dan bergegas menunduk lagi. Entah mengapa nada suara Kanjeng Sultan Trenggono pada saat ditelinga Lurah Arya Dipa, terasa sebuah perpisahan. Karenanya hatinya tercekat.

   "Duh, Kanjeng Sultan. Bagaimana mungkin hamba yang tak bertenaga ini, mendapat kepercayaan menjaga keselamatan bendoro hamba Adipati Anom... ?"

   Tawa renyah mengawali suara yang keluar kemudian dari Sultan Trenggono, "Hahaha... Bila aku baru mengenalimu, mungkin aku menganggapmu tak bertenaga, Dipa.. "

   "Tapi sudah bertahun - tahun kukenal dirimu. Ketangkasanmu dalam melumpuhkan orang - orang di alas Ketonggo yang menghadangku, kemudian saat dimana kau mengobrak - abrik pasukan Jipang yang melakukan serangan tak terduga kala itu, serta masih banyak lagi tindakan nyata yang kau perbuat dalam pengabdianmu terhadap Demak Bintoro ini."

   Sejenak Sultan Trenggono memerhatikan Lurah Arya Dipa yang diam tertunduk.

   "Selain itu, sesungguhnya aku merasakan adanya gejolak yang melanda hati... Hmm, entah itu apa, dalam penangkapan mata hatiku yang samar - samar, ada tetesan darah mengotori dampar kencono." lanjut Sultan Trenggono.

   Tersentak Lurah Arya Dipa demi mendengar ungkapan hati junjungannya. Kepala itu mendongak menatap lekat - lekat kesan yang muncul dipermukaan raut wajah Sultan Trenggono. Namun selekas hati dapat menguasai keadaan, Lurah Arya Dipa bergegas menunduk kembali menatap lantai. Keningnya mengkerut dan entah mengapa bulu kuduk berdiri, merasakan kengerian.

   Sebuah isyarat meskipun samar sedikit tertangkap oleh mata hati Lurah muda putra angkat Panji Mahesa Anabrang. Gejolak yang dirasakan oleh Sultan Trenggono, tentu merupakan masalah yang akan melanda Demak dikemudian hari. Padahal, akhir - akhir ini Lurag Arya Dipa memimpikan masa - masa tenang dimana ia akan menimang - nimang calon jabang bayi yang dikandung istrinya.

    Getar suara terdengar lebih sarat dari Sultan Trenggono, "Lurah Arya Dipa.."

   "Hamba, Kanjeng Sultan.. "

   "Sekali lagi aku meminta kesanggupanmu untuk berada disamping putraku, Adipati Anom."

   "Sendiko dawuh, Kanjeng Sultan."

   Tenanglah hati Kanjeng Sultan. Hatinya yang awalnya gelisah, sedikit tenang manakala terdengar kesanggupan dari Lurah Arya Dipa untuk mengemban tugas berada di dekat putranya. Dengan demikian beliau sudah semakin mantab untuk bergegas menyelesaikan pergolakan di Bang Wetan.

   Dan Lurah Arya Dipa kemudian diperkenankan untuk meninggalkan ruang dalam kesultanan. Dalam perjalanannya yang tak terlalu jauh itu, Lurah Arya Dipa masih terbayang setiap kesan yang nampak dari Sultan Trenggono. Entah mengapa itu tadi ia rasakan sebagai pertemuan terakhir dengan beliau.

   "Ah...... Tidak.. " desisnya perlahan seraya menggeleng.

   Dan langkah kakinya kembali terayun menapak menuju tempat yang ditinggalinya bersama Ayu Andini.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 11
oleh : Marzuki

   Sesampainya dirumah, Lurah Arya Dipa menuturkan semua apa yang terjadi di kesultanan terhadap istrinya. Termasuk isyarat yang ia tangkap mengenai Kanjeng Sultan Trenggono.

   Sebagai istri yang masih muda dalam menapaki rumah tangga, rupanya Ayu Andini dapat dengan cepat memahami kegelisahan suaminya itu. Ketenangannya sebagai wanita dapat ia ungkapkan dengan cara menyiapkan minuman hangat berupa wedang Sere dihadapan suaminya. Disuruhnya suaminya itu untuk meneguk dahulu supaya kehangatan wedang Sere dapat menyurutkan kegelisahan yang diderita.

   Usai Lurah Arya Dipa meneguk wedang Sere, barulah Ayu Andini menenangkan dengan kata - kata lembut nan merdu.

   "Kakang, janganlah kakang terlalu terbawa perasaan yang begitu mendalam sehingga kakang gelisah begitu rupa." kata Ayu Andini, "Kanjeng Sultan masih terlihat gagah dan beliau-pun seorang yang mumpuni tuntas dalam bidang kanuragan dan kaweruh. Beliau-pun tak lepas dari pengawalan pasukan khusus setiap langkahnya."

   Lurah Arya Dipa mengangguk setuju atas tanggapan istrinya itu. memang diakui, Sultan Trenggono adalah sosok raja yang hebat pilih tanding. Di dalam tubuhnya tersimpan berbagai ilmu yang nggegirisi bagi lawan - lawannya. Tetapi ada sebuah ungkapan, "Sehebat - hebatnya wadah, bila sudah waktunya akan lebur juga".

   Itulah yang dirasakan oleh Lurah Arya Dipa, dan perasaan itu juga dapat dibaca oleh Ayu Andini, sehingga wanita muda yang sedang mengandung itu kembali meyakinkan agar suaminya percaya kalau Kanjeng Sultan akan kembali dari Bang Wetan dengan selamat.

   "Tindakan yang paling baik bagi kita adalah mendoakan beliau, agar beliau selalu dalam lindungan Yang Kuasa, kakang."

   "Kau benar, Ayu." Lurah Arya Dipa mengiyakan.

   Sejenak dipandanginya perut istrinya yang membesar. Dibelainya dengan lembut penuh kasih sayang layaknya suami pada umumnya. Calon jabang bayi di dalam rahim yang awalnya bergerak, seketika tenang. Seolah merasakan kelembutan dari sang ayah.

   Di luar, sinar rembulan samar - samar mengintip bumi dari balik awan. Angin lembut berdesir perlahan mampu mengusik ketenangan awan untuk terus berarak ke selatan, mengakibatkan kebebasan sinar rembulan dalam menerangi permukaan bumi. Alur alam di malam itu berjalan sesuai titah Sang Kuasa tanpa dapat membakang sidikit-pun.

   Tak terasa malam mencapai puncaknya yang ditandai kentongan dara muluk dari gardu perondan. Tiba - tiba suara aneh membuat sepasang suami di dalam rumah itu, mengernyitkan alis dan saling pandang.

   "Kakang... " desis Ayu Andini seraya memegang kain pakaian suaminya.

   "Kau tetaplah disini. Aku akan mencoba menengok.. " kata Lurah Arya Dipa dengan beranjak berdiri dan melangkah ke arah pintu.

   Perlahan Lurah Arya Dipa mendekati pintu. Dan derit lirih pintu terdengar tak lama kemudian. Di luar, sinar damar tak mampu menerangi seluruh halaman. Menyisakan bayang - bayang gelap diberbagai tempat. Untunglah mata Lurah Arya Dipa mempunyai kelebihan tersendiri. Sehingga mampu meniliti setiap jengkal halaman hingga luar pagar yang tak terlalu tinggi mengitari rumahnya.

   "Adakah seseorang, kakang ?" kata Ayu Andini yang sudah berdiri dibelakang punggung suaminya.

   Tidak ada jawaban kecuali gelengan kepala. Tetapi sang empu kepala masih mencermati keadaan sekitarnya. Ia yakin pasti ada seseorang yang saat ini mengamati dirinya.

   "Kisanak.... ! Malam sudah dipuncaknya. Adakah sesuatu yang membuat kisanak hadir di gubuk ini ?!" seru Lurah Arya Dipa, kemudian.

   Hening tiada tanda pergerakan muncul. Sambutan yang dilontarkan oleh Lurah Arya Dipa tak ada balasan. Malah yang terdengar hanyalah burung hantu yang terbang di atas halaman.

   "Hm... " desuh Lurah Arya Dipa.

   "Baiklah, kalau begitu akan ku tutup kembali pintu gubugku.. " selepas bicara, Lurah Arya Dipa memutar tubuhnya berniat masuk kembali ke ruang dalam.

   Sekonyong - konyong, deru benda tajam melayang deras mengancam punggung Lurah Arya Dipa. Hal itu membuat Ayu Andini tercekat dan mencemaskan suaminya. Tetapi suaminya bukanlah orang yang lengah dalam menghadapi keadaan. Dengan sigap dan cepat ia memutar tubuhnya dan....

   "Taaak.. !"

   Telapak tangan Lurah Arya Dipa yang dilambari aji Niscala Praba dapat menyapok benda tajam dari serangan gelap. Akibat sapokan itu, benda itu menukik menancap papan hingga gagangnya. Namun tak berselang lama, deru deras terulang lebih dahsyat dari serangan pertama. Bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus menghambur di-tiga titik berbeda.

   "Awas, kakang.... !" seru Ayu Andini.

   Meskipun tiada peringatan dari Ayu Andini, suami sudah memperkirakan adanya serangan susulan. Oleh karenanya, tangan Lurah muda Demak itu dengan cepat bergerak laksana tatit. Begitu tangan diam, dalam genggamannya tiga belati sudah berarti lagi.

   "Hm.. Ucapan Lintang Kemukus memang benar adanya." desis seseorang diatas dahan pohon Keluwih, "Aku akan bermain sesaat dengannya."

   Usai berkata, sosok itu melayang turun ke halaman. Sungguh indah kaki orang itu dalam setiap gerakannya. Bukan hanya itu saja, disetiap langkahnya tiada deru sedikitpun, ini menunjukan betapa tinggi ilmu kanuragannya.

   "He.... " wajah Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini serentak mengerut heran.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 12
oleh Marzuki

   Raut wajah orang itu sangat tidak asing bagi keduanya. Sangat dan sangat mirip bak pinang dibelah dua. Sehingga tak heran jika keduanya merasa heran bukan kepalang. Jika tidak melihat sendiri tentu keduanya tidak percaya kalau orang yang baru muncul itu adalah orang lain yang mirip dengan orang yang nyata kakek Lurah Arya Dipa. Hal itu mengingatkan keduanya atas apa yang dituturkan oleh Empu Puspanaga.

   Sementara orang yang baru menampakan diri itu menatap tajam ke arah sepasang suami istri dengan sesekali mengangguk. Dalam pandangan orang itu, keduanya pantas apabila mempunyai bekal yang mantab dalam dunia olah kanuragan. Dikarenakan  tubuh - tubuh keduanya memiliki susunan tulang yang baik. Dan inilah yang menakjubkan atas orang itu, hanya dengan melihat sepintas menggunakan matanya saja sudah dapat menilai dan mengetahui keadaan lawan atau orang lain.

  "O.. Kau-kah yang disebut anak yang mewarisi ilmu dari kitab Cakra Peksi Jatayu itu, anak muda ?" orang itu melontarkan pertanyaan yang mengandung mencari penjelasan.

   Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, "Hm.. Begitulah, kisanak. Siapaka kisanak ini yang sudi singgah di gubuk kami ?"

   "Hahaha.... " orang itu tak langsung menjawab, melainkan tertawa lepas dan barulah berkata, "Rupanya bayi Arya Wila ini yang semestinya aku tangani pada saat itu... Hm, nasi sudah menjadi bubur. Walau begitu tak mengapa diusia-ku yang tua ini harus mengotori lagi."

   Tentu saja kata - kata itu menimbulkan gejolak berbeda dari sepasang suami istri tuan rumah. Bagi Arya Dipa, disebutnya Arya Wila telah membuka tabir semakin nyata dari orang dihadapannya itu, yaitu seseorang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Sedangkan bagi Ayu Andini, sebuah kecemasan muncul manakala ada bibit permusuhan antara orang itu dan keluarga suaminya.

    "Jadi, kisanak-kah yang sudah membunuh ayah dan ibu-ku... ?!"

   "Ceek.. ceek.. ceek... Hm, benar ! Akulah yang mengakhiri keduanya. Bahkan bila saat itu pertapa dari Penanggungan itu tidak datang, kau-pun akan aku cekik dan kulempar di lembah Bancak !"

   Dengan sekuat tenaga Lurah Arya Dipa berusahan menekan perasaannya yang mulai bergejolak. Api - api kemarahab segera ia padamkan dengan menyebut Dzat Yang Suci. Selanjutnya tergantikan pertanyaan terhadap orang itu.

   "Kisanak tadi belumlah mengenalkan diri, cobalah jelaskan diri kisanak ini.. "

    "Hohoho.... Tak kukira usia-mu yang masih seumur jagung ini mempunyai pengendalian diri yang baik. Baiklah, aku Wanapati... "

   Belum sempat orang itu menuntaskan perkataannya, malam itu kembali bergolak dengan datangnya seseorang yang berjalan tenang melewati regol.

   "Lama kau tak menampakan diri, Wanapati !" suara halus menyapa.

   Kedatangan orang itu mengejutkan semua orang, tentunya dengan bermacam tanggapan dalam pikiran mereka. Orang berbadan kurus dengan wajah selalu tersenyum serta membekal kipas putih bercorak burung Merak. Menandakan kalau orang itu adalah kyai Jalasutro dari gunung Bromo. Seorang yang penuh rahasia dan sangat jarang menampakan diri di kalayak ramai.

   "Kau, Jalasutro.... !" seru ki Wanapati, seraya melotot.

   "Selamat malam, cah bagus dan genduk ayu." Kyai Jalasutro malah menyapa Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini.

   Tindakan itu sesungguhnya menjadikan ki Wanapati geram bukan main. Dirinya malah diacuhkan dengan orang itu. Tetapi ia-pun tidak mau berlaku sembrono menghadapi orang sakti itu, meskipun ia sesungguhnya tidak jerih.

   "Selamat malam, Kyai.. " balas Lurah Arya Dipa, penuh hormat.

   Kyai Jalasutro terus melangkah menghampiri Lurah Arya Dipa dan istrinya untuk berjabat tangan. Usai itu barulah ia menghadap ki Wanapati tanpa adanya rasa permusuhan.

   "Wanapati, puluhan tahun kau dan aku berlalu lalang menapaki luasnya tanah Jawadwipa ini. Sejak Wilwatikta berada ditangan gusti Prabu Pamungkas, yang diobrak - abrik oleh Giriwardhana serta Patih Udara, dan kemudian muncul trah pinunjul Glagahwangi." kata Kyai Jalasutra, "Rupanya sulit kau mengekang nafsu angkara murka itu. Lihatlah rambut di kepalamu sudah beruban dan kulitmu yang mengeriput. Itu adalah tanda dimana masa akan tiba menghadap Allah, Dzat Yang Agung."

   Bila dicerna lebih jelas, ucapan dari Kyai Jalasutro merupakan kecintaan seseorang terhadap sahabat yang dikasihi berupa kata untuk mengingatkan tatkala sahabat itu tergelincir dari jalan yang ditetapkan oleh Dzat Suci. Kecintaan itu berupa ucapan saling mengingatkan dalam mengendalikan nafsu yang ada dalam diri seseorang dan agar tak mudah kalah oleh hawa nafsu itu sendiri. Sebenarnya setiap manusia dari lahir mendapatkan karunia berupa hati yang bersih dan suci, yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Begitu juga halnya dengan hati ki Wanapati, tetapi hatinya yang suci tergerus oleh lautan nafsu, hingga akhirnya mengabaikan nasehat dari Kyai Jalasutro.

   Nasehat lurus dan suci itu, ditelinga ki Wanapati bagaikan ribuan lebah yang mengganggu gendang telinganya. Selanjutnya timbulah geram dan hentakan kaki ke bumi.

   "Dari dulu mulutmu tidak lelah untuk berkicau seperti itu, Jalasutro !" sahut ki Wanapati, ketus.

   Tak pelak Kyai Jalasutro, gelengkan kepala atas kekerasan hati sahabatnya itu. Sungguh sedih hatinya atas perilaku kawan mudanya itu. Ia tahu betul masa - masa dimana keduanya saling bermain dan bersenda gurau dipinggiran belumbang. Bagus Wana dan Kidang Rumekso mendapat bimbingan seorang pertapa yang menyembunyikan jati dirinya. Dalam asuhan pertapa itu, ilmu jaya kawijayan dan olah kanuragan mengendap dalam wadag keduanya. Hingga hari kelam itu telah merubah perilaku Bagus Wana.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 13
oleh Marzuki

   Kala itu, hujan deras mengguyur tepian belumbang. Dua orang bertempur hebat layaknya Werkudara dan Duryudana, tokoh pawayangan dalam kitab Mahabaratha. Hujan lebat tak dihiraukan oleh keduanya, kecuali niat untuk mengalahkan lawannya semata.

   Sementara tak jauh dari sosok - sosok hebat itu, Bagus Wana duduk menelungkup dengan tangan menutupi kepalanya. Di sebelahnya, Kidang Rumeksa terus mencoba memanggil - manggil kawan sekaligus saudara seperguruannya itu.

   "Wana.. Wana.. Dengarlah suaraku... !" teriak Kidang Rumeksa sambil mengguncang - guncang tubuh Bagus Wana.

    Bukannya sadar, Bagus Wana malah berteriak seru, "Aaaaarg.... !"

   Dalam kepala anak itu berkecamuk adanya bisikan yang menjadikannya bingung dan tak tahu harus memilih bisikan mana yang harus ia percaya.

   "Orang itulah yang membunuh keluargamu dan mengelabuimu dengan mengangkat dirimu sebagai muridnya... !" bisikan terulang - ulang memenuhi kepala Bagus Wana.

   Di lain pihak, bisikan juga terdengar agar Bagus Wana meyakinu kalau gurunya adalah orang baik yang tidak seperti dituduhkan.

   "Percayalah, Pertapa itu adalah orang baik yang mengasuhmu dengan tulus. Malah dialah yang menyelamatkanmu dari maut saat kau terancam orang yang saat ini bertarung melawan gurumu.. !"

   "Bohong... ! Kau tertipu bocah.. !"

    Manakala bisikan - bisikan masih terus mengisi kepala Bagus Wana, dan Kidang Rumeksa masih sibuk berusaha menyadarkan kawannya, sebuah halilintar menukik deras menyambar guru dua bocah itu.

    "Duuuuaar..... !"

   Hentakan keras seakan - akan mengguncang bumi. Pinggiran belumbang porak - poranda tak karuan. Tetumbuhan hangus dan tanah serta kerikil bebatuan berserakan kemana - mana.

   "Guruuuuu...... !'' teriak Kidang Rumeksa sekaligus menghambur menubruk Pertapa yang mencelat di dekatnya.

   "Hahaha.... Terbalas sudah dendamku terhadapmu, Ajar Paguhan ! Kematian kakang Grigis terbayar sudah.... " kata orang yang berhasil membunuh Pertapa Ajar Paguhan, guru Kidang Rumeksa dan Bagus Wana.

   Habis berkata, orang itu dengan sebat menyambar tubuh Bagus Wana dan membawa pergi dengan cepatnya. Sedangkan Kidang Rumeksa masih berlutut menangisi gurunya yang sekarat dengan napas kembang kempis.

   "Guru.. Jangan kau pergi.. Guru.. "

    Panggilan - panggilan dari Kidang Rumeksa ternyata dapat didengar oleh Ajar Paguhan. Orang tua itu berusaha mengumpulkan tenaga dan mulai berkata lirih...

   "Selamatkan.. Wana dari.. tangan  Demang Brahu.. " perkataan itu terhenti sesaat karena darah menyembur dari mulut Ajar Paguhan.

   "Oh.. Guru.. "

   "Tapi sebelumnya.. galilah tanah di bawah pohon.. Sengon kembar.. pelajarilah kitab i.... " kata itu terputus seiring nyawa lepas dari wadah Ajar Paguhan.

   Tak pelak jerit pilu membahana di pinggiran belumbang, "Guruuuuuuuuu... !"

   Waktu berlanjut tiada putus barang sesaat. Usai menyelenggarakan jasad gurunya, Kidang Rumeksa melakukan perintah gurunya. Tanah di bawah pohon Sengon kembar digali. Dari situ ia mendapatkan peti yang berisi kitab sebuah perguruan. Isinya ialah tuntunan olah kanuragan tingkat tinggi yang bahkan tidak dimiliki oleh Ajar Paguhan. Selain itu terdapat tuntunan olah rasa dan kajiwan sebagai penyeimbang.

   Berhari - hari Kidang Rumeksa mempelajari isi kitab tanpa lelah. Berbagai lelaku ia lakukan untuk mendukung berkembangnya ilmu dalam dirinya. Cobaan dan godaan ia hadapi dengan sabar demi mengingat pesan terakhir gurunya. Dan itulah yang membuat pemuda itu lulus, tuntas, tatas meraup hasil yang gemilang dari kitab yang dijaga oleh Ajar Paguhan.

    Hampir dua tahun lamanya Kidang Rumeksa menyepi menuntaskan ilmunya. Keluar dari tempat yang selama ini ia tinggali, ia seolah - olah telah lahir kembali dengan jiwa yang mantab berbekal ilmu mendebarkan. Selanjutnya Kidang Rumeksa melalang buana mencari keberadaan Bagus Wana. Setiap jengkal tanah tak lepas dari pengamatannya demi sahabatnya itu.

   Dalam pengembaraannya, Kidang Rumeksa mendengar adanya pembicaraan dunia kanuragan yang menyangkut diri kawannya. Namun yang membuatnya tidak percaya tatkala orang - orang mengatakan kalau kawannya Bagus Wana, selalu membuat keonaran. Bahkan Bagus Wana bergabung dengan pasukan Giriwardhana mengobrak - abrik kotaraja Wilwatikta. Juga, ikut pengejaran Prabu Brawijaya Pamungkas ke barat, gunung Lawu.

   Suatu kali Kidang Rumeksa berhasil menjumpainya dan mencoba untuk menyadarkan kawannya itu. Tapi balasannya hampir membuat Kidang Rumeksa celaka selama - lamanya. Bujukannya tidak pernah digubris sedikitpun. Bahkan ikatan tali persaudaraan pupus seketika. Tinggalah kebencian semata yang ditunjukan oleh Bagus Wana terhadap Kidang Rumeksa.

   Dan kini setelah sekian lama waktu berlalu, dua bekas sahabat itu bertemu ditengah malam buta. Kebencian dan angkara murka masih terlihat jelas diraut muka Bagus Wana, yang kini bergelar Wanapati.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 14
oleh : Marzuki

   "Menyingkir kau, Jalasutro !" seru ki Wanapati kemudian, "Ini tiada urusan yang menyangkut dirimu !"

   Kyai Jalasutro yang di masa mudanya bernama Kidang Rumekso, hanya mendesuh perlahan seraya menggelengkan kepala dan sesekali memainkan kipas putih beecorak burung Merak di tangannya.

   "Bila aku menyingkir dari tempat ini, bukankah kau berkeinginan untuk mencelakakan angger ini, Wanapati ? Sedikit banyak aku mendengar kalau kau tercemari ole pikiran - pikiran Demang Brahu.... "

   "Tutup mulutmu, Kidang Rumekso !" teriak lantang ki Wanapati, sambil mengibaskan tangannya.

   Tak ayal serangkum angin menderu ke arah Kyai Jalasutro. Angin itu sungguh mendebarkan, itu terbukti ketika Kyai Jalasutro dapat mengelak dan membuat serangkum angin itu melabrak tiang depan rumah Lurah Arya Dipa, tiang itu berderak patah.

   "Astagfirullah... " ucap Kyai Jalasutro, menyesalkan tindakan kawannya di masa muda.

   "Cepat kau pergi.. !" sekali lagi ku Wanapati memperingatkan.

   Bukannya menanggapi ki Wanapati terlebih dahulu, Kyai Jalasutro membalikan badan ke arag Lurah Arya Dipa dan istrinya.

   ''Angger berdua, mohon kiranya untuk memaafkan kawanku ini. Biarlah aku yang akan mengganti tiang yang rusak itu." pinta Kyai Jalasutro kepada Lurah Arya Dipa dan istrinya, yang ditanggapi anggukan dan senyum sepasang suami istri muda itu.

   "Edaan.. !" gerutu ki Wanapati, penuh kekesalan.

   "Hahaha... Jangan kau berucap sepertu itu, Bagus Wana. Marilah kita bermain loncatan layaknya dahulu saat masih di pinggiran belumbang bersama guru, Ajar Paguhan." sahut Kyai Jalasutro.

   Tanpa membalas jawaban, ki Wanapati mempersiapkan jiwa raganya. Diladeninya tantangan bekas kawannya itu secara bertahap. Yaitu kedua - duanya tanpa disetujui terlebih dahulu, mengungkap dasar - dasar tata gerak olah kanuragan.

   Awalnya keduanya sama - sama menggunakan tata gerak dasar dari sumber yang sama, yaitu dasar yang mereka peroleh dari pertapa Ajar Paguhan. Gerak yang sama dari keduanya terasa seiring dan seirama layaknya para penari. Tetapi yang membedakan adalah lambaran yang membuat udara tersibak dan menderu - deru menakjubkan.

   "Hm.. Yang mereka ungkap sebenarnya masih dasarnya saja. Tetapi hasilnya sungguh mendebarkan." ucap Lurah Arya Dipa, lirih.

   Di sampingnya, Ayu Andini mengangguk mengiyakan tanggapan dari suaminya, "Benar, kakang. Sebenarnya siapa mereka dan dari perguruan mana ?"

   "Sangat sedikit apa yang aku ketahui mengenai diri keduanya. Kyai Jalasutro seorang ahli kanuragan yang sangat jarang menampakan diri di keramaian. Ia lebih suka merenungkan diri dan beribadah kepada Dzat Yang Maha Suci. Ilmu yang ia miliki sangatlah langka, yaitu aji yang mampu membuat lawannya bagai tekurung tak berdaya."

   Sejenak Lurah Arya Dipa berhenti demi melihat tandang kedua orang tua yang semakin meningkatkan tataran ilmunya. Ancaman demi ancaman terihat jelas meraih sasaran. Juga betapa tubuh - tubuh yang mulai senja itu seperti tak mengenal waktu saja, di mana kecepatan gerak layaknya anak panah lepas dari gendewa.

   "Mampus kau Jalasutro... !" seru ki Wanapati, seraya melayangkan pukulan berganda.

   "Haaait.. !"

   Kyai Jalapati berusaha mengelak. Namun rupanya lawan tak mau melepaskan begitu saja. Kaki lawan menjulur ke depan dengan kerasnya. Hampir sekilan kaki itu mengenai sasaran, Kyai Jalasutro menggejot kakinya hingga membumbungkan tubuhnya. Saat itulah tanggannya menggemplang kepala lawan.

   "Deeesss...... "

   Terjadi adu kekuatan dari keduannya. Tangan Kyai Jalasutro bisa ditahan oleh tangan ki Wanapati yang disilangkan di atas kepala. Dan dari adu kekuatan itu, mengakibatkan keduannya tersuruk mundur. Tapi selekas menguasai tubuh masing - masing, dua orang tua itu sudah kembali bergerak sebat saling menyerang. Maka terjadilah perkelahian seru dan sengit antara keduanya.

    Kini ilmu yang awalnya sama, selapis demi lapis berubah warnanya. Kyai Jalasutra sudah merambah ilmu yang dipelajari daru kitab wasiat Ajar Paguhan. Di sisi yang lain, ki Wanapati juga mewarnai ilmunya dari ilmu yang didapatnya dari Demang Brahu. Sehingga menjadikan orang - orang tua itu nggegirisi dalam setiap tindakan dan tata geraknya.

   Lambaran ilmu tingkat pinunjul merembes mencari celah untuk merusak dan melumatkan sasaran yang lengah. Tetapi kedua orang itu sangatlah cermat dalam mengambil tindakan, yang memungkinkan tak terkena ancaman ilmu dari masing - masing lawan. Maka tak heran jika perkelahian di malam yang sudah menggelincir di fajar hari, sangat alot.

   Suatu kali tangan ki Wanapati yang nampak memerah telah merangsek ke depan. Pada saat yang sama, Kyai Jalasutro juga menyongsong serangan menggunakan tangannya yang juga nampak semburat memerah. Tak ayal adu ilmu pukulan dekat berlambarkan kekuatan alam terjadi dengan dahsyatnya. Menjadikan suasana gelap yang awalnya lengang, berubah mendebarkan bagi semua mahkluk yang mendengarnya.

    "Byaaaaar....!"

    Gema gemuruh menggelak membelah udara di halaman rumah Lurah Arya Dipa. Dan gema itu terdengar jauh sampai di pusat kotaraja.

   "Ki Salam, bunyi apa itu tadi ?" seseorang prajurit peronda bertanya kepada kawannya.

   Prajurit yang bernama ki Salam masih mendongak ke arah suara keras tadi. Kemudian barulah berucap walau agak ragu - ragu, "Mungkin sebentar lagi hujan, Dawuk... "

   Prajurit Dawuk mengangguk, "Ah, syukurlah jika hujan turun di hari ini."

   Prajurit Salam mengernyitkan alisnya seraya bertanya, "Memangnya kenapa jika hujan turun, Dawuk ?"

   "Hehehe, supaya kita tidak nganglang, ki. Dan tergantikan dengan tidur di gardu perondan."

   "O... Semprul kau, Dawuk. Jika ki Lurah Sambi mendengar, kau akan dijadikan kentongan !" omel ki Salam.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 15
oleh : Marzuki

   Kembali di pusat pergolakan, ki Wanapati sudah mencapai batas kesabarannya. Orang tua yang mirip dengan Begawan Jambul Kuning, meluncur deras layaknya tombak yang dilemparkan tenaga dahsyat. Menghadapi serangan ki Wanapati, lawannya mempersiapkan kuda - kuda yang kokoh, dan melambari aji pemberat tubuh untuk menambah daya tahannya.

   "Deeess.....!"

   Kaki Kyai Jalasutro tak pelak masih tergeser menyisakan tanah yang tergerus sedalam tumit dan sejauh satu tombak. Di lain pihak, ki Wanapati membal kebelakang, namun sekuat tenaga mempertahankan tubuhnya dan berhasil mendarat dengan sempurna. Rupanya kekuatan keduanya masih imbang sejauh ini. Oleh karenanya ilmu selapis lagi telah ditingkatkan.

   Di timur, semburat merah mulai membuncah dibalik awan gelap yang samar. Tak terasa fajar hampir mendekati waktunya. Kokok ayam terdengar bersahut - sahutan penuh gembira menyongsong sang fajar. Hewan mahkluk ciptaan Dzat suci itu seakan - akan bersyukur masih diberikan waktu mengais cacing di haru itu. Mereka tak tahu jika dunia ini dipenuhi angkara murka yang dilakukan oleh beberapa orang. Bila mereka mendapat karunia berupa akal dan mampu berpikir benar, niscaya dengan paruh, taji, cakar dan kepakan sayapnya, mereka akan mendatangi orang - orang yang bertindak semena - mena terhadap sesama.

   Dalam pada itu, manakala ki Wanapati sudah mempersiapkan salah satu aji pamungkasnya, sebuah teriakan yang dilontarkan dengan menggunakan ilmu semacam Gelap Ngampar, terdengar lantang.

   "Paman Wanapati, sudahi dahulu permainannya. Masih ada waktu dilain hari. Marilah kita tinggalkan tempat ini."

   "Hm... " dengus ki Wanapati, seraya melenturkan otot - ototnya yang tegang.

   Tanpa berkata, orang itu berkelebat meninggalkan halaman tanpa deru angin sedikit-pun.

   "Hm.. Bagus Wana.. Bagus Wana.. " desis Kyai Jalasutro sambil menggeleng - gelengkan kepala dan mengetuk telapak tangan kiri menggunakan kipasnya.

   "Kyai Jalasutro, silahkan menaiki pringgitan" kata Lurah Arya Dipa, mempersilahkan.

   Kyai Jalasutro tersenyum ramah dan menerima ajakan tuan rumah. Dia dan Lurah Arya Dipa berbarengan menuju pringgitan dan duduk beralaskan tikar Mendong. Ternyata Ayu Andini cukup cekatan mempersiapkan suguhan sederhana, meskipun tubuhya sudah membuncit cukup besar.

   Wedang sere dan sepiring penganan menjadikan perut bersuka ria di pagi hari itu. Walau begitu, mereka tidak melupakan waktu beribadah. Secara bergantian ketiganya pergi ke padasan untuk sesuci demi menunaikan kegiatan wajib bagi seorang hamba terhadap Gusti Dzat Suci.

   Jauh di sebuah pategalan, Begawan Jambul Kuning dan muridnya duduk di depan sisa perapian. Air bening yang mengalir di parit menarik keduanya untuk mencuci muka agar kesegaran tubuh terpenuhi.

   "Guru, kita langsung ke rumah kakang Arya Dipa, atau tidak."
 
   "Ah.. Sebaiknya ke pondok Mahesa Anabrang dahulu. Aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya." sahut Begawan Jambul Kuning, sembari menyeka air di wajahnya.

   Windujaya mengangguk tanda setuju. Tiada ruginya menghampiri pondok ki Panji Mahesa Anabrang. Sekalian nanti bisa melihat - lihat suasana kotaraja, pikir Windujaya.

   Kemudian keduanya beranjak dari pategalan dan melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak. Tak perlu lama sampailah keduanya di jalan utama yang menghubungkan kotaraja dan kadipaten lainnya. Dan di jalan sudah banyak orang - orang yang berlalu lalang sambil membawa beraneka macam bawaan. Ada pedagang gerabah, pedagang makanan yang diwadahi tumbu besar, serta ada blantik sapi atau-pun kambing, dan masih banyak yang lain.

   Keadaan kotaraja nampaknya sangat tentram sehingga mewujudkan kedamain diantara penghuninya. Itu terbukti dengan adanya pedagang yang berwajah cerah, Prajurit penjaga tak terlalu ketat dalam penjagaannya.

   Ketika Begawan Jambul Kuning dan Windujaya hampir memasuki gerbang kotaraja, ada tiga orang penunggang kuda keluar dari gerbang. Yang membuat keduannya terpana dan heran, adalah salah seorang penunggang kuda yang sangat mirip dengan Begawan Jambul Kuning.

   "Guru... " desis Windujaya.

   "Hm.... " hanya desuh saja yang terdengar dari Begawan Jambul Kuning.

   Hingga penungang kuda itu melintas dan berlalu, keduanya hanya menatap saja. Dan akhirnya tiga penunggang kuda hilang dari pandangan manakal membelokan kuda di kelokan jalan.

   "He.... !" kejut Begawan Jambul Kuning, mengingat sesuatu.

   "Windujaya, pasti orang itu yang dahulu diceritakan oleh Puspanaga.."

   "Yang membunuh paman Wila dan bibi, putra dan menantu guru ?" sahut Windujaya.

   Begawan Jambul Kuning menganguk, "Iya.. "

   "Kita kejar mereka, guru."

   Orang tua yang mulai berubah itu, menggelengkan kepala, "Jangan, saat ini belumlah waktunya. Marilah memasuki kotaraja."

   Lantas keduanya melangkahkan kaki memasuki gerbang. Tanpa kesulitan yang berarti guru dan murid itu-pun sampai di pondok ki Panji Mahesa Anabrang. Dan keduanya disambut dengan baik oleh Senopati dari pasukan telik sandi itu.

   "Pantas saja burung Prenjak di pohon jambu itu berkicau terus. Tak taunya pondokan ini kedatangan seorang trah Kadiri." kata ki Panji Mahesa Anabrang, "Mari silahkan, paman Begawan dan anakmas Windujaya."

   Ketiganya kemudian duduk dilantai yang bertikar anyaman daun Mendong. Dan terlalu lama, seorang pembantu menghantarkan suguhan yang sederhana layaknya penganan dikala itu.

   Dipersilahkannya tamu untuk menikmati suguhan, serta tak lupa menanyakan kabar selama ini.

   "Hyang Widi masih bermurah memberikan karunianya, dan hal itulah yang menjadikan aku selalu bersyukur." ucap Begawan Jambul Kuning.

   Pembicaraan itu berjalan dengan rancak yang kadang kala diselingi sendau gurau dan bahkan tawa yang renyah dan tulus. Hingga akhirnya pembicaraan terus mengarah ke sisi yang lebih penting.

  "Ki Panji, sudahkan ki Panji menemukan benang merah dari orang itu ?" tanya Begawan Jambul Kuning.

   Sejenak Senopati menggeser letak duduknya sembari menghirup napas dan menghembuskan kembali. Lalu katanya perlahan, "Begini, paman Begawan. Dahulu, orang itu diasuh oleh seorang pertapa di Belumbang, yang bernama Ajar Paguhan."

   "Ajar Paguhan.... " desis Begawan Bancak.

   "Benar. "kata ki Panji Mahesa Anabrang, yang kemudian lanjutnya, "Ajar Paguhan dahulunya seorang perwira Wilwatikta yang ditugaskan di Kadiri. Ia seorang perwira yang jujur dan tegas dalam mengemban tugas. Hingga suatu kali ia difitnah oleh seorang Demang sakti yang bernama Demang Brahu."

   "Demang Brahu... " Begawan Jambul Kuning tercekat.

   Kemudian semua yang diketahui oleh ki Panji, dituturkan secara runut tanpa dikurangi atau dilebihkan. Siapa itu Ajar Paguhan? siapa itu Demang Brahu? fitnah apa yang disebarkan menyangkut Ajar Paguhan ? semua terang benderang dapat diungkap oleh ketelitian dan kegesitan ki Panji Anabrang.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 16
oleh : Marzuki

   Waktu itu kebakaran melanda puri Kadiri. Hiruk pikuk mewarnai suasana digelapnya malam. Teriakan, tangis, jerit bercampur menjadi satu. Meskipun begitu, ada sebagian orang yang berusaha memadamkan ganasnya api dengan menggunakan kelenting berisi air, atau-pun kain yang dibasahi.

   "Anaku Bancak... putraku Anggada.. " jerit seorang perempuan muda.

   "Nimas, tenanglah. Rangga Paguhan dan Lurah Brahu pasti dapat menyelamatkan.. " ucap seorang pemuda yang berpakaian layaknya bangsawan, menenangkan istrinya.

  "Oh.. Tetapi keduanya tak kunjung keluar, Kakangmas.. "

   Pangeran Banyak Paguhan kembali menenangkan istrinya dan membawanya menepi.

   Sementara itu, di dalam bangunan yang dilahap api membara, Rangga Paguhan dan Lurah Brahu terus menerobos panasnya api. Dua orang prajurit Kadiri ini memasuki lautan api tidaklah dengan tubuh biasa, melainkan melambari masing - masing tubuh menggunakan aji kebal. Sehingga keduanya dapat bertahan  sedemikian rupa.

   "Bagaimana, ki Lurah ? Kau melihatnya ?" tanya Rangga Paguhan.

  Lurah Brahu menggeleng, "tiada nampak, ki Rangga."

   "Mari kita berbencar.. " Rangga Paguhan akhirnya memutuskan.

   Lantas keduanya berpencar dari satu ruangan, ke ruangan yang lainnya. Satu persatu ruangan yang dilalap bara api itu, terus diteliti dengan cermat. Hingga akhirnya, Lurah Brahu menemukan dua sosok terbungkus kain jarit. Untunglah atap di mana dua bayi itu berada, kuat dan kokoh juga belum terbakar.

   Di raihlah dua bayi yang anehnya masih terlelap itu. Kemudian Lurah Brahu beranjak meninggalkan kamar. Namun, bukannya  menuju pintu, melainkan menjejak papan dinding di sisi yang lain.

   Sekali hentak, dinding itu ambrol meninggalkan lubang cukup besar. Maka keluarlah Lurah Brahu dan bebas dari sergapan api.

   Dalam pada itu, Rangga Paguhan yang masih berada di dalam, cemas dan bingung. Sekian lama ia memeriksa tak kunjung mendapatkan hasil. Padahal api semakin besar dan meluluh-lantahkan bangunan.

   "Aku kira, ini sudah takdir dari Hyang Agung.. " desis Rangga Paguhan seraya membalikan badan untuk keluar.

   Sesudah keluar dari bangunan yang terbakar, Rangga Paguhan bergegas menghadap Pangeran Banyak Paguhan. Semua yang ia lihat, dilaporkan kepada bangsawan muda itu.

   Raut kesedihan nampak jelas terlihat diwajah Pangeran Banyak Paguhan. Tetapi hatinya yang bersih berusaha menerima cobaan dari Hyang Widi itu.

   "Kau sudah bekerja semampumu, ki Rangga. Terima kasih." ucap Pangeran Banyak Paguhan, lirih.

   Tetapi sejenak kemudian bangsawan muda itu teringat dengan ki Lurah Brahu. Lalu tanyanya, "He.. Mana ki Lurah Brahu ?"

   Rangga Paguhan mengernyitkan alisnya. Ia tadi berpikiran kalau Lurah Brahu sudah keluar lebih awal daripada dirinya. Tetapi atas pertanyaan dari junjungannya itu, membuatnya sadar kalau Lurah Brahu belum kelihatan sejak berpisah dengannya.

   "Hamba akan mencarinya, Pangeran."

   Bergegaslah Rangga Paguhan mengitari seluruh bangunan. Dan sampailah dimana bekas lubang menganga yang dilewati Lurah Brahu. Diteliti tempat itu sampai tanah dan rerumputan. Munculah sebuah kesimpulan ada orang yang melewati tempat itu.

   "Apa yang terjadi ?" tanya Rangga Paguhan, tetapi tiada jawaban yang terang, kecuali ada petunjuk jejak langkah menuju pagar tinggi.

   Lantas Senopati itu menjejakan kaki hingga membuat tubuhnya melayang melewati pagar. Di balik pagar, Rangga Paguhan segera menajamkan mata.

   "Wuuuus.... !"

   Deru tajam sebuah benda hampir saja mengenainya. Untung saja panggraita Senopati itu cukup lantip. Sehingga dapat menghindarinya.

   Ternyata benda tadi adalah sebuah pisau kecil, dengan secarik kertas berada diujung bilah daunnya. Tanpa mengurangi kewaspadaan, dicabut pisau itu dan diraih secarik kertas tadi. Barulah dibaca tulisan itu dengan seksama.

   Alis Rangga Paguhan seketika mengernyit, "Sebuah tantangan dan ancaman !"

   Habis berkata, Rangga Paguhan pesatkan kakinya menuju ke arah selatan. Gelapnya malam ia terobos tanpa rasa jerih sedikit-pun. Dalam hati, tekad yang besar adalah hanya menyelamatkan dua buah hati junjungannya yang masih bayi. Karenanya hati yang tatag semakin mendorong kakinya melaju dengan cepat menggunakan ilmu Kidang Melar.

   Puluhan tombak dilalui dengan cepat, menghantarkan Rangga Paguhan di padang ilalang setinggi lutut. Di depan tampak jelas Lurah Brahu yang memondok satu buntalan kain yang berisi bayi, kerepotan saat mencoba merebut  buntalan yang ada dalam dekapan seorang berambut lebat dan putih. Tentu saja apa yang terjadi dihadapan Rangga Paguhan, membuatnya bingung. Karenanya ia masih terlihat diam mematung sambil memperhatikan kesebatan orang berambut putih.

   Dalam pada itu, Lurah Brahu yang merasakan kehadiran Rangga Paguhan, berseru nyaring.

   "Ki Rangga, lekaslah bergerak. Bunuh orang gila ini !"

PANASNYA LANGIR DEMAK
jilid 11 bagian 17
oleh : Marzuki

   Seruan itu menyadarkan Rangga Paguhan, meskipun ada keraguan sebesar biji sawi, Rangga Paguhan meloncat dengan sasaran mengambil bayi dalam pondongan orang berambut putih. Ia berkeyakinan dapat merampasnya dengan mudah. Ini dikarenakan, orang itu masih sibuk menghadapi terkaman Lurah Brahu.

   Namun rupanya perkiraan Rangga Paguhan tak berjalan dengan apa yang ada diangan - angannya. Kesebatan tata gerak lawannya sangat aneh serta didukung ilmu yang tinggi. Meskipun usahanya gagal, Rangga Paguhan tidak tinggal diam, ia mengisar kaki kanan seraya mengokohkan kaki itu untuk menjadikan tumpuan dan selanjutnya tendangan memutar dari kaki yang lain, siap melabrak lawan.

   Sementara itu, orang tua berambut putih dan berkeriapan dapat mengerti dan membaca tata gerak lawan yang baru datang. Orang itu tidak gopoh barang secuil-pun. Malah serangan - serangan dari lawan sangat ia nikmati dengan syahdunya. Seakan - akan tata gerak - tata gerak penuh ancaman dari lawan, ia anggap tembang yang indah mengalun ditelinganya.

   Tendangan Rangga Paguhan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan serangan susulan yang dilancarkan oleh Lurah Brahu, tidak mampu menghentikan orang itu. Bukan hanya itu saja, ketika masing - masing serangan dihindari, tangan orang tua itu bergerak cepat mengarah ke tubuh Rangga Paguhan dan sekejap kemudian tendangan telak membuat Lurah Brahu sempoyongan.

   "Hati - hati, Lurah Brahu. Lebih baik hantarkan bayi itu kepada Pangeran Banyak Paguhan terlebih dahulu. Biarlah orang ini aku hadapi !" Rangga Paguhan mencoba memberi usulan kepada Lurah Brahu.

   Lurah Brahu menggangguk, namun entah mengapa ada senyum aneh terlukis dalam sunggingan bibirnya. Dan ia-pun sudah berketetapan melangkahkan kakinya menjauhi padang ilalang. Tetapi baru sejengkal melangkah, kejadian tak terduga dan begitu cepat, membuatnya bingung bercampur marah.

   Saat Lurah Brahu baru melangkah sejengkal tadi, sekelebat bayangan menjangkaunya dan merampas bayi yang dibawanya. Dan bayangan tadi dengan cepat kembali di tempat berdirinya, yaitu lima langkah di kanan tubuh Rangga Paguhan. Memang benar orang tua itulah yang merebut bayi dan kini ditangannya ada dua bayi.

   "Hm... Bila kau pergi, pergilah prajurit kurang tata !" seru orang itu.

   Bergemeletuk gigi Lurah Brahu mendengar ucapan yang mengandung cibiran itu. Wajahnya memerah seperti udang rebus, saking marahnya. Tangan terkepal keras seakan - akan menggenggam baja-pun akan rontok seketika.

   Di lain sisi, Rangga Paguhan sangat takjub atas apa yang dilakukan oleh orang tua berambut putih tadi. Dia tidak menyadarinya meskipun tadi ia tidak mengendorkan kewaspadaan, tetap saja sulit dirinya mengikuti gerakan dari orang tua. Bisa dibayangkan kalau orang tua tadi berpikiran mencelakakan dirinya, sekali gerak tubuhnya tidak akan terisi oleh nyawa lagi.

   Usai berangan - angan seperti itu, entah mengapa kaki Rangga Paguhan malah bergerak menggenjot ke bumi. Sekali genjot, membuat tubuhnya melayang bagaikan burung elang dan menukik deras ke arah mangsa. Sungguh hebat juga tandang Rangga Paguhan kala itu. Gerakan itu dapat membuahkan hasil yang gemilang, yaitu mampu merebut salah satu bayi.

   Begitu dapat merebut, selekas kaki menginjak tanah, ilmu Kidang Melar kembali diterapkan untuk menjauhi medan perkelahian. Dalam pikiran Rangga Paguhan adalah lebih baik menyelamatkan dahulu bayi itu dan apabila takdirnya baik, ia akan kembali merebut satunya lagi.

   Larilah Rangga Paguhan yang disikapi dua hal yang bertentangan dari Lurah Brahu dan orang tua berambut putih. Tetapi Rangga Paguhan tak mau menghiraukan keduanya. Hanya keselamatan bayi itulah yang ia inginkan. Maka larinya semakin kencang dan kencang. Jauh sudah padang ilalang dilaluinya. Pohon dan semak juga terlewati hingga sampai di jalan utama yang menghubungkan Kadiri dan praja yang lain.

   Begitu mendekati pintu gapura, di situ ada Rakyan Grigis menunggang kuda hitam beserta sepuluh pengawalnya.

   "Ah.. Mengapa Rakyan ini ada di Kadiri ?" dalam hati Rangga Paguhan bertanya - tanya. Tentu saja tiada jawaban yang pasti.

   "He.. Kaukah itu, Rangga Paguhan ?"

   "Hamba, gusti Rakyan.. " sahut Rangga Paguhan sambil mengangguk hormat setelah berdiri lima langkah dihadapan kuda Rakyan Grigis, meskipun napasnya masih kembang kempis.

   Dahi Rakyan Grigis mengernyit tatkala mencermati adanya lilitan kain yang membungkus bayi dalam dekapan tangan Rangga Paguhan. Lalu tanyanya meminta keterangan dan apa yang terjadi.

    Terpaksa Rangga Paguhan membeberkan kejadian malam tadi, mulai terbakarnya kediaman Pangeran Banyak Paguhan, pencarian putra - putranya yang masih bayi dan pengejaran yang menghasilkan satu bayi itu.

   "Begitulah, gusti Rakyan." Rangga Paguhan mengakhiri ceritanya.

   "Jadi Lurah Brahu kau tinggalkan ?!" tiba - tiba suara Rakyan Grigis, meninggi.

   "Terpaksa, gusti Rakyan."

   Kuda yang ditunggangi Rakyan Grigis mendekati Rangga Paguhan, sang penunggang kemudian merebut bayi itu.

   "Biar aku yang menyerahkan bayi ini. Kau kembali dimana kau tinggalkan Lurah Brahu yang saat ini sedang bergelut dengan maut !"

   Rangga Paguhan agak sangsi bila mempercayakan keselamatan bayi kepada Rakyan Grigis. Tetapi mau bagaimana lagi, terpaksa ia pasrah dan berharap bayi itu dapat kembali ke orang tuannya. Lalu ia bergegas kembali ke padang Ilalang.

   Sepeninggal Rangga Paguhan, Rakyan Grigis memberi isyarat kepada pengawalnya, "Pedut, Tilam, Bangah dan kau Juling, Ikuti Paguhan. Bila dia berhasil merebut bayi yang satunya, rebut dan lenyapkan dia."

   "Sendiko dawuh, gusti Rakyan... " jawab ke-empat pengawal dengan serentak.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 18
oleh : Marzuki

   Seusainya mendapat perintah dari Rakyan Grigis,  ke-empat pengawal setianya terus mengikuti arah larinya Rangga Paguhan. Di depan, orang yang mereka ikuti terus berlari mendekati padang ilalang dengan pesatnya. Mereka berempat tak menyangka kalau orang yang bernama Rangga Paguhan, berlari layang Kidang. Sungguh gesit, tangkas dan cekatan. Hingga membuat pengawal setia Rakyan Grigis mengerahkan kemampuan mereka, demi tidak kehilangan mangsanya.

   "Berhenti... !" tiba - tiba Tilam memberi isyarat untuk menghentikan lari kawan - kawannya.

   "Ada apa, Tilam ?" tanya Pedut yang bertubuh kurus.

   "Tajamkan telinga kalian. Di depan di balik ilalang pasti terjadi perkelahian yang seru." Kembali Tilam berujar.

   Memang di depan perkelahian seru tengah berlangsung. Lurah Brahu bergelut tidak lagi setengah - tengah. Kemarahan yang amat sangat telah membuka urat - uratnya dalam menyalurkan tenaga cadangan yang demikian hebatnya.

   Sesungguhnya Lurah satu ini memang bukan prajurit sembarangan. Dia merupakan anak didikan seorang sakti dari Canggu, dan menurut kabar burung memiliki ilmu - ilmu mendebarkan. Salah satunya aji yang bisa membuat dirinya kembali utuh, apabila tubuhnya terpotong.

   "Hm... Jadi dari awal, kau hanya bermain - main saja, Prajurit kurang tata !?" seru orang tua, lawannya.

   Tiada balasan kata, melainkan gerakan memutar disertai tendangan keras dari Lurah Brahu. Belum lagi kaku mengena, udara yang menderu saja sudah terasa tajam saat menyentuh kulit orang tua, lawan Lurah Brahu.

   "Weleh - weleh... Nggegirisi juga murid Sambawa ini..." gumam orang tua, sembari berloncatan menyamping, sebanyak tiga kali.

   Diloncatan terakhir, orang tua itu merunduk rendah demi menghindari kerasnya kaki yang bergerak mendatar. Belum terlalu lama kembali orang tua itu harus beringsut mundur, ketika kaki lawan itu berubah arah yaitu ingin menginjaknya.

   "Sambawa dari Canggu memang hebat. Hm... ilmu tata geraknya sangat indah." puji orang tua itu, lalu lanjutnya, " Sayang sangat disayang dia berbeda haluan... "

   "Diam kau orang tua !" teriak Lurah Brahu seraya menjulurkan pukulan tangannya.

   Hampir saja tubuh orang tua itu tertumbuk, jikalau tiada ilmu Lembu Sekilan melambarinya.

   "Lembu Sekilan.... " desis Lurah Brahu yang sesaat berhenti menyerang.

   Dan saat itulah Rangga Paguhan muncul dari balik ilalang.

   "Maaf, ki Lurah. Kau menunggu terlalu lama."

   Lurah Brahu dan orang tua lawannya, sejenak memperhatikan kedatangan Rangga Paguhan. Entah mengapa tanpa disangka, dalam hati keduanya yang pertama dipikirkan adalah bayi yang sebelumnya dibawa oleh Rangga Paguhan. Tentunya dengan tanggapan yang berbeda satu dengan lainnya.

   "Kau berhasil menyerahkan bayi itu kepada Pangeran ?!" tanya Lurah Brahu.

   Tanpa mencermati lebih jelas dari perranyaan Lurah Brahu, Rangga Paguhan menggeleng dan mengatakan kalau Rakyan Grigis-lah yang membawanya. Dan jawaban itu membuat Lurah Brahu lega dan senang. Berbeda jauh dengan orang tua yang saat ini memondong bayi satunya lagi.

   "Oh Jagat... " desis orang tua, agak kecewa.

   Selanjutnya orang tua itu sudah bertindak penuh. Langsung menggerakan tubuh menuju Lurah Brahu menggunakan telapak tangan yang terbuka. Namun Lurah Brahu tidak lengah, tubuhnya miring demi menghindari ancaman dari telapak tangan lawan. Berhasil memang, tetapi lawan sudah menyusul dengan serangan ganda. Tak pelak membuat Lurah Brahu harus bergerak lebih cepat, jika tidak ingin pundaknya tergempur.

   Mendapati Lurah Brahu dalam kesulitan, Rangga Paguhan bergegas membantu. Loncatan cepat membuat dirinya berkisar satu langkah di sisi kanan lawan. Dan tangannya terayun deras ke arah pinggang lawan. Cepat memang, tapi lawan yang sudah tua iti masih menunjukan kegarangannya. Kaki lawan dapat menotol tanah dan menjadikan tubuh itu mental layaknya pegas dan jauh dari jangkauan Rangga Paguhan maupun Lurah Brahu.

   Tidak terlalu lama, ke-tiganya sudah berjual-beli serangan berupa pukulam tangan, tendangan, sodokan dan bermacam - macam bentuk ancaman. Sengit dan seru-lah jadinya. Udara terasa dikoyak oleh tajamnya tenaga hebat. Ilalang porak - poranda terinjak - injak oleh kaki - kaki lincah nan kuat. Ditambah suasana yang mendekati terang benderang dari timur, menjadikan perkelahian sangat hidup dan mendebarkan.

   Lembayung di pagi hari nan indah di cakrawala terkoyak oleh ganasnya tata gerak dari ilmu - ilmu yang mengagumkan. Tiga unsur ilmu susul - menyusul silih berganti, merembes dari wadag mencari tumbal berupa kelengahan lawan. Meskipun dan pastinya lawan - lawan berusaha tidak lengah barang sesaat.

   Dalam pada itu, Rangga Paguhan merasakan kejanggalan. Yaitu mengenai tandang lawannya yang ia rasakan berbeda dalam setiap tindakan ketika melawan Lurah Brahu, atau dirinya. Yaitu apabila berhadapan dengan Lurah Brahu, lawan tak segan - segan menerapkan ilmu secara penuh. Tetapi bila yang dilawan adalah dirinya, orang tua itu hanya menghindar dan apabila terpaksa beradu tenaga, Rangga Paguhan bagai menemui tenaga lunak saja.

   "Aneh... " desis Rangga Paguhan.

   Tetapi ia mencoba meyakinkan lagi. Dan setelah beberapa waktu, yakinlah apa yang ia duga. Orang itu hanya setengah dalam melayaninya. Hal itu membuatnya bimbang dengan apa yang terjadi. Oleh karenanya ia melompat menjaga jarak untuk mengurai lebih terang.

   Saat itulah ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pertama, saat terjadinya perebutan bayi oleh orang tua itu dari Lurah Brahu. Ke-dua, dirinya dengan mudah dapat merebut dan membawanya lari, ia sempat melirik ke raut orang tua itu, disitu ada senyum mengembang dibibir orang tua itu. Ke-tiga, perjumpaan yang tak terduga dengan Rakyan Grigis, seorang Tumenggung yang berambisi besar dan selalu berusaha menjauhkan Pangeran Banyak Paguhan dari urusan keraton, meskipun dengan sembunyi - sembunyi. Ke-empat, nada suara Lurah Brahu pada waktu menanyakan bayi yang ia bawa, Lurah itu memanggil dirinya hanya dengan Rangga tanpa adanya unggah - ungguh dalam dunia keprajuritan. Dan terakhir adalah tandang orang tua yang tidak sungguh - sungguh dalam menghadapinya.

   Uraian demi uraian ia resapi lebih dalam, menimbulkan pertanyaan - pertanyaan yang dapat terjawab satu persatu. Tetapi belum lagi dirinya bertindak, dari balik ilalang muncul empat pengawal Rakyan Grigis.

   "Kalian.... !" seru Rangga Paguhan.

   "Benar, ki Rangga. Kami akan membantu tuan melangkah ke alam kelanggengan." kata Tilam, yakin.

   "He... Apa aku tidak salah dengar, he pengawal ?!"

   "Hahaha... Nyatanya memang tidak, tuan. Karenanya agar tuan tidak merasakan sakit yang amat sangat, angsurkan batang leher tuan."

   Gemeletuk gigi Rangga Paguhan. Nyatalah yang ia duga. Rupanya ini adalah rencana busuk Rakyan Grigis. Dan orang tua yang melawan Lurah Brahu-lah yang sesungguhnya menolong dan membantunya. Tetapi kini tinggalah sesal menggelayuti hatinya. Kesempatan menyelamatkan bayi, malah ia gagalkan dengan sendiri.

   "Sadarlah, anakmas Rangga Paguhan !" seru orang tua berambut putih, "Hadapi-lah begundal - begundal itu. Biarlah kunyuk satu ini yang aku lemparkan ke comberan !"

   Seruan itu ditanggapi anggukan dari Rangga Paguhan. Sebaliknya dengan Lurah Brahu yang marah bukan main, terbukti dengan berusaha menampar mulut orang tua yang mengoceh tak karuan. Tetapi sangatlah sulit mebghadapi orang tua yang tiba - tiba datang dan merusak rencana kelompoknya.

   Kini dua kalangan terbentuk dari pegulatan seru dan sengit diantara mereka. Tandang - tandang memdebarkan terlukis penuh guratan ancaman mencelakakan. Mulai dari perkelahian tangan kosong, hingga mengundang tajam dan kerasnya senjata.

   "Keluarkan senjatamu, tuan." ucap Tilam yang sudah mengeluarkan pedang pandan dari sarungnya.

   Kawannya juga demikian. Pedut menggenggam erat tombak pendek. Bangah dengan terampil mengayun - ayunkan ruyungnya. Sementara Juling, mempercayakan gada sebagai senjatanya.

   "Hm... Baiklah kalau begitu apa yang kau mau." kata Rangga Paguhan, seraya menarik pedang bermata dua.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 19
oleh : Marzuki

   "Hiaat... !" seru Tilam, mengawali serangan menggunakan pedang.

   Sebuah tebasan mengincar dada Rangga Paguhan. Kilatan pedang meskipun cepat dapat dihindari dengan mudah oleh Rangga Paguhan. Sambil menghindar, pedangnya menyusup lebih dalam dan mampu menyayat dada kiri Tilam, walau tidak terlalu dalam, membuat Tilam meringis sakit.

   Tetapi saat yang sama, tombak pendek Pedut dan gada Juling mengayun deras mengancam dua sisi pundak Rangga Paguhan. Untungnya serangan itu dilakukan oleh pengawal yang hanya memiliki bekal olah kanuragan, yang tidak terlalu tinggi. Karenanya, Rangga Paguhan dapat menyongsongkan pedang dan menyilangkan demi menahan laju gada dan tombak pendek. Sekaligus dihentakan seraya menyarangkan dua sepakan ganda.

   "Mati kau.... !" seru Bangah yang yakin ruyungnya dapat meremukan punggung lawan.

   Serangan gelap dari Bangah tidaklah menyulitkan Rangga Paguhan. Dari awal Senopati itu tetap mewaspadai semua lawan - lawannya. Oleh karena itulah serangan gelap dari Bangah, tidaklah sulit digagalkan, yaitu sembari memajukan badan segaris lurus dengan tanah, yang selanjutnya diteruskan membalikan badan dengan cepat, juga membabatkan pedangnya dengan cepat dan deras.

   "Craaas..... !"

   Ruyung serta daging Bangah terpotong lebar dan daging itu melelehkan darah yang banyak. Tepat di nadi pergelangan tangan, pedang Rangga Paguhan tadi bersarang. Menjadikan pengawal Bangah berteriak kencang dan langsung jatuh pingsan. Bila tidak mendapat pertolongan cepat, kemungkinan besar dia pasti tewas.

   "Setan alas... !" umpat Tilam, yang sudah tidak lagi menghiraukan lukanya.

   Usai mengumpat, ia memberi isyarat kepada kawan - kawannya. Terbentuklah lingkaran dari tiga manusia yang bersenjatakan pedang pandan, tombak pendek dan gada mengurung Rangga Paguhan. Ketiganya awalnya menggeser kaki pelan - pelan dan semakin menambah lajunya, hingga semakin cepat.

   Di dalam kepungan, Rangga Paguhan tidak memandang lawan - lawannya sebelah mata. Sikap waspada terus ia lakukan agar tidak menyesali dikemudian akhirnya. Karenannya matanya yang awas dan juga panggraita yang tajam, selalu bersiaga sepanjang waktu.

   Tidak lama kemudian, tiba - tiba salah seorang lawan meloncat menyerang. Gada Julinglah yang pertama menggempur meskipun dapat dielakan lawan, bergegas ia kembali menutup celah. Diteruskan kemudian tombak pendek Pedut meluncur deras mengincar punggung lawannya. Sekali lagi sergapan itu gagal dan mengembalikan Pedut ke tempatnya dengan kesal mendalam.

    "Mungkinkah kali ini yang bersenjata pedang pandan ?" pikir Rangga Paguhan.

   Kurang lengkap dan tak terduga. Bukan hanya Tilam yang bersenjata pedang saja, Pedut-pun juga ikut andil menusukan tombak pendeknya. Dua sergapan dilayangkan secara bersama dan cepat. Tak pelak membuat Rangga Paguhan menjadi berhati - hati agar tidak mengalami akhir yang buruk.

   Menyikapi sergapan yang tidak terduga, Rangga Paguhan memiringkan kepala sekaligus menyilangkan pedang di atas pundak kirinya. Setelah itu lututnya bergerak menyodok perut lawan, hingga lawan merunduk kesakitan. Berhasil melumpuhkan lawannya, tubuhnya mendoyong sedikit ke kiri, dilanjutkan putaran tubuh sekaligus tendangan memutar.

    "Heeegggg.... !"

   Leher Pedut bagai tertimpa batang pohon jati dan sulit bernapas dan membuatnya rebah tak berdaya. Di sisi yang lain, Tilam masih kesakitan memegangi perutnya.

   Tinggalah Juling si raksasa yang masih mencoba membesarkan hatinya. Gadanya mengayun - ayun menebas udara. Dan kemudian dibarengi teriakan penyemangat, ia tebaskan gada itu dengan kencang. Walau begitu, ia yakin lawan dapat mengelakan, dan benar saja. Dugaan itu sudah ia perkirakan dan sudah mempersiapkan serangan - serangan susulan. Cukup alot juga usaha dari Juling dalam menghadapi Rangga Paguhan. Orang itu terus berupaya menyerang dan mendesak lawannya.

   Gada Juling terayun mengerikan dan mendebarkan. Membuat lawannya terus mundur dan berloncatan kian kemari. Hal itu semakin membuat Juling yakin akan dapat menekan dan menghabisi lawannya. Tetapi itu hanyalah dugaan yang sia - sia. Karena sebenarnya, Rangga Paguhan tidaklah seperti yang dibayangkan oleh Juling. Senopati Kadiri itu berloncatan dan terus mundur, dalam rangka menguras tenaga Juling itu sendiri.

   Dan akhirnya memang begitulah. Tenaga Juling semakin lama kian menipis dan menyusut. Ayunan gadanya semakin lemah dan kadang membuatnya terseret oleh tenaga ayunan itu. Napasnya memburu deras seakan - akan ingin menerobos keluar semuanya. Dan keringat sebesar biji jagung menetes dari segala kulitnya, merembes membasahi pakaian yang ia kenakan.

   "Sudahlah, pengawal. Sebaiknya kau beristirahat saja. Tubuhmu sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perkelahian ini." Rangga Paguhan berusaha memperingatkan lawannya.

   "Diam !" bentak Juling yang masih menggerakan gadanya.

   Rangga Paguhan menggelengkan kepala dengan apa yang dilakukan oleh Juling. Bahkan saat gada itu sekilan mendekati kepala Rangga Paguhan, hanya menggerakan tangan kirinya, gada itu tertahan. Dan saat tangan Rangga Paguhan dihentakan, tubuh Juling terdorong dan jatuh tersungkur.

   "Bangkit Juling !" tiba - tiba seruan menggema.

   Rupanya Tilam sudah dapat mengatasi rasa sakitnya. Dan berusaha memberi semangat kepada kawannya yang tersungkur. Namun rupanya Juling sudah tidak mampu lagi menggerakan anggota tubuhnya. Pingsan-lah raksasa Juling.

   "He.. Kau ingin bertarung lagi, pengawal ?" tanya Rangga Paguhan.

   "Cih... !" Tilam meludah ke tanah.

   "Hm... " desuh Rangga Paguhan, "Mari majulah bila kau tidak dapat membaca keadaan."

   Sejenak Tilam mencoba memainkan pedangnya menebas udara. Sekali loncat, ia sudah mengancam lawan penuh perhitungan. Kembalilah adu olah senjata mewarnai padang ilalang. Denting beradunya senjata merobek ketenangan padang ilalang. Percikan bunga api dari hasil gesrkan pedang, ikut timbul menyemarakan perkelahian yang sebenarnya tidak seimbang itu.

   Sementara itu, Lurah Brahu keripuhan menghadapi tandang orang tua yang menggagalkan rencananya. Sudah sekian kali dan sekian lamanya menghadapinya, ua tak kunjung mengakhiri lawan yang sudah tua itu. Ilmunya seakan - akan tumpul tak berguna dan selalu dapat dimentahkan lawan. Padahal ilmu yang ia miliki adalah warisan dari ki Sambawa yang sangat disegani orang - orang kerajaan Majapahit. Hal itulah yang membuat Lurah Brahu penasaran siapa sebenarnya lawannya ini.

   "Kakek tua. Siapa kau ini ?"

   "Hehehe... Aku, ya aku... hehehe !"  celetuk kakek iti sekenanya.

   Mendongkol bukan kepalang Lurah Brahu. Sikapnya yang sungguh - sungguh malah disikapi tak semestinya oleh kakek tua.

   "Munyuk alas.... !" umpat Lurah Brahu kemudian, sambil terus menggempur pertahanan lawan.

   "Eladalah... !" desis kakek tua itu, sembari melayani sikap lawan yang beringas dalam menerapkan ilmu dari Canggu.

   "Hm.. Dasar ilmu yang kau sadap daru Sambawa memang hebat. Tetapi sikapmu yang tidak jernih seperti gurumu, menjadikan ilmu ini tak memiliki arti." kata kakek itu, disela - sela melayani lawannya.

   "Tahu apa, kau dengan perguruan kami ?!"

   "Hehehe... Sagotra Wineh Suka, ya itulah awal dari perguruan yang gurumu dirikan."

   Lurah Brahu meloncat menjaga jarak. Dahinya mengerut tanda heran dengan pengetahuan lawannya yang tahu segala seluk beluk perguruannya. Ini semakin membuatnya bertanya - tanya siapa jati diri lawannya. Bila dicermati, orang itu lebih tua dari gurunya yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Mungkinkah ia dahulu kawan atau lawan gurunya ? Sulit menebaknya.

   "Sagotra Wineh Suka, berdiri atas landasan mengemban keutuhan Wilwatikta setelah pemberontakan Sadeng. Rakyan Tumenggung Gajah Sagotra sendirilah yang memilah anggotanya dengan cermat dan teliti." sejenak kakek itu berhenti demi mengetahui kesan yang ditimbulkan oleh Lurah Brahu, "Perkumpulan itu bertahan cukup lama dan selalu ikut andil dalam menyatukan perpecahan priyayi agung. Hingga suatu kali adanya seorang yang sesat memasuki perkumpulan itu. Dan gurumu salah seorang yang ditipu-daya oleh orang sesat itu."

   "Cukup !" teriak Lurah Brahu, "Kau jangan menipuku, kakek tua !"

   "Aduh, ngger. Jangan kau berteriak terlalu keras. Lihatlah bayi ini jadi menggeliat dan mengernyipkan matanya." kata orang tua sambil menepuk pelan pantat bayi dalam dekapannya.

   Kesal bukan main Lurah Brahu. Sudah tidak mau lagi ia terbawa perasaan. Sekali sebat, ia sudah melancarkan serangan ganda dan mematikan. Tapi lawannya yang kelihatan biasa - biasa saja itu tidak mudah dikenai-nya. Tubuh orang tua itu sangat luwes dalam menghindari setiap serangan yang dahsyat dari Lurah Brahu.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 20
oleh : Marzuki

   Perkelahian seru masih terus berlangsung hingga matahari kian merangkak. Sang surya di langit memandang jelas dengan sinar teriknya tanpa halangan sang awan. Seolah ikut mengawasi adu olah kanuragan merebutkan bayi putra Pangeran Banyak Paguhan. Entah bagaimana jadinya diakhir perkelahian itu, tetapi yang tentu adalah adanya korban, entah itu pingsan atau bahkan kematian menghampiri mereka.

   Padang ilalang yang awalnya terasa damai dihari - hari biasanya, sejak tadi malam berubah kelam. Tiga sosok manusia menggeletak tak berdaya, sedangkan empat pasang kaki masih meloncat - loncat dengan tata gerak yang merusak tetumbuhan itu. Hanya diam dan pasrahlah yang dilakukan oleh ilalang itu. Karena tetumbuhan itu hanya dikodratkan untuk menyaksikan keadaan alam ciptaan Dzat Suci.

   Dua kalangan antara Lurah Brahu dan kakek tua, serta Rangga Paguhan dan Tilam, terus mengeluarkan bermacam - macam tata gerak. Tetapi sungguh ada perbedaan yang mencokok dari masing - masing pihak. Yaitu niat yang ada dalam diri masing - masing dalam melakukan tindakan itu. Angkara murka penuh nafsu menyusup diantara dua hati untuk meraih sesuatu kenikmatan dunia melalui jalan yang salah. Sedangkan disisi sebaliknya, adanya sifat mengayomi antara sesama menimbulkan tindakan pencegahan dan mengusir tindakan - tindakan angkara murka itu sendiri.

   Sudah sekian lama perkelahian itu, maka akhir dari perkelahian semakin mendekati akhir. Rangga Paguhan menggenggam erat pedang ditangannya. Sambil merendah mengelakan tebasan lawan, ia mendorong pedangnya ke depan. Pedang itu berhasil merobek perut lawannya dengan meninggalkan bekas goresan panjang dan darah deras mengalir dari perut lawannya. Dan robohlah orang itu ke bumi.

   Desuh napas mengiringi pandangan Rangga Paguhan, saat menyaksikan bagaimana lawannya tersungkur untuk selamanya. Tiada jalan lain selain akhir yang buruk seperti itu. Peringatan beberapa kali dari Rangga Paguhan tak diindahkan. Maka itulah jalan terakhir yang dipilih, yaitu kematian dari salah satu pihak. Dan dialah yang lemah-lah yang pertama dijemput oleh dewa maut.

   Tak berbeda jauh dari nasib Tilam, meskipun akhirnya masig lebih baik, Lurah Brahu semakin terdesak dan tertekan hebat. Ilmunya yang bersumber dari Sagotra Wineh Suka, selalu dapat dimentahkan oleh lawannya. Orang tua itu selalu selapis lebih tinggi diatasnya.

   "Kita sudahi, ngger.. " desis orang tua itu, sembari mengibaskan tangannya.

   Hebat jadinya, dari kibasan tangan orang tua itu, telah menimbulkan serangkum angin yang membuat tubuh Lurah Brahu terdorong jauh. Tubuh itu melanda ilalang sejauh lima tombak dan tak sadarkan diri.

   "Hm... Itu lebih baik daripada kau pergi ke alam lain.. " gumam orang tua itu.

   Dalam pada itu, Rangga Paguhan bergegas mendekati orang tua tersebut. Sesampainya didekatnya, selekasnya Rangga Paguhan meminta maaf atas kesalahpahaman yang terlanjur terjadi. Serta tak lupa meminta keterangan mengenai diri orang tua itu, yang sepertinya tahu segala - galanya.

   "Hm.. Anakmas, aku salah seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Orang menyebutku Sumantri."

   Rangga Paguhan mengernyitkan alisnya. Ia agak sangsi dengan keterangan dari orang tua itu. Baru sekarang ia mendengar nama seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan.

   "Itu tidak penting, Anakmas." kata ki Sumantri seraya melanjutkan ucapannya, "Anak inilah yang kau dahulukan untuk kau antarkan kepada orang tuanya. Dan ingat-lah, harus orang tuanya, jangan orang lain."

    "Memangnya mengapa, kyai ?" tanya Rangga Paguhan, heran.

   "Hm... Saat ini keadaan di telatah Wilwatikta dan sekitarnya sangat runyam."

   "He... " Rangga Paguhan tercekat.

   "Baiklah, sambil kita kembali ke pura Kadiri, akan aku ceritakan semuanya. Dan hal ini akan menyangkut junjunganmu yang masih muda itu." kata ki Sumantri seraya mengajak Rangga Paguhan bergegas ke pura Kadiri.

   Di jalan, keduanya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Dan tiada juga menemukan adanya orang - orang Rakyan Grigis. Maka selamatlah ki Sumantri dan Rangga Paguhan, di pura Kadiri.

   Sesampainya di pendopo, Pangeran Banyak Paguhan sendirilah yang menyambut kedua orang itu. Dan benar adanya kalau ki Sumantri merupakan orang yang dahulu mengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Juga merupakan seorang guru yang mengajarkan satu dua ilmu olah kanuragan.

   Setelah menanyakan kabar dan keselamatan masing - masing, Pangeran Banyak Paguhan yang mengetahui salah seorang putranya selamat, bergegas mengucapkan terima kasih kepada keduannya. Meskipun dalam hati ada sedikut ganjalan.

   Tetapi itu semua dapat dibaca oleh ki Sumantri. Oleh karenannya orang tua itu memberanikan diri untuk bertanya.

   "Anakmas Pangeran, pancaran hati dari anakmas begitu kentara hingga meresap keluar begitu kentalnya. Mohon kiranya anakmas sudi membagi kepada orang tua pikun ini."

   Sejenak, Pangeran yang berusia muda itu menghela nafas. Ia tak mungkin menyembunyikan masalah yang menimpa dirinya, terhadap orang tua yang tajam pranggaitanya itu. Maka kemudian ucapnya.

    "Eyang Sumantri, dibalik ketenangan Wilwatikta kala ini, bagaikan permukaan air brantas di musim kemarau. Bila dilihat dari atas, permukaan sangat tenang dan menghibur. Tetapi di dasarnya sungguh mendebarkan jiwa."

   Ki Sumantri mengangguk mengerti. Dirinya-pun juga menyimpulkan kesamaan mengenai suasana di Wilwatikta dan seluruh tanah kekuasaannya. Hanya Rangga Paguhan saja yang masih ragu dalam menyikapi keadaan yang tadi sedikit diceritakan oleh ki Sumantri. Tetapi sejenak kemudian, terdengar Pangeran Banyak Paguhan berkata lebih lanjut.

   "Benih pergolakan sudah ditebar oleh penguasa Kadiri. Dan kini benih itu melebar luas menggerogoti jiwa para Nayaka Praja."

   "Oh Jagat... " desuh ki Sumantri.

   Kemudian Pangeran Banyak Paguhan menceritakan lebih lengkap. Mengenai rincian pergolakan yang mulai dijalarkan oleh orang - orang yang ingin meruntuhkan Wilwatikta. Dan salah seorang dari mereka adalah Rakyan Grigis. Dengan berhasilnya tumenggung itu  mendapatkan salah satu bayi Pangeran Banyak Paguhan, maka jalan untuk menekan Pangeran yang cukup berani dari Kadiri, dapat dilaksanakan. Sehingga adanya pemusatan di Kadiri tidak akan merembes keluar.

   "Ki Rangga Paguhan... "

   "Hamba, gusti Pangeran."

   "Aku tugaskan kau untuk merebut kembali, putra. Namun kau harus berusaha menyamarkan dirimu. Dan jika kau berhasil, rawatlah ia di telatah Belumbang."

   "Sendiko dawuh, gusti Pangeran."

   Sejak saat itulah Rangga Paguhan menyembunyikan jati dirinya menjadi seorang pertapa. Ki Ajar Paguhan sekarang telah ia sandang sebagai gelar untuk ia gunakan merebut putra Pangeran Banyak Paguhan, yang bernama Bagus Wana. Setahun kemudian ki Ajar Paguhan berhasil menewaskan Rakyan Grigis dan membawa Bagus Wana ke telatah Belumbang. Di sana ki Ajar Paguhan juga merawat seorang anak yang bernama Kidang Rumeksa.

   Kedua anak itu mendapat gemblengan langsung oleh ki Ajar Paguhan berupa olah kanuragan. Siang malam keduanya menghabiskan waktu dalam menekuni ilmu - ilmu dari ki Ajar Paguhan.

   Dan di suatu hari, seorang kakek lanjut usia, datang berkunjung ke pondok dimana ki Ajar Paguhan dan dua muridnya berada. Kakek itu ternyata adalah ki Sumantri, seorang pengasuh Pangeran Banyak Paguhan. Kedatangannya merupakan utusan daripada Pangeran Banyak Paguhan itu sendiri. Yaitu untuk menilik keadaan Bagus Wana yang seharusnya dibawa ke pura Kadiri. Tetapi karena suatu sebab, hal itu diurungkan. Karena di pura terjadi kericuhan yang mencemaskan.

   Hanya tiga hari saja ki Sumantri berada di telatah Belumbang. Di hari yang terakhir, orang tua itu sempat meninggalkan pesan kepada ki Ajar Paguhan. Pesan itu adalah apabila sesuatu terjadi, hendaknya ki Ajar Paguhan menyampaikan kepada anak Kidang Rumeksa untuk mengunjungi gua yang tidak terlalu jauh dari Belumbang. Dan hal itu membuat ki Ajar Paguhan heran atas pesan ki Sumantri.

   Sebagai seorang yang waskita, ki Sumantri kemudian menjelaskan alasan mengapa dirinya berpesan seperti itu. Pertama, saat pertama bertemu dengan anak yang bernama Kidang Rumeksa, ki Sumantri melihat adanya hati yang bersih dari anak itu. Kedua, ada penglihatan yang meskipun samar, masa depan Kidang Rumeksa akan menjadikan dirinya seorang yang selalu mengurungkan tindakan - tindakan salah dari seseorang, tanpa adanya sikap membenci yang mendalam

   Uraian itu membuat ki Ajar Paguhan agak cemas. Yang mencemaskan adalah apakah seseorang yang selalu ditindak oleh Kidang Rumeksa adalah Bagus Wana ? Inilah yang menghawatirka bekas Rangga itu.

   Bertahun - tahun lamanya kehidupan di telatah Belumbang, aman sentosa. Hingga saat mendebarkan datang jua. Seorang lelaki yang berbadan tegap menghampiri Bagus Wana. Orang itu mengaku sebagai Demang Brahu yang merupakan adik dari Rakyan Grigis. Dan Demang Brahu mengatakan kepada Bagus Wana, kalau sebenarnya ayahnya adalah Rakyan Grigis, yang dibunuh oleh ki Ajar Paguhan.

   "Begitulah, paman Begawan." kata ki Panji Mahesa Anabrang, mengakhiri ceritanya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 21
oleh : Marzuki

   Begawan Jambul Kuning yang di masa mudanya bernama Raden Bancak putra Pangeran Banyak Paguhan, benar - benar tak mengira jika dirinya mempunyai saudara kembar. Bertahun - tahun lamanya, bahkan setelah orang tuanya tiada, dan bahkan disaat usia senja ia lalui, baru tahulah kebenaran mengenai keluarganya. Hal itu sungguh menjadikan tanda tanya besar pada dirinya kepada ayahanda Pangeran.

   Semenjak dirinya kecil hingga remaja, tiada sang ayahanda mengatakan kalau dirinya mempunyai seorang saudara. Begitu-pun dengan ibunda yang setiap hari tak pernaj menunjukan keanehan. Mengapa ? Mengapa ? Mengapa ? Apa alasan keduanya tidak pernah menceritakan kenyataan itu ? Tiada satu-pun pertanyaan itu terjawab.

   Di samping Begawan Bancak, Windujaya ikut merasakan kegetiran yang dipikul oleh gurunya. Namun ia hanya diam membisu saja dan menunggu sikap gurunya itu.

   Dalam pada itu, ki Mahesa Anabrang berkata, "Demang Brahulah yang mencuci otaknya, paman Begawan. Semua kenyataan tentang jati diri adik paman telah ia simpangkan."

   "Apakah orang yang disebut Demang Brahu itu masih hidup ?"

   Sebuah pertanyaan konyol itu sebenarnya disadari oleh Begawan Jambul Kuning, tetapi adanya rasa sesak yang begitu mendalam, membuat bibirnya berucap. Dan selekasnya Begawan Jambul Kuning menggelengkan kepala sekaligus berkata.

   "Ah.. Tentu tidak. Bila orang itu hidup, usianya pasti seratus lebih."

   Tetapi sekonyong - konyong ki Panji Mahesa Anabrang berkata, "Dia dikaruniai umur panjang, paman."

   "He... " Begawan Jambul Kuning, terkesiap.

    "Salah seorang prajuritku mengetahui keberadaannya di gunung Arjuno." terang, ki Panji Mahesa Anabrang.

   Pembicaraan itu terhenti sejenak, manakala dari pintu regol terlihat dua orang memasuki halaman. Dari salah satunya ki Panji Mahesa Anabrang dan yang lainnya sangat mengenali orang yang tidak bukan adalah Lurah Arya Dipa, putra angkatnya. Tetapi orang satunya, barulah kali ini mereka melihatnya.

   Usai berucap salam dan disambut, Lurah Arya Dipa dan orang bersamanya, dipersilahkan duduk. Saling menanyakan keadaan juga tidak dihindari, khususnya antara Begawan Jambul Kuning beserta Windujaya dan Lurah Arya Dipa yang sudah lama tidak bertatap muka. Barulah Arya Dipa memperkenalkan orang yang duduk di sampingnya.

   "Kyai Jalasutro.... " desis Begawan Jambul Kuning dan ki Panji Mahesa Anabrang, bersamaan.

   "Oh.. Tidak aku duga jika seorang linuwih seperti kyai, dapat aku jumpai disini." kata Begawan Jambul Kuning, yang sudah mendengar kehebatan orang itu.

   "Ah, Begawan terlalu berlebihan." kata kyai Jalasutro merendah.

   Dalam pada itu, selain memperkenalkan antara kyai Jalasutri dan ayahnya, dan tanpa diduga di pondok ayahnya yang kedatangan tamu kakeknya, Lurah Arya Dipa yang sebelumnya sudah menceritakan bagaimana kesamaan antara kakeknya Begawan Jambul Kuning dengan ki Wanapati kepada kyai Jalasutro, telah melakukan pembicaraan mengenai kenyataan keluarga kakeknya.

   "He.. Jadi, orang itu mendatangimu, ngger ?"

   "Iya, eyang Begawan. Untunglah kyai Jalasutro datang menolong." jawab Lurah Arya Dipa.

   "Terima kasih, kyai." ucap Begawan Jambul Kuning.

   Kyai Jalasutro menggeleng dan berkata, "Aku hanya tak ingin kawan sepermainanku itu celaka ditangan anakmas Arya Dipa."

   Semua orang tersenyum dengan apa yang dikatakan oleh kyai Jalasutro.

   "Oleh karenannya, aku meminta ijin untuk tinggal bersama keluarga anakmas Arya Dipa. Tiada lain maksudku ialah untuk menanti kembali Bagus Wana yang kini menyebut dirinya ki Wanapati." lanjut kyai Jalasutro.

   "Oh, baguslah hal itu, kyai. Kita bisa berbicara panjang lebar di rumah cucuku ini. Karena, aku-pun ingin menunggu kelahiran buah hatinya, yang tidak akan lama lagi." sahut Begawan Jambul Kuning.

   Maka, dihari - hari kedepannya, rumah Lurah Arya Dipa akan semakin ramai dengan adanya kyai Jalasutro dan Begawan Jambul Kuning, serta Windujaya. Canda gurau terdengar menghidupkan suasana rumah kelurga kecil Lurah Arya Dipa, meskipun tanpa lengah sedikit-pun atas sosok dari ki Wanapati yang masih mempunyai ikatan darah.

   Suasana rumah Lurah Arya Dipa, tidak terlepas dari pengamatan orang - orangnya ki Wanapati. Itu terbukti manakala ada seorang lelaki yang berhenti membeli dawet ditikungan jalan yang berhadapan dengan rumah Lurah Arya Dipa. Orang itu berpura - pura membeli dawet dan meminumnnya perlahan seraya bertanya.

   "Wah, dawet kisanak sungguh lain daripada yang lain." puji orang itu.

   Seorang pedagang jika dagangannya dipuji seseorang, tentu kebanyakan dari mereka akan berbesar hati dan senang.

   "Hehehe... Begitulah, tuan. Orang - orang yang sekali membeli dawetku, pasti datang ketagihan."

   "Hm.. Tentu - tentu. Jika aku lewat sini, pasti akan kucoba lagi dawet ini."

   "Lewatlah lagi, tuan. Bila tuan lewat jalan ini sebelum tengah hari, dawetku biasanya masih tersedia."

   "He.. Dawet dua pikul ini terjual hanya setengah hari ?" tanya orang itu, terkejut.

   "Memang sepertinya tuan baru lewat telatah sini. Di sini hanya dawetku saja yang laris manis. Kata orang, dawetku sungguh sangat menyegarkan."

   Orang itu mengangguk - angguk, lalu kemudian orang itu bertanya mengenai hal lain, "Kisanak, bukankah itu rumah seorang Tumenggung di masa Sultan pertama Demak ?"

   Tukang dawet itu mengernyitkan alisnya. Namun kemudian ia tersenyum dan berkata, "Benar, tuan. Tetapi sudah lama gusti Tumenggeng meninggal karena sakit. Dan rumah itu kosong hingga bertahun - tahun."

   "Lho.. Itu, ada penghuninya ?"

   "O, itu tamu yang akhir - akhir ini tinggal di rumah, yang sudah setahun ini dihuni oleh ki Lurah Arya Dipa, cucu gusti Tumenggung." terang tukang dawet.

   Orang yang beli dawet itu, mengangguk. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, bergegas ia membayar dan melangkah pergi dengan melewati depan regol rumah Lurah Arya Dipa. Dan saat melewatu itulah, terlihat dua orang tua yang duduk di tlundakan. Hanya satu yang membuat orang itu agak terkejut. Yaitu ketika melihat wajah dari salah satu orang itu.

   "Wajahnya begitu mirip dengan ki Wanapati... " desis orang itu, yang terus berlalu.

   Orang itu kemudian menuju sebuah pategalan yang ditumbuhi pohon lamtoro dan pohon nangka. Di saat sampai ditengah pategalan, disitu terdapat adanya gubuk terbuat dari pohon bambu dan beratapkan daun blarak yang dianyam. Rupanya gubuk ini adalah tempatnya bermalam.

   "Kau, sudah datang, Galah ?" seseorang yang baru keluar dari gubuk, mengajukan pertanyaan.

   "Bukankah kau sudah lihat sendiri kalau aku baru tiba, Supa ?"

   "Hehehe... Kau seperti biasanya. Hm, masuklah. Aku sudah membuat wedang sere." kata Supa.

   "Hm.... " desuh Galah yang mengikuti Supa.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 22
oleh : Marzuki

   "Kau pasti tak akan percaya, Supa."

   Supa menggeser letak duduknya dan tanyanya, "apa yang kau maksud, Galah ?"

   "Rumah Lurah muda itu kedatangan seorang tua yang mirip dengan wajah ki Wanapati."

   "Kau bicara mengada - ada, Galah. Apa kau sudah mabuk dawet ?"

   "Semprul, kau Supa." umpat Galah, "Tadi aku sudah bilang, kalau kau tidak akan mudah untuk mempercayaiku."

   Supa mencoba mempercayai ucapan kawannya. Apakah benar kalau orang yang berada di rumah Lurah Arya Dipa sangat mirip dengan ki Wanapati. Dan tak lama kemudian, Supa ingin membuktikan keterangan dari Galah. Maka ia bangkit berdiri dan beranjak pergi.

   "He, mau kemana kau ?" tanya Galah, agak kesal karena ditinggal begitu saja.

   "Membuktikan omonganmu.. " sahut Supa yang sudah berada di luar gubuk.

   "Terserah kau... "

   Supa penasaran dengan orang yang mirip dengan ki Wanapati. Disetiap langkahnya terus terbayang kemiripan apa saja yang ada diantara keduanya. Sehingga tiada terasa kelokan jalan sudah dilewati dengan cepat. Gubuk di pategalan sudah jauh dibelakang tak terlihat lagi. Kini langkahnya menapaki jalan yang umum dilewati oleh khalayak ramai. Kadangkala ia berpapasan dengan pejalan lainnya dan apabila ada seseorang penunggang kuda, terpaksa ia menepi.

   Akhirnya sampai juga Supa ditikungan jalan dekat rumah Lurah Arya Dipa. Yang tadi disitu ada penjual dawet, sudah tak ada lagi. Berhentilah Supa disitu.

   "Mencari siapa, kisanak ?" sebuah teguran terdengar dari arah belakang Supa.

   Supa agak kaget, meskipun dengan cepat ia menguasai keadaan kembali. Dilihatnya dibelakang ada seorang lelaki muda menuntun kuda. Dari penampilannya, lelaki muda itu hanyalah orang biasa saja. Lantas Supa berpura - pura untuk memperkenalkan diri sebagai pedagang.

   "Oh, kisanak mengagetkan aku saja." kata Supa, "Biasanya disini ada penjual dawet, tapi apa mungkin sudah habis ?"

   "O.. Memang benar, kisanak. Ki Talam biasanya menggelar jualannya disini. Tetapi bila mataharu sudah menggelincir ke barat, dawetnya yang dua pikul sudah ludes terjual."

  Supa mengangguk, lalu katanya kemudian, "Ah, sayang sekali."

   "Bila kisanak bersedia, mari singgah di gubukku." lelaki muda itu menawarkan.

   "Ah, terima kasih. Mungkin lain kali saja. Mumpung hari masih terik, sebaiknya aku melanjutkan perjalanan."

   "Silahkan, kisanak."

   Sehabis berpamitan, Supa melangkahkan kakinya melewati depan regol rumah Lurah Arya Dipa. Begitu tepat di depan regil yang terbuka, ia sejenak melayangkan pandang menyusuri halaman. Tetapi tiada nampak orang disitu. Lantas ia pesatkan langkah kakinya.

   Sementara itu, lelaki muda tadi yang masih berdiri ditikungan, mengerutkan alis manakala mendapati orang yang mengaku pedagang tadi, memperhatikan rumah Lurah Arya Dipa. Lelaki muda itu merasakan kalau orang yang mengaku seorang pedagang tadi, ingin mengetahui keadaan rumah itu.

   "Siapa orang tadi ?" desis lelaki muda, yang ternyata adalah Lurah Arya Dipa itu sendiri.

   Sebenarnya tadi Lurah Arya Dipa yang baru pulang dari sungai, tanpa sengaja melihat seseorang yang berdiri di tikungan jalan dengan tampang yang mencurigakan. Oleh karenanya dari jauh ia turun dari pelana kuda dan menuntun kudanya dengan sangat perlahan. Sehingga saat dekat dengan orang tadi, dan menyapanya, membuat orang itu kaget.

   Malah ditambah lagi saat orang itu melewati jalan depan regol rumahnya. Mata orang itu begitu kentara adanya sesuatu yang dicari. Oleh karenanya, Lurah Arya Dipa berusaha menarik tali simpul dari keadaan diakhir - akhir ini. Sehingga dugaan yang paling mendekati di hati Lurah muda itu yaitu, mengkaitkan orang mencurigakan tadi dengan seorang yang bernama ki Wanapati.

   "Bisa jadi dia adalah orang - orangnya ki Wanapati." batin Lurah Arya Dipa, sembari memasuki regol.

  Dibawanya kuda menuju kandang yang berada di belakang rumah dan ikat di patokan yang tersedia. Tak lupa sekeranjak rumput ditaruh di depan kuda, sebagai makanan kuda kesayangannya.

   "Makanlah yang kenyang, Jatayu.. " desis Lurah Arya Dipa, sambil membelai kepala kuda itu.

   Kuda itu meringkik perlahan. Seakan - akan mengiyakan ucapan dari tuannya. Dengan lahapnya kuda itu mengunyah rumput yang menyegarkan bagi tubuhnya. Sejenak Lurah Arya Dipa masih terus memperhatikan tingkah laku Jatayu. Kuda yang menemaninya semenjak usianya masih belasan tahun. Kuda jantan yang kokoh, tinggi dan besar, berlari pesat layaknya tidak menapak tanah saja.

   "Kau disini rupanya, kakang.. " Ayu Andini menyapa dari arah belakang.

   Sembari membalikan tubuh, Lurah Arya Dipa tersenyum menyaksikan istrinya yang menghampirinya. Dilihatnya perut istrinya yang membuncit adanya calon jabang bayi, putra pertamanya. Dan mulut Lurah muda itu terbuka.

   "Angger, nyenyak-kah kau ? Lihatlah, disini Jatayu asyik menikmati makan siangnya.." kata Lurah Arya Dipa, sembari membelai perut istrinya, penuh kasih sayang.

   Pada saat namanya disebut oleh tuannya, Jatayu meringkik perlahan dan menoleh ke arah perut Ayu Andini, seolah menyapa anak yang ada dalam kandungan Ayu Andini.

   "Kakang.. "

   "Ada apa, Ayu ?"

   "Tadi pagi ada seseorang yang terus memperhatikan rumah kita." kata Ayu Andini, perlahan.

   Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, tetapi mencoba menenangkan istrinya, "Ah, mungkin hanya sebatas saja, Ayu."

   "Tidak, kakang. Bahkan ki Talam yang merupakan orang awam, sangat mencurigai orang itu." sergah Ayu Andini, "Bahkan orang itu menanyakan apakah rumah ini masih dihuni eyang Tumenggung dan menanyakan siapa saja yang menghuninya."

   "Hm... Kau tak perlu memikirkan hal itu, Ayu. Yang paling utama, kau pusatkan kelahiran dari buah hati kita. Tenanglah, di rumah ini ada eyang Begawan dan adi Windujaya. Dan bukankah Kyai Jalasutro juga ikut menginap disini ? Jadi, sekali lagi, kau harus bersikap tenang." Lurah Arya Dipa, mencoba menentramkan istrinya.

   Ayu Andini mengangguk mencoba mengikuti pesan dari suaminya itu. Memang benar apa yang diucapkan oleh suaminya, di rumahnya berkumpul orang - orang tua yang mumpuni, juga ada Windujaya yang merupakan murid tunggal Begawan Jambul Kuning. Dan apabila memungkinkan, mereka dapat meminta pertolongan dari ayahnya, ki Panji Mahesa Anabrang.

   Tidak terasa senja diambang mata. Sinar lembayung mulai menghiasi indahnya langit. Perlahan namun pasti, sang surya kembali keperaduannya dan digantikan kerlap - kerlip gemintang. Menambah suasana temaram menjelang malam. Ublik, dian dan beberapa penerangan di rumah - rumah telah dinyalakan demi menghidupkan keadaan gelap di ruangan tertutup maupun terbuka.

   Di ruang utama rumah Lurah Arya Dipa pun sudah diterangi sinar dian. Di situ terlihat jelas Windujaya membelai keris pusakanya yang berbeda dari keris pada umumnya. Sementara berjarak selangkah darinya, Kyai Jalasutro menggerak - gerakan kipas bercorak burung merak. Lain lagi dengan orang tua satunya, matanya terpejam sembari bibir bergerak lirih layaknya berucap sesuatu, rupanya ia asyik memuji keagungan Sang Pencipta.

   "Begawan.. " desis Kyai Jalasutro.

   Sapaan itu menghentikan Begawan Jambul Kuning dari keasyikannya memuji Hyang Agung dan mulai membuka matanya.

   "Iya, Kyai.. "

   "Apakah Wanapati tiada berjumpa denganmu di suatu kali ?"

   Orangtua yang menetap di gunung Bancak itu menggeleng, "Tak pernah barang sekejab, Kyai. Kecuali hanya kebetulan saja aku berpapasan di luar gerbang kotaraja."

   "Hm.. Mungkinkah ia benar - benar tertipu oleh ucapan Demang Brahu ? Dan apakah ia membekukan hainya ?"

    Hanya lengang yang didapat. Dalam kepala Begawan Jambul Kuning atau-pun Windujaya, tidak dapat menemukan jawaban yang membuat Kyai Jalasutro akan lega, karenanya keduanya memilih membisu. Sangat sulit menerka hati seseorang yang dalamnya melebihi palung lautan.

   Pada saat itulah dari ruang dalam, Lurah Arya Dipa berjalan dan duduk bersama mereka.

   "Kau sudah pulang, ngger.. "

   "Iya, eyang." Sahut Lurah Arya Dipa, lalu katanya kemudian, "Eyang, sepertinya rumah ini sedang diawasi."

   Semua orang menatap Lurah muda itu. Kata - kata itu sepertu memang ditunggu - tunggu.

   "Hm.. Apakah dari orang - orangnya Wanapati ?" Kyai Jalasutro langsung bertanya.

   "Entahlah, Kyai. Berbagai kesimpulan belum sepenuhnya tertuju kepada ki Wanapati." kata Lurah Arya Dipa, "Karena, tadi siang, kata Ayu Andini ada orang yang mengungkit rumah eyang Tumenggung ini."

   Begawan Jambul Kuning mengernyitkan alisnya. Ia teringat dengan besannya yang sudah lama meninggal, seorang Tumenggung tangguh tangan kanan Sultan Patah. Mungkinkah ada kerabat Tumenggung itu yang tidak suka terhadap cucunya ? Ini akan menambah masalah saja bagi cucunya.

   "Dipa.. " kata Begawan Jambul Kuning, "Mungkinkah orang itu kerabat eyangmu yang tidak setuju kau menempati rumah ini ?"

   "Entahlah, eyang. Tetapi menurut Kanjeng Sultan, kerabat eyang Tumenggung tidak lagi mempersoalkan rumah ini. Apalagi ini adalah tanah yang dihadiahkan oleh mendiang Prabu Glagahwangi."

   "Angger hendaknya terus waspada. Aku akan mencoba membantu jikalau ketenangan kediaman angger terusik." kata Kyai Jalasutro.

   "Benar, kakang. Walau adikmu ini hanya memiliki ilmu seujung kuku, aku-pun enggan berpangku tangan jika ketentraman kakang dan mbakyu Andini terganggu." Windujaya ikut menyanggupi untuk menjaga kediaman Lurah Arya Dipa.

   Lurah Arya Dipa, tersenyum.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 23
oleh Marzuki

   Selang dua hari, kediaman Lurah Arya Dipa kedatangan bakul dawet yang biasa berjualan tak jauh dari rumah itu. Saat itu Ayu Andini-lah yang menerimanya dan dipersilahkan ke pringgitan. Tetapi bakul dawet menolaknya, karena hanya ingib menyampaikan pesan saja kepada Lurah Arya Dipa.

   "Kakang Dipa belum pulang dari kesultanan, ki." kata Ayu Andini.

   "Aku hanya ingin menyampaikan pesan saja, nini." kata bakul dawet, yang kemudian katanya, "Tadi ada seseorang yang mengaku kenalan anakmas Dipa.. "

   Demi mendengar itu, Ayu Andini mengernyitkan alisnya, tetapi ia tidak menyela dan menunggu kelanjutan dari bakul dawet itu.

   "... Orang itu mengharap kehadiran anakmas sendiri di gumuk luar gerbang. Yaitu sekitar wayah sepi bocah nanti."

   "Tahukah ki Talam dengan orang itu ? Barangkali ia menyebutkan nama atau asal usulnya ?" tanya Ayu Andini.

   Bakul dawet itu menggeleng, "Tidak, nini. Aku sendiri juga lupa untuk menanyakan hal itu."

   Ayu Andini memaklumi sikap ki Talam, "Baiklah, ki Talam. Terima kasih, bila nanti kakang Dipa pulang, akan lekas kuberitahu."

   "Baiklah, nini. Kalau begitu aku pamit dahulu. Hari sudah semakin siang."

   Melangkahlah ki Talam penjaja dawet keluar dari regol kediaman Lurah Arya Dipa. Hanya tatapan cemas yang tertinggal di belakang orang itu bersumber dari wanita muda yang mengandung tua yang tiada lain Ayu Andini. Kecemasan wanita muda itu berpangkal adanya pesan mencurigakan yang dititipkan kepada ki Talam.

   "Kenapa hatiku tak enak ?" desis Ayu Andini, lirih.

   "Apa yang kau pikirkan, mbakyu ?"

   Suara yang sebenarnya wajar itu, mengejutkan Ayu Andini. Sehingga tubuhnya agak tersentak. Hal itu membuat orang yang bertanya, mengerutkan dahinya, apalagi ketika orang itu menatap kesan di wajah Ayu Andini yang gelisah.

   "Sakitkah kau, mbakyu ?"

   "Ah, adi Windujaya. Tidak... Tidak.. " sergah Ayu Andini, "Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku mengenai pesan untuk kakang Dipa."

   "Pesan untuk kakang Dipa..." ulang Windujaya.

   Lalu Ayu Andini menceritakan kedatangan ki Talam yang mendapat pesan dari seseorang untuk disampaikan kepada Lurah Arya Dipa. Namun orang yang menyampaikan pesan tiada menyebut jati dirinya, sehingga hal itu menggelisahkan hati Ayu Andini. Apalagi akhir - akhir ini ada kejadian yang terjadi di kediamannya, mulai datangnya ki Wanapati, dan dua orang yang mengawasi rumahnya.

   "Begitulah, adi."

   "Tak usah dirisaukan, mbakyu. Biarlah kakang Dipa yang memutuskan, apakah ia menyanggupi pesan itu atau tidak." kata Windujaya.

   Ayu Anduni mengangguk.

   Hari merambat sesuai kodratnya. Apa yang dinantikan oleh Ayu Andini dengan dada berdebar, tiba jua. Lurah Arya Dipa telah pulang dari kesultanan dengan peluh mewarnai dada bidangnya. Dengan sigap Ayu Andini menyambut kedatangan suaminya itu. Dilayaninya sang suami penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Air kendi dihidangkan dan disambut penuh rasa syukur oleh Lurah Arya Dipa.

   Air kendi terasa sejuk saat air itu mengalir melewati tenggorokan. Rasa lelah seharian penuh dalam tugas sebagai prajurit, terobati jua. Akhir - akhir ini banyak tugas yang diembannya baik dari kesatuannya atau-pun tugas rahasia dari sang nata. Tetapi saat Lurah muda itu menatap raut muka sang pujaan hati, telah tersirat adanya kegelisahan meskipun sang istri berusaha menutupinya, tetapi tak pelak dapat dibaca oleh Lurah Arya Dipa.

   "Ayu, adakah yang ingin kau katakan ?" tanyanya dengan halus.

   "E.. Kakang Dipa, tadi ki Talam ke sini." kata Ayu Andini.

   "Ki Talam bakul dawet itu ?"

   "Benar kakang.. "

   "Lalu ?"

   Ayu Andini tidak langsung menjawab, melainkan menggeser letak duduknya dan barulah ia menyampaikan pesan yang ia terima dari ki Talam. Semuanya ia tuturkan dengan runut tanpa mengurangi dan melebihi.

   Lurah Arya Dipa yang mendengar pesan itu tidak nampak perubahan ombak di wajahnya. Ini menandakan kalau Lurah muda itu lebih matang dalam menyikapi keadaan.

   "Wayah sepi bocah di gumuk luar kotaraja. Adakah kau mengatakan adanya pesan itu kepada yang lainnya, Ayu ?"

   "Baru adi Windujaya saja yang tahu. Eyang Begawan dan Kyai Jalasutro belum pulang dari kunjungan ke rumah  ayah Mahesa Anabrang."

   "Hm... Baiklah, aku akan meminta adi Windujaya untuk tetap berdiam di sini."

   "Tapi kakang.... " kata Ayu Andini yang mencemaskan suaminya.

   "Tak mengapa, Ayu. Berdo'a-lah meminta perlindungan Dzat Yang Maha Agung untuku."

   Sejenak kemudian Lurah Arya Dipa menemui Windujaya dan mengharap pertolongannya untuk menjaga kediamannya. Dan saat Lurah Arya Dipa akan menunggangi Jatayu, Begawan Jambul Kuning dan Kyai Jalasutro memasuki regol, kedua orang tua itu tertegun manakala melihat Lurah Arya Dipa sepertinya akan keluar.

   "Akan mau kemana kau ngger ?" tanya Begawan Jambul Kuning.

   Dan Lurah muda itu menuturkan sebanarnya.

   "Jangan sendiri, anakmas." Kyai Jalasutro berkata, "Biarlah salah satu dari kami ikut bersamamu."

   "Terima kasih, Kyai. Biarlah aku sendiri saja, demi menghormati orang yang mengundangku itu." Lurah Arya Dipa berusaha menolak tawaran dari orang - orang tua itu, "Lebih baik eyang dan Kyai menjaga rumah ini."

   "Hm.. Baiklah dan berhati - hatilah."

   Sebelum pergi Lurah Arya Dipa memandang istrinya dan tersenyum, tak lupa juga mengangguk hormat kepada kedua orang sepuh. Lalu tak terlalu lama terdengarlah derap kaki Jatayu keluar dari regol dan laru kencang menapaki jalan.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 24
oleh Marzuki

   Gumuk di luar gerbang kotaraja semakin terlihat dihadapan mata. Petang mulai menyelimuti jalan yang biasanya sering dilewati orang - orang yang berlalu lalang ke kotaraja atau-pun sebaliknya. Tapi, saat wayah sepi bocah, jalan ity tampak lengang dan terbilang sepi.

   Tiada cahaya sedikit-pun yang menerangi jalan menuju gumuk itu. Apalagi bulan wayah tilem, dimana cahaya pantulan matahari tak ada. Semakin gelaplah suasana gumuk tersebut. Meskipun begitu, seorang penunggang kuda tetap tegar menyibak kegelapan yang menghadang. Penunggang kuda yang tiada lain ialah Lurah Arya Dipa, terus memacu kuda mendekatu gumuk.

   Tepat dua langkah dekat pohon mahoni, Lurah Arya Dipa turun dan menuntun Jatayu dan mengikat kuda itu di pohon tersebut. Selanjutnya ia memperhatikan keadaan sekitar dengan teliti, tiada sejengkal-pun terlewatkan sedikit-pun. Mata setajam garuda yang dilambari aji pandulu dapat menjadikan mata pemuda itu awas. Keadaan yang begitu gelapnya, tersibak dan mampu dilihat apabila ada sesuatu gerak yang ditimbulkan entah itu serangga atau-pun angin.

   Lima tombak dari tempat Lurah Arya Dipa berdiri, dua orang berjongkok sembari menyembunyikan keberadaannya. Meskipun begitu itu semua sia - sia belaka, Lurah Arya Dipa dapat mengetahui keberadaan mereka. Itu terbukti ketika Lurah muda menyapa dengan halus.

   "Selamat malam, kisanak. Aku datang memenuhi undangan kalian !"

   Hati kedua orang itu tercekat. Keduanya tak mengira kalau pemuda itu dapat mengetahui keberadaan mereka dengan mudahnya. Padahal jarak lima tombak serta digelapnya malam ditambah rapatnya semak belukar. Tetapi sebagai seorang yang sudah berpengalaman terjun dikancah olah kawijayan dan kerasnya dunia, keduanya berusaha mengumpulkan kembali kebulatan hati, dan keduanya bergegas keluar.

   "Warta yang ditiup angin itu rupanya tidak salah sedikit-pun." ucap seorang yang bersedekap, "Lurah muda yang memiliki segudang ilmu kawijayan dan kadigdayan, sayang ia menempatkan dirinya diseberang jalan."

   Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tidak satu-pun dari keduanya yang ia kenali. Tetapi sepertinya mereka banyak mengetahui tentang dirinya. Hanya satu kesimpulan yang pasti dapat disimpulkan dari perilaku orang - orang itu yang ia duga.

   "Kisanak, apa maksud kisanak berkata seperti itu ? Dan siapakah kalian ini ?" tanya Lurah Arya Dipa.

   Satu orang yang lain mendehem dan selanjutnya angkat bicara, "Huh, kita sudahi saja pembicaraan yang sia - sia ini. Galah, sebaiknya kita selesaikan saja dan segera kembali ke Wetan."

   "He, jaga ucapanmu, Supa.. " bisik Galah yang sedikit kecewa atas kesembronoan kawannya.

   Meskipun orang yang bersedekap itu tadi berbisik, Lurah Arya Dipa dapat menangkap dan ia mengangguk semakin nyata dugaan dalam hatinya.

   Sementara itu Supa yang diingatkan kawannya tak menggubrik sedikitpun. Malah tangannya meraba tangkai pedang yang menggantung dipinggang kirinya. Matanya yang melotot seakan ingin menerkam pemuda di depannya, menandakan kalau orang itu sudah tidak sabar lagi untuk menyelesaikan dengan kasar.

   "Malam ini adalah malam terakhirmu, anak muda !" seru Supa.

   Tahu - tahu Supa sudah meloncat dengan gerakan membacok. Angin yang ditimbulkan tak olah - olah. Serangan cepat dan tak terduga itu penuh ancaman yang dapat mencelakakan. Dengan keyakinan tinggi Supa merasa pastu dapat menempatkan pedangnya dibagian tubuh lawannya. Tetapi alangkah terkejutnya manakala pedangnya hanya menemui angin belaka.

   "Sial !" umpatnya, tetapi cepat Supa meloncat menjaga jarak.

   Untunglah lawannya tidak berniat membalas, melainkan hanya menanti apabila kawan Supa bergerak menyerang. Sebenarnya lawannya yang muda itu masih ingin menjajaki kemampun Supa.

   Di lain sisi, Supa merasa terkejut dengan kemampuan lawannya. Ia tak mengira jika lawannya itu dapat menghindari kecepatannya dengan mudah.

   "Galah, ayo !" ajak Supa sebagai tanda untuk bergerak.

   Galah menggangguk tanda setuju. Maka keduanya sudah bergerak menyerang dengan senjata terhunus. Terjadilah perkelahian yang seru di gumuk pada malam itu, hentakan demi hentakan mengalun menimbulkan angin tersibak sedemikian rupa.

   Suatu kali pedang Supa menebas lawannya, tetapi lawannya yang hanya mengisar kakinya dapat mengelak. Namun saat itu juga, Galah sudah menanti menggunakan tajamnya senjata mengarah lambung lawannya. Dan sekali lagi sergapan itu terhindarkan oleh lawan.

   Walau begitu, kedua tak pernah memadamkan ketekadtannya untuk mencacah tubuh lawan satu ini. Rasa penasaran yang amat sangat menggelitik hati keduanya dan menambah gelora yang tinggi. Karenanya semangat besar itu menggerakan keduanya semakin hebat dalam menggempur lawan muda tersebut.

   Putaran - putaran senjata berbagai gerak melibas segala arah tubuh Lurah Arya Dipa. Pemuda itu luar biasa dalam setiap langkahnya. Gerakan lincah bak burung garuda terus diperagakan dengan indahnya. Kesebatan senjata lawan sulit menemui sasaran berupa tubuh Lurah Arya Dipa. Padahal lawannya bukanlah orang yang tak tahu tingginya dunia olah kanuragan.

   Waktu terus berlanjut semakin seru. Perkelahian sudah berlarut - larut tiada ujung. Keringat Supa dan Galah menyembul merembes membasahi pakaian. Tetapi belum jua mereka dapat melukai kulit lawan. Jangankan kulit, bayangan pakaiannya saja tak dapat dikenai barang sedikit-pun. Padahal keduanya sudah mengerahkan semua tenaganya, bahkan tenaga cadangan-pun sudah dihentakan sedemikian derasnya.

   Demikian itu merupakan usaha dari Lurah Arya Dipa untuk menguras tenaga lawannya dan juga untuk menangkap keduanya hidup - hidup. Dan yang paling pasti adalah mencari kepastian dugaan orang dibalik kejadian ini. Sehingga upaya pelemahan dilakukan dengan memaksa lawannya bergerak lebih sering.

   "Setan alas !" umpat Supa sembari menyeka keringat di dahinya.

   Belum lagi keringat di dahinya kering sepenuhnya, juluran tangan telah mengagetkan Supa. Tak sempat dirinya menepis atau menghindar, dan akibatnya tubuhnya terdorong ke belakang dan membuat tubuhnya bergulingan melanda tanah. Hanya bibir saja yang akhirnya merintih kesakitan, dimana merasakan tubuhnya yang bagaikan ditusuk - tusuk jarum, pediu dan nyeri sampai ke tulang sumsum.

   Mendapati kawannya tumbang, Galah semakin menggebu - gebu kemarahan bercampur kesal. Tangkai pedang yang tergenggam erat, ia gerakan menusuk lawan. Kali ini tusukan ia lambari dengan kekuatan penuh. Ia berharap kali ini merupakan serangan pamungkas untuk mengakhiri lawannya. Tetapi alangkah sembrononya Galah, lawannya yang masih berdiri membelakanginya dapat merasakan angin yang menderu. Hanya sekali sebat, lawannya mengisar kaki sembari meraih pergelangan tangan Galah. Selanjutnya tangan satunya sudah menyentuh leher belakang Galah.

   Suara pedang jatuh terdengar dibaringi jerit kecil daru mulut Galah. Orang itu lunglai tak sadarkan diri dalam kekuasaan Lurah Arya Dipa.

   Dalam pada itu dari bawah pohon randu, terdengar gerung menyeramkan. Gerung kegeraman dari seseorang yang menyaksikan kekalahan Supa dan Galah. Dan tidak menunggu lebih lama, orang itu meloncat mendekati bekas kalangan.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 25
oleh : Marzuki

   Kedatangan orang itu membuat Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya. Ia merasa pernah bertemu dengan orang tua itu. Dan sejenak kemudian barulah ia ingat dengan orang tersebut, yaitu tatkala ramainya perebutan pusaka kyai Sangkelat di tepian sungai Brantas, pada tahun - tahun yang lalu.

   "Anak sombong, jangan kau deksura dengan hanya merobohkan cecunguk - cecunguk itu !" seru orang tua itu.

   "Ah, ki Sardulo Liwung salag mengerti. Aku berlaku sewajarnya saja." ucap Lurah Arya Dipa.

   "Hmm... " desuh ki Sardulo Liwung, sambil mengibaskan tangannya.

   Ternyata orang tua itu adalah tokoh kanuragan pesisir kidul di Bang Wetan. Seorang ahli kanuragan yang mendapat gelar macan pesisir Prigi, karena asalnya memang dekat dengan pantai Prigi. Orang ini juga salah seorang yang mendebarkan dengan ilmu Serat  Tirta serta auman aji Pekik Sardulo. Dahulu dikala perebutan Kyai Sangkelat, ki Sardulo Liwung ikut bersama - sama kelompok Raden Sajiwo, tetapi usaha kelompok itu hancur atas munculnya Lurah Arya Dipa dan Jati Pamungkas atau orang bercambuk. Semenjak kekalahannya itulah ki Sardulo Liwung bertekad mengobati rasa kekalahannya dengan cara mencari dua pemuda tersebut. Kini akhirnya ia dapat menjumpai salah satunya. Maka saatnya-lah rasa sakit hatinya akan ditumpahkan kepada pemuda itu.

   Tak perlu lama - lama, ki Sardulo Liwung mulai merangsek ke depan. Tangan kanan berlambarkan pukulan mematikan sudah siap menggebrak. Dalam pikiran orang tua itu hanyalah hasil kematian daripada pemuda itulah yang diharapkan. Karena itulah sejak serangan pertama, ki Sardulo Liwung sudah menerapkan kemampuannya dengan sepenuhnya.

   Tetapi Lurah Arya Dipa bukanlan orang - orangan sawah yang diam sebagai sasaran latihan. Dia merupakan manusia pilih tanding yang memiliki naluri kehidupan. Apalagi dirumah, seorang wanita muda menunggu bersama calon jabang bayinya. Karenanya, Lurah muda itu mau tidak mau harus menerapkan ilmunya. Selapis aji Niscala Praba mulai menyelimuti tubuhnya.

   "Ceees..... !"

   Pertemuan pertama telah membuat keduanya terhenyak. Ki Sardulo Liwung tak mengira kalau pukulan berlambarkan aji Serat Tirta terhambat sesuatu yang tidak kasat mata. Sementara bagi Lurah Arya Dipa, pukulan itu dapat menggetarkan lapisan aji Niscala Praba, meskipun baru permukaannya saja.

   Walau begitu, perkelahian tetap berlanjut dengan adu siasat dari tata gerak masing - masing. Serulah malam di gumuk itu dengan adanya dua manusia luar biasa yang mendapat limpahan dari Dzat Suci. Angin menderu - menderu membuat debu berterbangan, begitu-pun halnya dengan daun - daun yang menguning telah rontok dari dahan - dahannya.

   Pergerakan - pergerakan hebat menyembur saja tanpa hambatan dari sumber - sumber masing - masing. Satu sisi tata gerak bercorak pesisiran, menggambarkan kencangnya ombak mengalun deras membuncah dan menerpa batu karang. Sisi lain juga tak kalah hebat, dimana pemuda satu itu layaknya burung garuda yang mengepakan sayap demi menghindaru terjangan ombak, dan suatu kali cakar tajam menyusup membelah ganasnya ombak. Sungguh hebat dan mendebarkan malam itu, dimana bulan tilem menjadi saksi keperkasaan manusia, walau-pun bila dibandingkan dengan Sang Pencipta, itu tiada nampak.

   Malam semakin merambah singgasananya, perkelahian itu juga merangkak semakin tinggi dalam tatarannya. Pintu gudang perbendaharaan ilmu terbuka lebar menampakan bermacam ilmu yang mereka pelajari. Tata gerak aneh dan cepat terus mengganas mencaru mangsa dan melahap tanpa rasa jerih. Pukulan, tendangan, gaplokan, sodokan, sepakan, bahkan kepala-pun ikut menyuarakan keganasannya.

   "Rasakan ini... !" teriak ki Sardulo Liwung sembari mengangkat kakinya.

   Lawannya dengan sebat mengingsar kaki dibarengi serangan susulan. Namun ki Sardulo Liwung bermata tajam. Serangan lawan akan dihadangya dengan cepat. Tetapi rupanya lawan bergegas menarik serangannya dan mengganti dengan melakukan sodokan. Hampir saja ki Sardulo Liwung terkena jikalau tidak bergegas meloncat kesamping.

   Berhasil mengelak, ki Sardulo Liwung sudah lekas membalas. Tangannya berhawa dingin akan mencengkeram tubuh lawan. Jika itu berhasil, ki Sardulo Liwung berkeyakinan dapat membekukan lawan. Namun rupanya lawan masih dapat menghadapi ilmu itu. Itu dikarenakan adanya lapisan aneh yang menyelimuti tubuh lawan.

    "Ilmu apa yang ia pakai ?" desis ki Sardulo Liwung dalam hati, sambil terus menajamkan indra penglihatannya.

   "Haiiih... " kerongkongan ki Sardulo Liwung bagai tersumbat, karena takjub setelah dapat dengan jelas melihat warna menyelimuti tubuh lawan.

   "Ada apa, ki Sardulo ?" tanya Lurah Arya Dipa, memberikan waktu untuk lawannya.

   "Dari mana kau dapatkan ilmu langka itu ?!" ki Sardulo Liwung malah balik bertanya.

   "Akankah aku harus menceritakan kepadamu, ki ?" kata Lurah Arya Dipa, "Hm.. Bila ki Sardulo ingin tahu, sebaiknya marilah singgah untuk sekedar minum wedang sere."

   "Bangsat kau anak muda !" umpat ki Sardulo Liwung, "cepat katakan ilmu kerajaan Kadiri itu bagaimana kau dapatkan !"

   "Hm... " desuh Lurah Arya Dipa sambil menggelengkan kepalanya, "Maaf ki, aku tak dapat membicarakannya."

   "Setan alas !" seru ki Sardulo Liwung, "Kalau begitu kau akan membawanya sampai ke alam kelanggengan !"

   Habis berucap, ki Sardulo Liwung berseru keras, tetapi bukan sekedar berseru, melainkan Pekik Sardulo membahana membuat malam bergetar. Hal itu sekejap membuat Lurah Arya Dipa terhenyak dan menekan dadanya yang hampir jebol, aji Pekik Sardulo milik ki Sardulo Liwung sungguh menakjubkan. Untung saja lawannya yang masih mudah itu dapat menguasai gelora dalam tubuhnya dan mampu menahan debar jantungnya.

   Dalam pada itu, ki Sardulo Liwung tidak berhenti sampai disitu saja, tubuhnya dengan pesat melabrak lawannya. Tata gerak berupa liukan tangan dibarengi gerungan keras menitik beratkan dada lawan. Bukan olah - olah jika tangan itu mendarat tepat di dada lawan, bahkan kerasnya bebatuan gunung akan lumat berkeping - keping, serta ditambah hebatnya lambaran aji Pekik Sardulo yang menyasar pendengaran lawan.

   Tetapi Lurah Arya Dipa tidak tinggal diam. Serangan dua jenis dari lawan bergegas ia tanggapi menggunakan ilmu yang ia sadap dari kitab Cakra Paksi Jatayu. Pertama dipertebal dinding pendengaran menggunakan aji Niscala Praba, lalu selanjutnya tangannya ikut bergerak menyongsong gempuran dari lawannya. Dikedua tangan sudah diterapkan aji Sepi Angin demi mempertahankan nyawa di raganya.

   Tidak terlalu lama, gumuk itu bergetar hebat bagai terhantam pusaran badai. Rumput dan tanah berterbangan mewarnai gelapnya malam, menambah pekatnya udara di gumuk itu. Dua manusia di dalam pusaran terlihat masih bersentuhan sepasang tangan mereka, beradu kepalan. Diam mematung tak bergeser sedikitpun, layaknya batu karang yang kokoh tak mempan diterjang ombak samudra.

  Kepekatan debu seiring waktu luluh lunglai keperaduan bumi. Sayup - sayup desir halus dari gerakan kaki yang bergesekan dengan tanah, terdengar lirih. Ki Sardulo Liwung terseok - seok mundur menjauhi titik temu. Pelan namun pasti, wajahnya terlihat memucat. Bibirnya yang masih terbungkam, dari sela - selanya muncul warna merah mengalir ke dagunya. Dengan menggunakan pakaian dilengannya, ia berusaha menyapu darah tersebut. Sementara tangan satunya sibuk menekan dadanya.

   "Serat Tirta dan Pekik Sardulo tak mempan... " desis ki Sardulo Liwung, "Hm.. Jika aku teruskan, akulah yang binasa termakan ilmu pemuda itu.. "

   Terpaksa orang tua dari pantai Prigi itu menebalkan wajahnya sekali lagi. Bergegas ia angkat kaki menjauhi gumuk tersebut tanpa menoleh. Walau terluka dalam, ki Sardulo Liwung masih dapat menguasai tubuhnya dan memesatkan langkah kakinya.

   Sementara itu, Lurah Arya Dipa yang masih berdiri dengan sikap menyerang, masih diam tak bergerak. Tangannya masih terangkat menjulur ke depan dengan kepalan yang masih kuat. Dan sebenarnya saat lawannya terseok - seok lalu meninggalkan kalangan, Lurah Arya Dipa tahu pasti, namun ia masih diam saja membiarkan. Barulah ketika wujud ki Sardulo Liwung lenyap, tangan pemuda itu berangsur turun dan kaki yang merenggang mulai rapat kembali.

   Sejenak pemuda itu mengambil sikap duduk bersila serta mengatur pernapasaannya. Aliran darah di tubuhnya yang awalnya bergejolak, berangsur tenang dan mengalir wajar kembali. Dadanya yang bagaikan tersumbat bongkahan batu dingin-pun, seolah mencair membuat dadanya lapang sediakala. Meskipun begitu, tak urung darah membasahi bibirnya. Maka lekas ia bersihkan dan tak lupa mengabil butir obat dari bumbung yang terselip di ikat pinggang, untuk kemudian ia telan.

   "Gusti Allah masih menaungi-ku.. " desisnya perlahan.

   Di sapunya sekitar gumuk. Dua sosok menggeletak yang ia kalahkan sudah tak terlihat. Entah ada yang mengambil atau mereka sendiri sadar dan meninggalkan gumuk ? Tidak tahu pemuda suami Ayu Andini. Sejenak ia kibaskan debu yang menempel di pakaiannya, dan selanjutnya pergi menghampiru kudanya.

   Lurah Arya Dipa meninggalkan gumuk tersebut dengan hati penuh syukur. Dirinya masih diberi kesempatan untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, setelah beradu nyawa dengan orang - orang yang menghendaki nyawanya melayang.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 11 bagian 26
oleh : Marzuki

   Sesampai di rumah, segalanya diceritakan bagaimana tadi saat di gumuk ada perkelahian menegangkan, kepada semuanya. Berbagai kesan berbeda terlihat diwajah - wajah orang yang mendengarkan ceritanya. Tetapi dari sekian itu, semuanya berucap syukur akan keselamatan Lurah Arya Dipa.

   "Syukurlah, anakmas mampu menanggulangi tindakan mereka." ucap Kyai Jalasutro.

   "Begitulah, kyai."

   Baru saja Ayu Andini akan angkat suara, dari luar terdengar derap kuda memasuki regol rumah Lurah Arya Dipa. Bergegas semuanya berdiri dan menuju pintu utama dan membukanya. Terlihatlah seorang prajurit sudah turun dari pelana kuda dan menuntun kuda tersebut.

   "Assalamu'alaikum !" seru prajurit itu, mengucap salam.

   "Wa'alaikum salam... " sahut Lurah Arya Dipa dan mengenali prajurit itu, "Kau, Soca.. "

   "Kasinggihan, ki Lurah." kata prajurit itu.

   "Naiklah.. "

   "Mohon maaf, ki Lurah. Sebuah pesan dari gusti Adipati Anom yang lekas aku sampaikan.. "

   Lurah Arya Dipa mengerutkan alisnya, "Apa itu Soca ?"

   "Ki Lurah diharapkan untuk bergegas ke Kanoman."

   "Hm.. Baiklah. Kau duluan saja. Aku akan menyusul."

   "Baik, ki Lurah." Bergegas prajurit itu berbalik arah keluar regol dan dengan sigap meloncat ke kudanya untuk kemudian ia pacu menuju Kanoman.

   Sepeninggal prajurit Soca, Lurah Arya Dipa mempersiapkan diri dan pamit kepada istri, para tetua dan Windujaya. Selanjutnya dengan menaiki kuda kesayangannya, ia menuju Kanoman menemui Adipati Anom, Pangeran Pati Bagus Mukmin.

   Tiada sulit baginya memasuki kediaman Adipati Anom. Semua prajurit pengawal sudah diberitahu akan kedatangannya, karena itulah dengan lancar Lurah Arya Dipa sudah memasuki ruang dalam Kanoman. Sejenak Lurah Arya Dipa terdiam memperhatikan suasana yang begitu tenang. Orang yang mengantarkan sudah undur diri dan hanya memberi pesan kepadanya untuk menunggu kehadiran Pangeran Anom.

   "Maafkan aku, kakang Lurah.. " sebuah suara telah mendahului daripada sosok yang memasuki ruangan itu.

   "Hamba, gusti Pangeran.. " balas Lurah Arya Dipa sembari merapatkan tangan di depan kening.

   Rupanya sosok itu adalah Pangeran Bagus Mukmin itu sendiri. Pangeran putra tertua dari Sultan Trenggono yang akan meneruskan dampar kencana, kelak dikemudian hari.

   Setelah duduk di dampar, Pangeran Anom mulai menerangkan alasan memanggil Lurah Arya Dipa.

   "Kakang, Ayahanda Kanjeng Sultan akan segera menunaikan apa yang beliau cita - citakan. Yaitu, rencana untuk menyatukan tanah Jawa ini dalam satu kesatuan yang utuh. Esok tatkala sang surya merekah, iringan panjang mulai melangkah ke Bang Wetan."

   Sejenak Pangeran Anom berhenti demi mendapatkan kesan dari Lurah muda di depannya. Kemudian lanjutnya.

   "Dalam rencana perjalanan tersebut, Ayahanda sejenak akan singgah di Purbaya sekaligus menemui Adimas Pangeran Timur. Dari sana Ujung Galuh dan Canggu akan menjadi sasaran yang harus diutamakan untuk diamankan dari kekuasaan Panembahan Bhre Wiraraja."

    "Hamba, gusti Pangeran.. " sambut Lurah Arya Dipa.

   "Dari awal aku mengharapkan agar kau tetap di kotaraja. Dan syukurlah pemikiran itu sama dengan Ayahanda, walau sebenarnya tenagamu sangat dibutuhkan di garis depan." Kembali Pangeran Bagus Mukmin terdiam untuk mengambil napas, "Kakang Lurah Arya Dipa.. "

   "Hamba, gusti Pangeran... "

   "Ingatkah kau kejadian memilukan di Bengawan Sore ?"

   Tanpa sadar kepala Lurah Arya Dipa mendongak menatap gustinya. Tetapi sejenak kemudian bergegas kembali menunduk menatap lantai, meskipun keningnya masih mengerut dalam. Hatinya tidak mampu meraba maksud dari pertanyaan Pangeran Anom. Namun bibirnya lekas bergerak demi menjawab perihal tersebut.

   "Bila yang dimaksud adalah kematian gusti Pangeran Sekar, hamba masih teringat gusti Pangeran."

   Pangeran Anom mengangguk perlahan dan katanya, "Saat itu sungguh aku tidak memerintahkan paman Suranata, tetapi pihak Jipang Panolan bersikukuh akulah pelaku utamanya. Dan akhir - akhir ini aku mendengar kalau kakangmas Adipati Arya Jipang telah membentuk pasukan Siluman."

   "Oh... " kejut Lurah Arya Dipa, "Be.. Benarkah itu, gusti Pangeran ?"

   "Karena itulah aku mengharapkan kehadiranmu disampingku, kakang. Tiada lain dan bukan untuk memastikan warta yang berseliweran di telingaku. Aku tak ingin memperkeruh hubunganku dengan Kakangmas Arya Jipang dan kerabat Jipang Panolan. Karenanya aku mengharap dirimu untuk menyelidiki warta itu."

   "Sendiko dawuh, gusti. Semua yang mampu hamba kerjakan tentu untuk keberlangsungan Demak ini." Lurah Arya Dipa menyanggupi perintah gustinya.

Bersambung.....