Jumat, 07 Juli 2017

PANASNYA LANGIT DEMAK JILID 12

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 1
oleh : Marzuki

   Sebelum menunaikan tugas untuk menyelidiki pasukan bawah tanah Jipang Panolan, Lurah Arya Dipa memanggil bawahan sekaligus kawannya dari Wira Tamtama, yaitu Lurah Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Keduanya ia serahi tugas untuk selalu berada disamping Pangeran Anom, guna melindungi putra sulung Sultan Trenggono dari ancaman yang tak terduga. Selain itu tak lupa Lurah Arya Dipa menemui ayah angkatnya, ki Panji Mahesa Anabrang guna meminta bantuan prajurit telik sandi untuk menjadi penghubung antara dirinya berkaitan keadaan kotaraja sewaktu dirinya berada di luar kotaraja.

   Persiapan demi persiapan telah diselesaikan. Bersamaan berangkatnya iringan panjang pasukan Demak. Sungguh mengesankan dari pasukan yang akan melawat ke timur itu. Pataka berupa kain berwarna gula kelapa berkibar gagah di tengah iringan, yang menandakan keberadaan sang nata Demak. Selain itu terdapat berbagai umbul dan panji bercirikan kesatuan prajurit Demak yang dibanggakan kawula Demak.

   Dalam pada itu, agak jauh dari kerumunan orang - orang yang menyaksikan iringin pasukan Demak, Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya saat memperhatikan adanya orang yang mencurigakan. Orang itu terlihat mengamati semua pasukan Demak dan lebih bersungguh - sungguh ketika melihat prajurit pengawal Sultan Trenggono. Sejenak kemudian orang tersebut beringsut meninggalkan tempatnya dan hilang dibalik kerumunan orang.

   Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Lekas ia mengejarnya meskipun harus menyerobot dari tubuh orang - orang.

   "He.. ! Dasar anak setan !" seru orang yang merasa terganggu akibat ulah Lurah Arya Dipa.

   Lurah Arya Dipa tak menghiraukan omelan orang yang merasa terganggu. Ia terus menghambur mencari orang yang ia curigai. Syukurlah ia masih melihat kelebat bayangan berlari ke kelokan jalan. Oleh karenannya lekas dipesatkan kakinya mengejar orang tersebut. Dan benar saja, sehabis jalan berkelok dua orang terlihat jelas berjalan sembari membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat rahasia.

   "Kisanak... ! Harap berhenti... !" seru Lurah Arya Dipa.

   Dua orang berjalan di depan menghentikan langkahnya dan saling berpandangan satu dengan lainnya. Dahi keduanya mengerut dalam dan tak mengerti kenapa ada orang mencoba memperhentikan langkah mereka.

   "Ada apa kisanak ?!" salah seorang bertanya, sementara yang satunya dengan tatapan tajam memperhatikan penampilan Lurah Arya Dipa.

  Untungnya, saat itu Lurah Arya Dipa tidak mengenakan pakaian prajurit. Sehingga jatidirinya tak dapat dikenali oleh keduanya. Meskipun salah seorang dari kedua orang yang khususnya yang dikejar tadi masih terus mengamatinya.

   "Siapa kisanak ini ? Sejak aku lahir dan beranjak dewasa di kotaraja ini, aku tak mengenali kalian."

   "Ah.. Kami hanyalah seorang pengembara saja, anak muda." jawab lelaki berperawakan tinggi besar berkumis tebal, "wajar saja jika kau tidak mengenal kami."

   Lurah Arya Dipa mengangguk, "Pantas, kalau begitu darimana asal kisanak berdua ?" kembali Lurah Arya Dipa melemparkan pertanyaan.

   Tentu saja perlakuan pemuda itu membuat kedua orang lelaki itu sidikit mendongkol, tetapi orang berperawakan tinggi berkumis tebal mencoba mengendapkan perasaannya. Dan kemudian jawabnya sambil memaksakan bibirnya tersenyum.

   "Aku dari dukuh Banjar Rejo yang masuk telatah Ponorogo." jawabnya asal - asalan.

   Jawaban itu menimbulkan kecurigaan semakin dalam bagi Lurah Arya Dipa. Karena kadipaten Ponorogo merupakan telatah dimana masa kecilnya terlewati bersama ki Panji Mahesa Anabrang, lekaslah lurah muda itu mengetahui kalau orang berperawakan tinggi itu berkata bohong dan terbilang mengada - ngada. Tapi Lurah Arya Dipa tidak bersikeras membantah ucapan orang itu, melainkan malah membuat orang itu bingung.

   "Oh, jadi kisanak ini dari Banjar Rejo ?" kata Lurah Arya Dipa, terlihat ramah serta melanjutkan ucapannya, "Berarti kisanak kawula paman Demang Jati Rekso.. "

   Orang berperawakan tinggi berkumis tebal salah tingkah sambil menatap kawannya. Sementara kawannya yang berbadan kurus pendek juga menatapnya seraya mengedipkan mata memberikan isyarat. Selekas adanya isyarat, orang berperawakan tinggi berkumis tebal mulai menguasai keadaan dan telah berubah kasar. Bentakan kasar tiba - tiba menyeruak dari mulutnya.

    "He, jangan kau hiraukan kami, jika kau sayang nyawamu, anak setan !"

   Meskipun dalam hati tersenyum karena pancingannya tersambar, Lurah Arya Dipa berusaha berpura - pura kaget. Kakinya terjingkat dengan tubuh agak gemetar seakan akan jatuh lunglai, ia berkata, "A..Apa mak..sud kisanak ?"

   "Huh, belum sadar juga kau anak bengal ! Bila aku pelintir kepalamu, itu tandanya nyawamu melayang !" bentak orang berbadan kurus pendek.

   "Me..memangnya sa..lahku apa ?"

   "Jangkrik setan bengal !" Kembali orang berbadan kurus pendek itu menghardik, "Tidak usah banyak omong, pergilah selagi aku masih dapat menahan amarahku !"

   Bentakan itu membuat pemuda itu jatuh terduduk. Mengetahui itu, orang berbadan kurus pendek tersebut mengajak kawannya meninggalkan pemuda tadi dengan cepat. Keduanya berjalan mengarah padukuhan segaris lurus gerbang timur.

   Sepeninggal orang berbadan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek, Lurah Arya Dipa bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sudah cukup baginya untuk mengingat perawakan dan raut wajah kedua orang yang dicurigai. Ia tidak mengambil sikap lebih lanjut melalui jalan kekerasan demi ingin mengetahui lebih dalam siapa orang - orang tadi. Dalam hatinya ia yakin kalau keduanya berhubungan dengan pihak yang menentang Demak, entah itu orang - orang Bang Wetan atau yang lainnya.

    "Biarlah mereka keluar dari pintu gerbang. Aku yakin akan dapat mengejar keduanya." desis Lurah Arya Dipa.

    Pemuda itu kemudian mencari jalan lain yang arahnya juga ke gerbang timur. Meskipun agak jauh, akhirnya Lurah Arya Dipa hampir mendekati pintu gerbang dan di situ seorang kakek tersenyum menyambutnya.

   "Lama sekali kau, anakmas Kilatmaya... " sapa kakek itu.

   Lurah Arya Dipa tersenyum, "Maaf, Kyai. Tadi ada sesuatu yang membutuhkan perhatianku."

   "Mudah - mudahan bukan gadis penghuni padukuhan ini." goda kakek itu sembari tertawa.

   "Ah.. Tidak, Kyai... "

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 2
oleh : Marzuki

   Selanjutnya, pemuda dan kakek tadi melewati penjagaan pintu gerbang timur untuk selanjutnya menelusuri jalan yang membelah paduhan di luar kotaraja. Hanya berjalan kaki keduanya terus melanjutkan langkahnya, sembari salah seorang mencoba menanyakan sesuatu kepada pejalan kaki atau-pun penghuni padukuhan yang sedang dilewati.

   Apa yang diperkirakan oleh Kilatmaya tidak salah sedikit-pun. Jejak yang ditinggalkan oleh kedua orang yang sebelumnya dicurigai, dapat diikuti dengan mudah. Terakhir keberadaannya, kedua orang yang ia ikuti menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari tempatnya bertanya. Maka, Kilatmaya dan kakek yang bersamanya mencoba mendekati kedai kecil itu.

   "Ha.. Mumpung ada penjual dawet, ayo berteduh di pohon talok itu, Anakmas." ajak kakek yang bersama Kilatmaya.

   "Mari, Kyai." sambut Kilatmaya yang tiada lain Lurah Arya Dipa.

   Sambil duduk di bangku yang disediakan penjual dawet, keduanya memesan dua gelas dawet sambil mengisi waktu luang, berbicara dengan penjual dawet. Juga, tak lengah pengamatan Kilatmaya dari pintu keluar kedai, yang terbuka dan terlihat adanya orang yang ia ikuti.

   Cukup lama juga keduanya disitu, hingga akhirnya orang yang diikuti keluar dari kedai. Dua orang yang diikuti itu berlalu di jalan tepat di mana Kilatmaya dan kakek tua minum dawet. Namun kedua orang tadi tak sempat mengenali dan jalan sesukanya mengarah pertigaan timur padukuhan dan mengambil jalan ke kiri.

   "Mari, Kyai.. " desis Kilatmaya sambil berdiri dan membayar dawet yang telah diminum.

   Agar tidak diketahui orang - orang yang diikuti, Kilatmaya dan kakek tua berusaha menjaga jarak. Sehingga jarak dua iringin itu tidak terpaut jauh, apalagi sampai kehilangan jejak.

   Tak terasa jalan yang awalnya ramai dilalui banyak orang, semakin lama semakin jarang. Jalan-pun semakin sempit dan hanya selebar gerobak saja. Juga jalanan semakin tidak rata dan ditumbuhi rumput liar, meskipun tidak terlalu tinggi. Hal itu menjadikan Kilatmaya dan kakek tua tadi, bertambah hati - hati.

   Terik matahari tak terasa sudah semakin turun ke barat, membentuk bayang - bayang ke arah berubah haluan juga. Manakala memandang ke depan, dua orang berperawakan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek turun dari jalan menapaki tanggul sawah yang ditanami hijaunya palawija. Tindakan itu membuat Kilatmaya dan kakek tua untuk menambah kewaspadaan. Dugaan demi dugaan terselip dalam pikiran harus terurai untung ruginya, untuk terus mengikuti tanpa harus berbenturan secara langsung.

   "Sebaiknya kita berpencar, Anakmas.. " usul Kyai Jalasutro.

   "Baik, Kyai. Aku akan turun di tunggul sebelah sana." sambut Kilatmaya, setuju.

  Dari sisi berbeda keduanya mencoba mengikuti orang - orang yang mencurigakan, yang semakin lama tanggul sawah terlewati berganti tanah yang ditumbuhi semak belukar. Keadaan medan penuh samak belukar itulah, menjadikan Kilatmaya dan Kyai Jalasutro harus menyembunyikan keberadaannya berupa usaha menutup segala bunyi yang ditimbulkan, akibat gesekan antara anggota tubuh dengan daun atau-pun ranting. Sehingga orang yang diikuti tidak menyadari sama sekali kalau ada dua orang dibelakang mereka.

   Cukup dalam juga orang berbadan tinggi berkumis tebal dan kawannya berjalan. Sudah lebih dari ratusan tombak keduanya menjauhi pinggiran pedukuhan di luar kotaraja. Tapi setelah adanya bunyi aliran air, keduanya mencoba mencarinya. Dan setelah ditelusuri, nampaklah sebuah anak sungai berair jernih, bahkan sangking jernihnya terlihat ikan - ikan berenang kian kemari saling kejar mengejar bersama kawannya. Pemandangan itu memancing keduanya semakin mendekat, meskipun jalan yang akan dilalui agak terjal.

   Orang berperawakan pendek dan kurus duduk berjongkok seraya meraup air menggunakan kedua tanganya dan membasuhkan ke wajahnya. Tak mau ketinggalan, kawannya meniru membasuh wajahnya, juga meneguk air sungai yang jernih itu.

   "Ah.. Segar sekali air ini." desis orang berbadan tinggi berkumis tebal.

   Kawannya tertawa perlahan, "Hahaha.. Sama saja antara air sungai ini dan air Bengawan Sore."

   "He.. Sambu, air Bengawan Sore menjadi amis setelah darah Pangeran Sekar menetesinya."

   "Ah.. Itu hanya perasaanmu saja, Bajang. Bagiku semuanya sama, jika yang memerciki itu Trenggono atau-pun Bagus Mukmin."

   Pembicaraan keduanya terus berlanjut dan tak menyadari kalau ada orang yang mendengarkan. Semakin lama jatidiri Sambu dan Bangah sedikit terungkap, dimana keduanya adalah utusan sebuah perguruan di telatah timur Bengawan Sore. Satu hal yang membuat Kyai Jalasutro terkejut, yaitu nama perguruan yang mengingatkan perguruan dimana kawannya adalah pimpinan dari perguruan itu.

   "Ah.. " desuh Kyai Jalasutro, lalu katanya dalam hati, "Candra Bumi bukanlah sebuah perguruan yang mau mencampuri urusan keprajan."

   "Ada apa, Kyai ?" tanya Kilatmaya yang mendengar desuh Kyai Jalasutro.

   Kyai Jalasutro menoleh ke arah pemuda itu dan katanys, "Dua orang itu menyebut perguruan Cadra Bumi. Itulah yang membuatku sedikit sangsi, apakah keduanya benar - benar dari sana."

   Kilatmaya masih belum mengerti alasan mengapa orang tua disampingnya menyangsikan asal - usul Sambu dan Bajang, yang jelas - jelas menyebutkan asal mereka. Namun ketika akan meminta penjelasan lebih lanjut, terlihat Sambu dan Bajang akan meninggalkan tepian sungai. Karenanya, untuk saat ini lebih baik tidak menanyakan alasan kesangsian Kyai Jalasutro. Suatu saat atau mungkin dalam perjalanan, Kyai Jalasutro akan memberitahu lebih jauh.

   Yang paling utama untuk saat itu adalah terus mengikuti Sambu dan Bajang. Dari keduanya, tentu akan mendapatkan titik terang siapa mereka sebenarnya. Tidak menunggu lebih lama, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro kembali mengendap mengikuti Sambu dan Bajang. Aliran air sungai sudah tertinggal dan tidak terdengar lagi gemericiknya.

   Mendekati keremangan ujung malam hari, Bajang dan Sambu memasuki regol padukuhan. Keduanya memasuki regol tersebut yang masih terbuka lebar dan gardu perondan masih kosong. Namun, satu dua orang masih terlihat lalu - lalang mengisi jalan padukuhan, dengan kepentingan masing - masing. Dan di kanan kiri kediaman penghuni padukuhan sudak nampak nyala penerangan dalam menyambut sang malam. Tidak terlalu jauh, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro juga memasuki regol padukuhan. Suasana yang semakin redup sangat membantu keduanya agak mempersingkat jarak antara mereka dengan kedua orang yang dicurigai.

   Sepertinya malam itu orang yang mereka ikuti akan menginap di banjar padukuhan. Itu terbukti manakala Bajang dan Sambu membelok di jalan yang akan menuju sebuah bangunan yang berbeda dari bangunan lainnya. Sejenak keduanya berhenti tepat di depan regol. Dan saat itu dari dalam regol, seorang berjalan mendekatu keduanya dan menyapa dengan ramahnya.

   "Bisa aku bantu, kisanak ?"

   "Kisanak, kami berdua sedang dalam perjalanan dan kemalaman ketika melewati padukuhan ini. Karenanya, ijinkan barang satu malam untuk bermalam di banjar ini."  pinta Sambu, yang mencoba ramah.

   Sesaat orang yang keluar dari regol banjar itu mengamati dua pendatang itu. Ia harus hati - hati untuk mengijinkan orang lain yang akan memasuki banjar padukuhan yang ia jaganya. Ia tak ingin kecolongan sehingha akan mendapat dampratan dari ki Jagabaya atau ki Bekel padukuhun. Tetapi, setelah mengamati dan meyakini kalau keduanya tidak mencurigakan, orang itu mengijinkan dua pendatang itu menginap di banjar.

  "Baiklah, kisanak berdua. Ayo aku antar di gandok kanan banjar." kata orang itu, sambil mengantar keduanya ke gandok kanan.

  "Silahkan, beginilah keadaannya." orang itu mempersilahkan, setelah membuka pintu gandok kanan.

   "Terima kasih, ki.. "

   "Panut, panggil saja aku Panut." ucap ki Panut, memperkenalkan diri, "aku akan ke belakang, untuk mengambil beberapa potong Pohung."

   Tanpa menunggu jawaban dari tamu banjar, ki Panut melangkah pergi. Tetapi baru saja menuruni tlundak balai banjar, dua sosok mendekati regol banjar. Hal itu membuat kening ki Panut, mengerut. Namun, tetap saja ia langkahkan kakinya untuk mendekati regol banjar. Setelah dekat, terlihatlah seorang pemuda dan kakek tua tersenyum ramah sembari mengangguk hormat.

   "Selamat malam, kisanak. Apakah ini banjar padukuhan ini ?" tanya pemuda dengan halus.

   "Benar, ngger. Ini memang banjar padukuhan, dan aku yang diserahi ki Jagabaya untuk mengurusnya." jawab ki Panut, dan katanya lebih lanjut, "Angger dan kisanak ini dari mana dan akan kemana ?"

  Pemuda tersenyum, "Aku dan eyang ini dari Demak yang akan menyambangi kerabat di Jepara."

  Ki Panut mengangguk.

  "Tapi, hari sudah terlalu gelap untuk kami melanjutkan perjalanan. Oleh karenanya, jika kisanak berkenan, kami mohon menginap barang satu malam. Dan esok kami akan melanjutkan perjalanan yang tertunda."

   Dari tutur kata dan penampilan kedua pendatang yang ke-dua ini, ki Panut tidak mendapatkan adanya kejanggalan untuk menolak dua orang itu. Maka seperti dua orang pertama, ki Panut juga menerima pemuda dan kakek itu menginap di banjar. Untuk itulah ia antarkan ke-duanya ke gandok kiri dan mempersilahkan mereka.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 3
oleh : Marzuki

   Sampai terbitnya sang surya, tiada sesuatu yang terjadi. Banjar padukuhan yang mendapatkan dua iringan berbeda, tetap terasa seperti malam - malam biasanya. Bahkan ki Panut yang diserahi tugas untuk merawat serta menjaga banjar, sangatlah ramah dan baik hati. Pagi - pagi sekali ki Panut sudah menghidangkan wedang sere juga ketela rebus sisa tadi malam. Dua gandok yang terisi itupun, penghuninya menikmati hidangan untuk sarapan mereka.

   Usai menyantap hidangan yang disediakan, tamu gandok sebelah kanan berniat meninggalkan balai banjar. Keduanya sudah berdiri dan melangkah keluar pintu gandok. Saat itulah dari arah jalan, terdengar derap seekor kuda yang membuat dua orang itu berdiri dan menatap lurus ke arah regol halaman banjar. Tak terlalu lama seekor kuda berwarna hitam legam muncul memasuki regol dengan ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi tegap berdada bidang.

   Adanya derap kuda yang memasuki halaman regol tidak hanya membuat Bajang dan Sambu saja yang merasa penasaran, tetapi ki Panut, juga Kilatmaya dan Kyai Jalasutro yang berada di gandok kanan mencoba mengetahui penungga kuda. Namun dari semua yang melihat, Bajang dan Sambu-lah yang terkesan adanya perubahan diraut wajah mereka. Nampaknya Bajang dan Sambu tercekat tak percaya kalau di halaman banjar itu ada lelaki yang sangat mereka kenali.

   "Ba.. Jang, bukankah itu Raden Panji Tohjaya ?" desis Sambu.

   Bajang yang ditanya hanya mengangguk tanpa menoleh. Seakan - akan dirinya terkena sesuatu yang tidak terlihat dari lelaki yang disebut oleh Sambu.

   "Lebih baik kita lekas menyingkir darinya, Bajang." bisik Sambu, seraya menggamit kawannya itu untuk diajak pamit kepada ki Panut.

   "Kalian sudah ingin meninggalkan banjar ini, kisanak ?" tanya ki Panut, saat tamunya akan pamit.

   "Seperti yang aku katakan tadi malan, ki. Perjalanan yang jauh akan kami lanjutkan ketika fajar sudah merekah." sahut Sambu.

   "Baiklah, selamat jalan." ucap ki Panut.

   Maka, Bajang dan Sambu pergi dari balai banjar. Keduanya berjalan terus tanpa memperdulikan lelaki yang mereka kenal sebagai Panji Tohjaya. Sementara orang yang memang Panji Tohjaya, salah seorang Senopati Jipang Panolan tidak terlalu memperhatikan dua orang yang melewatinya.

  Sepeninggal Bajang dan Sambu, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro sebenarnya ingin cepat meninggalkan banjar padukuhan. Namun niat itu mereka urungkan manakala sebuah teguran halus menyapa Kilatmaya. Dan, tegur sapa itu berasal dari penunggang kuda yang baru saja memasuki regol halaman banjar.

   "Selamat pagi, ki Lurah Arya Dipa.. "

   Tentu saja teguran itu membuat Kilatmaya mengernyitkan alisnya. Bagaimana tidak ? Sungguh pemuda itu tidak mengenal orang yang menyapanya, dan baru hari itu ia bertemu dengan lelaki itu. Namun, sebelum ia bertanya lebih jauh, orang itu mendekat dan memperkenalkan diri.

  "Ki Lurah Arya Dipa, perkenalkan aku Panji Tohjaya dari Jipang." kata ki Panji Tohjaya, yang melihat kesan kebingungan dari wajah Lurah Wira Tamtama.

   "Maafkanlah jika aku mengejutkanmu, ki Lurah. Sudah lama sebenarnya aku mengenalmu. Yaitu saat aku ditugaskan dalam menyelidiki kematian Kakangmas Adipati Sekar, dimana aku harus menyelinap ke Ksatrian Demak. Saat itulah aku melihat kalau kau bertugas menjadi pengawal Raden Bagus Mukmin." kata ki Panji Tohjaya, lebih lanjut.

   Kilatmaya masih terdiam, sedangkan Kyai Jalasutro tidak mengerti arah pembicaraan dari ki Panji Tohjaya. Apalagi ki Panut, orang tua itu bingung tak karuan.

   "Hm... " desuh ki Panji Tohjaya, "Tetapi penyelidikanku yang seharusnya dapat menjernihkan kesalahpahaman keluarga keraton, malah ditepis mentah - mentah oleh orang - orang yang mengharapkan kehancuran anak cucu Sultan Patah."

   Kata yang terlontar terakhir berupa kekecawaan itu memancing rasa penasaran Kilatmaya. Karenanya pemuda itu mencoba menggali lebih dalam siapa dan apa maksud kedatangan orang yang mengaku Panji dari Jipang itu. Tentunya rasa waspada tidak pudar dengan cepat dari Kilatmaya. Karena bagaimana-pun segala sesuatu dapat saja terjadi. Namun ada sebuah ganjalan dalam hatinya, yaitu mengenai Bajang dan Sambu yang merupakan tali penghubung untuk mengorek siapa susungguhnya pimpinan dan niat mereka.

   Sebagai seorang yang lebih tua dan sudah kenyang pengalaman hidupnya, Kyai Jalasutro dapat menyelami isi hati pemuda disampingnya. Karenanya orang tua itu berbisik perlahan.

   "Anakmas tak perlu kawatir memikirkan dua orang tadi. Setelah Anakmas berbicara dengan kisanak ini, selekasnya kita langsung ke padepokan Candra Bumi. Jalan dan tempatnya aku masih dapat mengingatnya."

   Kilatmaya bernapas lega, "Terima kasih, Kyai. Bila tiada Kyai bersamaku, mungkin perjalananku akan menjadi lama."

   Kyai Jalasutro tersenyum.

   Kemudian Kilatmaya meminta waktu barang sejenak kepada ki Panut untuk diam di banjar guna berbicara dengan ki Panji Tohjaya. Syukurlah ki Panut memperbolehkan bagi ketiganya untuk tinggal barang sejenak di pringgitan balai banjar. Bahkan orang tua itu kembali menyuguhkan wedang sere beserta ketela rebus.

   "Maaf merepotkan, ki Panut." ucap Kilatmaya.

   "Hehehe... Tidak mengapa, ki Lurah." sahut ki Panut, yang sudah mengetahui kalau tamunya seorang prajurit Demak.

   Sepeninggal ki Panut, ki Panji Tohjaya memperkenalkan dirinya lebih terperinci. Semua itu ia katakan dengan benar karena sudah mengetahui sikap perilaku ki Lurah Arya Dipa, tentunya setelah melakukan penyelidikan berbulan - bulan terhadap pemuda itu. Selain itu juga adanya dorongan dari rasa kekecewaannya sejak hasil penyelidikannya yang ia sampaikan kepada Nayaka Jipang ditepis, dan seakan - akan tidak dianggap oleh sebagian Nayaka Jipang.

   Ki Lurah Arya Dipa mengangguk dan kadangkala mengerutkan keningnya mendengarkan penuturan ki Panji Tohjaya. Dirinya satu pikiran dengan ki Panji Tohjaya kalau otak pembunuhan Pangeran Sekar bukanlah Adipati Anom Bagus Mukmin.

   "Begitulah, ki Lurah. Meskipun selama ini aku tak dapat mengoyak kabut tebal kematian Kakangmas Adipati Sekar yang sesungguhnya, aku merasakan adanya tangan yang ingin memutus tali dampar kencono Jawa dari trah Glagahwangi." desis ki Panji Tohjaya.

   "Ki Panji, bukankah Jipang mempunyai seorang patih yang bijaksana ?" tiba - tiba Kyai Jalasutro menyela.

   Namun, ki Panji Tohjaya malah menghela napas, seakan ingin mengurangi beban di dadanya.

   "Ada apa, ki Panji ?" Lurah Arya Dipa bertanya.

   Sejenak ki Panji Tohjaya menatap jauh ke masa lampau, meskipun hal itu tidak akan kembali terulang, dan hanya menyisakan kenangan semata.

   "Benar, Kyai." kata itu terasa berat, "Patih Mentahun memang seorang yang bijaksana dan baik, dia merupakan kakak seperguruanku."

   "He... " Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro sedikit tercekat.

   "Entah mengapa sikapnya telah berubah dan cenderung berlaku tidak semestinya." keluh ki Panji Tohjaya.

   Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, hingga tak terasa hari semakin terang dimana mentari terasa terik sinarnya. Dalam waktu itu juga Lurah Arya Dipa menyempatkan menelisik sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan pasukan khusus Jipang, kepada ki Panji Tohjaya. Lurah Arya Dipa berharap dapat mendapat keterangan terperinci dari senopati Jipang Panolan itu.

  "Ki Panji, jika boleh tau, adakah kesatuan khusus yang akhir - akhir ini terbentuk di Kadipaten Jipang Panolan ?" tanya Lurah Arya Dipa.

  "Mungkinkah yang ki Lurah maksud ialah kesatuan pangatus Yuda Murda ?"

   "Yuda Murda... " ulang Lurah Arya Dipa.

   "Benar, ki Lurah." tegas ki Panji Tohjaya, seraya melanjutkan, "Yuda Murda adalah kesatuan yang dibentuk oleh Raden Arya Mataram adik Anakmas Adipati Arya Penangsang. Kesatuan ini terdiri dari seratus prajurit yang dipilih sendiri oleh Anakmas Raden Arya Mataram."

   Sejenak ki Panji Tohjaya berhenti karena meneguk wedang sere. Seusai itu barulah ia melanjutkan perkataannya.

   "Perlu ki Lurah ketahui, kesatuan Yuda Murda adalah kesatuan yang bertindak disegala medan dan keadaan tak menentu. Dan kesatuan ini tak memiliki ciri khusus layaknya Wira Manggala atau Wira Braja. Satu lagi, kemampuan mereka dua kali lipat diatas prajurit biasa."

   "Maksud ki Panji setara dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan ?" tanya Lurah Arya Dipa.

    "Bisa dikatakan begitu, ki Lurah." jawab ki Panji Tohjaya.

   Mendengar keterangan seperti itu, Lurah Arya Dipa tanpa sadar menoleh Kyai Jalasutro, yang sejak tadi hanya mendengarkan apa yang menjadi pembicaraan. Tetapi orang tua itu hanya menunggu sikap yang diambil ki Lurah Arya Dipa, sebagai orang yang bertugas secara langsung sebagai prajurit Demak.

  Bagi ki Lurah Arya Dipa, pembentukan kesatuan prajurit di Jipang sudah dianggap sebagai kesalahan. Karena, sudah sangat jelas bagi tata praja dimana ketentuan pembentukan sebuah kesatuan harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Demak. Ini jika dibiarkan berlarut - larut, paugeran tata praja akan mudah dibuat sesuka hati penguasa setempat, dalam masalah ini adalah kadipaten Jipang.

  "Bila ada pembentukan kesatuan itu, mengapa pihak Jipang tidak memberikan laporan, ki Panji ?"

   "He... Ah, laporan itu sudah disampaikan saat kunjungan ki Tumenggung Prabasemi, ki Lurah.."

   Ki Lurah  Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Gelar tumenggung yang baru saja disebutkan masih terasa terngiang di telinga lurah muda itu. Perjumpaan pertama ialah saat di lembah Telomoyo, ketika pasukan Demak akan menyerang tanah perdikan Banyubiru. Lalu pertemuan kedua bertepatan adanya kesalahpahaman di bukit Prawoto, dimana putra ki Ageng Gajah Sora membuat rusuh perburuan Kanjeng Sultan Trenggono.

   "Ki Tumenggung Prabasemi lagi... " desis ki Lurah Arya Dipa, dalam hati.

   "Baiklah, ki Panji. Bila aku kembali ke Demak, semua yang aku ketahui dari ki Panji, akan aku sampaikan kepada gusti Adipati Anom." kata ki Lurah Arya Dipa, "Lalu, kalau boleh tahu, akan kemana-kah selanjutnya kau, ki Panji ?"

   "Seperti yang aku bilang sejak awal. Kematian Kakangmas Adipati Sekar masih mengganjal dalam hatiku. Jipang yang lebih condong mempersalahkan pihak Adipati Anom, membuatku harus menempuh jalan sendiri, yaitu mencari otak dari pembunuhan itu." kata ki Panji Tohjaya, "Ada kemungkinan kalau tangan - tangan mereka berada di Jipang dan Demak."

   Ki Lurah Arya Dipa dapat mengerti suasana hati yang diderita oleh ki Panji Tohjaya. Dan salah seorang yang ia curigai adalah seorang tumenggung dari Demak itu sendiri, yaitu Tumenggung Prabasemi, seorang tumenggung yang mempunyai sikap tidak bisa diduga sama sekali.

   "Ah.. Sinar surya sudah semakin terik, ki Lurah. Bila kau ingin melanjutkan tugasmu, silahkan. Aku-pun juga lekas meninggalkan padukuhan ini." kata ki Panji Tohjaya.

   Maka pamitlah ki Panji Tohjaya kepada ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Derap kuda-pun terdengar meninggalkan regol halaman banjar, ke arah utara. Semakin lama semakin reda tak terdengar lagi, menyisakan debu dibelakangnya.

   Sepeninggal kepergian ki Panji Tohjaya, kini giliran ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro berpamitan kepada ki Panut. Tak lupa keduanya mengucapkan banyak terima kasih terhadap kebaikan ki Panut, yang sudah memperlakukan dengan sangat baik, selama di banjar padukuhan.

   Arah yang diambil oleh keduanya segaris lurus dengan jalan yang diambil oleh murid - murid padepokan Candra Bumi dan juga ki Panji Tohjaya, yaitu jalan ke arah utara.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 4
oleh : Marzuki

   Bunyi denting beradunya senjata terdengar begitu cepat. Tanah lapang yang ditumbuhi rumput pendek setinggi kurang dari mata kaki itu, berubah hiruk pikuk karena adanya lima orang mengeroyok seorang lelaki. Sehingga menjadikan lelaki itu harus berhati - hati dalam menentukan sikap tata geraknya, untuk menghalau datangnya serangan.

   Dua pedang dari dua orang pengeroyok melaju kencang dari dua sisi berbeda. Ditambah lagi seorang pengeroyok yang bersenjatakan nanggala, sudah menanti dibelakang lawannya. Sementara dua pengeroyok tersisa berdiri dua - tiga langkah sambil mengayun - ayunkan senjata mereka.

  Menyikapi tindakan yang dilakukan oleh para pengeroyoknya, lelaki tersebut tidaklah menunjukan rasa jerih barang sedikit. Malah, tombak pendeknya semakin tergenggam erat ditangan kanannya dan bergerak dahsyat tak terduga. Yaitu, menangkis serangan pertama pedang sisi kanan, lalu sambil menggeser kakinya, tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan lawan satunya yang mengakibatkan pedang orang itu terlepas. Lalu barulah menghadapi seseorang bersenjatakan nanggala dibelakangnya, berupa loncatan kecil sambil menghentakan tebasan keras ke arah lawan.

   Sungguh mengagumkan orang itu. Hentakan tadi dapat mencelatkan nanggala dari pemiliknya. Juga disusul tendangan keras ke dada lawan, hingga lawannya terjungkal keras menubruk pohon.

   "Kurang ajar.... !!!" geram kawan orang yang jatuh terkapar, seraya meloncat menebaskan kampaknya.

   Kampak ditangan orang berbadan tinggi besar layaknya raksasa, menderu tajam membelah udara. Karenanya lawannya harus bersikap lebih berhati - hati dalam menghadapinya. Belum lagi, masih ada tiga kawannya yang sepertinya akan ikut menyerang.

   Sebenarnya siapa mereka ini yang saling berkelahi di tanah lapang ?

   Beginilah awalnya. Setelah ki Panji Tohjaya meninggalkan banjar padukuhan, ia memacu kudanya ke arah utara. Kira - kira sepuluh tombak, kudanya dibelokan menuruti tikungan ke kiri. Dan terlihatlah ujung regol padukuhan, menandakan jalan keluar dari padukuhan yang kemudian tergantikan hamparan sawah.

   Jalan yang sepi memancing ki Panji Tohjaya untuk memacu kuda lebih cepat dari sebelumnya. Lari kudanya begitu pesat meninggalkan debu dibelakangnya. Dan puluhan tombak dilalui dan kini tiba ditanah lapang.

  Saat itulah dari sisi berbeda muncul orang - orang yang mengumbar derai tawa. Hal itu membuat ki Panji Tohjaya mengerutkan keningnya labih dalam. Karena tak mengerti sebab dari orang - orang itu tertawa kencang. Namun, kewaspadaan seketika menggelayuti hatinya, demi adanya perasaan yang tidak baik melintas dibenaknya.

   "Hoho.. Ini dia penghianat Jipang !" seru orang berbadan tinggi besar, dipinggangnya terselip kampak.

   "Benar, kakang. Kepalanya lumayan digantikan puluhan kepeng." sahut kawannya.

   Di atas kuda, ki Panji Tohjaya menghela napas. Sedikit banyak dirinya tahu kalau yang dihadapinya adalah orang - orang upahan seseorang yang menginginkan dirinya lenyap dari percaturan pemerintahan Jipang Panolan. Meskipun dirinya sendiri sangat jarang berada di pura Jipang. Namun, dihadapannya maut mengancam dirinya, sehingga mau tidak mau kekerasan sepertinya tidak dapat dielakan lagi. Dan selanjutnya terjadilah perkelahian di tanah lapang antara ki Panji Tohjaya dan lima orang penghadang.

   Dan saat ini kampak seorang yang sepertinya adalah pemimpin kelompok penghadang, menebas kepala ki Panji Tohjaya dengan sebatnya. Tetapi si-empunya kepala tak mau membiarkan lepas dari batang leher, maka berusaha menghindar ke belakang, akan tetapi si pemimpin penghadang tidak membiarkan mangsanya lepas dengan mudah. Pemimpin penghadang langsung membelokan kampaknya mengarah pundak lawan.

    "Triiing.....!"

   Mata tombak ki Panji Tohjaya masih mampu menahan laju daripada kampak lawan, serta sedikit perubahan gerak dari tombak yang awalnya untuk bertahan, berubah haluan menyerang berupa tusukan langsung.

   "Haiit... !" desis pemimpin penghadang yang hampir saja bahunya tertusuk mata tombak.

   Terancamnya pemimpin penghadang, membuat anak buahnya ikut membantu lagi. Dua pengguna pedang ditambah seorang yang memakai rantai berbandul sebagai senjata andalannya. Ketiganya sepertinya akan bekerja sama satu dengan lainnya. Itu terbukti saat tata gerak ketiganya sangat serasi dan condong dapat menutupi kelemahan kawannya.

   "Bagus, Gento. Pimpin kawanmu melumatkan Tohjaya !" seru pemimpinnya.

   Orang berjuluk Gento hanya mengangguk tanpa berpaling. Dia dan kawannya terus mengintari lawannya sambil memutar rantai berujung bandul bola berduri. Dan dibarengi teriakan keras, ketiganya mulai bergerak secara bersamaan, yaitu menyerang lawannya.

   Sungguh mengejutkan tindakan dari Gento dan kedua kawannya. Serangan serentak dari sudut dan sasaran berbeda, juga cepat dan mematikan, akan membuat lawan bingung dan kalut tentunya. Tetapi betapa bingungnya ketiga orang itu yang mendapati lawannya sirna tak tampak sama sekali.

   Sementara pemimpin penghadang terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Orang yang ia kira akan lumat tubuhnya, tiba - tiba lenyap tak terbekas sama sekali. Sadarlah ia mengenai seorang yang ia incar selama ini adalah salah seorang murid dari padepokan Sekar Jagat di gunung Lawu, adik seperguruan Patih Mentahun.

   Rupanya ki Panji Tohjaya telah mengungkap ilmu yang ia pelajari dari paman gurunya ki Wijang Pawagal, yaitu Alang - Alang Kumitir. Itu baru sekelumit ilmu yang bersumber di padepokan Sekar Jagat dan hanya tiga - empat orang saja yang mampu menerapkan, dan salah satunya ki Panji Tohjaya. Karenanya, tak dapat dipungkiri jika para penghadang yang memiliki ilmu kanuragan sebatas kekuatan kewadagan, gampang terperdaya.

   Tubuh ki Panji Tohjaya sehabis terelakan oleh serangan Gento dan kedua kawannya, tahu - tahu sudah di belakang pemimpin penghadang seraya melekatkan mata tombak kyai Giri di tengkuk orang itu. Tentu saja tindakan ki Panji membuat tubuh pemimpin penghadang bergemetaran, terkejut bercampur rasa jerih.

   "A.. ampuni aku, tu.. tuan.. " pemimpin penghadang itu merengek minta ampunan, sementara anak buahnya bingung.

   "Sangat mudah aku mengampunimu, kisanak." sahut ki Panji Tohjaya, "Asal saja kau mau berbicara mengenai orang yang mengupahmu."

   Mulut pemimpin penghadang itu kelu. Sebenarnya sangat mudah dalam menyebutkan orang yang menyuruhnya. Tetapi, dahulu waktu ia menerima perintah, ia sudah berjanji tak akan angkat bicara walau nyawanya melayang. Namun, keadaan yang ia hadapi saat ini juga akan mengancam nyawanya, jika ia terus berdiam. Akibatnya peluh mulai menyeruak membasahi wajah dan tubuhnya, apalagi mata tombak semakin menyakitkan di tengkuknya.

   "Ah.. Sepertinya kesetiaanmu terbayarkan oleh nyawa dalah wadagmu, Kisanak." desis ki Panji Tohjaya, disertai menekan tengkuk lawan menggunakan tombak pendeknya.

   "Ba.. Baik, tuan. Aku akan angkat bicara.. " suara pemimpin penghadang agak gemetar.

   "Jangan, kakang !" seru Gento.

   Seruan Gento tak digubris oleh pemimpinnya. Bibir orang itu sebentar lagi mulai bergerak, namun sesuatu yang mendebarkan telah terjadi. Suara jerit kesakitan menggema membelah udara tanah lapang. Suara yang berasal dari mulut pemimpin penghadang itulah gema tadi, juga adanya pisau belati menancap di keningnya dan membuat orang itu jatuh tertelungkup.

   Kejadian itu membuat ki Panji Tohjaya kaget, namun belum selesai rasa kagetnya, teriakan demi teriakan terulang susul - menyusul. Tiga tubuh para penghadang rubuh dengan luka sama antara yang satu dan lainnya, yaitu semuanya terluka di kening akibat lemparan pisau belati.

   "Pengecut.... !" teriak ki Panji Tohjaya, sembari mengeliarkan pandangannya menyapu seluruh tempat. Namun tak ada balasan.

   Walau masih tidak ada pergerakan yang mencurigakan, ki Panji Tohjaya tetap waspada. Tombak pendek Kyai Giri pemberian ki Wijang Pawagal semakin erat tergenggam menyilang di depan dada. Matanya setajam raja rimba terus mengamati pohon ataupun semak belukar dekat tanah lapang, yang berjarak agak jauh. Ditunggu - tunggu, masih tiada sesuatu yang mencurigakan.

   "Siapa gerangan penyerang gelap tadi ?" batin ki Panji Tohjaya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 5
oleh : Marzuki

   Sehabis melempar pisau belati berturut - turut, orang itu bergegas beranjak dari tempat menyelinapnya meninggalkan rindangnya pohon juwet, dan mendekati tanah lapang. Jalannya sangat tenang seolah tiada sesuatu yang terjadi dan merasa tak bersalah terhadap empat nyawa yang terkapar di tanah lapang. Seringai mulutnya bagai anjing liar terangkum jelas seakan puas menikmati sisa - sisa bangkai mangsa yang habis digerogoti tinggal tulang belulang, tak perduli dengan keadaan disekitar, padahal di situ berdiri sang raja rimba.

   Dialah Soca Welirang, lelaki beringas dan keji, pembunuh berdarah dingin tak memandang mangsanya lelaki atau perempuan, dewasa atau kecil, kawula alit atau orang ningrat, golongan hitam atau putih, semuanya dia babat sesuai orang yang memerintahkan. Maka tak heran jika namanya mencuat menggegerkan tanah Jawa bagian tengah dan wetan. Bahkan orang ini merupakan buronan kesultanan Demak dan beberapa kadipaten. Tetapi karena kedigdayaan dan berbagai ilmu yang ia miliki, selama ini ia dapat melenggang bebas menjelajahi rimba dan padukuhan.

   Kedatangan Soca Welirang di tanah lapang itu menjadikan ki Panji Tohjaya semakin meyakini kalau dirinya adalah sasaran utama pihak tertentu, yang mengharapkan meruncingnya hubungan kadipaten Jipang Panolan dan Demak. Sejenak ki Panji Tohjaya meregangkan kelopak matanya lebih lebar manakala melihat adanya lambang bulan sabit dalam lingkaran, menandakan lambang perguruan Candra Bumi di telatah Jipang.

   "Pusaka itu... " desis ki Panji Tohjaya.

   Desis lirih itu terdengar oleh ki Soca Welirang, yang menanggapi dengan mempermainkan senjata di tangannya. Seolah memamerkan pusaka yang sepertinya dikenali oleh ki Panji Tohjaya. Kemudian ki Soca Welirang tertawa datar sembari berkata.

   "Orang yang memiliki senjata ini lumayan tangguh hingga membuat keringatku terperas. Namun, aji yang bersumber dari Candra Bumi tak dapat sejajar dengan kerasnya kehidupan gunung Welirang."

   "Atau mungkin karena umurnya semakin tua, tulang - tulangnya menjadi keropos ? Hahaha.. Nasibnya memang na'as. Muridnya durhaka dan memintaku membungkamnya selamanya." sambung ki Soca Welirang.

   "Hm... Lalu apa maksud Kisanak yang ringan tangan dan membunuh mereka ?" tanya ki Panji Tohjaya.

   "Cecurut tak tahu diri. Setelah mendapat seikat kepeng malah ingin berkhianat. Jadi pantaslah jika mereka terkapar.. " sahut ki Soca Welirang seraya tertawa.

   "Kau salah, Kisanak. Tidak seharusnya nyawa seseorang dengan mudah dan enteng kau binasakan. Betapa beratnya tanggung jawab kelak yang kau hadapi dihadapan Sang Pencipta." sanggah ki Panji Tohjaya.

   Telinga ki Soca Welirang cukup tebal mendapatkan nasehat dari ki Panji Tohjaya, ia hanya menanggapi dengan gelak tawa saja. Bagi pembunuh berdarah dingin ini, nasehat - nasehat yang memperingatkan pertanggung-jawaban di alam langgeng sudah sekian kali ia dengar dari mangsa atau korbannya. Dan semuanya berakhir sia - sia kecuali terenggutnya nyawa para orang - orang yang memperingatkan ki Soca Welirang.

   "Hahaha... Dari sekian murid Sekar Jagat yang aku temui, kau-lah satu - satunya yang berbeda, Tohjaya. Mulutmu masih dapat menyebut ucapan - ucapan anak polos. Lain halnya dengan saudara - saudara seperguruanmu yang terpikat kemilaunya gemerlap harta dan jabatan." kata ki Soca Welirang, bergemuruh.

   "Bicara apa kau ini ?"

   "Hahaha... Kura - kura dalam perahu. Mulutmu bisa berkata menyangkal, tetapi aku yakin jika hatimu berucap lain jika menilai saudara - saudara seperguruanmu." ki Soca Welirang bergegas berkata lebih lanjut, "Patih Mentahun, Haryo Kumara dan Haryo Sardulo, semakin hari menunjukan biangnya... "

   "Cukup... !!" teriak ki Panji Tohjaya.

   Tetapi ki Soca Welirang tetap melanjutkan perkataannya, "Dari lima macan, terpaksa dua macan muda harus dibinasakan agar tidak mencakar macan - macan tua. Ah... Senopati andalan Jipang harus meregangkan nyawa karena keserakahan saudara tuanya."

   Sebenarnya ki Panji Tohjaya sudah menduga kalau salah seorang saudara seperguruannya adalah orang dibalik kejadian ini. Tetapi saat disebutkan tiga macan tua, ki Panji Tohjaya agak bimbang. Mungkinkah saudara tertua perguruannya juga terlibat ? Meskipun akhir - akhir ini orang yang ia segani itu mulai berubah tindak tanduknya, tetap saja ia ragu - ragu untuk menilainya.

   "He, Tohjaya ! Susulah kakak seperguruanmu, ke alam kubur !" tiba - tiba ki Soca Welirang berteriak sembari menjulurkan senjata rampasan.

    Terbeliak mata ki Panji Tohjaya, dikarenakan mendengar kalau ia harus menyusul saudaranya ke alam kubur. Berarti salah satu saudaranya sudah dikalahkan ki Soca Welirang. Tetapi siapa ? Ah, teringatlah kata dua macan muda yang harus dibinasakan. Itu berarti dirinya dan....

   Tak sanggup ki Panji Tohjaya berangan - angan. Lebih baik ia bergegas melayani sergapan lawan yang bukan sembarang lawan. Untunglah ki Panji Tohjaya sempat bertemu dengan paman gurunya, ki Wijang Pawagal dan mendapat tuntunan lebih mantab bersumber ilmu tingkat tertinggi perguruan Sekar Jagat, dan juga mewarisi salah satu pusaka perguruan yaitu tombak pendek Kyai Giri.

   Menggunakan Kyai Giri sebagai piranti memapaki serangan yang diluncurkan oleh ki Soca Welirang, ki Panji Tohjaya dapat mementahkan benturan senjata yang sebenarnya hanyalah tindakan penjajagan dari lawannya. Selanjutnya benturan demi benturan sering bersinggungan menggetarkan udara sekitar tanah lapang. Ilmu keduanya sangat mendebarkan terlukis dari tata gerak juga olah senjata, bagai se-ekor macan melawan kerasnya banteng. Menimbulkan derak tanah, kesiur angin tajam, terkoyaknya udara mengakibatkan rumput rusak parah.

  Semakin lama tataran terus meningkat bertambah hebat dan menyeruakan tata gerak rumit penuh tipuan dan kembangan yang sebenarnya mengancam dan mematikan bagi siapa yang lengah. Hanyalah kewaspadaan, ketelitian dan keuletan menyatu bercampur dengan ketangkasan olah pikir, olah rasa dan olah bantin yang kuat-lah akan menjadi pemenang, walau menang di sini tidaklah menang sejati.

   Kala itu gada di tangan ki Soca Welirang mengayun keras ke arah kepala ki Panji Tohjaya, hanya saja ki Panji Tohjaya sangat sigap memiringkan kepala, sehingga gada ki Soca Welirang tidak mengenai kepala ki Panji Tohjaya. Kenyataan itu cepat ditanggapi ki Soca Welirang dengan membelokan gadanya mengejar tubuh ki Panji Tohjaya, akan tetapi murid perguruan Sekar Jaga tidak tinggal diam, maka bergegas merendah sembari menusukan tombak pendeknya.

   Hebat benar ki Soca Welirang. Tusukan lawan berhasil dihindari seraya melempar tubuhnya menyamping sembari menggemplangkan gadanya ke kepala lawan. Sekali lagi gadanya menumbuk udara kosong, dan bahkan ia harus melenting karena adanya serangan balasan. Menjadikan perkelahian itu seru dan sengit saling serang menyerang menggunakan jenis senjata yang berbeda. Dari mulai munusuk, memukul dan menyodok disertai tenaga dahsyat.

   Bertambahnya sang waktu mulai adanya pergeseran nyata tataran yang semakin memuncak mendekati tenaga cadangan, menimbulkan getaran - getaran tajam di sekeliling tubuh keduanya. Udara dibuat bergelora terasa hangat dan lama kelamaan memanas, seiring menguaknya ilmu simpanan yang siap saling dibenturkan. Dari ki Panji Tohjaya, aji Brajadaka manjing dari dalam tubuhnya, sementara lawannya juga mengungkap salah satu ilmu andalannya juga yang bersumber kekuatan panas. Beradu dua ilmu berbeda dalam penyebutan tetapi sebenarnya memiliki kesamaan dari inti sumbernya, menjadikan perkelahian semakin sengit dan seru.

   Upaya - upaya mengenai tubuh lawan berbentuk pukulan berlambarkan aji Bajradaka di tangan ki Panji Tohjaya dan aji Tapak Geni di tangan ki Soca Welirang, berjalan alot dan terkesan sulit bagi masing - masing pihak. Itu semua karena adanya bekal dan pengalaman dari keduanya yang cukup untuk mempertahankan anggota tubuh mereka dari cengkeraman ganasnya api. Namun lambat laun, salah seorang terperdaya dalam kelengahan dan harus terbayar oleh ganasnya ilmu lawan.

   "Bangsat.... !" teriak ki Soca Welirang, saat pundaknya terhantam pukulan lawan.

   Pundak orang itu bagai keselomot bara api, bahkan kain pakaiannya berlubang sebesar kepalan tangan. Meskipun begitu, ki Soca Weliran memiliki daya tahan tubub yang bagus. Tidak terlalu lama sakitnya berangsur hilang dan hanya meninggalkan bekas semata. Dirinya tidak tinggal diam dan untuk mendukung tekadnya, ilmunya semakin ia tingkatkan. Kakinya bagai tergantikan pegas membuat orang itu mudah melenting jauh ke depan, seraya menyongsongkan gada rampasan dari perguruan Candra Bumi.

   "Byaaar.... "

   Gada itu menumbuk tanah dan membuat tanah berlubang besar. Bisa dibayangkan jikalau gada tadi mengenai ki Panji Tohjaya, yang tubuhnya terdiri dari tulang berbalut daging dan darah, tentu akan lumat bila dipikir secara nalar.

   Geleng - geleng kepala ki Panji Tohjaya melihat keampuhan gada berwarna kuning kehitaman itu. Patut diwaspadai jika pusaka ampuh tergenggam ditanggan seorang ki Soca Welirang yang memiliki tenaga dahsyat. Lantas upaya dari ki Panji Tohjaya ialah ikut meningkatkan ilmunya, dan tadu sewaktu melihat adanya gempuran gada, ki Panji Tohjaya telah mengungkap aji Alang - Alang Kumitir dan berhasil nenyelamatkan dirinya.

   Sementara itu, dalam diri ki Soca Welirang, timbul rasa kesal terhadap lawan satu ini. Ia tidak menyangka kalau lawannya masih dapat melayaninya sejauh ini. Padahal dirinya mampu mengalahkan Senopati Rakai Wekar, kakak seperguruan ki Panji Tohjaya dengan mudah melalui aji Tapak Geni yang tersalurkan ke gadanya. Dia tidak mengira kalau selama ini lawannya mendapat gemblengan secara langsung oleh ki Wijang Pawagal, murid tertua Panembahan Sekar Jagat Sepuh dan kakak seperguruan ki Danurpati atau Panembahan Sekar Jagat Anom guru ki Panji Tohjaya.

   "Setan mana yang manjing dalam tubuh macan muda ini ?" batin ki Soca Welirang, sambil memusatkan nalar budinya.

   Licik, kejam dan tak terikat paugeran adalah ciri yang dimiliki ki Soca Welirang. Maka tak heran jika serangan gelap akan ia lakukan untuk meraih kemenangan. Kali ini ilmu hitam ia gunakan dengan sembunyi - sembunyi. Tiada tanda - tanda mengisyaratkan kalau orang ini memiliki ilmu dan akan mempergunakannya di tanah lapang ini.

   "Mati kau.... !" desisnya dalam hati.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 6
oleh : Marzuki

   Rajah Kala Pati adalah sebuah ilmu berasal dari penyembahan bathara Kala putra bathara Guru dan bathari Durga, salah satu bathara penuh angkara murka. Ilmu ini menurut penuturan kuno tersirat di sebuah batu arca berbentuk kepala empat dan tangan juga empat yang ditemukan oleh Wiku kerajaan Wengker, pada jaman Mataram kuno pemerintahan Maharaja Empu Sendok.

   Waktu itu setelah sang Wiku mempelajarinya dan mencerna inti sari dari guratan di dasar arca, sangat terkejut dengan apa yang ditimbulkan akibat merapal aksara kawi. Badannya gemetar menggigil kedinginan bagai terendam air telaga di puncak Wilis, tetapi sekejap kemudian hawa panas yang amat sangat menyeruak keluar menjadikan sang Wiku menderita bukan kepalang, dan perubahan kembali terjadi dimana hawa dingin menghampiri sang Wiku dan dilanjutkan hawa panas terulang lagi berkali - kali. Baru terakhir kemudian keadaan sang Wiku kembali seperti sediakala, malah terasa sejuk menjalari tubuhnya.

   Dicobanya untuk melangkahkan kaki. Kejadian tak terduga membuat sang Wiku terpana tatkala merasakan adanya getar merambat turun menjalar ke dalam tanah dan mengarah ke gundukan batu padas.

   "Byaaar..... !"

   Gundukan batu ambyar menyisakan debu hitam kelam. Terperanjatlah sang Wiku demi menyaksikan akibat dari tenaga dahsyat yang menyeruak dari dirinya. Ia tidak menyangka kalau hasil dari merapal aksara kawi, merubah dirinya seperti itu. Namun untuk menambah keyakinannya sang Wiku mencoba merapal aksara kawi, kali ini tiada perubahan yang membuat tubuhnya menderita, lalu ia hujamkan kakinya ke tanah seraya memusatkan arah sasaran yang ia kehendaki, yaitu sebuah pohon Gayam sebesar paha orang dewasa.

   "Byaaar... !"

   Nasib sial dialami oleh pohon Gayam, dimana sebuah kekuatan dahsyat menggrogoti batang, cabang, ranting dan daunya berubah layu menghitam legam dan hangus. Bisa dibayangkan jika tenaga itu ditimpakan kepada mahkluk hidup lainnya, sungguh tak terbayang apa yang terjadi. Bahkan sang Wiku sendiri ngeri apabila membayangkan. Ilmu itu seperti menyebarkan racun mematikan jika yang dikenai adalah mahkluk hidup.

   Sebagai seorang Wiku yang selalu mendekatkan diri kepada Hyang Suci, pikiran dan hati jernih telah mendorongnya untuk menghilangkan ilmu itu. Hati kecilnya mantab untuk menggolongkan ilmu itu sebagai ilmu yang tak seharusnya dipelajari oleh manusia, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah parah berupa kematian tentunya. Maka untuk itu ia mencoba menghapus pancaran ilmu tersebut dari dalam pikiran, hati dan wadahnya. Akan tetapi baru saja ia memulai, tiba - tiba langit berubah gelap, sang surya terbenam oleh gerombolan awan hitam, dan guntur terdengar membahana memekakan gendang telinga.

   Patung arca yang semenjak awal diam tak bergerak, mendadak matanya bersinar memancarkan warna merah menggidikan bulu kuduk. Batu yang semestinya tidak memiliki nyawa, bangkit berdiri tegak dan menghadap ke arah sang Wiku. Dari salah satu wajah, tersungging senyum yang sekejap kemudian berubah seringai mengerikan, lalu menggeram bagai sang raja hutan belantara.

   "Kau tak akan mampu menghapus ilmu yang sudah kau pelajari itu, manusia. Ilmu itu lain dari yang lain seperti yang pernah kau hapus. Karenanya jika kau ingin menghapusnya, kau harus mencari seorang lelaki untuk menyembahku. Setelah itu baru kau akan bebas dari cengkraman ilmu itu di dalam tubuhmu !"

   Habis berkata begitu, langit kembali seperti sediakala dan patung bathara Kala duduk seperti semula, layaknya patung pada umumnya.

  Dan begitulah perjalanan ilmu itu hingga entah bagaimana ki Soca Welirang mempelajarinya dan mampu menggunaka ilmu hitam tersebut. Sekarang ilmu Rajah Kala Pati sudah diterapkan untuk menghabisi lawannya. Tenaga dahsyat mengandung racun menjalar menyusup tanah mengarah kepada lawannya yang berdiri tegap penuh kewaspdaan.

   Dalam pada itu ki Panji Tohjaya dalam diamnya juga mendapatkan ada sesuatu yang ganjil terhadap lawannya. Karenanya ia sempat memusatkan nalar budinya untuk mengungkit ilmunya aji Brajadaka serta aji Sepi Angin. Dua ilmu melebur menjadikan tenaga dahsyat memutar ke seluruh urat nadinya, dan saat itulah berbenturan dengan ilmu gelap lawan yang menyusup dari bawah kakinya dan terus naik menjalari kakinya. Ki Panji Tohjaya terkejut dengan adanya tenaga aneh yang sepertinya melawan dan menggerogoti kakinya. Tetapi Senopati ini berusaha melawan melalui pengerahan ilmu gabungan, hingga akhirnya terjadila upaya dorong - mendorong dari ilmu itu.

   Rasa sakit dan pedih menyiksa kaki ki Panji Tohjaya sebatas betis. Dorongan kuat dari tenaga aneh rupanya dapat membobol tenaga gabungan Brajadaka dan Sepi Angin, menambah penderitaan yang dialami ki Panji Tohjaya, dimana dua kaki sebatas betis telah berubah menghitam legam, dan membuat lunglai tubuh Senopati itu. Jatuhlah tubuh ki Panji Tohjaya yang tak dapat menopang lagi berat tubuhnya. Jika ini terus berlanjut, bisa dipastikan ki Panji Tohjaya akan binasa di tangan ki Soca Welirang.

    Meskipun besar musibah melanda seseorang, tetapi apabila Dzat Yang Maha Agung belum berkenan mencabut nyawanya, kematian akan terhalang untuk sementara dan selamatlah orang itu. Begitu juga dengan keadaan ki Panji Tohjaya, dimana dalam keadaan sekarat muncul orang yang baru saja dijumpai, yaitu ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Kedua orang itu terkejut melihat keadaan yang dialami oleh ki Panji Tohjaya. Bergegas keduanya melompat ke arah ki Panji Tohjaya dan satunya lagi ke arah ki Soca Welirang.

   Kedatangan dua orang itu menghentikan tindakan ki Soca Welirang untuk menghabisi ki Panji Tohjaya. Untuk sementara ilmu Rajah Kala Pati ia tarik kembali demi menghadapi terjangan seorang pemuda. Demi menghindari terjangan itu, ki Soca Welirang mengisar kakinya sekaligus mengayunkan gada rampasan ke arah lawan barunya. Tetapi lawannya bukanlah anak yang baru turun gunung setelah selesai menuntut ilmu, pemuda itu adalah murid pilihan Resi Puspanaga dalam bimbingan mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu, sehingga sangat mudah melayani ayunan gada hanya dengan mengibaskan saja.

   "Tobiil.... !" seru ki Soca Welirang, takjub terhadap pemuda yang dapat melencengkan gadanya.

   Akan tetapi ki Soca Welirang tak mau berhenti disitu saja, gadanya bergerak lagi mengejar tubuh lawannya dengan cepat. Ia yakin kali ini gadanya pasti menumbuk pemuda kurang ajar itu, namun untuk kedua kalinya ki Soca Welirang dibuat kesal bukan main, karena sekali lagi lawannya hanya merunduk sembari mengibaskan tangannya. Kibasan tersebut mengandung tenaga cukup kuat dan membuat tubuh ki Soca Welirang terhempas ke belakang, beruntung dirinya dapat menjaga keseimbangan, sehingga badannya tak terjengkang.

   Sementara itu tak jauh dari tempat ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa beradu dada, Kyai Jalasutro mencoba membantu ki Panji Tohjaya menepi dan memeriksa keadaannya. Betapa terkejutnya Kyai Jalasutro setelah mengetahui keadaan ki Panji Tohjaya. Keadaan Senopati itu sangat parah, kedua kakinya hitam legam penuh kerutan, menandakan daging yang membalut tulang tersedot oleh ilmu Rajah Kala Pati. Bahkan kaki ki Panji Tohjaya sudah tak dapat digerakan lagi, lumpuh.

   "Ki Panji, apakah yang kini kau rasakan ?"

   "Sebuah tenaga mengerikan... Terasa terus.. Menggerogoti dagingku... " jawab ki Panji Tohjaya, terbata - bata karena menahan pedih yang ia rasakan.

   "Semoga upaya bisa mengurangi rasa sakit itu, ki Panji."

  Usai berkata, Kyai Jalasutro memusatkan nalar budinya untuk mencoba menyalurkan tenaga sucinya. Tangan Kyai Jalasutro menempel di betis ki Panji Tohjaya, begitu menempel hawa sejuk dari tangan Kyai Jalasutro menyusup betis secara perlahan, tetapi sebuah perlawanan sisa tenaga ilmu Rajah Kala Pati masih kuat dan mendorong hawa sejuk keluar kembali. Sungguh kejadian itu mengejutkan Kyai Jalasutro, baru kali ini selama melalang buana sesuatu yang aneh ia temui.

   "He... " desuh Kyai Jalasutro, tak enak hati.

   "Terima kasih, Kyai.." desis ki Panji Tohjaya, lirih, "Se..baiknya Kyai mem..bantu ki Lurah.."

    Sejenak ki Panji Tohjaya terhenti karena napasnya agak sesak, tetapi dia mencoba melanjutkan kata - katanya untuk memperingatkan Kyai Jalasutro.

   "Orang i..tu ki Soca We..lirang, Kyai. Seorang pem..bunuh berdarah di..ngin."

   Kyai Jalasutro mengernyitkan alisnya, gelar yang diucapkan oleh ki Panji Tohjaya belum pernah ia dengar. Walau begitu, melihat ilmu yang diterapkan oleh orang itu, patut mendapatkan perhatian yang besar. Namun, Kyai Jalasutro tak ingin juga langsung turun membantu ki Lurah Arya Dipa, tiada lain takut menyinggung Lurah Wira Tamtama itu, meskipun ia tahu kalau pemuda itu bukanlah seorang yang tinggi hati. Karenanya ia untuk sementara mengawasi jalannya perkelahian, dan apabila amat mendesak barulah ia turun gelanggang.

   Dalam saat bersamaan, di kalangan adu kekuatan sangatlah seru dan sengit. Pemuda yang menggagalkan upaya terakhir ki Soca Welirang untuk membinasakan ki Panji Tohjaya, membuat ki Soca Welirang semakin mantab meningkatkan ilmu tata geraknya. Gada dan juga tangannya penuh ancaman mematikan bagi lawan yang lengah. Ditambah lagi lambaran tenaga dahsyat menggebu - gebu meremukan mangsa. Pantaslah jika orang ini terkenal sebagai pembunuh ulung. Gelarnya saja dapat merontokan begundal - begundal kanuragan dan bahkan pemimpin kanuragan.

   "Setan alas ! Kau bisanya hanya meloncat - loncat saja, he !" seru ki Soca Welirang, tatkala lawannya hanya menghindari terjangannya dengan loncatan - loncatan  saja.

   Ki Lurah Arya Dipa menanggapi dengan tersenyum sembari melentingkan tubuhnya demi menghindari ayunan gada lawan. Pemuda itu berusaha melakukan penjajagan dahulu untuk mengetahui tenaga lawan, yang sebenarnya memiliki ilmu mengerikan. Selain itu adalah mencoba menggoda batas kesabaran lawan, supaya pergerakan lawan tidak sejalan dengan pikiran jernih, sehingga mengkalutkan tata gerak lawan. Tetapi apabila lawannya dapat membaca jalannya pemikiran ki Lurah Arya Dipa, tindakan itu akan menjadi piranta lawan untuk mengelabuinya dan menghancurkannya. Oleh sebab itulah, ki Lurah Arya Dipa juga selalu berhati - hati dan waspada dalam setiap langkahnya.

    Memasuki tataran lebih rumit, gada ki Soca Welirang tak dapat lagi dilihat sebelah mata, ki Lurah Arya Dipa-pun terpaksa melepas ikat pinggangnya sebagai senjata untuk menghadapi gada pusaka lawan. Namun dalam pada itu, lawannya merasa dihinakan oleh ki Lurah Arya Dipa yang melayaninya hanya menggunakan ikat pinggang. Hal itu menjadikan lawannya tak dapat lagi mengekang gejolak kemarahannya dan melibas ki Lurah Arya Dipa lebih ganas lagi dari sebelum - belumnya. Maka gada ditangan ki Soca Welirang sangat mengerikan disetiap ayunan dan gebrakannya.

   Bagi ki Lurah Arya Dipa, tindakan dari lawannya sangatlah wajar tatkala mendapatkan lawan hanya menggunakan ikat pinggang sehingga marah dan merasa diremehkan. Tetapi lawannya belum tahu apa sesungguhnya bahan ikat pinggangnya itu ? Ikat pinggangnya adalah sebagian daripada sisik ular naga yang memiliki keuletan luar biasa, serta apabila ikat pinggang itu dihantamkan ke batu sebesar kepala kerbau, niscaya batu itu akan pecah berkeping - keping. Dan pusaka ikat pinggang ini sudah sering terbukti dapat membuat lawan - lawan ki Lurah Arya Dipa menjadi takjub pada akhirnya, begitu juga halnya dengan lawannya kali ini manakala singgungan senjata terjadi.

  Mata ki Soca Welirang seakan - akan lepas dari kelopak matanya, karena tak percaya jika gadanya dapat ditahan lawan menggunakan ikat pinggang. Tidak sampai disitu saja, ikat pinggang ditangan lawannya telah mengibaskan gadanya, jika cengkeramannya tak kuat niscaya gada tersebut lepas dari tangannya. Akhirnya sadarlah ki Soca Welirang kalau ikat pinggang tersebut adalah benda pusaka, dengan itu ia tak akan gegabah menilai kemampuan lawan.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 7
oleh : Marzuki

   Hari semakin remang dimana sang Surya kembali dalam peraduannya. Tanah lapang terasa mencengkam karena lima tubuh menggeletak tak bernyawa. Agak di pinggir, seorang kakek tua menopang sosok tubuh tak berdaya dengan luka aneh terletak dikedua kaki yang menghitam legam. Sedangkan tak jauh dari keduanya, sosok - sosok layaknya hantu berloncatan kian kemari menambah keadaan menakutkan.

   Di langit kerlip bintang gemebyar menghiasi angkasa raya, seakan menjadi saksi tingkah pola manusia dalam merebutkan sesuatu keyakinan, yang kadang kala harus mengorbankan nyawa. Kejadian seperti itu kadangkala membuat bintang gemintang dan seluruh isi alam bosan, untuk selalu melihat dan melihat tetesan darah, jerit tangis, rintihan merana, geram kemarahan, dan nafsu - nafsu angkara. Tetapi semua itu adalah kodrat Yang Kuasa yang harus berjalan terus sampai kelak sang Surya terbit dari barat.

   Begitu-pun kali ini, tanah lapang sedang menggelar sebuah perkelahian untuk kesekian kalinya. Ganasnya gada mengayun deras dan dihadapi ikat pinggang yang memiliki dua bentuk berupa luwes atau-pun keras dalam menyikapi ganasnya gada. Belum lagi jika dua penggunanya menyalurkan tenaga cadangan atau ilmu - ilmu dari masing - masing sumbernya, yang tentunya berbeda bentuk dan jalur, menambah sengitnya adu tenaga dan kemampuan gerak yang terolah menjadi satu kesatuan sebagai piranti pertahanan atau bahkan penghancur lawan. Semuanya tergantung kepada si-pemilik ilmu itu sendiri.

   Dalam pada itu, gada ditangan ki Soca Welirang terlihat mengeluarkan pamornya, dimana cahaya kuning kehitaman nampak jelas di gelapnya malam. Sepertinya orang itu tidak lagi mengekang seluruh kemampuannya dalam menghadapi pemuda yang telah ikut campur dan mengganggunya, manakala ia hampir saja menewaskan mangsanya. Dan benar saja, gada yang dahulunya adalah milik pemimpin perguruan Candra Bumi, setelah ditangannya melibas pergerakan lawannya dengan ganas dan mengerikan. Jika sekali gada itu menghantam karang, dapat dipastikan karang tersebut akan lumat berserakan, apalagi manusia yang hanya terdiri dari tulang dan darah terbalut daging dan kulit. Sangat yakin dan pasti gada tersebut dapat menyelesaikan, itulah yang tersirat dalam benak ki Soca Welirang.

   Akan tetapi, semuanya itu tergantung dari campur tangan dari Dzat Suci. Walaupun ciptaanNYA hanya se-ekor garuda, tetapi jika Yang Maha Agung memberikan kelebihan terhadap garuda itu, meskipun garuda itu dihujani ribuan anak panah, dengan kelincahan dan kegesitannya mengepak sayap garuda dapat menghindarinya dengan mudah. Begitu-pun dengan ki Lurah Arya Dipa pada saat itu, kelincahan dan kegesitannya sangat luar biasa, seakan - akan punggungnya tumbuh dua sayap dan menerbangkannya. Dan itu adalah hasil dari salah satu ilmu yang tersirat dikitab Cakra Paksi Jatayu, yang disebut "Garuda Dirgantara" tataran awal.

   "Hebat... " puji Kyai Jalasutro, yang menyaksikan kehebatan ki Lurah Arya Dipa.

   Sementara bagi ki Soca Welirang menyaksikan dan merasakan kemampuan lawan, membuatnya kesal bercampur marah. Dia sudah mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya, tetapi lawan masih selalu dapat melayaninya. Ingin sebenarnya ia akan menerapkan ilmu pamungkasnya yang ngedap - ngedapi, tetapi kesempatan tidak pernah ia dapatkan barang sekejap, yaitu dimana lawannya harus menginjak tanah agak lama, karena lawannya ini selalu melenting ataupun meloncat bahkan mengudara.

   "Licin betul anak muda ini ! Apa mungkin ia tahu syarat ilmu Rajah Kalapati ?" tanyanya dalam hati.

   Tiada jawaban yang pasti. Malah ki Soca Welirang bergegas merendahkan tubuhnya manakala desir tajam terdengar memburu batang lehernya. Hampir saja kepala akan tanggal terpapas ganasnya ikat pinggang lawan, jika ki Soca Welirang tidak tanggap. Berhasil menghindari sergapan lawan, masih dalam keadaan merendahkan tubuh, ki Soca Welirang menyapu kaki lawan. Namun lawan dapat meloncat sembari melakukan tebasan hebat, dan ki Soca Welirang lekas menyilangkan gada diatas kepalanya.

  Percikan api timbul manakala dua senjata tadi berbenturan dengan kerasnya, membuat dua penggunanya mendapatkan kesan dan akibat yang sama, yaitu getaran merambat dan menusuk jari dan tangan keduanya. Bukan hanya itu saja, tubuh ki Lurah Arya Dipa dapat dibuat mental meskipun dengan kelincahannya pemuda itu dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Sementara bagi ki Soca Welirang kakinya yang masih setengah jongkok, melesak ke dalam tanah sedalam sekilan.

   Bergegas ki Soca Welirang merapal ilmunya setelah dapat meredakan rasa nyeri pada tangannya. Kesempatan untuk menggunakan ilmu Rajah Kalapati sudah di depan mata. Dan kali ini akan ia terapkan sepenuhnya agar lawan segera tewas.

   Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa yang sudah tuntas dalam mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu dan rontal Panembahan Anom, merasakan adanya marabahaya yang akan mencelakakannya. Ilmunya yang melebur dalam dirinya seakan bergolak dan membangkitkan ilmu Niscala Praba tingkat tinggi, sehingga tubuhnya terselimuti cahaya kuning kemilau. Selain itu aji Sepi Angin dan Gelap Ngampar ikut menyeruak, seakan - akan tak mau ketinggalan membantu raga yang telah ia huni.

   Sekejap kemudian tanah lapang di malam hari itu berderak hebat. Tanah bengkah segaris lurus antara ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Dari bengkahan tanah tercium bau anyir menyengat membuat penciuman tak nyaman. Bahkan Kyai Jalasutro dan ki Panji Tohjaya yang berada diluar jangkauan, merasakan pening dan mual. Itu semua akibat ilmu Rajah Kalapati yang mendekati kesempurnaan.

   "Buumm...! Buuummm...! Byaaar...!"

   Bumi bagai terhantam batu langit, menjadikan tanah lapang porak - poranda. Debu bercampur tanah dan rerumputan membumbung menutupi pandangan mata, menambah pekatnya malam. Apa yang terjadi ditengah lapangan masih tak dapat diketahui, apakah ki Lurah Arya Dipa kalah ? Ataukan ki Soca Welirang yang tumbang ? Atau malah keduanya mati sampyuh ?

   Di luar kalangan, hati Kyai Jalasutro berdebar hebat menyaksikan kejadian yang baru saja ia alami. Se-umur - umur barulah malam itu ia menyaksikan beradunya tenaga dahsyat yang mampu membuat tanah berderak hebat dan suara dentuman keras memekakan gendang telinga, juga bergolaknya udara malam di tanah lapang. Padahal, Kyai Jalasutro sendiri seorang linuweh dan tuntas kaweruh dalam dunia kanuragan dan jaya kawijayan, masih dibuat terpana dan takjub. Namun seiringnya waktu berlalu, orang tua itu gelisah memikirkan nasib ki Lurah Arya Dipa yang masih terkurung tebalnya debu.

   Semuanya pada akhirnya harus berlalu. Debu yang membubung mulai larut terhempas angin semilir dan luruh jatuh ke bumi. Lamat - lamat keadaan dimana kalangan tadi berada, berubah adanya, tanah padat ditumbuhi rumput setinggi kurang dari mata kaki, amblong selebar belasan pelukan orang dewasa dan sedalam satu tombak. Di sana juga tiada nampak satu kehidupan-pun yang terlihat, sehingga membuat kegelisahan Kyai Jalasutro satu - satunya orang yang masih dalam keadaan terjaga, karena ki Panji Tohjaya telah pingsan setelah mencium bau anyir dari rengkahan ilmu Rajah Kalapati.

   "Bagaimana ini ?" desis Kyai Jalasutro, bingung bercampur gelisah, "Bagaimana nanti aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatan Anakmas Lurah Arya Dipa kepada istrinya yang saat ini sedang mengandung ?"

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 8
oleh : Marzuki

   Keadaan yang mencekam di tanah lapang yang saat ini sangat kental, menimbulkan masalah sendiri bagi serangga - serangga malam. Bunyi jangkrik, kerlipnya kunang, dan serangga lainnya lenyap begitu tenaga dahsyat meluluh lantahkan tanah lapang. Entah kemana serangga - serangga itu perginya, setelah kedatangan orang - orang ke tanah lapang yang sangat jarang dirambah manusia dan membuat kejadian yang sangat mengerikan berupa saling menyakiti diantara manusia itu sendiri. Namun akibat yang ditimbulkan berdampak besar terhadap kelangsungan ratusan bahkan ribuan serangga yang selama ini hidup di sekitar situ.

   Saat itu, yang mengganjal pikiran dan hati Kyai Jalasutro tidaklah mengenai dampak kerusakan terhadap kehidupan serangga, melainkan bagaimana akhir dari pergumulan adu sakti yang diterapkan oleh ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Bagaimana tidak gelisah ? Di bekas tempat beradunya dua tenaga dahsyat hanya menyisakan lubang tanah yang cukup besar, tanpa terlihat adanya sumber kehidupan sedikitpun. Sungguh mengerikan jika dua orang digdaya tadi sama - sama lumat tak menyisakan secuil daging atau-pun setetes darah. Betapa hebat dan mengerikan ilmu - ilmu yang baru saja disaksikan oleh Kyai Jalasutro, tak terpikir ilmu limpahan dari Gusti Agung kepada manusia bisa seperti itu.

   Karena tak mampu lagi mengekang gejolak hatinya, Kyai Jalasutro bangkit berdiri meninggalkan tubuh ki Panji Tohjaya yang tak sadarkan diri, mendekati kubangan luas di tengah tanah lapang. Meskipun gelapnya malam menyelimuti tempatnya berdiri, orang tua itu mencoba menajamkan matanya melalui ilmu Pandulunya demi mencari tubuh ki Lurah Arya Dipa, khususnya. Namun sudah berulang - ulang sepasang matanya menyelidiki, tak ada hasil yang didapat, kecuali tanah dan bebatuan. Dan pada akhirnya kesimpulan yang didapat ialah sesuatu yang sebenarnya tidak ia harapkan.

   "Maafkan aku, Anakmas Lurah Arya Dipa. Seharusnya aku tadi mendengarkan peringatan ki Panji Tohjaya dan membantumu, walau akhir yang didapat belum tentu beruntung." sesal Kyai Jalasutro.

   Sekali lagi orang tua itu mengeliarkan pandang matanya menyusuri lubang dihadapannya, untuk memastikan. Setelah yakin, perlahan orang tua itu membalikan tubuh dan beranjak dari tempatnya menuju tubuh ki Panji Tohjaya. Kemudian Tangannya meraih tubuh ki Panji Tohjaya dan dipanggulnya dan dibawa pergi dari tanah lapang.

   Sepeninggal kepergian Kyai Jalasutro yang memanggul ki Panji Tohjaya, tanah lapang menjadi sepi menyisakan lima tubuh tanpa nyawa dan lubang besar menganga. Sementara sejarak dua puluh tombak, diantara lebatnya semak belukar, sesosok tubuh hangus tergeletak tanpa nyawa, yaitu tubuh ki Soca Welirang. Sedangkan di sisi lain, juga sejauh kurang dari dua puluh tombak, ki Lurah Arya Dipa tergeletak tak sadarkan diri dan pakaiannya berlubang seperti bekas terbakar.

   Tadi, tatkala ilmu Rajah Kalapati menyeruak menghantam tubuh ki Lurah Arya Dipa, aji Niscala Praba  tertembus dan tubuhnya terserang tenaga jahat Rajah Kalapati. Untung saja tubuh ki Lurah Arya Dipa tersimpan tenaga dahsyat dari kitab Cakra Paksi Jatayu dan darah naga Anta Denta, yang dapat melawan balik ilmu lawan sehingga tidak dapat menggrogoti tubuhnya, seperti tubuh ki Panji Tohjaya. Selanjutnya kekuatan aji Gelap Ngampar dan Sepi Angin yang juga dimiliki ki Lurah Arya Dipa, menyeruak keluar kearah lawannya, dan saat bersamaan lawannya juga menerapkan aji Tapak Geni tingkat tinggi. Maka bertemulah tenaga - tenaga dahsyat, yang membuat dentuman keras menggelegar. Akibatnya tidak hanya tanah hancur saja, tubuh keduanya-pun tak pelak terhempas jauh. Dan kejadian seperti itu luput dari pengamatan Kyai Jalasutro.

  Baru kali inilah ki Lurah Arya Dipa mengalami perkelahian sampai - sampai tak sadarkan diri. Cukup lama matanya terpejam dan tubuhnya diam di bawah pohon. Sampai sang surya terbit dari langit timur, pemuda itu belum sadarkan diri. Hingga akhirnya sebuah suara merdu terdengar dan menghampiri tubuhnya.

   "Masih hidup, ayah."

   Orang yang dipanggil ayah itu bergegas berjongkok, kemudian memeriksa tubuh ki Lurah Arya Dipa dan orang itu menghela napas lega.

   "Sungguh hebat daya tahan pemuda ini." desis orang itu.

   "Apakah ayah akan menolongnya ? Apakah ayah tidak jera seperti waktu itu ?" tanya gadis yang pertama menghampiri tubuh ki Lurah Arya Dipa.

   Orang itu tersenyim mendengarkan pertanyaan sekaligus rasa was - was dari putrinya, "Nduk cah ayu, menolong orang yang menderita adalah pokok utama dari sifat manusia. Yang terpenting adalah menolong orang itu terlebih dahulu, masalah ia akan mengucapkan terima kasih atau malah membalas air tuba, janganlah kau risaukan."

   Putrinya menggeleng sambil menghela napas, tetapi tak menyanggah ucapan ayahnya. Malah kini matanya menatap wajah orang yang tak sadarkan diri itu. Tak dapat dipungkiri, tiba - tiba hatinya menilai wajah terpejam itu. Senyum tipis mengembang di bibir mungilnya, tapi selekas itu dicobanya untuk menampik angan - angan dari benaknya.

   "Kau tidak setuju dengan ucapanku, Nduk ?" tiba - tiba ayahnya bertanya dan itu membuat gadis itu gelagapan.

   "Ti.. tidak ayah.. " sahutnya seraya menundukan kepala, untuk menutupi rona merah diwajahnya.

   "Hm.. Sudahlah, sebaiknya kita bergegas membawanya."

   Orang itu meraih tubuh ki Lurah Arya Dipa dan dipanggul dipundaknya untuk kemudian dibawa pergi. Dibelakang, gadis putri orang itu, berjalan dengan sesekali memandang tubuh yang terjuntai dipundak ayahnya, entah apa yang ada dibenak gadis itu.