Selasa, 20 Desember 2016
Panasnya Langit Demak jilid 3 ( 1 - 15 )
jilid 3 bag 1
Oleh : Marzuki Magetan
........
Menginjak tahun kedua sejak kedatangan Arya Dipa di pertapaan Pucangan, dan usainya gejolak yang ditimbulkan oleh ki Ajar Lodaya dan kawann - kawannya, pertapaan itu tampak tenang.
Lain halnya suasana di kotaraja Demak, tampak prajurit hilir mudik menyiapkan beberapa kereta dan gerobak yang ditarik oleh sapi dan kuda. Beberapa rontek, tunggul dan umbul - umbul juga meramaikan barisan yang mengekor itu.
"Dugaan para telik sandi terdahulu memang benar, keberangkatan pasukan ini ke Malaka akan membuat pertahanan Demak akan longgar." desis seseorang yang ikut bergerombol diantara banyaknya orang.
"Benar kakang, bahkan kanjeng Sultan sendiri bersama kedua putranya juga ikut dalam pembebasan tanah Malaka dari orang - orang bermata biru itu." sahut kawannya lirih.
"Mari kita segera melaporkan hal ini kepada tumenggung Harya Kumara." ajak orang pertama, seraya berjalan menjauhi desakan orang - orang yang melihat iringan pasukan Demak menuju bandar di pantai utara.
Iring - iringan pasukan yang dipimpin langsung oleh Sultan Demak kedua yang dahulu bernama raden Adipati Yunus dalam lidah jawa lebih dikenal dengan sebutan Pati Unus itu, merupakan pelayaran kedua bagi pasukan Jalapati atau pasukan tempur laut kesultanan Demak Bintárá. Kali ini sang Sultan diiringi beberapa senopati pilihan dan dua putranya, raden Aryawangsa dan raden Suryadiwang yang masih remaja. Selain itu, pasukan dari bang kulon juga akan mendampingi Sultan Demak, itu semua sudah atas restu para waliullah di bang wetan, tengah, maupun kulon.
Sesampai di bandar, sebuah pemandangan yang membanggakan telah nampak. Berderet - deret kapal besar yang berjumlah kurang lebih 375 yang terdiri dari kapal - kapal Demak, Cirebon dan Banten. dan atas restu kanjeng sunan Gunung Jati, gabungan tiga armada tempur itu, telah terpilih sultan Demak atau raden Pati Unus sebagai panglima tertinggi dengan gelar, Senopati Sarjawálá dan dua senopati pengapit yaitu, raden Tubagus Pasai dan raden Hidayat.
Setelah memberikan pesan - pesan penting kepada patih Wanasalam dan beberapa pangeran, maka sang Sultan menaiki kapal perang yang diiringi suara tambur dan sangkakala sebagai penyemangat para armada jawa itu.
Di tempat yang begitu jauh, beberapa orang berkumpul dengan suasana yang tegang.
.
"Ini saatnya kakang tumenggung bertindak." ucap seseorang yang berbadan tambun dengan kumis tebal.
"Tidak adi, kita harus mendapat persetujuan dari Panembahan Bhre Wiraraja yang merupakan orang yang sah melanjutkan kebesaran Majapahit." sahut orang yang disebut kakang oleh orang pertama.
"Apakah benar orang yang menyebut dirinya Panembahan Bhre Wiraraja itu berdarah trah Majapahit, ki tumenggung Harya Kumara.?" tanya orang tua yang memakai ikat kepala lurik.
"Jaga bicaramu, ki Gede Bawean.! Panembahan itu telah membuktikan sendiri dengan menunjukkan tanda kebesaran berupa lencana khusus yang hanya dipunyai oleh garis lurus wangsa Kertarajasa." sergah ki tumenggung Harya Kumara, berat.
"Tak sepantasnya kalian sangsi dengan perjuangan yang tentu mendapat restu dari Yang Agung ini." lanjut tumenggung itu.
Kini giliran seorang lelaki yang berpakain layaknya bangsawan dengan keris terselip disamping kiri ikat pinggangnya, berdehem.
"Ada apa raden Sajiwo.?" tanya orang tambun, yang disebut ki tumenggung Sarduloyudo.
"Lantas kapan orang yang disebut Panembahan itu muncul dihadapan kami dan menyerang Demak yang kosong itu.?"
"Tunggulah, mungkin dua tiga hari ini ia akan tiba dari kadipaten Puger." sahut ki tumenggung Sarduloyudo.
Pembicaran ini terus berlangsung hingga malam menaungi alam disekitar tempat itu, pembicaraan yang menjerumus tindakan mbalelo terhadap keutuhan Demak bintoro yang besar itu.
Malam yang berjalan sesuai jalur yang ditentukan Sang Kuasa itu, kini telah digantikan dengan terangnya sang surya. Di pertapaan Pucangan, resi Puspanaga nampak resah menghiasi wajahnya. Mimpi kelam selama tiga hari ini kembali terulang sama. Sebuah mimpi berupa api yang berkobar melahap atap sebuah keraton dengan korban terus mengalir tak terhingga.
"Apakah ini mimpi dara dasih.?" desisnya.
Ketermenungan sang Pertapa itu mendapat perhatian yang sungguh - sungguh dari Arya Dipa, yang tanpa sengaja melihat resi Puspanaga ketika ia melewati pringgitan.
"Selamat pagi eyang." sapa pemuda itu.
"Oh kau Dipa, kemarilah."
Segera pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang itu duduk di samping resi Puspanaga.
"Dipa, ini mungkin waktunya kau melawat ke bang tengah."
"Maksud eyang.?"
"Ingatkah tatkala pertama kau menerima kitab Cakra Paksi Jatayu dulu.?" tanya resi Puspanaga, mengingatkan kejadian dua tahun silam.
"Masih selalu terngiang dihati cucu, eyang."
"Bagus, dan dalam rangka ini juga kau harus melawat bang tengah sekaligus memastikan mimpi buruk yang aku alami akhir - akhir ini." sesaat resi tua itu berhenti untuk mengambil napas, lalu, "Sebuah prahara api mulai menjilati pusat pemerintahan di bang tengah itu, meskipun kau bukan seorang senopati, tapi kau mempunyai darah senopati dan berdarma bakti bagi negerimu, ngger."
Memang cepat atau lambat, Arya Dipa telah menyadari jikalau dirinya mendapat tugas menjaga keamanan dari negeri yang baru itu, walaupun nyawa sebagai taruhannya.
"Baiklah eyang, aku akan mengamati dan berusaha memberikan tenaga sebisa dan semampu diri ini." kata Arya Dipa, menyanggupi.
jilid 3 bag 2
oleh : Marzuki Magetan
.
Setelah semuanya dipersiapkan dengan pertimbangan yang matang, maka di keesokan harinya Arya Dipa dengan Ayu Andini sebagai kawan perjalanan mulai meninggalkan pertapaan di lereng gunung Penanggungan. Perjalanan yang membentang tanpa adanya batas waktu itu akan menjadi pengembaraan pertama bagi sepasang pemuda tersebut. Tanpa terasa setelah matahari di ujung barat, mereka berdua telah memasuki tlatah perdikan Anjuk Ladang.
"Kita bermalam di padukuhan ini, Ayu, besok kita lanjutkan lagi." ucap Arya Dipa.
"Iya kakang, mungkin pemilik rumah di ujung padukuhan ini mau menerima kita untuk berteduh barang satu malam." sahut Ayu Andini, menyetujui ajakan Arya Dipa.
Lantas keduanya dengan rendah hati meminta ijin kepada pemilik rumah yang ternyata dihuni oleh dua pasang orang tua.
"Silahkan ngger, nduk. Tapi beginilah gubuk kakek, kecil dan kotor."
"Terima kasih, kek. Ini sudah lebih cukup."
Ternyata kedatangan Arya Dipa dan Ayu Andini membuat hati sepasang orang tua itu, terobati rasa rindu keduanya kepada anaknya.
"Anak kakek lima orang, namun yang tiga sudah menghadap Gusti Pengeran dalam usia yang masih kecil, sedangkan anak yang tersisa sudah berkeluarga sendiri - sendiri." kata kakek tua itu.
"Apakah rumah anak kakek di luar padukuhan ini.?"
Kakek itu beringsut lalu mengambil minuman di gelas yang terbuat dari potongan bambu.
"Ayo sambil diminum," ucapnya, dengan meneguk air itu, lalu lanjutnya, "Anak keempat kakek menjadi pedagang pecah belah di padukuhan induk tanah perdikan. Sedangkan adiknya wanita, bersama suaminya tinggal di Pengging."
"Apakah mereka jarang menengok kakek dan nenek.?" tanya Ayu Andini, dengan raut muka sedih.
"Jarang ngger, tapi kakek tak menyalahkan mereka, mungkin jarak yang panjanglah yang membuat anak kakek tak sempat menengok kesini. Tapi kalau si Ranu, sepekan sekali ia kemari dengan membawa anaknya." jawab kakek itu.
Perbincangan itu terhenti ketika malam semakin dalam, dan keduanya mendapatkan tempat berbaring dikamar yang terdapat amben lebar.
"Tidurlah, biar aku yang berjaga barang sesaat" kata Arya Dipa, sambil meluruskan kakinya dipinggir amben.
"Nanti bangunkan aku, kakang."
"Hem, istirahatlah."
Walau suasana aman, namun Arya Dipa yang mendapat nasehat dari resi Puspanaga maupun mpu Citrasena, selalu diwanti - wanti untuk waspada ditempat yang belum mereka kenal. Hingga suara kokok ayam jantan pertama, keadaan tak mencurigakan maka pemuda itu pun memejamkan mata barang sekejap sampai datangnya sinar mentari di ujung timur.
Sementara itu di kadipaten Jipang, tumenggung Harya Kumara dan tumenggung Sardulo dengan menaiki kuda, memasuki barak keprajuritan. Setelah memberikan tali kekang kuda kepada prajurit, keduanya memasuki ruang utama barak.
"Apakah kakang Metahun menyetujui rencana itu, adi tumenggung.?" tanya ki tumenggung Harya Kumara kepada seorang yang duduk di ruang itu.
Orang itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak kakang."
jilid 3 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
.
"Ki patih Metahun tak akan ikut campur selama pangeran Kinkin ada." lanjut tumenggung Wanapati.
"Mengapa ia lebih mementingkan pangeran anak menantu adipati Jipang itu.? dibandingkan dengan kita saudara seperguruannya.?" geram ki tumenggung Sardulo, sambil menggebrak bangku meja.
Ki tumenggung Wanapati hanya membisu diam. Sesaat dalam ruang utama barak itu diam.
"Kalau begitu kita tunggu Panembahan Bhre Wiraraja saja, mungkin ia memiliki rencana yang kedua, setelah kita gagal membujuk kakang Metahun." kata ki Tumenggung Harya Kumara, "Aku akan kembali ke pesangrahan di tengah hutan, bila ada sesuatu cepat adi kirim seseorang."
"Baik kakang."
.....
Betapa senangnya ki Mahesa Anabrang, saat sepasang anak muda memasuki regol halaman rumahnya.
"Pantas saja sejak pagi burung prenjak itu berkicau terus, tak tahunya anakku dan kekasihnya pulang kemari." sambut orang tua itu, ramah.
Sesaat warna semburat merah menghiasi pipi Ayu Andini yang menunduk malu. Keduanya menaiki tlundak dan menyalami ki Mahesa Anabrang bergantian.
"Bagaimana keadaan eyangmu dan lainnya.?"
"Eyang dalam keadaan baik - baik saja ayah, begitu pula dengan paman Citrasena, kakang Palon dan Sabdho." terang Arya Dipa.
"Syukurlah, baiklah aku akan merebus air."
Tapi dengan sigap Ayu Andini telah berdiri.
"Biar aku saja paman."
"Tapi kau baru datang, dan lelah."
"Tidak mengapa paman, aku akan canggung jika paman yang melakukan pekerjaan itu."
"Baiklah, biar Dipa yang menunjukkan dapurnya."
Dengan diantar Arya Dipa, Ayu Andini ke dapur untuk merebus air minuman.
"Semoga berjodoh." desis ki Mahesa Anabrang, perlahan.
.
Walau Ayu Andini dalam asuhan mpu Citrasena, namun dalam pekerjaan wanita ia sangat cekatan dan trampil. Tangannya yang lembut itu mampu mengolah makanan dan sayuran dengan bumbu rempah - rempah yang akrab dengan lidah orang jawa.
"Wah masakanmu sungguh nikmat, Ayu." puji Arya Dipa, sambil melahap makanannya.
"Iya kakang, tapi ingat jangan dihabiskan, ini khusus buat paman."
"Jadi aku tidak.?"
"Sudah habis satu piring, baru tanya." gerutu gadis itu.
"Hahaha..tak kukira jika kau cemberut, wajahmu sangat cantik.." goda Arya Dipa, sambil berbisik di telinga gadis itu.
Gadis itu diam, namun tangannya telah bergerak mencubit pinggang kekasihnya itu.
"Aduh ampun, Ayu. Kulitku akan terkelupas nanti."
Melihat tingkah laku anak - anaknya, ki Mahesa Anabrang tersenyum dan menggeleng - gelengkan kepalanya.
Suasana yang damai telah melingkupi rumah di padukuhan Pudakan tlatah kadipaten Ponorogo.
Di malam harinya, Arya Dipa telah mengatakan kepada ayah angkatanya bahwasannya ia mulai melakukan tugas yang diembannya dari resi Puspanaga.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan kepergian kanjeng Sultan ke Malaka.?" desis ki Mahesa Anabrang.
"Berhati - hatilah ngger, kotaraja tentunya dikelilingi orang - orang pinunjul yang mempunyai kepentingan yang begitu samar." nasehat orang tua itu.
"Lalu kapan kau akan berangkat.?"
"Besok pagi ayah."
jilid 3 bag 4
oleh : Marzuki Magetan
.
Saat Arya Dipa berpamitan dengan ayah angkatnya, di sebuah tempat yang masih dalam lingkup bekas kadipaten Pengging, seorang pemuda duduk termenung di bekas reruntuhan pendopo kadipaten.
"Sudahlah, ngger. Itu semua sudah kehendak Allah, janganlah kau berlarut - larut dalam kesedihan."
"Terima kasih, uwa. Aku sudah menerima itu semua dan menghilangkan semua dendam dari hati ini." sahut pemuda itu, yang memiliki mata setajam elang jawa.
"Bagus, Karebet. Bagaimana kau bisa berkunjung kemari.? Apakah kanjeng Sunan Kalijaga tak mengajakmu ke Demak.?" tanya orang paruh baya itu.
"Tidak, uwa, menurut kanjeng guru belum waktunya aku memasuki lingkup keraton." jawab pemuda itu, yang tak lain Karebet, putra ki Ageng Pengging Anom atau raden Kebo Kenanga. "uwa Kanigara, aku minta dalam sepekan ini, uwa mau menemaniku untuk memperdalam jalur ilmu Pengging."
"Hahaha, putraku angger Karebet, sebenarnya ilmu mu sudah sundul langit, tapi jika itu maumu, aku akan menyanggupinya."
"Terima kasih, uwa."
"Marilah kita ke rumah ki Manyar, kasihan orang tua itu, ia tentu menunggu kedatangan kita." ajak raden Kebo Kanigara, sambil melangkahkan kakinya meninggalkan reruntuhan pendopo keraton, dimana masa kecilnya pernah tinggal disitu.
Pemuda anak angkat ki Ageng Tingkir pun mengikuti langkah uwanya.
Di rumah yang tak terlalu besar, ki Manyar telah menyambut kedua uwa dan kemenakan itu dengan keramahtamahan.
"Kau tak usah repot - repot, ki Manyar. Janganlah kau berlaku layaknya aku seorang bangsawan, aku hanyalah Kanigara yang setiap hari juga menggenggam cangkul dan pergi ke sawah. Bukankah kau masih ingat dengan ndoromu itu.?"
"Tentu raden.."
"Tolong ki Manyar, jangan panggil aku begitu, panggil layaknya aku orang padukuhan." potong ki Kebo Kanigara cepat.
"Ah..baiklah jika raden, eh ki Kebo Kanigara meminta seperti itu."
Tak lama kemudian istri ki Manyar datang dengan membawa masakan untuk makan di siang itu. Setelah menyantap hidangan yang disajikan oleh keluarga ki Manyar, perbincangan ringan mengalir rancak dengan suasana padukuhan tlatah Pengging itu sebagai bahannya.
Ternyata kehidupan di tlatah Pengging mengalami kemunduran di segala bidang. Banyak penghuninya pergi ke daerah yang lebih menjanjikan daripada di tanah itu. Namun ada juga yang masih setia meneruskan cita - cita ki Ageng Pengging dalam memujudkan kedamaian tlatah Pengging.
Benar saja, ketika ada kabar kedatangan ki Kebo Kanigara dan Karebet atau Jaka Tingkir, penghuni tlatah Pengging berduyun - duyun ingin bertemu kakak dan anak pemimpin mereka.
Betapa terharunya ki Kebo Kanigara dan Karebet mengetahui kesetiaan mereka kepada keluarga adipati Kebo Kenanga itu.
"Aku berjanji akan mengembalikan tanah ini berjaya seperti masa eyang adipati Handayaningrat." desis Karebet lirih.
Ternyata perkataan yang pelan itu tertangkap telinga ki Kebo Kanigara, yang ditanggapi dengan senyum di bibirnya.
"Semoga cita - citamu terkabul, putraku."
.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
Di malam harinya, ki Kebo Kanigara bersama Karebet telah menuju tempat lapang dan sepi. Di sini keduanya mulai mempersiapkan seluruh wadah dan jiwanya untuk memanjatkan do'a kepada sang Khaliq untuk meminta perlindungannya.
Sesaat kemudian setelah ki Kebo Kanigara memberi isyarat untuk memulai, maka Jaka Tingkir meloncat ke tengah tanah lapang. Tarikan napas sejalan peredaran darah yang mengalir keseluruh nadi mengawali tata gerak dasar dari jalur perguruan Pengging, loncatan yang lincah telah terungkap mewarnai tata gerak bak alap - alap yang mengarungi dirgantara. Namun sekejap kemudian tubuh tegap itu terasa kokoh layaknya gunung Lawu tak goyah terjangan prahara.
Tataran demi tataran semakin meningkat sejalan dengan tata gerak yang rumit dan mengagumkan, apalagi saat anak ki Ageng Pengging anom itu menjejak tanah dan terbang berputar, layaknya gangsingan.
"Dalam usia semuda ini, peningkatan ilmunya telah melampaui aku dan adi Kenanga, pasti ayahnya akan bangga melihat perkembangan putranya." ucap ki Kebo Kanigara dalam hati.
Di saat kemudian, gerakan pemuda itu semakin pelan namun penuh tenaga. Lalu perlahan dengan mantap dan pemusatan nalar dan budi, gerakan tingkat atas jalur Pengging mulai menyeruak.
Tampak kaki kanan berdiri tegak, kaki kiri terangkat menekuk dilanjutkan tangan kiri menyilang di depan dada dan tangan kanan mengepal ke atas. Sinar putih kebiruan terlihat membungkus kepalan tangan Karebet, yang kemudian di lontarkan mengarah sebuah batu sebesar anakan kerbau.
Suara gelegar mengiringi lontaran aji pamungkas perguruan Pengging, yang membuat batu itu hancur berkeping - keping.
Tiba - tiba suara tepukan tangan terdengar mengagetkan Karebat, karena tepukan tangan itu bukan dari arah uwanya.
"Tak kusangka jalur Pengging memiliki jago baru dalam meneruskan kebesarannya." sebuah suara terdengar dari mulut orang tua, yang berpakaian layaknya begawan.
.
"Siapa kisanak ini.?" tanya ki Kebo Kanigara, memerhatikan wajah orang yang baru datang itu.
"Angger Kanigara, siapa pemuda itu.? Yang mampu mengungkap Sasra Birawa.?" tanya orang tua itu, tanpa memperdulikan pertanyaan ki Kebo Kanigara.
Rasa heran melintasi pikiran anak tertua ki Ageng Pengging sepuh itu, kemunculan seorang kakek yang mengetahui jati diri dan ilmu jalur Pengging.
"Dia kemenakan ku kisanak, siapa sebenarnya kisanak ini.?"
"Oh jadi ini putra angger Kenanga dan di angkat anak oleh dalang Ageng Tingkir itu. E..e..e tobil, aku akan mencoba kemampuannya angger Kanigara." kata orang aneh itu, lalu kembali berkata, "Windujaya, keluarlah. Tunjukanlah kemampuanmu sebagai murid Jambul Kuning.!"
Betapa kagetnya ki Kebo Kanigara mendengar kata terakhir orang tua itu, namun ia tak mampu berbuat manakala seorang pemuda dengan lincah meloncat menerjang Jaka Tingkir.
Mendapati serangan dadakan itu, Karebet tak mati kutu, dengan sigap serangan itu telah ia hindari dengan mudah seraya menangkap tangan lawan.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
Namun Windujaya segera menarik pukulannya dan mengganti lututnya menohok lambung lawan, seraya dibarengi dua tangan menggemplang kepala Karebet.
Kesigapan Karebet teruji dengan baik manakala dengan lincah pemuda itu melenting kebelakang dan mulai waspada kembali.
Pertarungan keduanya sangat sengit dengan jiwa kemudaan mereka. Tendangan dan pukulan silih berganti mengincar titik - titik lemah tubuh lawan hingga salah satunya terkena, tapi keuletan yang tak mau mengalah membuat sasaran yang di tuju sulit di jangkau serangan keduanya.
Semakin lama tata gerak ciri khas jalur ilmu kanuragan kedua pemuda itu, tanpa sadar menyeruak keluar dengan sendirinya.
Di luar kalangan, ki Kebo Kanigara sudah mulai dapat mengetehaui siapa lawan kemenakannya itu.
"Ilmu dari gunung Bancak itu semakin meningkat di tangan pemuda yang tak lain murid paman Begawan Jambul Kuning, ilmu trah Kadiri dari raden Panji Bancak, saudara tua raden Panji Asmara Bangun." kata ki Kebo Kanigara.
Di sisi lain orang tua aneh yang disebut begawan Jambul Kuning mengerutkan keningnya, di saat terlihat olehnya serangan muridnya selalu meleset sekilan dari tubuh lawan.
"Angger Kanigara, dari mana ia mendapatkan aji Lembu Sekilan itu.?!"
"Paman ingat dengan seseorang mulia yang selalu memakai blangkon hitam serta pakaian lurik dari kadipaten Tuban.?"
"Ah..maksudmu raden Said yang kini disebut sunan Kalijaga.?" tanya begawan itu, setengah tak percaya.
"Iya paman." jawab ki Kebo Kanigara singkat.
Karena serangannya selalu meleset, Windujaya meloncat ke belakang dan menarik napas pelan. Tak lama kemudian sebuah pekikan telah menggetarkan tempat itu. Seakan - akan bumi di guncang oleh tenaga dahsyat, yang membuat Karebet hampir jatuh terduduk.
"Pekik Sardulo mampu dikuasinya." desis Karebet, sambil mempertahankan tubuhnya agar tak jauh terseret pusaran tenaga lawan.
Mengetahui lawannya masih mampu berdiri, Windujaya menggerakkan tangannya memutar di depan dada, dan meloncat memukul dada lawan. Kini ia menggunakan pukulan Serat Bayu untuk menggebrak aji Lembu Sekilan lawan.
Sesaat kemudian dua benturan tak dapat dihindari, Karebet merasakan pukulan Serat Bayu itu mampu menembus lapisan Lembu Sekilan walau hanya seujung jarum, telah membuatnya tergeser dua tindak, dan membuat wajahnya pucat.
Lain halnya dengan Windujaya, pukulannya seakan - akan kembali kepadanya hingga membuat tubuhnya mencelat ke belakang jatuh berguling - guling. Namun ketahanan tubuhnya baik, walau tertatih - tatih ia mampu berdiri dan siap bertarung kembali.
"Cukup..! Obati lukamu Windujaya." teriak begawan Jambul Kuning, sambil melangkah ke arah ki Kebo Kanigara.
Windujaya telah menyeka darah segar yang meleleh di bibir dengan lengannya, lalu menelan sebutir pil untuk memulihkan tenaganya.
Di depan agak jauh Karebet sudah pulih seperti sediakala, wajah yang sesaat pucat kembali memerah.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
"Bagaimana keadaanmu Windujaya.?"
"Berkat pil ramuan guru, tenagaku sudah pulih kembali."
"Syukur." ucap Begawan Jambul Kuning, yang beralih menatap Karebet, lalu lanjutnya, "Maaf Angger, kami bukanlah musuh, aku sahabat eyangmu sejak usia muda. Bukan begitu angger Kanigara.?"
Ki Kebo Kanigara mengangguk pelan dengan perasaan yang simpang siur, karena ia tahu watak sahabat ayahnya itu yang suka angin - anginan.
"Kenapa kau seperti itu Kanigara.? Apakah aku salah kata dan berkata dusta.?" tanya orang tua itu, sambil melototkan matanya.
"Ah paman salah paham saja." tukas ki Kebo Kanigara, "O ya paman, siapa pemuda ini.?"
"E..e..e apa kamu tuli.? Bukankah aku tadi sudah bilang kalau dia muridku.? Kenapa semuda ini telingamu sudah kurang fungsinya, Kanigara.?" kata Begawan Jambul Kuning, agak geram.
Mendapatkan jawaban yang tak mengenakkan telinga seperti itu, anak ki Ageng Pengging Sepuh hanya menghela napas saja dan duduk di batu.
"Hehehe apakah kau marah Kanigara.?"
"Tidak paman, itu tidak baik."
"Bagus..bagus o ya, ini muridku satu - satunya, namanya Windujaya."
Windujaya menggangguk hormat kepada ki Kebo Kanigara dan Karebet, yang di balas oleh uwa dan kemenakan dari Pengging.
Percakapan di malam itu telah menumbuhkan keakraban tersendiri bagi Karebet dan Windujaya, yang mempunyai kesamaan umur. Tapi lain halnya dengan ki Kebo Kanigara, kakak dari raden Kebo Kenanga ini selalu menghela napasnya jika Begawan dari gunung Bancak itu berbicara kadang keras bahkan kasar.
"Hehehe, baiklah aku pamit Kanigara, semoga kita berjumpa lagi." habis berkata, bayangan orang itu dengan cepat telah pergi.
Sementara itu Windujaya masih berada di tanah lapang itu.
"Maafkan perilaku guru, paman dan kakang Karebet, sebenarnya watak guru sudah jauh lebih baik di bandingkan di masa lalunya." pinta Windujaya.
"Iya, ngger. Aku tak mengapa, semoga paman begawan semakin jernih dalam berperilaku."
Tiba - tiba sebuah suara yang menggema mengagetkan orang - orang yang berada di tanah lapang itu.
"Sontoloyo di kira aku edan ya.! Windujaya cepat kemari, atau ku tinggal kau di tanah orang ini.!"
"Baik paman dan kakang aku mohon diri." pamit Windujaya yang kemudian mengejar arah gema dari begawan Jambul Kuning.
Kepergian kedua guru dan murid itu telah menumbuhkan rasa di hati ki Kebo Kanigara dan Karebet.
"Kau harur berhati - hati jika berpapasan dengan orang tua dari timur itu, Karebet." desis ki Kebo Kanigara, "Ilmu orang tua itu bisa disejajarkan dengan eyangmu Handaningrat dan beberapa sesepuh kanuragan."
"Iya uwa, pantas aku tak merasakan kehadirannya, begitu juga dengan adi Windujaya, ia mampu menyerap getar suara."
"Baiklah, mari kita kembali ke rumah ki Manyar."
Langkah keduanya semakin lama jauh dari tanah lapang yang kini sepi dan hanya meninggalkan bekas rumput, batu dan tanah yang semrawut terkena imbas dari setitik ilmu manusia yang berasal dari sumber Maha Sakti yang berlaku Maha Bijak.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
Di dalam sebuah warung yang penuh pelanggannya itu, seorang lelaki berbadan tinggi tengah bercakap dengan kawannya.
"Lebih baik kita terima pekerjaan dari tumenggung Sardulo, untung - untung dapat merubah derajat kita menjadi seorang demang." desis orang berbadan tinggi.
"Tapi sasarannya seorang pangeran, kakang." sahut kawannya.
"Hahaha sejak kapan kau menjadi pengecut seperti ini Yuyu Sangkrah.? Kita sebagai sepasang malaikat alas Ketonggo bukanlah pembunuh bangsa tikus. Kita pernah melenyapkan bangsawan Jepara, bupati bang wetan, dan beberapa demang."
"Tapi kakang, raden Trenggono bukan orang sembarangan, menurut warta ia memiliki aji Bajra Geni dan beberapa ilmu lainnya."
"Ah itu hanyalah bualan semata, walaupun memang benar kalau raden Trenggono memiliki aji itu, aku tak gentar. Aku Kidang Angkup yakin bisa membinasakannya, kalau perlu kita bisa bekerja sama dengan orang dari Kendal." kata orang tinggi itu.
"Baiklah kalau kakang memang yakin mampu, aku sebagai saudara akan ikut serta, tapi aku akan meminta bantuan ki Jembawan dan ki Padas Gempal." ujar Yuyu Sangkrah.
"Bagus, semakin banyak kawan akan cepat pekerjaan kita. Jabatan demang dan lima kampil uang akan menjadi milik kita."
Setelah membayar pesanan, keduanya keluar dari warung itu.
Di sudut ruangan, dua pemuda sempat mendengar rencana sepasang malaikat alas Ketonggo itu.
"Bagaimana kakang, apa kita melaporkan rencana jahat mereka kepada yang berwenang.?" tanya salah satu.
"Jangan, Ayu. Kita tak memiliki banyak bukti untuk mendapat kepercayaan dari para prajurit. Lebih baik kita ikuti mereka sebelum kedua orang itu pergi jauh." sahut kawannya.
Untuk itu sepasang pemuda pemudi itu mengikuti langkah sepasang malaikat alas Ketonggo, sesudah membayar hidangan kepada pemilik warung.
Rencana dari sepasang malaikat alas Ketonggo untuk melenyapkan raden Trenggono, mendapat dukungan dari kawan - kawan mereka yaitu, ki Jembawan dan Ki Padas Gempal lalu tiga serangkai dari Kendal dan Subala, seorang pembunuh dari Jipang.
"Aku tegaskan, rencana ini akan kita lakukan di saat adik sultan Demak itu pulang dari pesantren Giri, yang akan lewat jalan ini dua hari kedepan." kata Kidang Angkup.
"Subala, aku dan Yuyu Sangkrah akan menghadapi raden Trenggono, sedangkan ki Jembawan lawanlah senopati yang memimpin pengawal, dan sisanya akan dibinasakan oleh ki Padas Gempal dan Tiga Serangkai dari Kendal."
"Apakah pasti jalan ini yang di lalui rombongan itu, Kidang Angkup.?" tanya ki Jembawan.
Dengan di awali senyum, Kidang Angkup menjawab.
"Telik sandi bawahan tumenggung Sardulo yang melaporkan hal itu, tentu mereka dapat kita percaya sepenuhnya."
Pembicaraan yang bertujuan menyingkirkan orang terdekat penguasa Demak itu tak lepas dari pengamatan sepasang muda mudi yang berkeyakinan untuk membantu pangeran dari Demak.
"Untung saja kita tanpa sengaja mendengar rencana mereka kakang."
"Hemm, ternyata mimpi eyang itu jadi kenyataan." sahut Arya Dipa.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
......
Hari yang mendebarkan itu pun telah datang, jalan yang tadinya sepi itu, sayup - sayup dari kejauhan mulai terdengar suara kuda lebih dari sepuluh ekor.
"Mereka datang." desis ki Jembawan.
Dari ujung jalan, barisan kuda yang terdiri dari lurah prajurit dengan tiga bawahannya, berselang jarak satu depa dua orang yang diteruskan oleh senopati dan seorang berpakaian bangsawan, berselang satu depa seekor kuda kokoh yang ditunggangi seorang lelaki yang tampan dengan keris bersalut emas intan terselip di belakang pinggang, dengan dua orang pengapit. Selanjutnya di belakang lagi enam prajurit pengawal bersenjatakan dua pedang di belakang punggung.
Ketika iringan pengawal prajurit Demak itu sampai di tengah kelokan jalan, tiba - tiba sebuah pohon besar sepelukan orang dewasa tumbang ke jalan dan menghalangi perjalanan orang - orang Demak itu. Maka keterkejutan telah menyusup di hati para pengawal itu dan kuda yang ditunggangi terlonjak sampai mengangkat kaki depan. Namun dengan segera prajurit pengawal itu dengan sigap mengendalikan dan menenangkan kuda - kuda tunggangan mereka.
Di saat kuda - kuda itu tenang, kembali iringan - iringan dari Demak itu dikejutkan dengan tumbangnya pohon yang berada di ekor rombongan.
"Waspada..!!" teriak lurah prajurit.
Peringatan dari lurah prajurit itu ditanggapi dengan cepat oleh para prajurit pengawal.
Sesaat kemudian dari sela - sela rerumputan di pinggir jalan, beberapa orang telah muncul dengan wajah sangar.
"He orang - orang Demak.! Serahkan Trenggono kepada kami, jika kalian ingin selamat.!" teriak pemimpin orang yang mencegat prajurit Demak.
"Lancang..! Beraninya mulutmu berkata kepada kami.!" bentak lurah prajurit Demak, dengan wajah merah menyala.
"Tutup mulutmu gedibal Demak, daerah ini kekuasaan kami, bila mulut lebarmu itu tak kau jaga, maka akan aku sobek.!" kembali Kidang Angkup mengancam, "Cepat serahkan Trenggono.!"
"Bangsat.!" maki lurah prajurit itu, dengan sigap meloncat menyerang Kidang Angkup.
Namun salah satu dari Tiga Serangkai maju menghadapi lurah prajurit itu yang dibantu dua bawahannya.
Serangan itu tak lama kemudian menjalar ke semua orang, tak kecuali dengan pangeran Trenggono dan seorang kerabatnya yang dihadapi oleh Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah beserta Subala, pembunuh dari Jipang.
Sementara senopati Reksotani berhadapan dengan ki Jembawan. Lalu ki Padas Gempal dengan cepat menggeprak dua prajurit bersenjata pedang rangkap,Sisanya berhadapan dengan dua anggota Tiga Serangkai.
Pertempuran itu sangat seru dan riuh, suara denting senjata beradu mulai terdengar diwarnai percikan - percikan api dari gesekan senjata mereka.
Ternyata tandang anggota Tiga Serangkai begitu dahsyat, hingga pengawal khusus dari prajurit Demak itu terdesak hebat.
"Mampus kau monyet.!" teriak salah satu Tiga Serangkai, seraya menyabetkan pedang anehnya ke salah satu pengawal prajurit.
Teriakan kesakitan telah memecah pertarungan di jalan itu, goresan panjang telah hinggap di dada pengawal prajurit itu.
"Hahaha tinggal kalian.!"
Dan sekali lagi, sebuah tendangan keras melayang ke lawan Tiga Serangkai yang membuat lawannya jatuh tersungkur.
"Yang satu ini biar aku saja, kakang. Kau bantu kakang Lampit, menhadapi lurah dan dua prajurit itu." kata salah satu Tiga Serangkai.
Setelah menggangguk kawannya itu segera meloncat ke arah seseorang yang bernana Lampit, pemimpin Tiga serangkai dari Kendal.
Di ujung yang lain, ki Padas Gempal juga menunjukkan kemampuannya yang ngedab - ngedapi, lawannya kocar - kacir tak karuan.
"Hahaha kemampuan kalian masih sekuku ireng, beraninya kalian memasuki lingkungan keraton he.! Modalmu sangatnya menyedihkan.!" kata ki Padas Gempal, merendahkan lawannya.
Ejekan itu membuat kedua prajurit panas dan meningkatkat semangat mereka untuk menghadai orang dari lereng Lawu itu. Tapi walau pun tenaga mereka meningkat, namun mereka tak mampu menyentuh tubuh lawan mereka, bahkan tubuh mereka menjadi bulan - bulanan dari ki Padas Gempal.
"Cukup, aku sudah bosan.!" teriak ki Padas Gempal sambil menyerang ganda ke arah dua pengawal prajurit itu.
Namun sebelum serangan itu sampai tujuan dua muda - mudi tiba - tiba berdiri di depannya dan menangkap kedua pergelangan orang dari gunung Lawu itu.
Panasnya Langit Demak
Jilid 3 bag 10
Oleh : Marzuki Magetan
..........................................
Kedatangan sepasang muda - mudi itu menyedot perhatian orang - orang yang bertempur itu. Khususnya ki Padas Gempal, yang secara langsung berhadapan dengan keduanya.
Setelah melepas kedua tangannya dalam cengkraman dua muda - mudi itu, ki Padas Gempal meloncat mundur menjaga jarak.
"Siapa kalian ini yang berani - beraninya menghalangi ku untuk menghabisi mereka.?"
Tapi anak muda itu tak memperdulikan pertanyaan dari ki Padas Gempal, malah seakan - akan tak ada sesuatu pemuda itu memerhatikan sekitar tempat itu, lalu berpaling ke arah gadis di sampingnya.
"Ayu, bantulah prajurit berpangkat lurah itu. Aku akan berusaha melayani kisanak ini seorang diri."
"Baik, kakang. Berhati - hatilah." sahut gadis itu, sambil berjalan ke arah lurah prajurit yang terdesak menghadapi Lampit.
"Sombongnya kau anak muda, kau akan menyesali tindakanmu ini.!" Geram ki Padas Gempal, yang meloncat menyerang pemuda di depannya.
Tapi dengan gesit pemuda yang tak lain Arya Dipa itu mendoyongkan tubuhnya, sehingga kaki ki Padas Gempal lewat selapis di wajah Arya Dipa. Namun ki Padas Gempal kembali menyusul tendangan selanjutnya dengan cepat. Maka untuk menghindari serangan mematikan itu, Arya Dipa berjumpalitan dengan manggunakan tangannya untuk menopang tubuhnya, sampai dua kali dan berdiri kembali dengan kuda - kuda mantap.
Selanjutnya orang dari gunung Lawu itu dengan gencar dan cepat menghujami pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang. Pertarungan keduanya sangat seru, membuat pangeran Trenggono yang sempat melirik, memuji kegesitan pemuda yang baru datang dan memihaknya.
Sementara itu Lampit yang merupakan salah satu anggota Tiga Serangkai, menyunggingkan senyum saat seorang gadis menghampirinya.
"Wah.. mimpi apa aku semalam.? Siang begini ada dara manis menghampiriku.? Hehehe." ucap Lampit, sambil tertawa terkekeh - kekeh.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 11
oleh : Marzuki Magetan.
.........................................
Lain halnya dengan ki lurah Anggoro, kedatangan Ayu Andini membuat dirinya takjub, apalagi saat tadi ia sempat melirik gadis itu mampu menangkap lengan ki Padas Gempal.
"Maaf ki lurah, bukannya aku merendahkan tuan, namun karena keadaanlah aku harap tuan membantu prajurit lainnya untuk berpasangan menghadapi para penghadang lainnya. Biarlah aku menghadapi kisanak ini." ucap Ayu Andini halus.
"Baiklah nduk, tapi bila tak memungkinkan berilah isyarat supaya kami membantu." sahut ki lurah Anggoro.
"Baik paman."
Kini tinggal Ayu Andini berhadapan dengan Lampit, yang tersenyum sendiri.
"Kita tak usah bertempur di sini, cah ayu. Minggirlah biar aku menuntaskan tugas ini. Tunggulah di pinggir dan aku berjanji akan bergulat denganmu di tempat yang nyaman, hahaha...."
Di saat Lampit masih tertawa lepas, sebuah benda dengan cepat mengarah kepalanya dan membuat tawa itu berhenti berganti makian kasar.
"Jangkrik sundal bolong..!" maki Lampit, sambil mengusap jidatnya kerena terkena sambitan batu dari Ayu Andini.
"Ah.. Akhirnya kau sadar dari mimpi, kisanak." kata Ayu Andini, dengan senyum menghiasi bibirnya.
"Awas kau gadis tak tahu diri.!"
Usai berkata begitu, Lampit dengan garang menghunus pedangnya dan menyerang Ayu Andini. Tak ingin meremehkan kemampuan lawan, Ayu Andini lantas mencabut sepasang pedangnya dan menghadang serangan lawan.
Denting senjata telah terdengar saat senjata - senjata mereka beradu. Sabetan dan tangkisan serta tajamnya pedang yang terhunus itu dengan cepat mencari mangsa dari badan yang terdiri dari segumpal darah dan daging.
Perkelahian diantara Ayu Andini dan Lampit mempertaruhkan ilmu pedang dari jalur perguruan masing - masing. Jalur Kumara Agni dan jalur Tiga Serangkai dari Kendal.
Di ujung yang lain, pertarungan sengit juga dialami oleh senopati Reksotani. Senopati Demak itu mendapat lawan yang mumpuni, yaitu ki Jembawan saudara seperguruan ki Padas Gempal.
"Menyerahlah kau senopati, sayangilah nyawamu yang masih muda ini.!"
Hahaha... Itu tidak mungkin, kisanak. Aku akan menyerah jika nyawa ini sudah jauh dari raga."
"Hemm.. Ku akui ksatriaanmu, Senopati. Baiklah aku akan menjadikan kenyataan itu.!"
Kembali keduanya bergelut laksana macan dan singa yang tak ingin daerahnya direbut. Tingkatan demi tingkatan terus menanjak semakin ke atas hingga tak terasa tenaga cadangan keduanya menyeruak keluar.
Di sisi lain Arya Dipa meloncat mundur tatkala melihat lawannya mengeluarkan senjatanya berupa rantai panjang dengan ujung berbandul.
Ki Padas Gempal dengan tangan kanan memegang rantai ujung berbandul telah memutar - mutar senjata itu.
"Keluarkan senjatamu, supaya aku tak dianggap curang.!" teriak ki Padas Gempal.
Sesaat Arya Dipa menghela napas.
"Apa boleh buat.." desisnya, sambil mengurai ikat pinggangnya kyai Anta Denta.
Jilid 3 bagian 12.
Panasnya Pangit Demak
jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi. Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat, dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu. Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis pangeran Trenggono.
Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Walau kerugian sudah di depan mata para penghadang itu tidak gentar, malah keberanian yang pantas disebut dengan kenekatan telah menyelimuti hati mereka.
Ki Jembawan dengan ganas menyerang senopati Reksotani menggunakan pedang besarnya. Sementara itu Subala yang menggunakan bindinya selalu mengancam kepala lawan yang masih muda darinya. Sedangkan pangeran Trenggono, walau menghadapi Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah masih tampak segar dan bahkan dengan cepat mampu mendesak kedua lawannya.
Panasnya matahari di siang itu menjadi saksi betapa trengginasnya manusia dalam berusaha melenyapkan seseorang, di lain pihak berusaha mempertahankan nyawa yang melekat di raga.
"Menyerahlah kisanak, lihatlah kawan - kawanmu sudah dalam penguasaan para prajurit Demak." kata Arya Dipa, yang mengendurkan serangannya untuk memberi kesempatan kepada kawannya untuk memperhatikan keadaan.
Tapi Subala yang merupakan pembunuh yang ditakuti di kadipaten Jipang Panolan terus mengayun - ayunkan bindinya, layaknya Raden Duryudana melawan raden Bimasena yang merupakan musuh bebuyutannya.
"Bukalah matamu kisanak, kau akan mati kehabisan darah jika terus begini." sekali lagi Arya Dipa memberi peringatan.
"Aku tak akan mati dengan luka kecil ini.!" teriak Subala.
"Apa boleh buat." desis putra angkat ki Mahesa Anabrang, yang meningkatkan kecepatan tata geraknya.
"Bangsat..! Jangan menghindar kau.!" umpat Subala, saat lawannya selalu meloncat kesana - kemari dengan cepatnya.
Memang ini pemikiran Arya Dipa untuk mengalahkan lawan dengan menguras tenaga lawan hingga tak berdaya. Benar saja dalam beberapa kejap lawannya sudah kelelahan dan terjungkal oleh tenaganya sendiri dan wajahnya menyusruk tanah yang keras.
"Bunuh aku.! Bunuh aku.! jangan kau hina aku seperti ini.!" teriak Subala sambil berusaha berdiri, namun tenaganya sudah tak memungkinkan.
"Tangkap dia.!" perintah ki lurah Anggoro kepada prajurit pengawal.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kalian.! Bunuhlah dengan pedangmu.!" berontak Subala, namun itu sia - sia belaka.
Panasnya Pangit Demak
jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi. Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat, dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu. Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis pangeran Trenggono.
BERSAMBUNG...
A
Senin, 19 Desember 2016
Panasnya Langit Demak jilid 2 ( 16 - 25 )
jilid 2 bag 16
oleh : Marzuki Magetan
...........
Sesuai dengan rencana yang telah di susun oleh ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka, maka mereka bergerak menuju gunung Penanggungan untuk merebut kitab yang sudah lama tak muncul itu.
Di tengah jalan seorang sahabat lama dari nyi Cempaka yang bernama ki Gagak Pracola, telah ikut rombongan itu dengan niat yang berbeda.
"Aku hanya ingin membalaskan dendam ku kepada salah satu murid resi Puspanaga." kata ki Gagak Pracola."Ia telah membunuh dua saudara seperguruanku."
"Maksud kau ki panji Barong dan ki lurah Lodra.?" tanya nyi Cempaka.
"Ia, mereka tewas di tangan orang yang menyebut dirinya Sabdho."
"Baiklah, semakin banyak kawan, kita akan cepat menuntaskan dan merebut benda itu." sela ki Ajar Lodaya.
Setelah itu merekapun melanjutkan perjalanan yang kini menanjak dengan menyusuri rimbunnya semak belukar. Setelah berjalan beberapa lama, dari bawah sudah terlihat bangunan pertapaan Pucangan.
"Apakah kita langsung memasuki pertapaan itu, guru.?" tanya Putut Lembayung.
"Tidak, lebih baik kita beristirahat dahulu dan mengatur rencana yang matang dan kau Bayu Sengoro, selidiki kekuatan mereka."
"Baik, guru."
"Aku akan ikut." pinta ki Gagak Pracola.
Ki Ajar menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan ki Gagak Pracola.
Lantas kedua orang itu dengan cepat menghampiri pertapaan yang berada di lereng gunung Pucangan itu. Dengan hati - hati keduanya mengamati dari kejauhan.
"Tak banyak orang, ki." desis Bayu Sengoro.
"Memang benar apa yang aku dengar, orang tua itu tak banyak menerima sembarang murid." sahut ki Gagak Pracola lirih.
"Baik aku akan menyusuri bagian kanan."
"Berhati - hatilah, aku akan melihat bagian kiri pertapaan ini."
Maka keduanya berpisah untuk sementara.
Sementara itu Arya Dipa yang baru saja selesai berlatih di lereng bagian bawah, ketika akan kembali ke pertapaan tanpa sengaja melihat sekumpulan orang yang tak dikenalnya.
"Siapa mereka.?" tanya pemuda itu dalam hati.
"Ah, aku akan berpura - pura sebagai seorang pencari kayu bakar untuk mendekati mereka." pikir Dipa.
Dengan cepat Dipa mengumpulkan ranting - ranting kayu dan kemudian ia ikat dengan sulur tumbuhan merambat dan ia panggul di atas pundak, lalu dengan tertatih - tatih dan tubuh berkeringat Dipa menghampiri orang - orang itu.
Demi melihat adanya seorang pemuda pencari kayu itu, semua orang memandangnya, namun ketika memerhatikan dan tak ada yang mencurigakan, maka mereka tak mengacuhkannya lagi.
Setelah melewati sekumpulan orang itu, Dipa kembali memutar dan segera menuju pertapaan Pucangan dan menghadap resi Puspanaga.
"Mengapa kau tampak terburu - buru, Dipa.?"
"Eyang, tak jau dari sini ada sekelompok orang dan tampaknya mereka bukan orang kebanyakan."
"Apakah mereka bukannya sekelompok pemburu barangkali.?"
"Bukan, eyang. Mereka tak membawa busur atau lainnya, dan mereka terdiri dari penglihatanku dua lelaki dan lima wanita." jelas Dipa.
"Hem, panggilah kakangmu Palon dan Sabdho." kata resi Puspanaga selanjutnya.
Dipa berdiri dan memanggil Palon dan Sabdho yang kemudian menemui pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Palon dan kau Sabdho, cobalah amati siapa orang - orang yang berada di lereng sisi utara itu." perintah resi Puspanaga.
"Apakah aku boleh ikut, eyang..?"
"Kau disini saja, ngger dan berbuatlah wajar seolah - olah tak mengetahui apa yang terjadi. Siapa tahu mereka pun juga mengirim salah satu dari mereka untuk mengintai keberadaan kita."
Palon dan Sabdho kemudian segera pergi ke arah yang telah dijelaskan untuk mengetaui siapa sebenarnya orang - orang itu. Hari yang mulai gelap itu membantu keduanya dari untuk menyamarkan keberadaan mereka dari sekumpulan orang itu.
"Benar apa yang dikatakan oleh Dipa." desis Sabdho perlahan.
"Sembilan orang, ah bukankah itu nyi Cempaka pemimpin padepokan Kembang Wisa.?" ucap Palon seraya menunjuk wanita yang memaki pakaian berwarna putih.
"Apa yang dikerjakan oleh si ahli racun itu di tempat ini.?"
"Entahlah, ayo kita lebih dekat."
Saat Palon dan Sabdho mengintai keberadan orang - orang yang di pimpin oleh ki Ajar Lodaya, orang - orang itu sedang merundingkan rencana mereka untuk memasuki pertapaan Pucangan.
"Di sana hanya ada enam orang, guru. Dua orang tua, satu wanita yang masih gadis dan tiga pemuda." terang Bayu Sengoro.
Ki ajar Lodaya manggut seraya membelai janggutnya.
"Baikalah besok pagi kita memasuki pertapaan itu dengan dalih mencari seseorang yang bernama Sabdho dengan alasan menuntut balas kematian saudara ki Gagak Pracola. Bagaimana ki Gagak Pracola, kau setuju.?"
"Bagus aku setuju, dan dengan tanganku sendiri orang yang bernama Sabdho itu akan aku lumatkan.?"
Di kejauhan Sabdho yang namanya disebut oleh mereka, mengerutkan dahinya.
"Kau mengenal mereka adi.?" tanya Palon.
Dengan menggelengkan kepalanya, Sabdho menjawab,"Aku rasa belum pernah berurusan dengan mereka."
Ki Ajar Lodaya dan kawan - kawannya masih melanjutkan rencana mereka.
"Aku akan menghadapi resi Puspanaga dan yang lainnya terserah kalian." kata ki Ajar Lodaya.
jilid 2 bag 17
oleh : Marzuki Magetan
......
Kini semakin nyata apa yang didengarkan oleh Sabdho maupun Palon, orang - orang itu mempunyai niat merebut kitab yang kini berada di tangan Arya Dipa.
Namun dalam pada itu, masih mengganjal di hati Sabdho mengenai niat seorang yang menyebut dirinya Gagak Pracola untuk membalaskan kematian saudara seperguruannya.
"Mungkinkah orang ini salah satu dari sepasang begal bulak Gambiran, saudara ki panji Barong.?" desis Sabdho dalam perjalanan kembali ke pertapaan.
Sampainya di pertapaan kedua murid resi Puspanaga langsung melaporkan hasil pengamatan mereka.
"Dari siapakah mereka mengetahui keberadaan kitab Cakra Paksi Jatayu..?" desis resi Puspanaga, setelah mendengarkan hasil pengintaian kedua muridnya.
"Aku rasa ini semua dari kelebihan yang dimiliki nyi Cempaka, resi." kata empu Citrasena, "Ia pasti mendalami ilmu mendiang nyi ajar Prianti."
"Hem kemungkinan itu memang ada, memang nyi ajar Prianti memiliki ilmu weruh sak durunge winarah."
"Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan, guru.?" tanya Palon.
"Kita akan sambut mereka dengan baik, dan berusaha menjauhi penyelesaian dengan kekerasan, tapi apabila situasi tak memungkinkan kita siap menghadapi mereka. Tapi ingatlah hindari korban nyawa."
Semua orang mengangguk dan memahami jalan pikiran resi yang cinta damai ini.
"Selain itu waspadalah terhadap nyi Cempaka dan murid - muridnya, mereka tentu tak segan menggunakan racun." kata empu Citrasdna, "Aku akan memberikan beberapa butir penangkal racun kepada kalian, kecuali angger Dipa yang sudah mendapat bekal dari alam yang membuat dirinya kebal terhadap racun."
.....
Derap sembilan ekor kuda terdengar memasuki regol pertapaan Pucangan, yang disambut oleh Palon dan Sabdho.
"Selamat datang di pertapaan Pucangan, kisanak. Kalau boleh tahu kisanak semuanya berasal dari mana dan ada keperluan apa.?" kata Palon.
Nyi Cempaka menghampiri ki Ajar Lodaya dan berbisik kepadanya, " Pemuda ini yang terlihat dalam mata hatiku."
Ki Ajar Lodaya mengangguk lalu dengan senyum mengembang menjawab pertanyaan murid resi Puspanaga.
"Perkenalkan kisanak, aku Ajar Lodaya yang berasal dari padepokan Lemah Jenar timur Penarukan bersama kawan - kawanku ingin menghadap resi Puspanaga, untuk meminta keadilan."
"Mari kisanak, aku akan melapor guru, kawanku akan mengantar kisanak semuanya ke pendopo pertapaan." ucap Palon, yang kemudian menghadap resi Puspanaga, sementara Sabdho mengantar para tamu itu ke pendopo.
Beberapa saat kemudian, Palon kembali dengan mengiringi dua orang tua untuk menemui orang - orang dari tlatah wetan tersebut.
"Selamat datang di pertapan ini, kisanak. Aku Puspanaga merasa terhormat atas kunjungan ki Ajar dan nyi Cempaka dari padepokan Kembang Wisa." sambut resi Puspanaga ramah.
"Ah terima kasih, resi. Maafkan kami yang datang dan merepotkan para penghuni pertapaan ini. Namun itu semua dikarenakan adanya sebab yang dirasakan saudara kami terhadap salah satu murid resi." ucap ki Ajar Lodaya.
jilid 2 bag 18
oleh : Marzuki Magetan
.........
"Maksud kisanak.?" kejar resi Puspanaga.
"Biar saudaraku ini yang menjelaskan." kata ki Ajar Lodaya, sambil memegang pundak ki Gagak Pracola yang duduk di sebelahnya.
Orang yang disebut oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar itu menggeser duduknya.
"sebelumnya perkenalkan namaku Gagak Pracola dari Kadiri, kedatanganku yaitu ingin mencari pembunuh kedua saudara seperguruanku yang tewas ditangan murid resi di bulak Gambiran setahun yang lalu." terang ki Gagak Pracola yang sesaat memandang seorang pemuda yang duduk di belakang empu Citrasena, yang ia yakini sebagai Sabdho.
"Siapa nama muridku itu, ki Gagak Pracola.?"
"Sabdho, resi, mohon kiranya sang resi menyerahkan orang itu kepadaku."
"Nanti dulu, kisanak. Itu hanya sepihak saja."
Tampak ketegangan di raut muka saudara ki panji Barong dan ki lurah Lodra.
"Aku akan bertanya kepada muridku dan apa alasannya ia sampai menghilangkan nyawa seseorang."
"Ah, mengapa sang resi yang dinilai berjiwa adil telah meninggalkan paugeran yang menyimpang hingga membela muridnya yang berlaku salah.!" sergah ki Gagak Pracola, penuh luapan kemarahan.
"Jaga bicaramu kisanak.!" bentak Sabdho, yang tak tahan mendengar gurunya dihina.
"Sabarlah Sabdho, aku memaklumi kisanak ini." ucap resi Puspanaga, "Bukannya aku membela murid ataupun orang terdekatku, kisanak. Siapa saja yang memang nyata salah tentunya akan aku katakan salah, walaupun itu keluargaku sendiri.
Sesaat orang tua itu berhenti dan memandang semua tamu yang hadir, lalu ia menoleh ke Sabdho dan bertanya.
"Sabdho, kau sudah mendengar sendiri tuduhan yang diberikan kepadamu, apa jawabmu.?"
Pemuda itu menghela napas, "Benar guru, memang aku yang menewaskan ki panji Barong dan ki lurah Lodra, itupun dikarenakan kedua orang itu ingin mencelakai seorang prajurit dari Japanan."
Orang tua itu manggut.
"Tak hanya itu saja, guru. Ki panji Barong yang dulunya seorang prajurit Kadiri, telah menyimpang menjadi begal yang meresahkan pedagang ataupun orang yang akan melewati bulak ombo Gambiran." lanjut Sabdho.
"Bangsat..!! Beraninya Kau memfitnah saudaraku..!" teriak ki Gagak Pracola. "Aku tantang kau untuk perang tanding, jika kau memang laki - laki."
Tanpa basa - basi murid resi Gangsiran itu berdiri dan berjalan ke halaman dan berdiri bertolak pinggang.
Sebenarnya kemarahan yang tak terkira juga dirasakan oleh Sabdho, namun sang guru yang paham betul keadaan muridnya, segera menenangkannya.
"Redakan amarahmu, dan kendalikan nalarmu dengan bening." desis resi Puspanaga.
"Kemarilah cecunguk...!" teriak ki Gagak Pracola.
Sabdho memandang gurunya, dan setelah gurunya mengangguk memberi persetujuan, maka ia pun menghadapi tantangan orang yang merupakan salah satu dari sepasang begal bulak Gambiran.
Kini dihalaman depan telah menjadi satu kalangan yang agak lebar dengan dikelilingi penghuni pertapaan dan kawan - kawan Gagak Pracola.
Di samping pendopo dua pasang pemuda pemudi memerhatikan secara cermat apa yang terjadi di halaman itu.
"Kakang, mari kita mendekat." ajak pemudi yang tak lain Ayu Andini dengan sepasang pedang tipis di samping kedua pinggangnya.
"Ayo, tapi kau berhati - hatilah." sambut Dipa, yang menggandeng tangan Ayu Andini dan melangkahkan kakinya.
Di tengah kalangan Sabdho dan ki Gagak Pracola sudah menunjukkan kuda - kuda yang kokoh seakan menancap bumi, keheningan yang sesaat terkoyak manakala ki Gagak Pracola dengan dahsyat melancarkan pukulan ke arah kepala lawan serta tendangan ke pinggang Sabdho.
Tentu saja Sabdho yang sudah siaga itu dengan mudah menghindari kedua serangan itu dengan melangkah kebelakang dan dengan cepat membalas serangan lawan.
Walau kemarahan yang menggebu - gebu di dada ki Gagak Pracola, namun ia mampu mengendalikan nalarnya dan melakukan penjajagan untuk menilai kekuatan lawannya.
"Pantas saja setan ini mampu menewaskan dua adik seperguruanku, ia selapis lebih tinggi dari kemampuan mereka." ucap ki Gagak Pracola.
Setingkat demi setingkat pengungkapan tata gerak kedua belah pihak semakin minangkat. Desir angin yang ditimbulkan dari pukulan keduanya semakin deras dan tajam.
Suatu kali ki Gagak Pracola dengan gesit melenting dan memutar tubuhnya seraya melakukan tendangan mengarah leher Sabdho, namun murid resi Puspanaga itu dengan cepat merendahkan kepalanya sehngga bebas dari tendangan mematikan itu.
"Hebat juga kau setan."
"Ah menghadapi serangan tata gerak dasar seperti itu, anak yang baru merangkak pun mudah." sahut Sabdho.
"Bangsat tengik..!" bentak ki Gagak Pracola marah." Akan aku bungkam mulutmu."
Di luar arena, empu Citrasena hanya geleng - geleng kepala, mendengar pancingan dari kemenakanya itu.
"Anak itu dari dulu tak berubah sifat usilnya." desis empu dari Tegowangi itu.
"Hahaha, mudah - mudahan ia mampu mengatasinya empu." sahut resi Puspanaga.
Kini Gerak ki Gagak Pracola makin gencar dan dahsyat hingga Sabdho terdesak mundur beberapa tindak. Orang satu ini selain menjadi begal, juga sangat disegani di tlatah selatan pulau jawa dwipa.
jilid 2 bag 19
oleh : Marzuki Magetan
..................
Di telatah selatan pulau jawa, ki Gagak Pracola juga menguasai tempat perburuan yang luas meliputi pantai selatan. Karena itu ia pun mendapat julukan Gagak segárá kidul.
Kembali ke pertempuran yang semakin menegangkan itu, merasakan musuhnya semakin gencar libatan serangannya, Sabdho telah meningkatkan kemampuannya dalam kecepatan gerak dan dengan terperinci membaca setiap serangan lawan yang akhirnya dapat ia mentahkan.
"Setan alas...!" umpat Gagak segárá kidul itu, manakala lawannya mementahkan gempuran melalui serangan tangannya.
"Jangan banyak berkicau kau, kisanak, di sini tak ada daging mentah untuk kau makan." sindir Sabdho, yang membuat telinga orang dari kadiri itu memerah.
"Bangsat, mulutmu memang harus aku robek.!" maki ki Gagak Pracola, sambil menarik pedang berdaun duri pandan.
Pedang yang ganas itu langsung mengarah gencar ke tubuh Sabdho, yang harus cepat menghindari libatan yang seakan - akan mempunyai mata tersendiri untuk mengejar kemana pun ia bergerak.
Tak mau mendapatkan luka sekecil apa pun, murid pertapa gunung Penanggungan itu mulai menerapkan aji Tameng Wájánya dan mencabut pedangnya. Dua ilmu pedang dari perguruan berbeda kini mulai mewarnai perang tanding di pertapaan tersebut. Saling serang berupa tusukan, sabetan silang maupun mendatar dan tangkisan yang membuat dua bilang jenis pedang berbenturan maupun kadang kala bergesekan telah menimbulkan bunyi berdenting dan memercikan bunga api.
Dalam sengitnya pertempuran itu, di luar arena telah nampak adanya perbuatan licik dari pemimpin padepokan Kembang Wisá. Dengan diam - diam nyi Cempaka mengambil jarum dari balik pakaiannya dan ia sentilkan ke arah Sabdho.
Sejurus kemudian jarum yang tentunya sudah terlumuri ganasnya racun ciri khas padepokan di sisi timur Japanan itu, dengan cepat mengarah tubuh Sabdho yang tak tahu akan bahaya yang mengancam jiwanya.
Namun seorang pemuda yang di luar kalangan yang mengetahui kecurangan di pihak ki Gagak Pracola, dengan sebat menyambar kerikil dan melesatkan menangkis jarum itu.
Suara benturan dua benda itu telah menghentikan perang tanding itu untuk sementara dan pemuda yang berhasil mementahkan sentilan jarum nyi Cempaka, dengan senyum mengembang telah maju.
"Mengapa kau berlaku curang, nyai..?" suara pemuda itu yang tak bukan Arya Dipa.
"Kau, pemuda yang mencari kayu bakar itu." ucap nyi Cempaka, "Jika tahu kau juga merupakan penghuni pertapaan ini, tentu kami akan melenyapkanmu pemuda."
"Apa salahku yang menjadi penghuni pertapaan ini, nyai.?"
"Baiklah, kami tak perlu basa - basi, kedatangan kami kesini selain ingin membunuh orang yang bernama Sabdho, kami juga ingin meminta kitab kuno peninggalan raja Airlangga.!" kini giliran ki Ajar Lodaya angkat bicara.
"Maksud kisanak.?" tanya resi Puspanaga, yang pura - pura tak mengetahui maksud orang timur penarukan itu.
"Jangan pura - pura tak mengerti, resi. Di sini pasti tersimpan pusaka kitab Cakra Paksi Jatayu itu. Lebih baik serahkan kepada kami yang berhak atas kitab itu." jawab ki Ajar Lodaya.
"Hahaha.. jangan kau meracau kisanak, adakah kisanak ini mempunyai tetesan darah bangsawan Panjalu maupun Jenggala, hingga kisanak berbicara seperti itu." sela empu Citrasena.
"Diam kau orang tua.! guruku bahkan merupakan keturunan trah Mahendradatta dari kerajaan Bedahulu di pulau Bali dwipa.!" bentak putut Lembayung dengan kasarnya.
Namun sebelum empu Citrasena atau pun yang lainnya angkat bicara, resi Penanggungan itu melangkah setindak kedepan.
"Oh kiranya, kerabat sendiri yang hadir di pertapaan yang di dirikan oleh putra prabu Mahendra datta. Jika saja kisanak datang dengan kekeluargaan, tentu kami akan menjamu dengan meriah, namun karena kisanak ini datang dan ingin merebut kitab yang aku sendiri tak kuasa menyerahkan, maka mohon kiranya kisanak maafkan."
Demi mendengar penolakan walau halus dari sang resi, dada para tamu dari timur itu telah terbakar oleh amarah mereka.
"Kalau begitu dengan terpaksa kami akan merebutnya, walau harus melenyapkan nyawa kalian semuanya.!" ancam ki Ajar Lodaya.
"Ah mengapa kisanak harus begitu.? nyawa ini pemberian sang Agung, tentunya kami akan pertahankan sebisa mungkin untuk tetap manjing di raga ini."
Keadaan kini semakin tegang dan panas, semua orang telah bersiap jiwa dan raga untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.
Ki Ajar dengan tegas menempatkan dirinya menghadapi resi Puspanaga, yang tentunya mempunyai sebangsal ilmu. Di sisi yang lain, empu Citrasena mendapat lawan sepadan, yaitu nyi Cempaka yang sudah mengurai selendangnya. Dan masih dipengaruhi dendam membara, ki Gagak Pracola atau Gagak Segárá kidul kembali menghadapi Sabdho.
Sementara itu Palon mendapat lawan sepasang murid ki Ajar Lodaya, lalu Arya Dipa dan Ayu Andini melawan empat murid Kembang Wisá.
Sesaat kemudian pertempuran itupun tak terelakkan. Tandang dan tata gerak mulai mewarnai perkelahian di lereng gunung Penanggungan, yang biasanya sepi dari hiruk pikuk.
Secara berpasangan Arya Dipa dan Ayu Andini berusaha menghadapi serangan murid - murid nyi Cempaka, yang menggunakan ilmu berpasangan yang rapi dan terus mengurung kedua lawannya. Tapi dua pemuda pemudi ini dalam setahun ini pun juga sering melakukan latihan olah kanuragan secara berpasangan yang mendapat bimbingan dari empu Citrasena maupun resi Puspanaga sendiri.
Di sisi yang lain, Sabdho dengan cepat berusaha mendesak ki Gagak Pracola, dengan serangan yang semakin mantab dan dahsyat. Itu semua demi melihat kakak seperguruannya yang nampak terdesak melawan kedua murid Lemah Jenar.
jilid 2 bag 20
oleh : Marzuki Magetan
...............
Kesebatan yang dahsyat juga terlihat antara ki Ajar Lodaya dan resi Puspanaga, kedua orang tua itu walau wadagnya sudah memasuki hari - hari senja, namun kemampuan keduanya sungguh jauh dari orang biasa.
Sementara itu tak terlalu jauh, pemimpin padepokan Kembang Wisá dengan menggunakan selendangnya, terus menyerang kemenakan dari mpu Supa yang kini menetap di kademangan Tegowangi Kadiri. Walau begitu orang tua angkat dari Ayu Andini selalu bisa lolos dari setiap pagutan selandang yang bagai mempunyai mata.
"Tak kukira ternyata ilmu nyi Cempaka sudah berkembang sejak terakhir kita bertarung sepuluh tahun lalu." kata mpu Citrasena.
Nyi Cempaka telah mengerutkan dahinya, "Apa maksudmu.? siapa kau sebenarnya.?"
"Lupakah saat kau mengganggu ketenangan seorang keluarga tumenggung di kadipaten Tuban.?"
Mendengar itu, nyi Cempaka telah meloncat surut dan dengan tajam memerhatikan orang yang dilawannya.
"Kau orang yang menyelamatkan anak gadis tumenggung itu.?" suara nyi Cempaka bergetar.
"Kau sudah mulai ingat nyai, lihatlah anak gadis itu. Bukankah ia mirip istri tumenggung Arya Sambu yang kau celakakan itu."
Tubuh perempuan itu bergetar hebat, dengan loncatan panjang ia menerjang ke arah Ayu Andini. Tapi niatnya terhalang manakala di depannya mpu Citrasena menghentikan langkahnya.
"Kau lawanku nyai, tapi bila kau ingin menghadapinya tunggulah beberapa tahun lagi." ucap mpu Citrasena.
"Kau jangan menghalangi aku, Bagus Pragola.! dulu memang kau bisa mengalahkan aku, tapi lain dengan sekarang.!" bentak nyi Cempaka, seraya melempar beberapa jarum beracun.
Tapi mpu Citrasena yang semasa mudanya bernama Bagus Pragola itu sudah tahu betul watak lawannya itu. Dengan cepat mpu Citrasena meloloskan keris berdaun panjang layaknya keris khas bali dwipa, dan menangkis jarum berbisa itu.
"Masih saja kau berlaku curang seperti itu, nyai."
Mendapati senjata rahasianya dapat dengan mudah dimentahkan, nyi Cempaka kini kembali menggerakkan selendangnya yang ujungnya terdapat besi runcing. Gebrakan demi gebrakan seolah - seolah mengulang kembali pertarungan di tlatah Tuban beberapa tahun silam.
Namun kini perbedaanya ialah keduanya sudah mengembangkan tata gerak mereka sesuai ketekunan dan keuletan masing - masing kemampuan mengasah ilmu tersebut. Nyi Cempaka dengan jalur tata gerak perguruan Kembang Wisá, mengandalkan kegesitan dan banyaknya kembangan layaknya seorang penari dengan tenaga yang dahsyat. Sedangkan mpu Citrasena lewat tata gerak perguruan Kumbara Geni, mampu meloncat tanpa beban dan membuat desiran angin pukulannya terasa panas menyengat.
Pertarungan sengit juga terjadi di kalangan Palon yang harus menghadapi putut Lembayung dan Bayu Sengoro. Kedua murid Lemah Jenar ini mampu bekerja sama saling mengisi dengan tandang yang mapan. Oleh karena itu Palon harus dengan hati - hati dan cermat dalam melayani kerja sama kedua lawannya. Ia pun mengungkap ilmu Tameng Wájánya supaya wadagnya tak hancur dari pukulan - pukulan kedua saudara perguruan itu.
"Menyerahlah kau kisanak, sebelum kami benar -benar mengerahkan ilmu kami." ancam Bayu Sengoro.
Tapi Palon tetap tatag menghadapi serangan keduanya, bahkan ia telah meningkatkan kemampuannya hingga udara disekitar mereka terasa menyengat.
jilid 2 bag 21
oleh : Marzuki Magetan.
....
Ungkapan ilmu yang bersumber dari api itu mampu membuat kedua murid Lemah Jenar kesulitan, walau hanya sesaat namun telah dimanfaatkan dengan baik oleh Palon dengan mengayunkan kepalan tangannya ke kening Putut lembayung dan sambil memiringkan tubuhnya seraya mendepak lambung Bayu Sengoro.
Dua serangan sekaligus itu mengakibatkan lawannya meringis kesakitan.
"Setan thethekan, babi alas.!" maki Putut Lembayung dengan kasarnya.
Sedangkan Bayu Sengoro hanya menggeram penuh luapan kemarahan dan kembali menerjang Palon dengan menggunakan senjatanya, dan hal itu juga ditiru oleh adik seperguruannya.
Menghadapi kedua lawannya yang sudah menggunaka senjata, Palon lantas meningkatan aji Tameng Waja dan mencabut pedang dari warangkanya.
Hal itu sempat mendapatkan perhatian dari Arya Dipa yang dengan mudah menguasai lawan - lawannya, bahkan sebenarnya pemuda ini sebenarnya hanya mempermainkan para murid padepokan Kembang Waja. Maka dari itu saat sekali lagi Arya Dipa melirik keadaan Palon dalam kungkungan pedang dan tombak lawannya, Arya Dipa telah menggebrak kedua lawannya hingga keduanya terjengkang mencium tanah dan melenting seraya mengurai ikat pinggangnya, lalu menangkis kedua senjata murid Lemah Jenar.
Suara berdenting dari pertemuan ketiga senjata itu telah mencengangkan Bayu Sengoro dan Putut Lembayung, tak hanya itu saja, genggaman tangan mereka hampir saja tak kuasa mempertahankan senjata keduanya.
"Maaf kakang, aku akan mengambil salah satu lawanmu." ujar Arya Dipa, yang terus siaga.
"Bagaimana dengan murid Kembang Wisa.? Apakah Ayu Andini mampu melawan mereka.?" sahut Palon dan menguatirkan Ayu Andini.
"Jangan kuatir kakang, Ayu Andini bisa mengatasi mereka."
Kedatangan Arya Dipa yang ikut campur itu telah membuat murid ki Ajar Lodaya, semakin berang..
"Anak ini terlalu pongah setelah ia berhasil menahan serangan kita, kakang. Biarlah aku yang menggilasnya, supaya ia meratapi selembar nyawanya di alam lain.!" teriak Putut Lembayung, yang memutar tombak pendeknya.
Tapi murid kedua ki Ajar Lodaya itu terkejut saat ujung tombak pendeknya ditangkis oleh lawannya yang hanya memakai ikat pinggang.
"Kenapa kau tertegun seperti itu, kisanak.? Apakah mata tombakmu tumpul hingga tak mampu menembus ikat pinggang kulit ini.?" kata Arya Dipa.
"Kau jangan bangga, mungkin kali ini kau mampu menangkis pusakaku ini dengan ikat pinggang kulit anehmu, tapi sebentar lagi kau akan pucat melihat ilmuku.!"
Sebuah gerakan aneh dilakukan oleh Putut Lembayung, tombak pendek itu dengan dahsyat berputar layaknya kitiran dan tiba - tiba entah bagaimana tombak yang masih berputar itu, muncul ditengah putaran menusuk Arya Dipa yang agak lengah itu.
Rasa pedih telah dirasakan pemuda itu, tatkala ia melangkah mundur menjaga jarak, sebuah luka kecil mengenai perutnya. Darah menitik itu telah menyadarkan anak angkat ki Mahesa Anabrang.
Derai tawa terdengar dari Putut Lembayung, yang memperoleh kemenangan sesaat itu.
"Itu baru sekuku ireng ilmu tombakku, yang kuberi nama kincir sewu." ucap Putut Lembayung.
jilid 2 bag 22
oleh : Marzuki Magetan
........
Setelah mengusap luka itu, Arya Dipa telah siaga dan menggenggam erat ikat pinggang kyai Anta Denta. Sesaat ia merenggangkan kakinya dengan sorot mata tajam.
"Hahaha apa lagi yang akan kau buat kucing kecil.? Menyerahlah aku akan melepaskan nyawamu secara halus.!" kata Putut Lembayung seraya memutar - mutar tombak pendeknya dengan ilmu kincir sewunya.
Tapi kini Arya Dipa mulai sungguh - sungguh menghentikan lawannya itu. Keduanya lantas beradu dengan kerasnya, ilmu tombak kincir sewu itu bertubi - tubi mengarah tubuh Arya Dipa, namun dengan cepat pemuda itu menghindar dan menangkis tombak yang muncul dari putaran layaknya putaran berwarna hitam.
Karena serangannya tak menemui hasil, Putut Lembayung meloncat kebelakang dengan menekuk setengah tengkuknya lalu melenting tinggi dengan memutar tubuhnya meluncur deras menghujam kepala Arya Dipa, dengan ujung tombak lurus di depan serangan. Hal itu tak membuat surut Arya Dipa, pegangan tangannya semakin erat menggenggam kyai Anta Denta dikedua sisinya.
Sesaat kemudian dua benturan ujung tombak dengan ikat pinggang tak terelakan, hingga membuat Putut Lembayung mental kebelakang sekitar dua tombak, sedangkan Arya Dipa kokoh berdiri ditempatnya.
Wajah murid ki Ajar Lodaya menyeringai menahan landean tombak pendeknya yang hampir lepas dari genggaman tangannya.
"Tenaga anak ini layaknya sebuah banteng." desis Putut Lembayung, mulai menyadari kelebihan lawannya yang masih muda itu.
"Baiklah kalau begitu, walau aji gelap sayutá ku baru memasuki tingkat pertama, aku yakin bisa menghancurkan pemuda ini." geram murid ki Ajar Lodaya, sambil berdiri tegak dan menggerakkan tangannya.
Pemusatan nalar budi dari Putut Lembayung, ditanggapi dengan hati - hati oleh Arya Dipa. Pemuda itu segera mempersiapkan diri dengan memusatkan nalar dan budi serta memohon lindungan Sang Pencipta. Tampak tangan anak angkat ki Mahesa Anabrang bersedekap dengan mata terpejam. Sebuah ilmu pertahanan dari kitab Cakra Paksi Jatayu telah ia ungkap, sebuah pemandangan berkilau mulai menyelimuti pemuda itu.
Sementara itu Putut Lembayung seusai menerapkan aji Gelap Sayutá, mulai mengepalkan tangannya dan dengan loncatan panjang, kepalan itu menghujam deras ke tubuh Arya Dipa.
Naas telah menimpa murid kedua orang timut Penarukan itu, pukulan Gelap Sayutá telah terhalang lapisan tebal yang menyelimuti lawannya, dan tenaga pukulan itu membalik mengenai tubuhnya sendiri hingga Putut Lembayung terpental jauh dan tak sempat mengeluh, nyawanya telah loncat dari raganya.
jilid 2 bag 23
oleh : Marzuki Magetan
.....
Tewasnya Putut Lembayung di tangan seorang pemuda itu telah menyedot perhatian ki Ajar Lodaya, yang telah meloncat kebelakang menjaga jarak dari resi Puspanaga.
"Mungkinkah pemuda itu tadi menggunakan aji Niscala Praba, aji benteng kasat mata itu.?" desisnya.
"Kau mengerti banyak mengenai salah satu ilmu resi Gentayu, ki Ajar.?"
"Jadi anak itu telah mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu.? Apakah dugaanku benar, resi.?" tanya balik ki Ajar Lodaya.
"Itulah kenyataannya, ki Ajar, karena dialah orang yang dipilih langsung oleh Hyang Agung,. Oleh karena itu, urungkan niat kisanak."
"Hahaha tak selayaknya kaki ini melangkah surut, resi. Aku tetap dalam pendirianku untuk mendapatkan hak dari nenek moyangku itu.!" sergah ki Ajar Lodaya, yang kemudian melanjutkan kata - katanya, "Aku harap kau mau membujuk anak itu untuk menyerahkan kitab itu secara sukarela.!"
"Hemm, kau salah kisanak, janganlah kita yang tua ini terseret napsu semata." ucap resi Puspanaga, lembut.
"Diam kau, tak pantas kau sesorah di depanku, bila kau memang keras kepala, terpaksa ilmuku melumatkan ragamu.!" bentak guru Bayu Sengoro, seraya meloncat menyerang resi Puspanaga.
Sementara itu, penyesalan yang amat sangat telah mempengaruhi jiwa Arya Dipa. Dirinya tak mengira jika lawannya telah tewas ditangannya.
"Oh Gusti Agung, bukan niatku untuk mengakhiri hidup seseorang." keluhnya dalam hati, ketika disamping tubuh yang mulai membeku itu.
Di sisi yang lain, ki Gagak Pracola telah melibat lawannya dengan pedang pandan rinya, goresan pedang itu akan menimbulkan luka yang mengerikan jika terkena di tubuh lawan. Tapi Sabdho yang merupakan murid dari pertapa Pucangan itu, telah melindungi tubuhnya dengan Tameng Waja seutuhnya, oleh karena itu lawannya terkejut manakala pedang pandan ri itu tak meninggalkan goresan walau sedikitpun.
"Setan ini ternyata memiliki ilmu kebal." batin ki Gagak Pracola.
Namun ia segera meningkatkat tataran ilmunya semakin tinggi, pengerahan tenaga cadangan telah ikut menyeruak yang membuat serangan dari senjatanya menimbulkan kesiur angin yang panas.Tak hanya itu saja, pedang Gagak segoro kidul itu mulai memerah teraliri tenaga aji Tapak Dahana.
Tentu saja hal itu membuat Sabdho semakin berhati - hati dan meningkatkan aji Tameng Waja selapis lagi, walau pun begitu tatkala terjadi benturan betapa terkejutnya saat tangannya hampir kehilangan pedangnya. Dan rasa hawa panas menembus pertahanan ilmu kebalnya.
Di depan lawannya telah menyarungkan kembali pedangnya, dengan sikap bersungguh - sungguh kaki ki Gagak Pracola mulai meregang dengan tangan terangkat di depan dada saling merapat, dan tangan itu mulai menyala merah membara.
"Aji Tapak Dahana.." ucap Sabdho lirih.
Tak mau dirinya hangus terkena aji milik lawan yang nggegirisi, Sabdho segera memusatkan nalar budi untuk mengerahkan aji Banthala dan meningkatkan aji Tameng Waja setinggi - tingginya.
jilid 2 bag 24
oleh : Marzuki Magetan
......
Lereng gunung Penanggungan itu kembali terguncang dengan adanya dua puncak ilmu dari dua manusia yang saling bertemu dan desak - mendesak melibat tubuh yang terbuat dari segumpal darah dan daging.
Tubuh Sabdho telah tergeser dari tempatnya berdiri, tubuhnya telah terjatuh duduk bertumpu kedua lututnya. Darah segar mulai mewarnai sela - sela bibirnya dan napasnya terasa sesak, seolah - olah bara api menggerogoti isi dadanya. Lantas dengan laku waspada, murid kedua resi Puspanaga itu memerhatikan keadaan lawannya yang masih berdiri .
"Hahaha, isi dadamu pasti hangus oleh aji Tapak Dahanaku, Sabdho. Matilah dengan tenang dan lunas sudah hutang - hutangmu atas saudara seperguruanku.!" kata ki Gagak Pracola, dengan mengumbar tawanya.
Tapi tawa itu dengan tiba - tiba terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang terjengkang keras membentur bumi. Murid tertua resi Gangsiran itu telah menyusul jiwa saudara - saudaranya di alam kelanggengan.
Mengetahui lawannya sudah tumbang, Sabdho duduk bersila memusatkan nalar dan budinya demi mengatur kembali peredaran tenaga dan darahnya.
Karena tak ingin adanya gangguan yang menghampiri Sabdho, cucu begawan Jambul Kuning dengan sigap menghampiri tubuh Sabdho dan menjaganya.
Sudah kepalang tanggung bagi ki Ajar Lodaya dan Bayu Sengoro, kedua guru dan murid ini dengan ganas melibat lawan - lawannya. Tingkatan demi tingkatan semakin dekat mendekati puncak, dan pengerahan tenaga cadangan dari perguruan Lemah Jenar seakan - akan melahap tubuh lawan - lawan keduanya.
Palon dengan cermat memerhatikan gerakan senjata Bayu Sengoro yang berupa pedang berdaun lebar. Di dukung dengan tubuh tinggi besar, pedang itu terasa memiliki tenaga yang mematikan. Setiap benturannya mampu meninggalkan luka di pedang Palon yang berjenis pedang berdaun panjang dengan kedua sisinya bermata tajam.
"Orang dari wetan ini layaknya banteng jantan." desis Palon, seraya meloncat kesamping menghindari tebasan lawan.
"Mengapa kau selalu menghindar kisanak.? Apa hanya ini saja kemampuan dari pertapaan Pucangan yang terkenal itu.?!"
Tapi tak ada tanggapan dari Palon kecuali tindakan nyata dari kakinya yang mengenai lambung Bayu Sengoro, hingga tubuh itu terdorong mundur.
"Jangkrik...!" teriaknya sambil mengayunkan pedangnya.
Tebasan demi tebasan terus mengalir dengan rapat seolah - olah tak ada waktu luang. Tebasan dengan sekuat tenaga itu mulai menampakkan hasil, dengan kutungnya pedang Palon dan membuat lengah Bayu Sengoro, dimana pada saat selanjutnya, murid pertama resi Puspanaga mampu mendepak tangan kanan Bayu Sengoro dengan kerasnya dan pedang besarnya lepas dari genggamannya.
Di depan, Palon dengan kaki meregang telah meloncat menyerang dengan kaki kanan di depan mengarah dada, yang ditanggapi lawannya dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Benturan itu telah mengejutkan keduanya, kaki Palon terasa membentur karang di tepian pantai, begitu juga dengan murid ki Ajar Lodaya.
ilid 2 bag 25
oleh : Marzuki Magetan
...
Rasa nyeri yang sangat dirasakan menjalar di tulang tangan Bayu Sengoro hingga dada.
Keduanya kini mengandalkan kerasnya tulang dan liatnya daging. Pukulan dan tendangan silih berganti mencari dimana kelengahan dan kelemahan masing - masing. Tata gerak yang ditimbulkan semakin rumit sesuai keadaan yang terjadi dan tuntunan dari masing - masing jalur perguruannya.
Bayu Sengoro ternyata mempunyai kelebihan setingkat dari adik seperguruannya dan banyaknya pengalaman telah memantapkan tandangnya. Begitu halnya dengan Palon, menjadi murid tertua dari pertapaan Pucangan juga mempunyai segudang pembedaharaan pengalaman yang menunjangnya semakin trengginas, apalagi sang guru selalu memberikan tuntunannya dalam mengetahui pusat tenaga dalam dirinya atas limpahan Yang Maha Esa.
Ketegangan semakin nyata tatkala anak manusia berbeda jalur itu saling menjaga jarak untuk membuat keputusan terakhir, yaitu mengungkap ilmu simpanan terakhir.
Dengan sikap sempurna, murid resi Puspanaga telah memusatkan seluruh panca indranya menjadi satu titik yang menimbulkan pengungkapan ilmu ciri pertapaan Pucangan yang bersumber inti bumi, aji Banthala serta diiringi aji Tameng Waja. Di lain pihak, Bayu Sengoro juga menerapkan aji pamungkasnya, aji Gelap Sayuta sampai tuntas.
Dengan diawali teriakan dari kedua belah pihak, benturan tenaga pamungkas telah menimbulkan suara ledakan membahana dan kepulan debu menyelimuti perkelahian itu. Akibatnya Bayu Sengoro terpental dua tombak dengan tubuh lemas tak berdaya lagi untuk seterusnya. Sedangkan nasib baik masih mengikuti Palon, walau tubuhnya terhuyung - huyung tapi berkat kesungguhannya dalam mempertahankan keseimbangannya, ia bisa bersyukur dan menghirup napas untuk melegakan dadanya yang sesak.
Kematian orang ketiga itu, merupakan pukulan terberat bagi ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka beserta murid - muridnya. Setelah memikir untung ruginya, maka dengan perasaan yang hancur, ki Ajar Lodaya memberikan isyarat kepada sekutunya. Isyarat itu telah menimbulkan tanda tanya bagi resi Puspanaga dan lainnya yang dimanfaatkan oleh ki Ajar Lodaya dan Nyi Cempaja serta ke empat muridnya untuk menggebrak semakin dahsyat, hingga keadaan semakin kacau yang dilanjutkan ke enam orang itu meloncat jauh dan lari dari gelanggang.
Perbuatan pengecut itu telah memancing Ayu Andini dan Arya Dipa untuk melakukan pengejaran.
"Cukup, tak usah dikejar.!" cegah resi Puspanaga.
"Tapi eyang.." kata Ayu Andini terputus.
"Biarkan mereka pergi, lebih baik kita urus ketiga jasad yang membeku itu."
Maka dengan cepat para penghuni pertapaan itu mulai membagi tugas memeriksa keadaan Sabdho dan Palon, dan yang lainnya menyelenggarakan mayat - mayat itu.
Di gerumbul semak belukar di bawah kaki gunung Penanggungan, kekecewaan dan sakit hati telah merayapi dada ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka.
"Mengapa kakang memberi isyarat untuk melarikan diri.? Apakah kakang rela atas tewasnya murid dan kawan kita itu.?" tanya nyi Cempaka.
Tapi ki Ajar Lodaya hanya diam membisu dengan memejamkan mata.
( BERSAMBUNG... )
Minggu, 18 Desember 2016
Panasnya Langit Demak Jilid 2 ( 1 -15 )
ilid 2 bag 1
Karya : Marzuki
💡💡💡💡💡
.
Udara malam itu terasa dingin luar biasa,angin yang mengalun lembut itu membuat semua orang malas untuk keluar dari rumah.Suasana itu membuat semua orang meringkuk dalam hangatnya selimut kain panjang atau jarit.
Di gardu parondan pun yang di tempati oleh beberapa anak muda yang harusnya berjaga,tampak kosong.
Di tengah malam yang gelap dan dingin itu,seorang yang berjalan kaki menghentikan langkahnya.
"Sepertinya malam ini hujan akan turun."desis orang itu.
Sesaat orang itu memerhatikan gardu parondan di ujung regol padukuhan itu.
"Lebih baik aku bermalam di gardu ini."berkata orang itu yang kemudian menaiki gardu itu dan meletakkan buntalannya.
Tak berapa lama orang itu merebahkan diri,derap kaki kuda terdengar di telinganya.Lantas orang itu kembali bangun dan duduk.
Dari ujung lorong dua kuda yang ditunggangi oleh tiga orang,yang terdiri dua orang lelaki dan satu orang remaja.Kuda itu berjalan pelan karena tak ingin mengganggu ketenangan padukuhan yang akan mereka lewati.
"Paman,sepertinya hujan akan segera tiba.Lebih baik kita berteduh di gardu parondan itu."salah seorang dari mereka berkata.
"Baiklah sepertinya Dipa juga sudah lelah."sahut orang yang dipanghil paman itu.
Maka mereka pun bersepakat untuk berteduh di gardu yang gelap itu.Tapi saat salah seorang turun dari kudanya,sebuah dehem telah mengejutkan mereka.
"Oh maaf kisanak,aku kira gardu ini kosong.Kami bertiga ingin minta ijin berteduh disini,itupun jika kisanak ijinkan."ucap penunggang kuda yang masih muda.
Orang yang lebih dulu di gardu parondan itu menganggukkan kepalanya perlahan.
"Silahkan kisanak,kita sama-sama orang yang kemalaman."ucap.orang itu.
"Oh jadi kisanak juga kemalaman seperti kami.?"ucap penunggang kuda yang disebut paman,yang tak lain ki Mahesa Anabrang.
"Benar kisanak,o ya namaku Sawung Rana.Kalau boleh tahu kisanak ini siapa dan dari mana.?"tanya orang yang mengaku Sawung Rana itu.
"Kami bertiga berasal dari kadipaten Prana Raga,namaku Mahesa Anabrang dan ini anakku Dipa.Sedangkan yang ini kerabatku,Palon.
namanya."kata ki Mahesa Anabrang,yang menerangkan jati dirinya.
"Palon.."desis Sawung Rana dalam hati.
"Oh ya silahkan naik paman,gerimis sudah turun."lanjut Sawung Rana.
Benar saja,gerimis dari langit itu telah turun membasahi bumi.Suara guntur dan kilatannya pun mewarnai cuaca di malam itu.
Dipa yang kedinginan itu meringkuk di pojokan gardu dan berselimut kain panjang,saking lelahnya ia sudah terlelap tidur dengan pulasnya.
"Apakah angger ini seorang pengembara.?"
"Tidak paman,aku baru saja berpergian ke rumah kerabat yang berada di tanah perdikan Anjuk Ladang dan akan kembali pulang ke Ploso."jawab Sawung Rana.
"Hanya berjalan kaki.?"tanya Palon,yang mengerutkan dahinya.
"Awalnya tidak,aku berkuda waktu berangkat kesana,tapi saat sampai di rumah kerabatku ternyata ia lebih memerlukan kuda itu.Maka aku pinjamkan kuda itu kepadanya."
"Wah ternyata angger berjiwa besar dan tulus bersih."kata ki Mahesa Anabrang,memuji kebaikan pemuda itu.
"Ah tidak paman,itu sudah selayaknya."
Tanpa terasa malam pun makin menusuk ke dalam,maka mereka pun telah merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata mereka.Tapi walau mata terpejam,sebenarnya ki Mahesa Anabrang dan Palon tetap waspada dan hati-hati,meskipun tampaknya orang yang bernama Sawung Rana itu terlelap dalam tidurnya.
ilid 2 bag 2
Karya : Marjuki
💡💡💡💡💡
.
Malam itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang membuat ketegangan,semuanya berjalan dengan semestinya hingga secercah sinar mentari muncul di mega-mega timur.
Hujan yang turun di malam,membuat hari itu tampak semakin tentram di padukuhan itu.Para penghuni padukuhan mulai bekerja sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Petani dengan memanggul Cangkul dan sebilah arit yang tergenggam di tangan kanan dan tak lupa tudung terbuat dari anyaman bambu,melindungi kepala petani yang berangkat ke sawah mereka.
Para pedagang dengan barang dagangannya berupa hasil bumi dan hasil kerajinan pun mulai meramaikan jalan padukuhan itu.
Suara senggot di dekat pakiwan berderit dan suara ikatan lidi yang menyatu untuk menyapu pekarangan juga riuh terdengar di kanan-kiri pemikiman itu.
Di gardu parondan ki Mahesa Anabrang telah lama terjaga dan duduk dipinggir parondan.
Palon pun yang juga telah terjaga menggeliatkan badannya.
"Cerahnya hari ini."desis Palon.
"Benar kisanak,dan air hujan malam tadi membuat pagi ini makin indah.Para petani akan gembira melihat sawahnya yang mendapat siraman air yang baru tiba ini."kata Sawung Rana.
"Oh kau sudah bangun ngger.?"
"Iya ki,dan aku akan segera melanjutkan perjalanan ini."sahut Sawung Rana,yang telah merapikan pakaiannya.
"Mengapa buru-buru ngger.?,hari masih terlalu pagi."
"Mumpung masih pagi,ki.Serta ada keperluan di padukuhan di depan ini."kata Sawung Rana.
"Baiklah ngger.Mudah-mudahan lain waktu kita bisa berjumpa lagi."
Maka Pemuda yang mengaku Sawung Rana itu beranjak pergi untuk melanjutkan langkahnya.
Setelah kepergian anak muda itu,ki Mahesa Anabrang dan Palon masih duduk di gardu parondan ujung padukuhan itu.Sementara itu Arya Dipa masih tidur di balik kain panjangnya.
"Apakah kita berangkat sekarang,ngger.?"tanya ki Mahesa Anabrang.
Nanti saja paman,kasihan Dipa,ia tentu sangat kelelahan dengan perjalanan berkuda ini."jawab Palon,sambil memerhatikan wajah polos Dipa.
Ki Mahesa Anabrang juga memerhatikan anak angkatnya dan sebuah senyum menghiasi bibirnya.
"Anak ini sebenarnya mempunyai badan yang baik dan sangat bagus jika mendapat gemblengan olah kanuragan."desis lirih orang tua itu.
"Bukankah paman bisa menuntunnya.?"kata Palon sambil mengerutkan keningnya.
Orang tua itu menghela napas,lalu katanya.
"Memang pernah aku menuntunnya,tapi ada satu keanehan."
"Maksud paman.?"
Dan ki Mahesa Anabrang pun mulai menceritakan kejadian aneh itu.Kejadian yang berawal dari dirinya yang ingin menuntun anak angkatnya dalam ilmu kanuragan untuk bekal perjalanan hidupnya.
Kala itu di saat pagi hari,ki Mahesa Anabrang memanggil Dipa dan mengajaknya ke belakang rumahnya yang lapang.Disitu ki Mahesa Anabrang memeragakan beberapa gerak dasar olah kanuragan dari jalur perguruannya,setelah selesai ia menghampiri Dipa dan menanyakan,apakah Dipa tertarik dengan olah kanuragan yang baru sajaki Mahesa Anabrang tunjukkan.
Ternyata gayung bersambut,Dipa kagum dengan apa yang diperagakan oleh ayah angkatnya itu,dan mau diajari.Maka karena itu,di malamnya ki Mahesa mengajak anak itu kembali di belakang rumahnya yang berada di padukuhan Pudak.
Awalnya gerak demi gerak telah ia peragakan dan di tiru oleh anak itu.Tapi saat malam makin larut,tiba-tiba di kesibukan ki Mahesa Anabrang melatih anak itu,sayup-sayup sebuah desir halus terdengar.
Tapi ki Mahesa Anabrang tak memperdulikan hal itu dan terus melatih Dipa.Hingga sekali lagi desiran halus itu muncul lagi dan makin kentara.
Dan saat itulah tiba-tiba anak remaja itu jatuh pingsan tak sadarkan diri.Tentu saja ki Mahesa Anabrang yang secara naluri bergerak menangkap tubuh anak angkatnya itu.Tapi sebuah tenaga yang tak terlihat menghempaskan tubuhnya,sampai tubuh orang tua itu terjerembab di tanah.
Dalam kekagetannya,ki Mahesa Anabrang kembali terbelalak tatkala dari ubun-ubun anak remaja itu berkelebat sesosok bayangan yang menyerupai hewan bersayap sebesar gajah.
"Ah apakah itu.?"desis ki Mahesa Anabrang.
Dan bayangan itu mencuit keras lalu pudar dan menghilang.
"Apakah ini benar-benar nyata.?"ucap ki Mahesa Anabrang yang berusaha bangkit berdiri dan berjalan menghampiri anak angkatnya dan memeriksa keadaannya.
"Syukurlah ia tak apa-apa."kata ki Mahesa Anabrang,yang kemudian membawa anaknya masjk ke dalam rumah.
Pagi harinya setelah Dipa terbangun,maka ki Mahesa Anabrang menanyakan kejadian tadi malam kepada anak itu.Namun ternyata Dipa.tak ingat sedikit pun dan ki Mahesa Anabrang tak ingin memaksa anak angkatnya untuk mengingat kembali kejadian yang dialami itu.
"Baiklah nanti malam kita berlatih olah kanuragan seperti yang ayah tunjukkan di pagi kemarin."
Hari kembali menjadi malam dan mereka kembali berlatih olah kanuragan.Dan Malam yang memucak itu telah kembali mengulang kejadian sebelumnya.
Sosok itu makin terlihat nyata,sebuah burung sebesar gajah dengan mahkota menghiasi kepala burung raksasa.
jilid 2 bag 3
Karya : Marzuki
🐔🐔🐔🐔🐔
.
Seekor burung Garuda dengan mahkota terbuat dari permata.Mata tajam memancarkan kewibaaan dan keperkasaan burung ajaib itu.Kepakan sepasang sayapnya membuat angin dahsyat yang bisa memporak-porandakan apapun yang ada di belakang rumah ki Mahesa Anabrang.
Sementara itu ki Mahesa Anabrang,dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangannya agar tak tersapu oleh kibasan angin yang ditimbulkan burung itu.
"Kaaaaak..!"suara burung bermahkota itu telah mengoyak udara di malam itu.
Suara yang bagaikan mengandung gelombang aji Gelap Ngampar itu membuat jantung ki Mahesa Anabrang bagaikan akan lepas dari tangkainya.Dengan sekuat tenaga orang tua angkat Arya Dipa mengerahkan tenaga cadangan dan berusaha menutup segala lubang panca indranya.
Di depan terlihat burung Garuda bermahkota permata itu mengangkasa setinggi dua tombak dan berputar-putar di atas tubuh Dipa yang tak sadarkan diri.Tak selang beberapa lama,kabut tipis telah keluar di sekitar tubuh anak itu,yang semakin lama menjadi pekat hingga burung Garuda itu pun tak terlihat.
Apa yang terjadi itu telah mendebarkan jantung ki Mahesa Anabrang,dengan hati was-was ia mencemaskan keselamatan anak angkatnya.
Tapi sebuah suara yang berasal dari dalam kabut,membuat hati orang tua itu.
"Tak usah kau kawatir dengan keselamatan anak ini.Dan ingatlah,jangan kau ajarkan anak ini dengan ilmu olah kanuragan,biarlah ia mendapatkan tuntunan itu dari sebuah tuntunan Cakra Paksi Jatayu."
"Siapakah kau.?"tanya ki Mahesa Anabrang,tanpa sadarnya.
"Aku putra Mahendradatta dari Bedahulu,ngger."jawab suara itu,yang mengandung wibawa.
Mendengar suara itu menyebutkan putra Mahendradatta,lantas saja membuat ki Mahesa Anabrang menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila dan menggerakkan tangannya yang ngampurancang.
"Mohon ampuni kelancangan hamba,gusti prabu."sembah ki Mahesa Anabrang.
"Sudahlah,ngger.Aku kini bukanlah seorang raja,dan kini pun aku hanyalah seoarang hamba Sang Pencipta yang berada di alam kelanggengan.Ingatlah janganlah kau tuntun anak itu dengan ilmu kanuraganmu,walau sebenarnya ilmumu juga masih sejalur dari ilmuku.Karena sebenarnya anak itu sudah digariskan mendapat tuntunan dari sebuah kitab Cakra Paksi Jatayu,yang akan tiba pada waktunya."kata suara dari kabut itu.
"Kasinggihan dawuh pikulun,hamba tentu akan mematuhi sabda pikulun."jawab ki Mahesa Anabrang.
"Baiklah,rawatlah anak ini dengan baik."
Usai perkataan itu,kabut itu memudar dan sesosok bayangan putih berada di atas punggung garuda yang secepat tatit mengangkasa dirgantara.
Setelah kepergian bayangan putih yang mengaku putra prabu Mahendradatta dari kerajaan Bedahulu,maka ki Màhesa Anabrang mendekati putra angkatnya dan membawa tubuh anak itu,masuk dalam rumahnya.
"Bukankah putra prabu Mahendradatta itu prabu Airlangga,paman."tanya Palon,setelah mendengarkan cerita aneh menyangkut diri Arya Dipa.
"Benar Palon,walau putra prabu Mahendradatta berjumlah tiga,tapi yang mempunyai lambang garuda terbang hanyalah prabu Airlangga atau resi Gentayu,yang moksa di gunung Penanggungan.
"Apakah ini berhubungan dengan pesan dari resi Puspanaga,yang menyuruh paman dan Arya Dipa ke pertapaan Pucangan.?"desis Palon.yang lirih seakan berkata pada dirinya sendiri.
"Entahlah."sahut ki Mahesa Anabrang.
Tàk selang lama,remaja yang dibicarakan itu menggeliatkan badannya dan bangun dari tidurnya.Dengan polosnya remaja itu mengucek-ngucek matanya.
"Kau sudah bangun,ngger.?"
"Iya ayah,ah hari sudah begini panasnya,mengapa ayah dan kakang Palon tidak membangunkanku.?"ucap anak itu
"Tak apa ngger,kau terlihat lelah dan tidurmu begitu lelap."
"Tapi sekarang aku sudah baikan,ayah.Dan aku sudah sanggup untuk menaiki Jatayu."
Palon mengerutkan keningnya."Jatayu.."
"Iya kakang,kuda hitam itu bila dipacu oleh ayah,kencangnya bagai burung garuda tunggangan Batara Wisnu."kata Dipa,polos.
Ki Mahesa Anabrang hanya tersenyum mendengar celoteh anak angkatnya itu.
"Baiklah nanti kita adu cepatapa benar Jatayu itu lebih cepat dari Bayu Turangga milikku."tantang Palon,yang di sambut tawa ki Mahesa Anabrang.
"Wah nama kudamu begitu bagus,Palon."ucap ki Mahesa Anabrang,yang masih tersenyum.
"Hahaha,entahlah paman.tanpa sadar akupun juga memberi nama kuda itu dengan nama itu."sahut Palon.
Karena hari makin terang,ketiganya kemudian beranjak naik ke kuda masing-masing dan melanjutkan langkah mereka.
ilid 2 bag 4
Karya : Marzuki
🐎🐎🐎🐎🐎
.
Dua kuda itu dengan perlahan menaiki tangkis sungai. Penunggangnya seorang berperawakan kekar dengan tombak menghiasi punggungnya. Sedangkan yang satunya, seorang perempuan dengan pakaian merah tua dan sebuah pedang panjang di samping pinggangnya.
Di atas tangkis berjarak dua tombak, bangunan kecil yang terbuat dari bambu kuning dengan atap rumbia terlihat tampak sepi.
"Apakah kakang Sawung Rana belum kembali.?" ucap lelaki itu, yang sudah turun dari kudanya.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan kakang." sahut si wanita.
"Kalau begitu aku akan ke sungai kembali, badanku penuh dengan debu." kembali lelaki itu bersuara.
"Baiklah kakang, aku akan menunggu di sini saja."
Lelaki itu pun kemudian berjalan kembali kearah sungai yang agak berwarna kecoklatan, karena hujan semalam.
Sedangkan si wanita, dengan menyandarkan badannya di tiang untuk mengurangi rasa lelahnya. Namun wanita itu segera berdiri tatkala dari balik pohon, seseorang telah muncul.
"Oh kakang Sawung Rana, aku kira siapa." suara wanita itu, tampak lega.
Orang yang disebut Sawung Rana itu tersenyum dan duduk di amben dekat wanita itu.
"Kau sendirian, Sumirah.?"
"Tidak kakang, aku bersama kakang Menak Raung. Ia sedang membersihkan diri di sungai." jawab Sumirah.
"Oh ya kakang, bagaimana pengamatan kakang selama di bumi Bintara itu.?" tanya Sumirah.
"Di sana sudah banyak perubahan setelah sepeninggal raden Lembu Kenanga, sekarang tampuk pemerintah berada di tangan putra mahkota, raden Pati Unus."
"Apakah ini saat yang baik untuk menggerakkan pasukan dari Puger kakang.?"
Seaat orang itu terdiam, setelah menghela napas maka Sawung Rana memandang arah sungai, di mana dari situ Menak Raung berjalan sambil menyeka air di mukanya.
"Ah kakang Sawung Rana,sudah lamakah kakang tiba.?"
"Baru saja adi, duduklah."
"Bagaima kakang, setelah kakang menyelidiki Demak.?"
Dan sekali lagi Sawung Rana menjelaskan hasil penyelidikannya ketika berada di kesultanan Demak yang merupakan sebuah ancaman bagi kadipaten Puger.Terlihat keduanya mengangguk-anggukan kepala mereka setelah mendengar rincian dari Sawung Rana, yang merupakan seorang prajurit telik sandi kadipaten Puger.
"Apakah kita tidak sanggup untuk menggempur Demak, kakang.?" tanya Menak Raung.
"Sangat sulit adi, banyak kadipaten dan tanah perdikan yang berada di kuasaan Demak, belum lagi perjalanan yang di tempuh."kata Sawung Rana.
"Tapi bukankah kanjeng Adipati sudah bekerja sama dengan kadipaten Penarukàn dan Blambangan, kakang.? dan itu merupakan sebuah penggabungan pasukan segelar sepapan." Sumirah angkat bicara.
"Serta beberapa padepokan tlatah wetan dan juga para bekas pasukan Giriwardana." lanjut Menak Raung.
"Memang penggabunggan pasukan itu cukup besar, tapi apakah kalian tidak memandang kadipaten Ujung Galuh dan kedaton Giri.? dan kita pun harus memandang kadipaten Japanan yang merupakan Benteng terdepan dari Demak." ucap Sawung Rana.
"Selain itu Terung pun tentu tak akan tinggal diam begitu saja, karena adipati Terung yang juga di sebut raden Kusen itu sudah berada di Demak dan mendukung pemerintahan keturunan kakaknya, raden Patah atau raden Lembu Kenanga." kembali Sawung Rana berkata.
"Lalu bagaimana selanjutnya rencana kakang.?"
"Aku akan menetap di sini, sekaligus melakukan penyelidikan di kadipaten Japanan. Siapa tahu ada peluang untuk membujuk para bangsaawan kadipaten ini."
"Baiklah kakang, tapi ijinkan kali ini aku menemani kakang." ucap Sumirah, dengan suara agak bergetar.
Sawung Rana memandang wajah wanita itu, sehingga membuat wajah wanita itu bersemu merah dan menunduk.
"Bertanyalah pada kakangmu, apakah ia mengijinkan jika adik gadisnya tinggal di tempat yang terpencil ini."
Mendengar itu, Sumirah memandang kakangnya. Tapi belum ia menggerakkan bibirnya, kakangnya tersenyum dan berkata.
"Tentu saja aku tak keberatan jika adikku yang bersedia dan tinggal bersama dengan Arjunanya..."
Tapi sebuah cubitan telah hinggap dipinggangnya dan menghentikan kata yang belum tuntas itu.
"Aduh...sudah Sumirah, aku kapok..."
Pemandangan itu membuat Sawung Rana tersenyum.
jilid 2 bag 5
Karya : Marzuki
.
Malam mulai menggelayuti langit di sekitar sungai itu. Di dalam gelapnya malam, seberkas sinar dian yang memancar dari sela - sela dinding rumah yang terbuat dari bambu kuning itu.
Di dalamnya tiga orang yang terdiri dua lelaki dan satu wanita tampak duduk di amben menikmati ganyong dan wedang.
"Bila esok kau berangkat, lewatlah sisi selatan kadipaten Penarukan dan mampirlah di padepokan Lemah Jenar." ucap Sawung Rana.
"Baik kakang, apakah ada pesan untuk ki Ajar Lodaya.?" kata Menak Raung,lalu diteruskan dengan bertanya.
Tampak Sawung Rana sesaat termenung dan menghela napas, lalu katanya.
"Katakan pada ki Ajar Lodaya, kalau aku berpapasan dengan seseorang yang bernama Palon. Mungkin orang itu berada di sekitar kadipaten Japanan ini."
"Baik kakang." sahut Menak Raung, yang kemudian menyruput wedang.
"Kakang, aku tidur dulu, mata ini sudah ingin terpenam." suara Sumirah yang halus itu, terdengar.
"Tidurlah, kami masih ingin berbincang - bincang."
Setelah kepergian Sumirah, Sawung Rana dan Menak Raung semakin bersungguh - sungguhpembicaraan mereka.
"Kakang, jika kau ingin mencari hubungan di kadipaten Japanan ini, carilah seorang pedagang kuda di pusat kota. Namanya ki Ganjur, ia masih kerabat jauhku." kata Menak Raung.
"O baik, terima kasih adi."
Di luar rumah, suara jangkrik dan bermacam serangga malam riuh terdengar. Agak di kejauhan suara kodok bangkak terdengar begitu keras, sebuah suara untuk menarik pasangannya. Dan malam yang larut semakin memuncak ketitiknya.
Sementara itu di suatu tempat yang berjarak ratusan tombak, di bawah lereng gunung penanggungan, suasana gembira memenuhi ruangan di bangunan utama pertapaan Pucangan.
Resi Puspanaga dengan ditemani empu Citrasena dan Sabdho, menyambut kedatangan ki Mahesa Anabrang, Palon dan Arya Dipa.
Usai menanyakan kabar masing - masing dan kesehatan, maka pembicaraan berlanjut dengan kelakar ringan.
"Ah malam sudah semakin larut, lebih baik kalian membersihkan badan kalian di pakiwan dan beristirah di gandok kiri." ucap resi Puspanaga.
"Baik, resi." sahut ki Mahesa Anabrang.
Ketiga orang yang baru tiba dari kadipaten Prana Raga itu kemudian berdiri dan beranjak ke pakiwan.
Ketika Arya Dipa berjalan paling belakang, resi Puspanaga memerhatikan punggung anak remaja itu.
"Empu Citrasena, itulah anak yang aku ceritakan."
"Maksud resi, anak yang kau temukan disamping suami istri yang sudah tak bernyawa di puncak gunung Bancak itu.?" tanya empu Citrasena.
"Iya, empu.Kasihan anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan Jambul Kuning, kakek anak itu sendiri."
"Memang begawan satu ini sering berubah - ubah wataknya. Aku sendiri pernah di selamatkan oleh begawan Jambul Kuning, tapi di lain waktu aku pun hampir mati ditangan orang sakti itu. Apakah resi Puspanaga bertemu dengan orang itu.?"
"Iya, kami bertarung seharian penuh. Dan anehnya, yang membuat kami berhenti bertarung karena mendengar tangis bayi Arya Dipa. Dan begawan Jambul kuning kembali berubah wataknya menjadi seorang yang berhati baik dan memungut cucunya itu." kata resi Puspanaga.
Mendengar itu, empu Citrasena hanya menghela napas dan manggut - manggut, begitu juga dengan Sabdho.
"Lalu ketika ia memandang anak dan menantunya, ia bertanya, mengapa keduanya diam.Tentu saja aku menceritakan kejadian sebenarnya, kalau ialah yang membunuhnya. Perasaan sedih yang tak terhingga telah memenuhi hati begawan itu dan ia pun menyerahkan bayi yang berada di pelukannya kepadaku, lalu dengan cepatnya orang itu menyambar kedua anak menantunya dibawa pergi dari puncak gunung Bancak. Namun lama aku menunggu, orang itu tak kunjung tiba, maka aku pun pergi dari tempat itu dan membawa bayi Dipa dan aku serahkan kepada ki Mahesa Anabrang." tutur resi Puspanaga.
"Dan semenjak itu aku belum berjumpa dengan begawan Jambul Kuning, O ya empu apakah bahan besi itu sudah berbentuk.?"
"Bahan itu sulit ditempa, resi. Malam ini aku akan melakukan semedi, mudah - mudahan mendapat kemudahan." jawab empu Citrasena.
"Baiklah aku pun akan menemani empu."
"Terima kasih, resi."
jilid 2 bag 6
Oleh : Marzuki
.......................
Suasana yang hening itu menambah pemusatan nalar budi empu Citrasena dan resi Puspanaga untuk melakukan lelaku khusus dalam langkah memperlancar pembuatan sebuah wesi aji menjadi senjata untuk menunjang si pemakai benda itu, semakin dalam. Dua orang yang linuwih dalam penguasaan ilmu yang merambah ke kedalaman diri itu, berusaha sekuat tenaga dengan memasrahkan kekerdilan jiwa, kehadapan Yang Maha Agung, agar supaya mendapat tuntunan dan pertolongan berupa kemudahan dalam mewujudkan sesuatu yang mereka inginkan.
Sementara itu, di gandok yang sudah dipersiapkan untuk Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, keduanya segera merebahkan tubuh mereka yang terasa letih akibat perjalanan siangnya. Sedangkan Palon dan Sabdho, keduanya duduk di amben dalam biliknya.
"Tidurlah kakang, perjalananmu mungkin menguras tenaga kakang." desis Sabdho.
"Tubuhku sudah merasa segar, setelah tadi tersiram dinginnya air dari sumber patirtan itu." sahut Palon, sambil menyeruput wedang sere.
"O ya kakang, coba ceritakan perjalanan kakang menuju tlatah wengker itu, pasti menyenangkan, bukan.?"
"Hahaha, menyenangkan bagaimana.? aku hampir mati di tangan orang tua gerombolan dari alas Saradan."
"Gerombolan alas Saradan.?" ulang Sabdho.
"Benar, mereka menyebut raja yang menguasai alas yang berada di tlatah Segaten itu." kata Palon.
"Siapa mereka kakang.?" kejar Sabdho.
"Namanya Suro Adikara yang merupakan anak ki Menak Sriti dari padepokan Blambangan." jawab Palon, lalu lanjutnya, "Untungnya seorang kakek yang memimpin padepokan Kali Bening, ikut membantuku."
"Maksud kakang, kyai Bagor.?"
"Iya, dengan murit tertuanya, Putut Lesmana."
Tak terasa waktu mendekati dini hari.
"Kakang, beristirahatlah meskipun barang sejenak. Aku akan keluar untuk memastikan pertapaan aman." ucap Sabdho, yang melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Baiklah."
Dan suara derit pintu terdengar terbuka, dan kembali tertutup setelah salah satu punakawan resi Puspanaga, keluar dari bilik itu.
............
Pagi itu merupakan pertama kalinya, Arya Dipa menghirup segarnya udara lereng gunung Penanggungan. Remaja itu dengan riang berjalan ke arah pakiwan dan sesampainya di pakiwan, segera ia mengerek tali senggot dan menuangkan ke dalam padasan di pakiwan.
Setelah dirasa penuh maka remaja itu akan memasuki pakiwan itu, tapi betapa terkejutnya ketika seseorang mengguyur air dari dalam pakiwan.
"Hee, jangan kurang ajar.!" bentak sebuah suara dari dalam pakiwan.
"Ooo, maaf - maaf aku tak tahu." kata Dipa, yang langsung mengurungkan niatnya dan berdiri agak jauh dari pintu pakiwan.
Sesaat kemudian seorang gadis keluar dari pakiwan dengan wajah merengut dan langsung menghajar Dipa dengan perkataan.
"Sungguh aku tak tahu jika kau berada di dalam, aku berani beraumpah." kata Dipa.
"Ah dasar hidung belang, masih kecil saja sudah begitu, kau pantas mendapat tamparan." balas gadis remaja itu, yang tak lain Ayu Andini.
Benar saja, sebuah tamparan dengan cepat mengarah Dipa. Karena Dipa tak mengerti ilmu kanuragan, maka tamparan Ayu Andini tepat mengenai pipinya.
"Aduuh...!" keluh Dipa.
"Ooh, mengapa kau tak menghindar.?" tanya Ayu Andini, yang menyesali perbuatannya setelah tamparannya tak bisa dihindari remaja di depannya.
"Bagaimana aku menghindar, tanganmu begitu cepat seperti angin." sahut Dipa,yang masih mengusap - usap pipinya.
"Maaf, tapi apa benar kau tak tahu jika aku berada di dalam.?" ucap Ayu Andini yang kemudian masih bertanya.
"Sungguh demi yang Maha Agung, bila aku berbohong aku siap diceburkan dalam sumur."
"Benar, kau berani diceburkan dalam sumur..?"
"E...e..itu.." suara Dipa terputus - putus.
"Yee....dasar, ya sudah, aku tidak sungguh - sungguh kok." kata Ayu Andini, sambil tersenyum.
Arya Dipa merasa lega, mengetahui hati gadis itu melunak.
"Oh kalian disini, apakah kalian sudah saling mengenal.?" tegur resi Puspanaga.
Kedua anak remaja itu saling menggelengkan kepala mereka.
"Baiklah, Dipa ini Ayu Andini, putri dari empu Citrasena." kata resi Puspanaga, memperkenalkan.
"Dan Andini, anak yang berada di sampingmu ini Arya Dipa, tadi malam ia bersama ayahnya ki Mahesa Anabrang, baru tiba dari telatah Prana Raga." lanjut resi Penanggungan.
Sesaat keduanya saling pandang, namun keduanya dengan cepat menunduk malu.
"Ada apa dengan kalian.?" tanya resi Puspanaga, tersenyum.
"Tidak apa - apa, eyang." sahut keduanya, bersamaan.
"Hahaha, jawaban kalian kompak, kalian ternyata cepat akrab. Baiklah aku akan kehalaman depan." kata pemimpin pertapaan itu, dan meninggalkan kedua remaja itu.
Setelah kepergian resi Puspanaga, keduanya masih berdiri mematung.
"Maafkan aku tadi, kakang." desis lirih Ayu Andini.
"Aku pun juga begitu, Ayu. Yang dengan sembrono memasuki pakiwan."
"Ah sudahlah, aku duluan kakang."
"I..iya Ayu."
Ayu Andini kemudian beranjak dari pakiwan menuju gandok yang ia tempati. Sementara itu, Dipa masih memandang belakanv punggung gadis yang sudah menampar pipinya, hingga bayangan tubuh gadis itu tak tampak.
jilid 2 bag 7
Oleh : Marzuki
.
"Wah anak gadis itu sangat perkasa, tanganya bagaikan besi gligen." desis Arya Dipa, sambil masih mengusap - usap pipinya yang kena tampar Ayu Andini.
"Mungkin jika marahnya tak cepat reda, mungkin aku sudah lumat, hehehe..." lanjut remaja itu, yang kemudian melangkahkan kakinya ke pakiwan.
Tak lama kemudian, suara guyuran air pun terdengar dari dalam pakiwan.
Sementara itu di ruang depan, tampak ki Mahesa Anabrang dan empu Citrasena duduk beralaskan tikar mendong.
"Apakah Dipa belum bangun, ki Mahesa.?"
"Sudah, empu. Mungkin ia berada di pakiwan." sahut ki Mahesa Anabrang.
Orang tua dari candi Tegowangi itu manggut - manggut, ia masih teringat dengan cerita yang dituturkan oleh resi Puspanaga.
"Ki Mahesa Anabrang, apakah kau pernah mengatakan sebenarnya kalau anak itu cucu begawan Jambul Kuning.?" tanya empu Citrasena.
"Begitulah, empu. Namun aku tak mengatakan jika sebenarnya anak itu pun juga merupakan cucu tumenggung Lembu Kumbara."
"Ah.... benarkah itu, ki Mahesa.?" ucap empu Citrasena, kaget.
Ki Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Pantas wajah anak itu mirip dengan senopati Demak yang berjuluk banteng Bintoro itu."
"Benar empu Citrasena, ki tumenggung Lembu Kumbara dalam medan perang selalu berhasil membuat lawan - lawannya kecut dan ia pun disegani oleh kawan - kawanya, sehingga ia dekat dengan Sultan Jimbun." kata ki Mahesa Anabrang.
"Namun ketika ia mendengar putri tunggalnya tewas bersama suaminya, maka ia pun mendadak sakit dan menemui ajalnya." lanjut ki Mahesa Anabrang, "Karena itulah Arya Dipa sampai sekarang aku rawat dan aku anggap anak sendiri."
"Oh jadi ki Mahesa sebenarnya berniat mengembalikan anak itu kepada eyangnya.?"
"Iya, empu."
Keduanya memadang halaman yang penuh dengan bermacam - macam bunga, walau sebenarnya keduanya merasa kasihan terhadap anak yang sebenarnya keturunan bangsawan Demak, dan kini sebatang kara. Sedangkan kakek yang satunya, tak diketahui keberadaannya danjika tahu pun, masih di sangsikan kejiwaan kakek yang selalu berubah - ubah tabiatnya.
"Ah, aku tinggal dulu ki Mahesa. Hari ini aku akan memulai penempaan." kata empu Citrasena, yang berdiri dari duduknya.
"Silahkan empu, aku pun juga ingin menemui Dipa."
........
"Dipa, mari kita menghadap resi Puspanaga." ajak ki Mahesa Anabrang.
"Mari ayah."
Keduanya kemudian melangkahkan kaki mereka ke sanggar pertapaan Pucangan.
Dari dalam sanggar, resi Puspanaga yang menunggu kedatangan ki Mahesa Anabrang dan anak angkatnya itu, segera mempersilahkan keduanya, saat keduanya mengetuk pintu sanggar itu.
"Baiklah, sekarang aku ingin mengatakan kepada kalian berdua, khususnya angger Dipa." kata resi Puspanaga, mengawali perkataannya.
jilid 2 bag 8
oleh : Marzuki
........
Dengan sungguh - sungguh Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, menunggu apa yang akan dikatakan oleh orang tua dari pertapaan Pucangan itu. Suara hening untuk beberapa saat dan hanya desir halus angin saja yang terdengar.
Perlahan resi Puspanaga berkata, "Arya Dipa, bukankah kau mengetahui jika ki Mahesa Anabrang ini hanyalah ayah angkatmu.?"
Mendengar pertanyaan itu, Dipa mengangkat kepalanya dan memandang orang tua itu dan kembali menundukkan kepalanya.
"Benar, Eyang. Ayah Mahesa sudah menjelaskan mengenai jati diriku sejak lima tahun yang lalu, kalau diriku ini anak dari ayah Arya Wila dan ibu Retnowati, dan kakekku seorang begawan dari gunung Bancak, eyang begawan Jambul Kuning, orang tua dari ayah Arya Wila." kata Dipa, yang tampak sayu menahan kesedihan.
Melihat keadaan putra angkatnya itu, ki Mahesa Anabrang memegang pundak remaja itu.
"Tabahkan hatimu, bukan maksud eyangmu mengingatkan kesedihan yang telah berlalu itu."
Dipa remaja hanya mengangguk perlahan, dan sekuat tenaga menahan air matanya yang ingin menyeruak keluar.
"Kepahitan anak ini memang begitu besar, bila yang membunuh orang tuanya itu orang lain, mungkin masih bisa ia menuntut balas dengan hati yang ringan. Tapi kenyataanya, eyangnya sendiri yang berbuat begitu." desis resi Puspanaga dalam hati.
"Ngger cah bagus, tabahkan hatimu dan sekali lagi aku akan bertanya. Jika suatu hari kau bertemu dengan eyangmu dan dirimu mempunyai ilmu kanuragan yang sundul langit, apa yang akan kau perbuat.?"
Pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong, di telinga ki Mahesa Anabrang. Orang tua angkat Arya Dipa itu tak mengetahui apa yang ada dalam hati pertapa Pucangan itu, hingga meluncurkan pertanyaan yang bisa - bisa menimbulkan sesuatu yang diinginkan dan mempengaruhi jiwani Dipa.
Di sampingnya, Dipa menunduk semakin dalam. Kematian ayah dan ibunya ditangan kakeknya sendiri merupakan pukulan yang begitu berat. Ingin rasanya bila ia memang mempunyai ilmu kanuragan, maka tentu saja ia akan membalas dendam. Tapi dalam hatinya berkata lain.
"Bila keinginanku terwujud dan bisa membunuh kakekku, apakah aku tak ada bedanya dengan perbuatan kotor yang dilakukan oleh kakekku..? Dan apakah ayah dan ibuku akan hidup kembali..? Ah tidak..tidak..tidak, aku harus menyirnakan niat buruk itu..!"
Dan anak itu pun mengangkat kepalanya perlahan, terlihat senyum mengembang menghiasi bibir remaja itu.
"Tidak eyang, mengapa aku harus mengulang kembali pembunuhan yang dilakukan oleh eyang begawan Jambul Kuning.? Bila aku berbuat seprti itu, tentu aku pun akan terkutuk seumur hidupku dan mendapatkan karma yang serupa."
Jawaban itu bagaikan siraman air yang sangar sejuk di hati resi Puspanaga dan tentunya ki Mahesa Anabrang, yang tak menyangka ternyata jiwani remaja di sampingnya berjiwa ksatria.Karena itu secara naluri maka Dipa telah ia peluk dengan eratnya.
Suasana keharuan itu terasa menyejukkan ruang sanggar Pucangan, hingga kemudian resi Puspanaga mendehem.
"Semoga yang kau katakan itu terus tersimpan dalam sanubarimu, ngger. Sekarang mendekatlah dan menghadap ke arah ayahmu."
Dipa pun menggeser duduknya hingga mendekat tempat duduk resi Puspanaga, lalu tak lupa menghadap ke arah ayahnya.
Setelah itu resi Puspanaga menyingkap pakaian Dipa tepat di tengah punggungnya.
"Ternyata benar, tanda cakra ini sama persis dalam kitab Cakra Peksi Jatayu." desis perlahan resi Puspanaga.
"Kitab Cakra Peksi Jatayu..." ulang ki Mahesa Anabrang.
Dan pakaian itu pun kembali di turunkan.
"Ki Mahesa Anabrang mengetahui kitab itu.?"
"Ceritanya panjang resi." jawab ki Mahesa Anabrang, yang kemudain menceritakan pengalaman yang dirasanya sangat aneh itu.
Orang tua dari Penanggungan itu mendengar dengan seksama, yang kadang manggut bila cerita itu menyinggung sebuah burung yang bermahkota, lalu tampak tegang manakala burung itu mencuit dan suara cuitannya mengakibatkan getaran layaknya aji Gelap Ngampar dan kepakan sayapnya bagaikan angin Prahara. Dan ketika ki Mahesa Anbrang menyebut putra prabu Mahendradatta, maka semakin teguhlah hati resi Puspanaga, bahwa Dipalah anak pilihan itu.
"Begitulah resi Puspanaga." kata ki Mahesa Anabrang, mengakhiri ceritanya.
Mendengar penuturan itu, Dipa tampak bingung. Apakah benar bahwa bayangan seekor burung raksasa itu kelur dari ubun - ubunnya.
"Syukurlah, ternyata hyang widi memberikan kemudahan kepadaku." ucap resi Puspanaga.
"Semua itu benar ki Mahesa, memang Dipa inilah yang mendapat karunia dan sekaligus ujian dalam masa peralihan ini." kembali resi Puspanaga berkata.
"Dipa, apakah kau siap mengabdikan dirimu untuk berusaha berbuat kebajikan di atas buana ini..?" tanya resi Puspanaga.
Remaja itu tampak bingung, itu terlihat dari tatapan matanya.
"Hahaha, betapa bodohnya aku. Maafkan eyangmu ini Dipa, lupakan pertanyaanku tadi, kini aku ingin dirimu mempelajari sebuah kitab. Mau kah kau..?"
Mendengar kalau dirinya ditawari untuk mempelajari kitab, Dipa mengganggukkan kepalanya.
"Baiklah sebentar aku akan mengambil kitab itu." kata resi Puspanaga, sambil bergerak berdiri dan mengambil sebuah kitab yang terbungkus kain mori putih dan ia bawa kembali ke tengah sanggar.
jilid 2 bag 9
oleh : Marzuki
.........
Pandangan dua pasang mata itu tak lepas dari bungkusan kain mori itu.
"Inilah kitab Cakra Paksi Jatayu." ucap resi Puspanaga, sambil menaruh dihadapan mereka bertiga.
Dengan pelan bungkusan itu dibuka oleh resi Puspanaga, Sebuah kitab dari kulit binatang dengan gambar burung garuda bermahkota yang mengepakkan kedua sayapnya dengan sebuah lingkaran berbentuk cakra melingkari burung itu.
"Sungguh simbol yang begitu menakjubkan." desia ki Mahesa Anabrang.
Kini resi dari penanggungan itu membuka halaman pertama, yang berisi sebuah petunjuk orang yang bisa mempelajari kitab itu. Yaitu seorang yang berjiwa sabar jauh dari dendam dan mempunyai simbol garuda bermahkota dalam lingkaran cakra.
"Bacalah ki Mahesa, bukankah Dipa memenuhi syarat ini." kata resi Penanggungan, kepada ki Mahesa Anabrang.
Maka ki Mahesa Anabrang pun membaca tulisan Sansekerta itu, dan ia pun menggangguk - anggukkan kepalanya.
"Kau beruntung Dipa, ternyata dirimu berjodoh dengan kitab ini." ucap ki Mahesa Anabrang.
Arya Dipa hanya diam membisu dan pandangannya terus tertuju ke kitab itu.
Kembali resi Puspanaga membuka halaman selanjutnya, tapi di halaman selanjutnya kosong, dan ini membuat ki Mahesa Anabrang mengerutkan keningnya, tapi ia diam saja.
Lembaran demi lembaran terbuka, namun tetap kosong sampai halaman terakhir.
"Maaf resi, mengapa kitab itu berisi tulisan hanya selembar saja dan itupun hanya petunjuk seseorang yang bisa mempelajari kitab ini.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang tak bisa menahan keheranannya.
Tapi resi Puspanaga hanya tersenyum saja dan memandang Dipa, seraya membuka halaman ketiga yang menurut ki Mahesa Anabrang kosong.
"Apa yang kau lihat, ngger.?"
"Gambar seorang yang kakinya merenggang dan kedua tangannya membentuk siku - siku di samping badannya, dengan jari - jari mengepal." jawab Dipa.
"Hanya itu saja.?" kembali resi Pusanaga bertanya.
"Tidak eyang, masih ada sembilan gambar lainnya yang menggambarkan sebuah tata gerak."
Mendengar penjelasan putra angkatnya, ki Mahesa Anabrang termangu keheranan.
"Hahaha.. kau mendengar sendiri ki Mahesa.? Hanya orang terpilihlah yang mampu melihat isi kitab ini."
"Dan resi.?"
"Aku pun juga tak dapat melihatnya." sahut resi Puspanaga, yang menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apakah Dipa akan mempelajari sendiri kitab ini tanpa adanya seorang yang menuntunnya.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Aku akan berusaha mendapinginya dengan mengamati dan memberinya nasehat - nasehat." janji resi Puspanaga.
"Syukurlah kalau begitu." kata ki Mahesa Anabrang, dengan wajah lega.
"Baiklah, besok kita akan memulainya. Hari sudah semakin siang, mungkin Palon dan Sabdho sudah mempersiapkan makan siang." kata resi Puspanaga.
Dan ketiganya beranjak keluar sanggar, setelah sebelumnya resi Puspanaga menyimpan kembali kitab Cakra Paksi Jatayu ditempat yang dirasa aman.
.......
Sementara itu di padepokan Lemah Jenar, ki Ajar Lodaya sedang menerima tamunya, yaitu Menak Raung, lurah prajurit kadipaten Puger.
"Bagaimana kabar kakak seperguruanmu itu, anak mas.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Atas doa dari ki Ajar, kakang dalam keadaan sehat, ki Ajar. Dan kedatanganku kemari karena permintaan dari kakang Sawung Rana, yang kini berada di kadipaten Japanan."
"Oh begitu, tapi pesannya nanti saja, lebih baik anak mas menikmati makan malam dahulu."
"Terima kasih ki Ajar, tapi....." ucap lurah Menak Raung, yang tak selesai.
"Anakmas, tolonglah walau makanan ini hanyalah makanan desa, tapi janganlah kau tolak." kata ki Ajar Lodaya, sambil menggamit lurah muda itu.
Karena tak ingin membuat sahabat kakak seperguruannya itu kecewa, maka lurah Menak Raung mengikuti ki Ajar Lodaya ke ruang dalam. Yang ternyata di situ telah tersedia hidangan malam yang menggugah selera.
Setelah jamuan itu selesai, mereka pun kembali ke pendopo padepokan. Ternyata tak jauh dari pendopo, seorang putut sedang menuntun beberapa cantrik dalam olah kanuragan.
"Ternyata mereka sangat terampil dan cekatan, ki Ajar." puji lurah Menak Raung.
"Hahaha mereka hanya pandai meloncat - lancat saja, anakmas. Masih kalah jauh di bandingkan dengan perguruan yang di pimpin oleh ki Ajar Bajulpati." sahut ki Ajar Lodaya, merendah.
"Hahaha ki Ajar Lodaya dan guru merupakan orang pinunjul di bang wetan ini, mungkin ilmu ki Ajar dan guru imbang."
"Tidak anakmas, waktu muda dulu aku kalah telak oleh ki Ajar Bajulpati, hingga aku mengalami luka dalam yang parah, untunglah ki Ajar Bajulpati berbaik hati kepadaku dengan merawatku sampai luka itu sembuh. Dan beberapa tahun kemudian, saat aku berhadapan dengan ki rangga Sawung Rana, hasilnya imbang." tutur pemimpin Lemah jenar itu.
Lurah Menak Raung manggut - manggut, pikirannya melayang ke masa lalu, di mana gurunya ki Ajar Bajulpati yang masih berdiam di timur alas Baluran.
"Jika guru tidak pergi, mungkin kakang dan aku akan menjadi orang yang pilih tanding." desis lurah Menak Raung.
Melihat tamunya melamun, ki Ajar Lodaya mendehem hingga membuat lurah Menak Raung menyadari.
"Maaf ki Ajar."
"Tak apa anakmas, aku tahu kalau anakmas sedang merindukan ki Ajar Bajulpati, yang kini tak tahu rimbanya."
"Begitulah ki Ajar. Oh ya ki Ajar mengenai pesan dari kakang Sawung Rana, ia mengatakan jika ia bertemu dengan seseorang yang bernama Palon." kata lurah Menak Raung.
"He..." Orang tua itu tampak kaget.
"Benarkah itu, anakmas.?" tanya orang tua itu, tak percaya pendengarannya.
"Benar, ki Ajar. Mungkin saat ini orang yang bernama Palon itu berada di Japanan."
Keterkejutan orang tua pemimpin padepokan Lemah Jenar itu berangsur - angsur berubah menjadi kegembiraan, namun ia berusaha tak memperlihatkan kepada tamunya itu.
"Terima kasih, anakmas. Syukurlah anak itu bisa di temukan." ucap ki Ajar Lodaya.
Dan pembicaraan demi pembicaran terus berlanjut hingga wayah sepi wong. Lalu ki Ajar Lodaya mempersilahkan tamunya itu beristirahat di bilik yang telah dipersiapkan.
Sayup sayup suara binatang malam mulai terdengar dengan irama yang semestinya. Malam yang begitu gelap karena mendung yang begitu tebal, mendung yang mengandung uap air laut dan akan kembali menetesi bumi ini.
jilid 2 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.....
Loncatan demi loncatan dilakukan oleh Arya Dipa, di bebatuan yang berserakan belakang pertapaan Pucangan. Atas tuntunan dari resi Puspanaga yang bersumber dari kitab Cakra Paksi Jatayu, dalam sepekan ini sudah menampakkan perkembangan yang pesat.
Walau tubuh anak itu sudah berkucuran keringat, namun anak itu tak menampakkan keletihan sedikitpun.
"Sungguh tak kusanggka anak ini mempunyai tenaga yang begitu besar.." desis rasi Puspanaga, memuji tenaga Arya Dipa.
Tubuh Dipa dengan entengnya berjumpalitan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Di suatu saat, ketika kaki itu menginjak batu sebesar anak kerbau, batu itu ambles beberapa kilan kedalam tanah.
"Oh Bathoro agung.." gumam resi Puspanaga.
"Cukup ngger.!" teriak resi Puspanaga, menghentikan latihan Dipa.
Anak remaja itu dengan perlahan menata pernapasannya untuk memulihkan kembali tenaganya yang terkuras dalam latihan, lalu ia melangkah menghampiri orang tua penunggu pertapaan Pucangan di lereng gunung Penanggungan tersebut.
Orang tua itu tersenyum dam menepuk pundak Dipa perlahan.
"Ternyata kau mempunyai bakat yang bagus dalam olah kanuragan, ngger." ucap resi Puspanaga.
"Terima kasih, eyang, ini semua atas kemurahan eyang dalam menuntun cucu eyang ini." jawab Dipa.
"Hahaha..aku senang mendengarkan itu, tetap jagalah sifat rendah diri dalam tubuhmu, dan jangan mudah menepuk dada." kata resi Puspanaga.
"Ingatlah, ilmu itu hanyalah titipan dari Yang Kuasa semata dan hendaknya digunakan untuk kebenaran yang hakiki saja, ngger." kata orang tua itu lagi dengan sareh.
"Terima kasih, eyang. Semua petuah dari eyang akan senantiasa cucu ingat dan lakukan."
Orang tua itu lalu membalikkan badan dan berjalan ke gubuk pinggir kolam, yang di ikuti oleh Dipa. Keduanya duduk dengan pandangan menghadap kolam yang dihuni beberapa ikan.
"Dipa, coba kau buka lembar selanjutnya dari kitab itu." perintah resi Pusanaga.
"Iya, eyang."
Dalam lembaran itu, menurut penglihatan Dipa terdapat lukisan seseorang yang bertarung dengan ular besar yang mempunyai jampang dikedua sisi kepalanya.
"Apa yang kau lihat, Dipa.?"
"Dalam lembaran ini, menggambarkan seseorang yang bertarung dengan seekor ular, Eyang." jawab Dipa.
"Ular.?"
"Begitulah, eyang. Dan anehnya ular ini mempunyan jampang dikedua sisi kepalanya? yang mirip sebuah telinga."
"Ah benarkah itu..? apakah ada petunjuk lainnya dalam lembaran itu.?" tanya resi Puspanaga.
Ternyata di bawahnya terdapat aksara yang menerangkan lukisan itu.
"Di arah terbenamnya sang surya, sebuah lubang di atas bukit menganga dalam lindungan sang Boga Dentha...." ucap Dipa, "begitulah eyang, penjelasan aksara itu."
Orang tua itu mengerutkan keningnya, memikirkan aksara yang tentunya mempunyai sebuah makna.
"Arah terbenamnya sang surya, itu arah barat dan sebuah lubang di atas bukit, apakah itu gua..?"
"Sang Boga Dentha, mempunyai kemiripan dengan hyang Anta Boga, Dewa berwujud naga. Mungkinkah itu.....?"
"Ada apa, eyang.?" tanya Dipa, keheranan .
Resi Puspanaga mengangkat kepalanya dan memejamkan mata sesaat dan kembali membuka matanya.
"Ngger ini merupakan ujian pertama yang akan kau terima, dan taruhannya iyalah nyawamu. Apakah kau siap.?"
Tampak wajah Dipa menegang sesaat, namun wajah itu kembali tenang.
"Aku akan selalu berusaha, eyang. Bila memang Yang Maha Agung menakdirkan diri ini mati saat inipun, walau tak berada dalam medan tempur, nyawa ini tentu akan kembali kehadapanNya. Dan bila Sang Kuasa berkehendak baik, maka diri ini akan mendapat lindungannya."
Orang tua itu tak kuasa memeluk tubuh kokoh itu.
"Bagus, ngger. Besok kita akan melanjutkan pendadaran yang akan kau lalui." kata resi Puspanaga.
Ikan dalam kolam berenang kian kemari tanpa menghiraukan adanya dua orang yang duduk di gubuk itu. Warna - warni ditubuhnya membuat orang yang melihat akan mengagumi. Apalagi jika tubuh itu dibakar ataupu dimasak dengan cara lainnya, tentu akan mendatangkan manfaat bagi yang melahapnya, itulah ciptaaan dari Yang Maha Agung.
jilid 2 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.........
Di tengah malam yang begitu dingin itu, tiga sosok bayangan orang melangkahkan kaki ke arah barat pertapaan Pucangan. Ketiganya walau di kegelapan malam dan rimbunnya semak tanpa kesulitan melangkahkan kaki dengan cepat.
Tanpa terasa tempat yang dituju yang berjarak ratusan tombak itu telah sampai. Di depan mereka kini banyak ditumbuhi beraneka macam tumbuhan empon - empon dan sejenisnya. Dan bila dicermati dengan tajamnya panca indra, berjarak lima langkah, terdengar desis hewan melata.
"Ular.." desis ki Mahesa Anabrang.
"Tak hanya satu ki, di sana pun juga ada." sahut resi Puspanaga, sambil menunjuk ular yang berwarna belang.
Mengetahui banyaknya ular - ular yang berada di depannya itu, tengkuk Dipa meremang.
"Dipa kami hanya bisa mengantarmu sampai disini, kini kau harus berjalan ke depan sampai kau menemukan mulut gua itu. Semuanya tergantung tekad dan keberununganmu." ucap resi Puspanaga.
Anak remaja itu hanya menganggungkan kepalanya.
"Berdo'alah kepada Hyang Agung, supaya mendapat lindungannya dan bisa menyelesaikan lakumu yang pertama ini." lanjut orang tua dari gunung Penanggungan itu.
"Baik eyang, aku mohon restunya." kata Dipa, lalu menghadap ayah angkatnya, "Ayah, akupun juga meminta pangestu dari ayah."
"Terimalah pangestu kami, ngger."
Setelah meminta restu dari eyang resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang, maka Dipa berbalik badan dan melangkahkan kakinya.
Tiga langkah kemudian, kaki Dipa telah menotol tanah sehingga membuat tubuhnya membal keatas dan melewati beberapa ular berbisa. Atas keuletan selama sepekan ini mampu membuat tubuh anak remaja itu seringan kapas layaknya sang garuda mengarungi dirgantara.
Ki Mahesa Anabrang yang memperhatikan gerak anak angkatnya itu, terkagum - kagum. Ternyata ilmu peringan tubuh anaknya itu, telah berada di atasnya.
Sementara itu, Dipa dengan cermat dan tangkas, selalu melompat dari batu ataupun batang pohon kesatu ke lainnya untuk menghindari marabahaya dari bisa ular yang begitu banyaknya, hingga sampai di tanah rerumputan berbatasan gerumbul tinggi
Anehnya di tanah rerumputan itu, tiada satupun ular yang berani mendekatinya. Dengan wajah termangu - mangu Dipa memperhatikan ular - ular yang hanya berdesis tanpa mengganggunya. Lalu Dipa membalikkan badannya dan menghadap rerimbunnya gerumbul.
"Aneh, di sini tak ada lubang pintu gua." desis Dipa, perlahan.
Sekian lama memperhatikan dan dengan menyibak rerimbunan gerumbul itu menggunakan tangannya, akhirnya lubang mulut gua itu nampak.
Sebuah mulut gua yang tak terlalu besar membuat Dipa kembali melangkahkan kakinya dengan hati - hati dan perlahan.
Gelap yang begitu pekat tak menyurutkan tekad dihati Arya Dipa, walau agak sulit dalam melangkahkan kakinya ia terus maju ke depan.
Saat melangkahkan kakinya beberapa tindak, Dipa mendengarkan desis yang keras dari dalam gua.
"Mungkinkah itu yang dimaksud dengan Anta Denta itu.?" ucapnya dalam hati.
Kembali suara itu kembali terdengar, dan kini semakin keras.
"Duh Gusti Agung, berikanlah hambamu ini kekuatan dan ketabahan untuk menuntaskan lelaku ini." do'a Dipa dalam hati.
Langkahnya kini semakin dalam yang ternyata sampai di tikungan gua.Dari situ, lamat - lamat terlihat seekor ular besar mengerikan.
Badan ular bersisik merah dengan ekor melingkar, lalu diatas kepalanya nampak tanduk bercabang, layaknya tanduk rusa. Kedua sisi kepala terdapat jampang kuning keemasan dan mata yang terpejam
"Apakah ini kenyataan ataukah hanya mimpi...?" desis Dipa, seraya mengucek - ucek matanya.
"Ah ini memang nyata..." sanggahnya.
Di awali dengan kepasrahan kepada sang Agung, kembali Dipa mencoba melangkahkan kakinya lebih dekat lagi.
Tiba - tiba ular itu telah bergerak meregangkan lilitan ekornya, dan kembali terdiam tanpa membuka matanya.
Jantung Dipa yang berdetak kencang itu, agak lega manakala menyaksikan ular itu kembali terdiam.
"Kelihatannya, ular itu sedang menjaga sesuatu di balik badannya. Tadi di saat ia mereganggkan ekornya, tampak sesuatu di mataku." ucapnya dalam hati.
jilid 2 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.........
Sesungguhnya di balik tubuh naga itu, tumbuh sebuah tanaman ajaib yang selalu direbutkan oleh semua makhluk. Itu terbukti dari adanya tulang - tulang kerangka yang berserakan di sekitar dalam gua itu, entah itu dari kalangan manusia atau hewan.
Ular itu kembali bergerak walau hanya sesaat. Dan Dipa sangat yakin dengan apa yang ada di balik ular raksasa itu.
Segera anak itu memutar otak untuk memancing ular sebesar batang kelapa itu meninggalkan tumbuhan yang ia tunggu. Karena itu, Dipa memungut sebutir kerikil dan dengan tenaga penuh, kerikil itu ia sentilkan ke arah kepala naga.
Begitu derasnya laju kerikil mengarah tepat di tengah dahi ular raksasa itu, hingga membuat ular itu membuka matanya dan dengan keras mendesis penuh kemarahan.
Sorot mata sang ular begitu tajam mengarah anak remaja yang telah berani memasuki dan bahkan mengganggunya. Tubuh ular itu menggeliat begitu hebat, dan ekornya dengan ganas menyabet tubuh anak manusia yang berada di depannya.
Tapi datangnya serangan dari ekor ular itu sudah dierkirakan oleh Arya Dipa. Kakinya segera bergeser kebelakang beberapa tindak, lalu menotol tanah untuk melambungkan tubuhnya kebelakang dan berhenti di depan mulut gua.
Mengetahui mangsanya bisa dengan mudah menghindari serangan ekornya, ular jampang bersisik merah itu marah bukan kepalang. Kembali ekor itu menyabet seonggok tanah yang padat di depannya, hingga membuat onggokan tanah padat itu mencelat kearah Dipa.
Sungguh kecepatan lesatan onggokan tanah padat itu melampaui pemikiran orang awam. Tapi itu tak membuat Dipa kehilangan akal, ia tetap dalam keseimbangan nalar dan dengan tenang menggulingkan badannya untuk menghindari cipratan tanah padat itu.
Dan tanah itu melaju terus hingga mengenai gerumbul semak di depan gua. Pemandangan mendebarkan terlihat dari akibat tanah itu, gerumbul itu rusak parah tak karuan. Mungkin jika onggokan tanah padat itu mengenai manusia yang terdiri dari seonggok daging, bisa dipastikan tubuh itu akan mengalami luka arang kranjang.
Tubuh Dipa kini sudah bertumpu dengan kakinya kembali dan suap menghadapi ular yang mungkin juga disebut naga itu. Supaya mendapat tempat yang luas dan menguntungkan, anak angkat ki Mahesa Anabrang itu menggeser kakinya ke tanah yang agak lapang dan supaya ular itu terpancing keluar dari gua yang berbentuk siku itu.
Desisan yang panjang dan keras sering terdengar seiring kemarahan sang ular naga yang merasa diganggu oleh mahkluk berkaki dua. Gesekan badan ular itu cukup membuat tanah yang dilewati meninggalkan bekas panjang sedalam satu kilan orang dewasa.
Sesampai ular naga itu berada di luar gua, ular naga yang disebut Anta Denta dalam kitab Cakra Paksi Jatayu itu, mengamuk dengan mengibaskan ekornya mengarah Dipa. kibasan demi kibasan itu membuat tumbuhan yang terjangkau dari serangan dahsyat itu, porak poranda.
Hal itu juga membuat beberapa ular yang mulanya berada di sekitar gua itu, tunggang langgang menjauhi pertempuran di tengah malam dan berada di punggung gunung Penanggungan.
Bahkan suara gemeretak cabang - cabang ranting yang terkena serangan ekor Anta Denta, sampai terdengar dari tempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga berada, namun kedua orang tua itu tak bisa berbuat apa - apa.
Kembali di depan gua, Arya Dipa dengan gesit dan lincah menghindari kibasan dan lilitan ular Anta Denta. Suatu kali anak itu yang menotolkan kakinya hingga melampaui tubuh sang ular naga, kaki Dipa sempat mendepak kepala belakang ular itu. Tapi depakan itu, bagi Anta Denta seperti terkena semilir angin saja. Lain halnya dengan Dipa, kakinya bagaikan mendepak besi gligen, hingga anak itu meringis.
" Apakah bagian belakang kepala ular naga itu, terbuat dari besi gligen..?" keluh Arya Dipa.
Kelengahan yang hanya sesaat itu, mengakibatkan kerugian Dipa. Begitu tersadar tubuh anak itu terhempas dua tombak, terkena kibasan ekor ular.
Dengan tertatih - tatih Dipa berusaha sekuat tenaga berdiri, namun lagi - lagi ekor ular itu berhasil membuatnya tehempas dengan luka memar - memar menghiasi tubuhnya. Namun tekad dan semangt yang besar menguatkan diri anak itu. Kakinya kembali dengan kokoh berdiri di atas bumi.
Tapi Ular itu kini bergerak cepat ingin melahap anak itu, mulut itu terbuka lebar dengan dua taring yang mengerikan siap menancap kepala Dipa.
Namun semua itu sirna manakala anak pilihan resi Gentayu itu melesat layaknya burung garuda dan hinggap naga Anta Denta. Dipa yang tak mau nyawanya berhenti di mangsa ular naga, dengan keras tangannya mencengkram tonjolan merah yang tepat di dahi ular itu. Akibatnya ular itu menggeliat - geliatkan badannya tak karuan. Ekornya pun berusaha mengibas anak yang memeluk badannya.
Bertubi - tubi ekor itu mengenai tubuh Dipa, tapi Dipa dengan sekuat tenaga menahan sakit akibat kibasan ekor itu dengan mencengkram tonjolan merah itu lebih keras lagi.
Karena usaha kibasan ekornya tak berujung hasil, kini ular naga Anta Denta mengguling - gulingkan tubuhnya, agar manusia yang berada di atas tubuhnya bisa terlepas. Usaha itu membuahkan hasil, tangan kanan Dipa terlepas dari cengraman, tapi tangan Dipa kini mengarah pada belakang kepala ular itu. Di situ ada sisik yang bergaris panjang menyerupai sabuk. Dengan keras Dipa menggapainya dan menarik dengan kekuatan penuh.
Sebuah keuntungan tak terkira didapat anak itu, ia berhasil mendapatka sisik bergaris panjang itu, walau tubuhnya terpelanting dan jatuh. Lain halnya dengan Anta Denta, ular itu merasakan tubuhnya bagai tersiksa dikarenakan tonjolan sisik bergaris panjang itu, merupakan kelemahan keduanya.
Sementara itu Dipa memperhatikan bekas tonjolan sisik bergaris panjang yang berada di genggamannya.
"Inikah tadi yang membuat kakiku sakit ketika aku mendepak belakang kepala ular itu, walua begitu sisik ini lentur layaknya kain." desis pemuda itu.
Di depannya, Anta Denta yang berangsur meredakan rasa sakit yang tak terkira, kembali menatap penuh kemarahan dan menyergap anak yang sudah berlaku berlebihan itu. Serangan yang menggunakan mulut itu kembali terulang dengan cepat dari serangan pertama.
Dipa yang tak menghilangkan kewaspadaannya, telah menyilangkan sabuk sisik naga itu ke depan tepat ke mulut yang menganga lebar itu.
Saling dorong pun telah terjadi dengan dahsyatnya. Tapi tenaga ular itu sangat besar, hingga hamir membuat Dipa kewalahan. Tapi sebuah pemikiran yang tak terduga melintas dibenak kepala Dipa. Anak itu menggunakan hasil dorongan lawan untuk mengangkat tubuhnya yang kemudian menggunakan mulutnya, Dipa menggigit tonjolan merah yang berada tepat di tengah dahi ular naga Anta Denta.
Tonjolan merah itu pecah dan darah yang ada dalam tonjolan itu tanpa bisa ditahan telah tertelan oleh Dipa dan menyusup ke dalam perut dan menyebar ke seluruh daging tubuh Dipa, yang mengakibatkan tubuh anak itu panas bukan kepalang.
Disisi lain ular naga Anta Denta bagai terserap tenaganya, hingga ular itu lemas dan lunglai yang kemudian mengantarkan nyawa ular naga itu melayang.
jilid 2 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
........
Rasa panas menyengat yang sangat dirasakan oleh Arya Dipa. Tubuhnya bagaikan tersiram lahar panas tumpahan gunung berapi hingga anak itu menjerit - jerit dan tingkahnya tak karuan.
Sementara itu ditempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga yang sedang menunggu, tampak kegusaran yang sangat menyelimuti hati keduanya. Apalagi saat terdengar jeritan yang menyayat dari arah gua, hati keduanya sudah tak tahan lagi untuk menghampiri serta mengetahui apa yang terjadi pada diri Arya Dipa. Maka keduanya setelah saling pandang, keduanya lantas bergerak dengan loncatan panjang yang disertai ilmu peringan tubuh.
Betapa terkejutnya kedua orang tua itu, manakala kedua orang tua itu melihat apa yang ada dihadapan mereka.
" Resi, inikah wujud dari Anta Denta itu.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang memerhatikan bangkai ular naga di depan gua.
Tapi sang resi diam saja, orang tua itu tertegun tatkala memerhatikan kobaran api yang menyelimuti seorang anak yang ia kenal sedang berlari memasuki gua.
"Ada apa, resi.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Dipa..Dipa, ki. Dalam keadaan berlari memasuki gua, ia seperti diselimuti kobaran api. Ayo kita kesana." kata resi Puspanaga, sekaligus berlari ke mulut gua.
Tapi ketika orang tua itu hampir sampai mulut gua, betapa terkejutnya. Sebuah kekuatan yang tak kasat mata telah menghalangi dan menghentikan pergerakan orang tua pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Apakah ini, resi Puspanaga.?" tanya ki Mahesa Anabrang, setelah ayah angkat Dipa itu merasakan adanya kekuatan yang menghalanginya memasuki mulut gua.
"Duh Gusti Agung, inilah kuasaMu. Entahlah ki, rupanya mulut gua ini telah terselimuti oleh sebuah kekuatan penghalang layaknya dinding tebal." jawab resi Penanggungan, pasrah.
Di dalam gua, Arya Dipa yang sekujur tubuhnya terselimuti kobaran api, tanpa sadar menghampiri sebuah tumbuhan yang berbunga layaknya bunga teratai dengan warna keemasan dan daun berwarna merah menyala.
Sebuah kekuatan yang tak nampak telah menuntun anak itu untuk menggapai bunga itu dan memetiknya, lalu memakannya.
Kunyahan bunga itu dengan perlahan memasuki tenggorokannya dan terus ke dalam lambung anak itu. Sesaat kemudian anak itu tersadar lagi dan ia kembali menjerit merasakan hawa panas yang tak terkira. Tapi sesaat kemudian, sebuah hawa yang sejuk berputar - putar dalam tubuhnya yang kemudian menyebar keseluruh tubuhnya. Dan dengan perlahan kobaran api yang menyelimuti Dipa menghilang.
"Duh Gusti Agung, ku haturkan syukur yang tak terkira atas lindunganMu." desis Dipa, yang duduk bersila dengan tangan yang masih memegang tangkai bunga.
Sejenak anak itu memerhatikan dirinya degan teliti. Anak itu tertegun, manakala mengetahui luka - luka lebam dan goresan dari batu ataupun ranting waktu bertempur dengan naga Anta Denta telah pulih.
"Terima kasih, Gusti Agung." ucap anak itu kehadapan Sang Nata.
Lalu anak itu bangkit berdiridan memerhatikan sekeliling gua itu, ternyata di ujung gua itu memiliki pintu di lain sisinya. Setelah itu kemudian ia bergegas kembali menyusuri lorong menuju pintu mulut gua dimana ia memasuki pertama. Wajah anak itu tampak cerah tatkala di depan mulut gua ada dua sosok orang tua, yaitu resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang.
"Eyang, ayah..." teriak Dipa sambil berlari memeluk kedua orang tua itu.
"Bagaimana keadaanmu, ngger.?" tanya ki Mahesa Anbrang, yang mencemaskan keadaan anak angkatnya.
"Aku tidak apa - apa ayah, bahkan aku merasakan adanya kesejukan dalam tubuh ini."
"Baiklah kalau begitu lebih baik kita segera kembali ke pertapaan." ajak resi Puspanaga.
Namun Dipa sesaat berlari mendekati bangkai naga Arya Denta, dan mengambil sebuah benda yaitu bekas tonjolan sisik bergaris panjang mirip sabuk.
"Apa itu, Dipa.?" kini giliran resi Puspanaga bertanya.
"sisik naga Anta Denta eyang. bolehkah aku membawanya untuk aku jadikan sabuk.?"
"Hehehe...tentu ngger."
Lalu ketiganya bergegas kembali ke pertapaan Pucangan.
Kini gua itu tampak sepi, bahkan serangga pun seperti lenyap di telan bumi. Hanya suara desau bayu saja yang hilir mudik memenuhi. Malam pun berlalu sesuai kodratnya digantikan dengan kemunculan sinar bagaskara di ujung langit timur.
jilid 2 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
............
Pagi itu setelah mengisi perut dengan masakan khas pegunungan, seisi pertapaan Pucangan di gunung Penanggungan berkumpul di ruang utama pertapaan.
Empu Citrasena yang sudah menuntaskan pekerjaannya dalam membantu resi Puspanaga, telah memberikan hasil yang gemilang dalam menempa wesi aji yang kini berbentuk pedang tipis dengan guratan yang menyerupai bulu burung garuda, sedangkan tangkainya terbuat dari kayu cendana berbentuk kepala burung garuda.
Dengan cermat resi Puspanaga mengamati pusaka itu dan ia nampak senang dengan hasil itu.
"Sungguh hasil tempaan empu, sangat bagus. Ternyata ilmu dari empu Supa yang terkenal itu bisa engkau teruskan, empu Citresena." puji resi Puspanaga.
"Ah, itu hanya sekuku ireng dari paman Supa, resi...." kata empu Citrasena.
"Hahaha... tak hanya ilmu empu Supa saja yang menurun di tubuh empu Citrasena, tapi jiwa rendah hatinya pun juga ia tiru.." sela ki Mahesa Anabrang, yang disambut tawa yang hadir di ruang utama itu.
"Karena pedang itu tipis dan lentur, maka pedang itupun bisa menjadi ikat pinggang dan mudah dibawa, resi." terang empu Citrasena.
Resi Puspanaga mengangguk, lalu ia bertanya kepada keponakan empu Supa itu.
"Resi kau sebagai pembuatnya, dengan senang hati aku ingin memberi kesempatan dan rasa hormat berupa pemberian nama yang cocok dengan pusaka ini."
Mendengar itu, empu Citrasena termangu dan menggelengkan kepalanya.
"Maaf resi Puspanaga, aku tak bisa mengusulkan barang satu nama pun, lebih baik resi sendiri atau orang yang berhak menggunakan pusaka itu, yaitu angger Arya Dipa."
"Hem..." lalu resi Penanggungan itu memandang Arya Dipa.
"Angger Dipa, kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan pamanmu empu Citrasena, dan karena aku pun juga sulit untuk memberikan nama pusaka yang akan kau terima ini, maka kaulah yang akan menamai pusaka yang akan mendukung perjalananmu nanti.."
Tampak remaja itu terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya. Tak lama kemudian kepala itu terangkat dan memandang semua orang yang hadir di tempat itu.
"Terima kasih eyang dan paman, karena wesi aji yang kini berbentuk pedang tipis itu, anugrah sang prabu Airlangga atau resi Gentayu yang mempunyai lambang garuda, maka pusaka ini aku beri tetenger, kyai Jatayu.."
Semua yang mendengar nama yang disebut remaja itu, merasa senang karena memang cocok nama kyai Jatayu dengan ilmu kanuragan dari kita cakra Peksi Jatayu.
"Wah nama yang bagus, kakang. lalu apa nama sabuk yang dari kulit naga itu...?" sela Ayu Andini.
Arya Dipa tak menyangka akan mendapat pertanyaan mengenai sabuk kulit naga itu, sehingga anak remaja itu tampak bingung dan membuat orang - orang disekitarnya tersenyum.
"Kenapa kakang tampak bingung seperti itu.? aku punya usul dengan kyai Anta Denta. Bagaimana.?" kata Ayu Andini.
"Wah itu bagus, kau sungguh pintar Andini." puji Sabdho," Benarkan Dipa.?"
"Baik, sabuk kulit naga ini aku namai kyai Anta Denta." sahut Dipa, seraya menyentuh sabuk yang kini melekat di pinggangnya itu.
Maka mulai hari itu, Arya Dipa mempunyai senjata pedang kyai Jatayu dan ikat pinggang kyai Anta Denta. Dalam hari - hari selanjutnya, kedua pusaka itu pun mulai dipergunakan dalam latihan.
Ternyata keserasian dari kedua senjata itu melebur menjadi satu tata gerak dan mendukung pesatnya ilmu kanuragan Arya Dipa. Pedang yang sangat tipis dan lentur itu mampu memotong daun yang sangat tipis sekalipun dan mampu membabat pohon sebesar paha orang dewasa sekali tebas. Sedangkan ikat pinggang kyai Anta Denta, yang terlihat lentur itu bila dikibaskan dan mengenai batu, maka batu itu akan remuk. Tak hanya itu saja, tatkala sebuah serangan dari tajamnya pedang mengenai ikat pinggang itu, keuletan serat kulit naga itu layaknya besi gligen.
"Sungguh sangat besar karunia Hyang Agung terhadapmu, ngger." ucap resi Puspanaga," Selain ilmu tata gerak Cakra Peksi Jatayu dan pusaka kyai Jatayu, kau mendapatkan ikat pinggang kyai Anta Denta serta tak sengaja kau menelan darah naga Anta Denta yang mengakibatkan engkau kebal racun dan menambah tenaga cadanganmu."
"Tapi itu semua jangan membuatmu merasa terkuat di jagat ini, karena di atas langit masih ada langit, bukankah kau ingat tentang seorang raja dari Alengka yang mempunyai aji pancasona itu.?"
"Cucu selalu ingat, eyang."
"Bagus, karena sifat angkara murkanya, maka Hyang Agung membinasakan melalui Sri Rama." tutur resi Puspanaga.
"Jadikan ilmu itu berguna dengan membantu sesama yang memerlukan pertolongan dan hindarilah sifat angkuh jumawa dan mementingkan diri sendiri." lanjut Orang tua itu.
"Baik eyang, semua nasehat eyang akan terpatri dalam hati cucumu ini."
"Bagus ngger, kini tata gerak dasar Cakra Peksi Jatayu sudah kau kuasai dengan baik, selanjutnya dalam tahap yang lebih tinggi akan dapat kau telusuri sendiri seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu besok ayahmu akan kembali ke barat dan kau dapat menentukan untuk mengikutinya atau kau akan tinggal disini untuk sementara."
Remaja yang kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan badan tinggi besar itu menatap jauh kebarat, lalu katanya.
"Aku akan tinggal di sini, Eyang."
"Baiklah, itulah yang sebenarnya aku harapkan. Mungkin ayahmu akan sedih untuk beberapa saat, tapi aku yakin jika ia akan tabah karena ia pun merupakan seorang berjiwa besar dan penuh bijak."
Di ke esok harinya, ki Mahesa Anabrang sudah siap menaiki pelana kudanya untuk kembali ke padukuhan Pudak di kadipaten Prana Raga yang kini berganti menjadi kadipaten Ponorogo.
"Jagalah dirimu, ngger. Jika kau berjalan ke barat, singgahlah di gubuk kita."
"Iya ayah, suatu saat aku akan pulang ke padukuhan Pudak dan kembali menyirami bunga di halaman depan."
Ki Mahesa Anabrang tersenyum seraya menepuk pundak anak angkatnya, lalu setelah berpamitan kepada semuanya, ia pun segera menaiki kudanya dan memacu kuda itu.
jilid 2 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........
Sudah setahun lamanya Arya Dipa mendalami olah kanuragan di pertapaan Pucangan, kini ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan kokoh. Begitu juga dengan Ayu Andini, gadis ini layaknya bunga yang mekar dan membuat kumbang - kumbang terpesona di buatnya. Namun bunga ini bukanlah bunga sembarangan, berkat keuletan dan niat yang besar dari gadis ini, ia menjadi gadis yang memiliki olah kanuragan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Empu Citrasena dengan tekun menuntun putri angkatnya dengan menurunkan ilmunya dari perguruan Kumbara Agni.
Sementara itu timur kadipaten Japanan, ki Ajar Lodaya bersama dua muridnya sedang duduk menanti seseorang di sebuah kedai.
"Guru, apakah yang dikatakan nyi Cempaka itu benar.?" tanya muridnya yang membawa tombak pendek.
"Nyi Cempaka tak mungkin berdusta, setiap ramalannya pasti mendekati kenyataan." jawab ki Ajar Lodaya.
"Tapi sampai dua hari ini ia tak menampakkan batang hidungnya, guru. Apakah ia sudah bergerak mendahului kita dan merebut kitab Cakra Peksi Jatayu dari orang yang bernama Palon itu.?" kini giliran murid satunya yang berbibir tebal.
"Kau keliru Putut Lembayung, orang yang bernama Palon itu bukanlah yang memiliki kitab itu, tapi ia memiliki kedekatan dengan pemilik sah kitab itu."
"Apakah sebaiknya aku kembali ke perguruan Kembang Wisa, guru.?!" Bayu Sengoro, angkat bicara.
"Sabarlah barang sejenak, Sengoro. Lihatlah akhirnya para kembang itu muncul juga.... hehehe."
Memang benar apa yang dikatakan oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar itu, Lima wanita cantik - cantik dengan pemimpinnya yang berwajah ayu memasuki kedai itu.
Kedatangan kelima wanita itu menarik perhatian orang - orang yang sudah duduk terlebih dahulu di kedai itu, tapi kebanyakan dari mereka tak berani terus memandang wanita - wanita yang cantik - cantik itu.
"Selamat datang di kedai kami, nyi Cempaka. Hidangan apakah yang nyai inginkan akan segera kami siapkan." ucap pelayan kedai dengan tergopoh - gopoh menerima kedatangan pemimpim padepokan Kembang Wisa itu.
"Hidangkan makanan khas kedai ini, kisanak. Mereka akan kami traktir." sahut ki Ajar Lodaya.
Namun pelayan kedai itu tampak bingung dan memandang bergantian ke arah ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka. Namun ketika melihat anggukan kepala wanita cantik dihadapannya, maka pelayan itu segera kembali kebelakang dan mempersiapkan makanan khas kedai itu.
"Maafkan aku, kakang Ajar Lodaya. Hingga membuat kakang lama menunggu." suara merdu wanita itu terucap manakala sudah duduk di amben besar dalam kedai itu.
"Hahaha.. Kau dari dulu tak pernah berubah nyai, lihatlah rambutku sudah berwarna dua dan kulitku sudah keriput, namun kau tetap cantik seperti dua puluh tahun silam."
"Ah kakang Ajar terlalu memuji." kembali nyi Cempaka berucap dengan senyum menghiasi bibir tipisnya.
"Aku tak sekedar memujimu, nyai, seharusnyai padepokanmu lebih cocok dengan sebutan Kembang Nirwana. Karena murid - muridmu yang semuanya wanita tak ada celanya."
"Sudahlah kakang Ajar, kita kembali ke pokok intinya saja."
"Hahaha, baik - baik. Nyai setahun yang lalu aku mendapat kabar dari murid sahabatku yang menjadi telik sandi kadipaten Puger, saat ia pulang dari tugasnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Palon bersama dua rekannya. Dan menurut petunjuk dari nyai, kita akan bisa mendapatkan sebuah kitab kuno bila kita akan bertemu pemuda Palon yang mempunyai kedekatan dengan pemilik kitab itu." terang ki Ajar Lodaya.
"Dan menurut murid sahabatku itu, kemungkinan besar pemuda itu berada di kadipaten Japanan ini." lanjut pemimpin padepokan Lemah Jenar.
Sesaat nyai Cempaka memejamkan matanya, lalu perlahan mata itu terbuka dan menatap penuh keceriaan.
"Ia kakang, dalam mata batinku aku melihat titik terang pemuda itu dan kitab Cakra Peksi Jatayu itu. Namun orang - orang yang berada dikelilingnya bukanlah orang sembarangan." sesaat nyai Cempaka terdiam," sebuah titik terang memancar dilereng gunung Penanggungan, dan kakang tahu jika disana ada seorang resi yang sangat dusegani."
"Maksudmu, resi Puspanaga.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Benar kakang."
"Apakah orang tua itu masih hidup.?"
"Entahlah, sudah sepuluh tahun ini aku tak mendengar namanya disebut - sebut."
Namun pembicaraan itu terhenti manakala pelayan kedai menghidangkan berbagai makanan khas kedai itu.
"Silahkan tuan dai nyai." kata pelayan kedai itu, mempersilahkan dan kembali ke ruang belakang.
Mereka dengan lahap menyantap hidangan itu, sambil berbicara ringan.
"Tapi aku rasa kita bisa mengatasi pertapa itu, apalagi kita delapan orang." kata ki Ajar Lodaya, setelah selesai makan.
"Baik kakang, kalau begitu kapan kita berangkat kesana.?"
Orang dari bang wetan itu termenung sesaat.
"Karena hari sudah hampir senja, besok saja kita berangkat."
"Baik kakang, kapanpun kami siap."
( Bersambung... )
Langganan:
Postingan (Atom)