Selasa, 20 Desember 2016

Panasnya Langit Demak jilid 3 ( 1 - 15 )



jilid 3 bag 1
Oleh : Marzuki Magetan
........
Menginjak tahun kedua sejak kedatangan Arya Dipa di pertapaan Pucangan, dan usainya gejolak yang ditimbulkan oleh ki Ajar Lodaya dan kawann - kawannya, pertapaan itu tampak tenang.
Lain halnya suasana di kotaraja Demak, tampak prajurit hilir mudik menyiapkan beberapa kereta dan gerobak yang ditarik oleh sapi dan kuda. Beberapa rontek, tunggul dan umbul - umbul juga meramaikan barisan yang mengekor itu.
"Dugaan para telik sandi terdahulu memang benar, keberangkatan pasukan ini ke Malaka akan membuat pertahanan Demak akan longgar." desis seseorang yang ikut bergerombol diantara banyaknya orang.
"Benar kakang, bahkan kanjeng Sultan sendiri bersama kedua putranya juga ikut dalam pembebasan tanah Malaka dari orang - orang bermata biru itu." sahut kawannya lirih.
"Mari kita segera melaporkan hal ini kepada tumenggung Harya Kumara." ajak orang pertama, seraya berjalan menjauhi desakan orang - orang yang melihat iringan pasukan Demak menuju bandar di pantai utara.
Iring - iringan pasukan yang dipimpin langsung oleh Sultan Demak kedua yang dahulu bernama raden Adipati Yunus dalam lidah jawa lebih dikenal dengan sebutan Pati Unus itu, merupakan pelayaran kedua bagi pasukan Jalapati atau pasukan tempur laut kesultanan Demak Bintárá. Kali ini sang Sultan diiringi beberapa senopati pilihan dan dua putranya, raden Aryawangsa dan raden Suryadiwang yang masih remaja. Selain itu, pasukan dari bang kulon juga akan mendampingi Sultan Demak, itu semua sudah atas restu para waliullah di bang wetan, tengah, maupun kulon.
Sesampai di bandar, sebuah pemandangan yang membanggakan telah nampak. Berderet - deret kapal besar yang berjumlah kurang lebih 375 yang terdiri dari kapal - kapal Demak, Cirebon dan Banten. dan atas restu kanjeng sunan Gunung Jati, gabungan tiga armada tempur itu, telah terpilih sultan Demak atau raden Pati Unus sebagai panglima tertinggi dengan gelar, Senopati Sarjawálá dan dua senopati pengapit yaitu, raden Tubagus Pasai dan raden Hidayat.
Setelah memberikan pesan - pesan penting kepada patih Wanasalam dan beberapa pangeran, maka sang Sultan menaiki kapal perang yang diiringi suara tambur dan sangkakala sebagai penyemangat para armada jawa itu.
Di tempat yang begitu jauh, beberapa orang berkumpul dengan suasana yang tegang.
.

"Ini saatnya kakang tumenggung bertindak." ucap seseorang yang berbadan tambun dengan kumis tebal.
"Tidak adi, kita harus mendapat persetujuan dari Panembahan Bhre Wiraraja yang merupakan orang yang sah melanjutkan kebesaran Majapahit." sahut orang yang disebut kakang oleh orang pertama.
"Apakah benar orang yang menyebut dirinya Panembahan Bhre Wiraraja itu berdarah trah Majapahit, ki tumenggung Harya Kumara.?" tanya orang tua yang memakai ikat kepala lurik.
"Jaga bicaramu, ki Gede Bawean.! Panembahan itu telah membuktikan sendiri dengan menunjukkan tanda kebesaran berupa lencana khusus yang hanya dipunyai oleh garis lurus wangsa Kertarajasa." sergah ki tumenggung Harya Kumara, berat.
"Tak sepantasnya kalian sangsi dengan perjuangan yang tentu mendapat restu dari Yang Agung ini." lanjut tumenggung itu.
Kini giliran seorang lelaki yang berpakain layaknya bangsawan dengan keris terselip disamping kiri ikat pinggangnya, berdehem.
"Ada apa raden Sajiwo.?" tanya orang tambun, yang disebut ki tumenggung Sarduloyudo.
"Lantas kapan orang yang disebut Panembahan itu muncul dihadapan kami dan menyerang Demak yang kosong itu.?"
"Tunggulah, mungkin dua tiga hari ini ia akan tiba dari kadipaten Puger." sahut ki tumenggung Sarduloyudo.
Pembicaran ini terus berlangsung hingga malam menaungi alam disekitar tempat itu, pembicaraan yang menjerumus tindakan mbalelo terhadap keutuhan Demak bintoro yang besar itu.
Malam yang berjalan sesuai jalur yang ditentukan Sang Kuasa itu, kini telah digantikan dengan terangnya sang surya. Di pertapaan Pucangan, resi Puspanaga nampak resah menghiasi wajahnya. Mimpi kelam selama tiga hari ini kembali terulang sama. Sebuah mimpi berupa api yang berkobar melahap atap sebuah keraton dengan korban terus mengalir tak terhingga.
"Apakah ini mimpi dara dasih.?" desisnya.
Ketermenungan sang Pertapa itu mendapat perhatian yang sungguh - sungguh dari Arya Dipa, yang tanpa sengaja melihat resi Puspanaga ketika ia melewati pringgitan.
"Selamat pagi eyang." sapa pemuda itu.
"Oh kau Dipa, kemarilah."
Segera pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang itu duduk di samping resi Puspanaga.
"Dipa, ini mungkin waktunya kau melawat ke bang tengah."
"Maksud eyang.?"
"Ingatkah tatkala pertama kau menerima kitab Cakra Paksi Jatayu dulu.?" tanya resi Puspanaga, mengingatkan kejadian dua tahun silam.
"Masih selalu terngiang dihati cucu, eyang."
"Bagus, dan dalam rangka ini juga kau harus melawat bang tengah sekaligus memastikan mimpi buruk yang aku alami akhir - akhir ini." sesaat resi tua itu berhenti untuk mengambil napas, lalu, "Sebuah prahara api mulai menjilati pusat pemerintahan di bang tengah itu, meskipun kau bukan seorang senopati, tapi kau mempunyai darah senopati dan berdarma bakti bagi negerimu, ngger."
Memang cepat atau lambat, Arya Dipa telah menyadari jikalau dirinya mendapat tugas menjaga keamanan dari negeri yang baru itu, walaupun nyawa sebagai taruhannya.
"Baiklah eyang, aku akan mengamati dan berusaha memberikan tenaga sebisa dan semampu diri ini." kata Arya Dipa, menyanggupi.


jilid 3 bag 2
oleh : Marzuki Magetan
.
Setelah semuanya dipersiapkan dengan pertimbangan yang matang, maka di keesokan harinya Arya Dipa dengan Ayu Andini sebagai kawan perjalanan mulai meninggalkan pertapaan di lereng gunung Penanggungan. Perjalanan yang membentang tanpa adanya batas waktu itu akan menjadi pengembaraan pertama bagi sepasang pemuda tersebut. Tanpa terasa setelah matahari di ujung barat, mereka berdua telah memasuki tlatah perdikan Anjuk Ladang.
"Kita bermalam di padukuhan ini, Ayu, besok kita lanjutkan lagi." ucap Arya Dipa.
"Iya kakang, mungkin pemilik rumah di ujung padukuhan ini mau menerima kita untuk berteduh barang satu malam." sahut Ayu Andini, menyetujui ajakan Arya Dipa.
Lantas keduanya dengan rendah hati meminta ijin kepada pemilik rumah yang ternyata dihuni oleh dua pasang orang tua.
"Silahkan ngger, nduk. Tapi beginilah gubuk kakek, kecil dan kotor."
"Terima kasih, kek. Ini sudah lebih cukup."
Ternyata kedatangan Arya Dipa dan Ayu Andini membuat hati sepasang orang tua itu, terobati rasa rindu keduanya kepada anaknya.
"Anak kakek lima orang, namun yang tiga sudah menghadap Gusti Pengeran dalam usia yang masih kecil, sedangkan anak yang tersisa sudah berkeluarga sendiri - sendiri." kata kakek tua itu.
"Apakah rumah anak kakek di luar padukuhan ini.?"
Kakek itu beringsut lalu mengambil minuman di gelas yang terbuat dari potongan bambu.
"Ayo sambil diminum," ucapnya, dengan meneguk air itu, lalu lanjutnya, "Anak keempat kakek menjadi pedagang pecah belah di padukuhan induk tanah perdikan. Sedangkan adiknya wanita, bersama suaminya tinggal di Pengging."
"Apakah mereka jarang menengok kakek dan nenek.?" tanya Ayu Andini, dengan raut muka sedih.
"Jarang ngger, tapi kakek tak menyalahkan mereka, mungkin jarak yang panjanglah yang membuat anak kakek tak sempat menengok kesini. Tapi kalau si Ranu, sepekan sekali ia kemari dengan membawa anaknya." jawab kakek itu.
Perbincangan itu terhenti ketika malam semakin dalam, dan keduanya mendapatkan tempat berbaring dikamar yang terdapat amben lebar.
"Tidurlah, biar aku yang berjaga barang sesaat" kata Arya Dipa, sambil meluruskan kakinya dipinggir amben.
"Nanti bangunkan aku, kakang."
"Hem, istirahatlah."
Walau suasana aman, namun Arya Dipa yang mendapat nasehat dari resi Puspanaga maupun mpu Citrasena, selalu diwanti - wanti untuk waspada ditempat yang belum mereka kenal. Hingga suara kokok ayam jantan pertama, keadaan tak mencurigakan maka pemuda itu pun memejamkan mata barang sekejap sampai datangnya sinar mentari di ujung timur.
Sementara itu di kadipaten Jipang, tumenggung Harya Kumara dan tumenggung Sardulo dengan menaiki kuda, memasuki barak keprajuritan. Setelah memberikan tali kekang kuda kepada prajurit, keduanya memasuki ruang utama barak.
"Apakah kakang Metahun menyetujui rencana itu, adi tumenggung.?" tanya ki tumenggung Harya Kumara kepada seorang yang duduk di ruang itu.
Orang itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak kakang."


jilid 3 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
.
"Ki patih Metahun tak akan ikut campur selama pangeran Kinkin ada." lanjut tumenggung Wanapati.
"Mengapa ia lebih mementingkan pangeran anak menantu adipati Jipang itu.? dibandingkan dengan kita saudara seperguruannya.?" geram ki tumenggung Sardulo, sambil menggebrak bangku meja.
Ki tumenggung Wanapati hanya membisu diam. Sesaat dalam ruang utama barak itu diam.
"Kalau begitu kita tunggu Panembahan Bhre Wiraraja saja, mungkin ia memiliki rencana yang kedua, setelah kita gagal membujuk kakang Metahun." kata ki Tumenggung Harya Kumara, "Aku akan kembali ke pesangrahan di tengah hutan, bila ada sesuatu cepat adi kirim seseorang."
"Baik kakang."
.....
Betapa senangnya ki Mahesa Anabrang, saat sepasang anak muda memasuki regol halaman rumahnya.
"Pantas saja sejak pagi burung prenjak itu berkicau terus, tak tahunya anakku dan kekasihnya pulang kemari." sambut orang tua itu, ramah.
Sesaat warna semburat merah menghiasi pipi Ayu Andini yang menunduk malu. Keduanya menaiki tlundak dan menyalami ki Mahesa Anabrang bergantian.
"Bagaimana keadaan eyangmu dan lainnya.?"
"Eyang dalam keadaan baik - baik saja ayah, begitu pula dengan paman Citrasena, kakang Palon dan Sabdho." terang Arya Dipa.
"Syukurlah, baiklah aku akan merebus air."
Tapi dengan sigap Ayu Andini telah berdiri.
"Biar aku saja paman."
"Tapi kau baru datang, dan lelah."
"Tidak mengapa paman, aku akan canggung jika paman yang melakukan pekerjaan itu."
"Baiklah, biar Dipa yang menunjukkan dapurnya."
Dengan diantar Arya Dipa, Ayu Andini ke dapur untuk merebus air minuman.
"Semoga berjodoh." desis ki Mahesa Anabrang, perlahan.
.

Walau Ayu Andini dalam asuhan mpu Citrasena, namun dalam pekerjaan wanita ia sangat cekatan dan trampil. Tangannya yang lembut itu mampu mengolah makanan dan sayuran dengan bumbu rempah - rempah yang akrab dengan lidah orang jawa.
"Wah masakanmu sungguh nikmat, Ayu." puji Arya Dipa, sambil melahap makanannya.
"Iya kakang, tapi ingat jangan dihabiskan, ini khusus buat paman."
"Jadi aku tidak.?"
"Sudah habis satu piring, baru tanya." gerutu gadis itu.
"Hahaha..tak kukira jika kau cemberut, wajahmu sangat cantik.." goda Arya Dipa, sambil berbisik di telinga gadis itu.
Gadis itu diam, namun tangannya telah bergerak mencubit pinggang kekasihnya itu.
"Aduh ampun, Ayu. Kulitku akan terkelupas nanti."
Melihat tingkah laku anak - anaknya, ki Mahesa Anabrang tersenyum dan menggeleng - gelengkan kepalanya.
Suasana yang damai telah melingkupi rumah di padukuhan Pudakan tlatah kadipaten Ponorogo.
Di malam harinya, Arya Dipa telah mengatakan kepada ayah angkatanya bahwasannya ia mulai melakukan tugas yang diembannya dari resi Puspanaga.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan kepergian kanjeng Sultan ke Malaka.?" desis ki Mahesa Anabrang.
"Berhati - hatilah ngger, kotaraja tentunya dikelilingi orang - orang pinunjul yang mempunyai kepentingan yang begitu samar." nasehat orang tua itu.
"Lalu kapan kau akan berangkat.?"
"Besok pagi ayah."


jilid 3 bag 4
oleh : Marzuki Magetan
.
Saat Arya Dipa berpamitan dengan ayah angkatnya, di sebuah tempat yang masih dalam lingkup bekas kadipaten Pengging, seorang pemuda duduk termenung di bekas reruntuhan pendopo kadipaten.
"Sudahlah, ngger. Itu semua sudah kehendak Allah, janganlah kau berlarut - larut dalam kesedihan."
"Terima kasih, uwa. Aku sudah menerima itu semua dan menghilangkan semua dendam dari hati ini." sahut pemuda itu, yang memiliki mata setajam elang jawa.
"Bagus, Karebet. Bagaimana kau bisa berkunjung kemari.? Apakah kanjeng Sunan Kalijaga tak mengajakmu ke Demak.?" tanya orang paruh baya itu.
"Tidak, uwa, menurut kanjeng guru belum waktunya aku memasuki lingkup keraton." jawab pemuda itu, yang tak lain Karebet, putra ki Ageng Pengging Anom atau raden Kebo Kenanga. "uwa Kanigara, aku minta dalam sepekan ini, uwa mau menemaniku untuk memperdalam jalur ilmu Pengging."
"Hahaha, putraku angger Karebet, sebenarnya ilmu mu sudah sundul langit, tapi jika itu maumu, aku akan menyanggupinya."
"Terima kasih, uwa."
"Marilah kita ke rumah ki Manyar, kasihan orang tua itu, ia tentu menunggu kedatangan kita." ajak raden Kebo Kanigara, sambil melangkahkan kakinya meninggalkan reruntuhan pendopo keraton, dimana masa kecilnya pernah tinggal disitu.
Pemuda anak angkat ki Ageng Tingkir pun mengikuti langkah uwanya.
Di rumah yang tak terlalu besar, ki Manyar telah menyambut kedua uwa dan kemenakan itu dengan keramahtamahan.
"Kau tak usah repot - repot, ki Manyar. Janganlah kau berlaku layaknya aku seorang bangsawan, aku hanyalah Kanigara yang setiap hari juga menggenggam cangkul dan pergi ke sawah. Bukankah kau masih ingat dengan ndoromu itu.?"
"Tentu raden.."
"Tolong ki Manyar, jangan panggil aku begitu, panggil layaknya aku orang padukuhan." potong ki Kebo Kanigara cepat.
"Ah..baiklah jika raden, eh ki Kebo Kanigara meminta seperti itu."
Tak lama kemudian istri ki Manyar datang dengan membawa masakan untuk makan di siang itu. Setelah menyantap hidangan yang disajikan oleh keluarga ki Manyar, perbincangan ringan mengalir rancak dengan suasana padukuhan tlatah Pengging itu sebagai bahannya.
Ternyata kehidupan di tlatah Pengging mengalami kemunduran di segala bidang. Banyak penghuninya pergi ke daerah yang lebih menjanjikan daripada di tanah itu. Namun ada juga yang masih setia meneruskan cita - cita ki Ageng Pengging dalam memujudkan kedamaian tlatah Pengging.
Benar saja, ketika ada kabar kedatangan ki Kebo Kanigara dan Karebet atau Jaka Tingkir, penghuni tlatah Pengging berduyun - duyun ingin bertemu kakak dan anak pemimpin mereka.
Betapa terharunya ki Kebo Kanigara dan Karebet mengetahui kesetiaan mereka kepada keluarga adipati Kebo Kenanga itu.
"Aku berjanji akan mengembalikan tanah ini berjaya seperti masa eyang adipati Handayaningrat." desis Karebet lirih.
Ternyata perkataan yang pelan itu tertangkap telinga ki Kebo Kanigara, yang ditanggapi dengan senyum di bibirnya.
"Semoga cita - citamu terkabul, putraku."
.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
Di malam harinya, ki Kebo Kanigara bersama Karebet telah menuju tempat lapang dan sepi. Di sini keduanya mulai mempersiapkan seluruh wadah dan jiwanya untuk memanjatkan do'a kepada sang Khaliq untuk meminta perlindungannya.
Sesaat kemudian setelah ki Kebo Kanigara memberi isyarat untuk memulai, maka Jaka Tingkir meloncat ke tengah tanah lapang. Tarikan napas sejalan peredaran darah yang mengalir keseluruh nadi mengawali tata gerak dasar dari jalur perguruan Pengging, loncatan yang lincah telah terungkap mewarnai tata gerak bak alap - alap yang mengarungi dirgantara. Namun sekejap kemudian tubuh tegap itu terasa kokoh layaknya gunung Lawu tak goyah terjangan prahara.
Tataran demi tataran semakin meningkat sejalan dengan tata gerak yang rumit dan mengagumkan, apalagi saat anak ki Ageng Pengging anom itu menjejak tanah dan terbang berputar, layaknya gangsingan.
"Dalam usia semuda ini, peningkatan ilmunya telah melampaui aku dan adi Kenanga, pasti ayahnya akan bangga melihat perkembangan putranya." ucap ki Kebo Kanigara dalam hati.
Di saat kemudian, gerakan pemuda itu semakin pelan namun penuh tenaga. Lalu perlahan dengan mantap dan pemusatan nalar dan budi, gerakan tingkat atas jalur Pengging mulai menyeruak.
Tampak kaki kanan berdiri tegak, kaki kiri terangkat menekuk dilanjutkan tangan kiri menyilang di depan dada dan tangan kanan mengepal ke atas. Sinar putih kebiruan terlihat membungkus kepalan tangan Karebet, yang kemudian di lontarkan mengarah sebuah batu sebesar anakan kerbau.
Suara gelegar mengiringi lontaran aji pamungkas perguruan Pengging, yang membuat batu itu hancur berkeping - keping.
Tiba - tiba suara tepukan tangan terdengar mengagetkan Karebat, karena tepukan tangan itu bukan dari arah uwanya.
"Tak kusangka jalur Pengging memiliki jago baru dalam meneruskan kebesarannya." sebuah suara terdengar dari mulut orang tua, yang berpakaian layaknya begawan.
.

"Siapa kisanak ini.?" tanya ki Kebo Kanigara, memerhatikan wajah orang yang baru datang itu.
"Angger Kanigara, siapa pemuda itu.? Yang mampu mengungkap Sasra Birawa.?" tanya orang tua itu, tanpa memperdulikan pertanyaan ki Kebo Kanigara.
Rasa heran melintasi pikiran anak tertua ki Ageng Pengging sepuh itu, kemunculan seorang kakek yang mengetahui jati diri dan ilmu jalur Pengging.
"Dia kemenakan ku kisanak, siapa sebenarnya kisanak ini.?"
"Oh jadi ini putra angger Kenanga dan di angkat anak oleh dalang Ageng Tingkir itu. E..e..e tobil, aku akan mencoba kemampuannya angger Kanigara." kata orang aneh itu, lalu kembali berkata, "Windujaya, keluarlah. Tunjukanlah kemampuanmu sebagai murid Jambul Kuning.!"
Betapa kagetnya ki Kebo Kanigara mendengar kata terakhir orang tua itu, namun ia tak mampu berbuat manakala seorang pemuda dengan lincah meloncat menerjang Jaka Tingkir.
Mendapati serangan dadakan itu, Karebet tak mati kutu, dengan sigap serangan itu telah ia hindari dengan mudah seraya menangkap tangan lawan.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
Namun Windujaya segera menarik pukulannya dan mengganti lututnya menohok lambung lawan, seraya dibarengi dua tangan menggemplang kepala Karebet.
Kesigapan Karebet teruji dengan baik manakala dengan lincah pemuda itu melenting kebelakang dan mulai waspada kembali.
Pertarungan keduanya sangat sengit dengan jiwa kemudaan mereka. Tendangan dan pukulan silih berganti mengincar titik - titik lemah tubuh lawan hingga salah satunya terkena, tapi keuletan yang tak mau mengalah membuat sasaran yang di tuju sulit di jangkau serangan keduanya.
Semakin lama tata gerak ciri khas jalur ilmu kanuragan kedua pemuda itu, tanpa sadar menyeruak keluar dengan sendirinya.
Di luar kalangan, ki Kebo Kanigara sudah mulai dapat mengetehaui siapa lawan kemenakannya itu.
"Ilmu dari gunung Bancak itu semakin meningkat di tangan pemuda yang tak lain murid paman Begawan Jambul Kuning, ilmu trah Kadiri dari raden Panji Bancak, saudara tua raden Panji Asmara Bangun." kata ki Kebo Kanigara.
Di sisi lain orang tua aneh yang disebut begawan Jambul Kuning mengerutkan keningnya, di saat terlihat olehnya serangan muridnya selalu meleset sekilan dari tubuh lawan.
"Angger Kanigara, dari mana ia mendapatkan aji Lembu Sekilan itu.?!"
"Paman ingat dengan seseorang mulia yang selalu memakai blangkon hitam serta pakaian lurik dari kadipaten Tuban.?"
"Ah..maksudmu raden Said yang kini disebut sunan Kalijaga.?" tanya begawan itu, setengah tak percaya.
"Iya paman." jawab ki Kebo Kanigara singkat.
Karena serangannya selalu meleset, Windujaya meloncat ke belakang dan menarik napas pelan. Tak lama kemudian sebuah pekikan telah menggetarkan tempat itu. Seakan - akan bumi di guncang oleh tenaga dahsyat, yang membuat Karebet hampir jatuh terduduk.
"Pekik Sardulo mampu dikuasinya." desis Karebet, sambil mempertahankan tubuhnya agar tak jauh terseret pusaran tenaga lawan.
Mengetahui lawannya masih mampu berdiri, Windujaya menggerakkan tangannya memutar di depan dada, dan meloncat memukul dada lawan. Kini ia menggunakan pukulan Serat Bayu untuk menggebrak aji Lembu Sekilan lawan.
Sesaat kemudian dua benturan tak dapat dihindari, Karebet merasakan pukulan Serat Bayu itu mampu menembus lapisan Lembu Sekilan walau hanya seujung jarum, telah membuatnya tergeser dua tindak, dan membuat wajahnya pucat.
Lain halnya dengan Windujaya, pukulannya seakan - akan kembali kepadanya hingga membuat tubuhnya mencelat ke belakang jatuh berguling - guling. Namun ketahanan tubuhnya baik, walau tertatih - tatih ia mampu berdiri dan siap bertarung kembali.
"Cukup..! Obati lukamu Windujaya." teriak begawan Jambul Kuning, sambil melangkah ke arah ki Kebo Kanigara.
Windujaya telah menyeka darah segar yang meleleh di bibir dengan lengannya, lalu menelan sebutir pil untuk memulihkan tenaganya.
Di depan agak jauh Karebet sudah pulih seperti sediakala, wajah yang sesaat pucat kembali memerah.





Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
"Bagaimana keadaanmu Windujaya.?"
"Berkat pil ramuan guru, tenagaku sudah pulih kembali."
"Syukur." ucap Begawan Jambul Kuning, yang beralih menatap Karebet, lalu lanjutnya, "Maaf Angger, kami bukanlah musuh, aku sahabat eyangmu sejak usia muda. Bukan begitu angger Kanigara.?"
Ki Kebo Kanigara mengangguk pelan dengan perasaan yang simpang siur, karena ia tahu watak sahabat ayahnya itu yang suka angin - anginan.
"Kenapa kau seperti itu Kanigara.? Apakah aku salah kata dan berkata dusta.?" tanya orang tua itu, sambil melototkan matanya.
"Ah paman salah paham saja." tukas ki Kebo Kanigara, "O ya paman, siapa pemuda ini.?"
"E..e..e apa kamu tuli.? Bukankah aku tadi sudah bilang kalau dia muridku.? Kenapa semuda ini telingamu sudah kurang fungsinya, Kanigara.?" kata Begawan Jambul Kuning, agak geram.
Mendapatkan jawaban yang tak mengenakkan telinga seperti itu, anak ki Ageng Pengging Sepuh hanya menghela napas saja dan duduk di batu.
"Hehehe apakah kau marah Kanigara.?"
"Tidak paman, itu tidak baik."
"Bagus..bagus o ya, ini muridku satu - satunya, namanya Windujaya."
Windujaya menggangguk hormat kepada ki Kebo Kanigara dan Karebet, yang di balas oleh uwa dan kemenakan dari Pengging.
Percakapan di malam itu telah menumbuhkan keakraban tersendiri bagi Karebet dan Windujaya, yang mempunyai kesamaan umur. Tapi lain halnya dengan ki Kebo Kanigara, kakak dari raden Kebo Kenanga ini selalu menghela napasnya jika Begawan dari gunung Bancak itu berbicara kadang keras bahkan kasar.
"Hehehe, baiklah aku pamit Kanigara, semoga kita berjumpa lagi." habis berkata, bayangan orang itu dengan cepat telah pergi.
Sementara itu Windujaya masih berada di tanah lapang itu.
"Maafkan perilaku guru, paman dan kakang Karebet, sebenarnya watak guru sudah jauh lebih baik di bandingkan di masa lalunya." pinta Windujaya.
"Iya, ngger. Aku tak mengapa, semoga paman begawan semakin jernih dalam berperilaku."
Tiba - tiba sebuah suara yang menggema mengagetkan orang - orang yang berada di tanah lapang itu.
"Sontoloyo di kira aku edan ya.! Windujaya cepat kemari, atau ku tinggal kau di tanah orang ini.!"
"Baik paman dan kakang aku mohon diri." pamit Windujaya yang kemudian mengejar arah gema dari begawan Jambul Kuning.
Kepergian kedua guru dan murid itu telah menumbuhkan rasa di hati ki Kebo Kanigara dan Karebet.
"Kau harur berhati - hati jika berpapasan dengan orang tua dari timur itu, Karebet." desis ki Kebo Kanigara, "Ilmu orang tua itu bisa disejajarkan dengan eyangmu Handaningrat dan beberapa sesepuh kanuragan."
"Iya uwa, pantas aku tak merasakan kehadirannya, begitu juga dengan adi Windujaya, ia mampu menyerap getar suara."
"Baiklah, mari kita kembali ke rumah ki Manyar."
Langkah keduanya semakin lama jauh dari tanah lapang yang kini sepi dan hanya meninggalkan bekas rumput, batu dan tanah yang semrawut terkena imbas dari setitik ilmu manusia yang berasal dari sumber Maha Sakti yang berlaku Maha Bijak.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
Di dalam sebuah warung yang penuh pelanggannya itu, seorang lelaki berbadan tinggi tengah bercakap dengan kawannya.
"Lebih baik kita terima pekerjaan dari tumenggung Sardulo, untung - untung dapat merubah derajat kita menjadi seorang demang." desis orang berbadan tinggi.
"Tapi sasarannya seorang pangeran, kakang." sahut kawannya.
"Hahaha sejak kapan kau menjadi pengecut seperti ini Yuyu Sangkrah.? Kita sebagai sepasang malaikat alas Ketonggo bukanlah pembunuh bangsa tikus. Kita pernah melenyapkan bangsawan Jepara, bupati bang wetan, dan beberapa demang."
"Tapi kakang, raden Trenggono bukan orang sembarangan, menurut warta ia memiliki aji Bajra Geni dan beberapa ilmu lainnya."
"Ah itu hanyalah bualan semata, walaupun memang benar kalau raden Trenggono memiliki aji itu, aku tak gentar. Aku Kidang Angkup yakin bisa membinasakannya, kalau perlu kita bisa bekerja sama dengan orang dari Kendal." kata orang tinggi itu.
"Baiklah kalau kakang memang yakin mampu, aku sebagai saudara akan ikut serta, tapi aku akan meminta bantuan ki Jembawan dan ki Padas Gempal." ujar Yuyu Sangkrah.
"Bagus, semakin banyak kawan akan cepat pekerjaan kita. Jabatan demang dan lima kampil uang akan menjadi milik kita."
Setelah membayar pesanan, keduanya keluar dari warung itu.
Di sudut ruangan, dua pemuda sempat mendengar rencana sepasang malaikat alas Ketonggo itu.
"Bagaimana kakang, apa kita melaporkan rencana jahat mereka kepada yang berwenang.?" tanya salah satu.
"Jangan, Ayu. Kita tak memiliki banyak bukti untuk mendapat kepercayaan dari para prajurit. Lebih baik kita ikuti mereka sebelum kedua orang itu pergi jauh." sahut kawannya.
Untuk itu sepasang pemuda pemudi itu mengikuti langkah sepasang malaikat alas Ketonggo, sesudah membayar hidangan kepada pemilik warung.
Rencana dari sepasang malaikat alas Ketonggo untuk melenyapkan raden Trenggono, mendapat dukungan dari kawan - kawan mereka yaitu, ki Jembawan dan Ki Padas Gempal lalu tiga serangkai dari Kendal dan Subala, seorang pembunuh dari Jipang.
"Aku tegaskan, rencana ini akan kita lakukan di saat adik sultan Demak itu pulang dari pesantren Giri, yang akan lewat jalan ini dua hari kedepan." kata Kidang Angkup.
"Subala, aku dan Yuyu Sangkrah akan menghadapi raden Trenggono, sedangkan ki Jembawan lawanlah senopati yang memimpin pengawal, dan sisanya akan dibinasakan oleh ki Padas Gempal dan Tiga Serangkai dari Kendal."
"Apakah pasti jalan ini yang di lalui rombongan itu, Kidang Angkup.?" tanya ki Jembawan.
Dengan di awali senyum, Kidang Angkup menjawab.
"Telik sandi bawahan tumenggung Sardulo yang melaporkan hal itu, tentu mereka dapat kita percaya sepenuhnya."
Pembicaraan yang bertujuan menyingkirkan orang terdekat penguasa Demak itu tak lepas dari pengamatan sepasang muda mudi yang berkeyakinan untuk membantu pangeran dari Demak.
"Untung saja kita tanpa sengaja mendengar rencana mereka kakang."
"Hemm, ternyata mimpi eyang itu jadi kenyataan." sahut Arya Dipa.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
......
Hari yang mendebarkan itu pun telah datang, jalan yang tadinya sepi itu, sayup - sayup dari kejauhan mulai terdengar suara kuda lebih dari sepuluh ekor.
"Mereka datang." desis ki Jembawan.
Dari ujung jalan, barisan kuda yang terdiri dari lurah prajurit dengan tiga bawahannya, berselang jarak satu depa dua orang yang diteruskan oleh senopati dan seorang berpakaian bangsawan, berselang satu depa seekor kuda kokoh yang ditunggangi seorang lelaki yang tampan dengan keris bersalut emas intan terselip di belakang pinggang, dengan dua orang pengapit. Selanjutnya di belakang lagi enam prajurit pengawal bersenjatakan dua pedang di belakang punggung.
Ketika iringan pengawal prajurit Demak itu sampai di tengah kelokan jalan, tiba - tiba sebuah pohon besar sepelukan orang dewasa tumbang ke jalan dan menghalangi perjalanan orang - orang Demak itu. Maka keterkejutan telah menyusup di hati para pengawal itu dan kuda yang ditunggangi terlonjak sampai mengangkat kaki depan. Namun dengan segera prajurit pengawal itu dengan sigap mengendalikan dan menenangkan kuda - kuda tunggangan mereka.
Di saat kuda - kuda itu tenang, kembali iringan - iringan dari Demak itu dikejutkan dengan tumbangnya pohon yang berada di ekor rombongan.
"Waspada..!!" teriak lurah prajurit.
Peringatan dari lurah prajurit itu ditanggapi dengan cepat oleh para prajurit pengawal.
Sesaat kemudian dari sela - sela rerumputan di pinggir jalan, beberapa orang telah muncul dengan wajah sangar.
"He orang - orang Demak.! Serahkan Trenggono kepada kami, jika kalian ingin selamat.!" teriak pemimpin orang yang mencegat prajurit Demak.
"Lancang..! Beraninya mulutmu berkata kepada kami.!" bentak lurah prajurit Demak, dengan wajah merah menyala.
"Tutup mulutmu gedibal Demak, daerah ini kekuasaan kami, bila mulut lebarmu itu tak kau jaga, maka akan aku sobek.!" kembali Kidang Angkup mengancam, "Cepat serahkan Trenggono.!"
"Bangsat.!" maki lurah prajurit itu, dengan sigap meloncat menyerang Kidang Angkup.
Namun salah satu dari Tiga Serangkai maju menghadapi lurah prajurit itu yang dibantu dua bawahannya.
Serangan itu tak lama kemudian menjalar ke semua orang, tak kecuali dengan pangeran Trenggono dan seorang kerabatnya yang dihadapi oleh Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah beserta Subala, pembunuh dari Jipang.
Sementara senopati Reksotani berhadapan dengan ki Jembawan. Lalu ki Padas Gempal dengan cepat menggeprak dua prajurit bersenjata pedang rangkap,Sisanya berhadapan dengan dua anggota Tiga Serangkai.
Pertempuran itu sangat seru dan riuh, suara denting senjata beradu mulai terdengar diwarnai percikan - percikan api dari gesekan senjata mereka.
Ternyata tandang anggota Tiga Serangkai begitu dahsyat, hingga pengawal khusus dari prajurit Demak itu terdesak hebat.
"Mampus kau monyet.!" teriak salah satu Tiga Serangkai, seraya menyabetkan pedang anehnya ke salah satu pengawal prajurit.
Teriakan kesakitan telah memecah pertarungan di jalan itu, goresan panjang telah hinggap di dada pengawal prajurit itu.
"Hahaha tinggal kalian.!"
Dan sekali lagi, sebuah tendangan keras melayang ke lawan Tiga Serangkai yang membuat lawannya jatuh tersungkur.
"Yang satu ini biar aku saja, kakang. Kau bantu kakang Lampit, menhadapi lurah dan dua prajurit itu." kata salah satu Tiga Serangkai.
Setelah menggangguk kawannya itu segera meloncat ke arah seseorang yang bernana Lampit, pemimpin Tiga serangkai dari Kendal.
Di ujung yang lain, ki Padas Gempal juga menunjukkan kemampuannya yang ngedab - ngedapi, lawannya kocar - kacir tak karuan.
"Hahaha kemampuan kalian masih sekuku ireng, beraninya kalian memasuki lingkungan keraton he.! Modalmu sangatnya menyedihkan.!" kata ki Padas Gempal, merendahkan lawannya.
Ejekan itu membuat kedua prajurit panas dan meningkatkat semangat mereka untuk menghadai orang dari lereng Lawu itu. Tapi walau pun tenaga mereka meningkat, namun mereka tak mampu menyentuh tubuh lawan mereka, bahkan tubuh mereka menjadi bulan - bulanan dari ki Padas Gempal.
"Cukup, aku sudah bosan.!" teriak ki Padas Gempal sambil menyerang ganda ke arah dua pengawal prajurit itu.
Namun sebelum serangan itu sampai tujuan dua muda - mudi tiba - tiba berdiri di depannya dan menangkap kedua pergelangan orang dari gunung Lawu itu.


Panasnya Langit Demak
Jilid 3 bag 10
Oleh : Marzuki Magetan
..........................................
Kedatangan sepasang muda - mudi itu menyedot perhatian orang - orang yang bertempur itu. Khususnya ki Padas Gempal, yang secara langsung berhadapan dengan keduanya.
Setelah melepas kedua tangannya dalam cengkraman dua muda - mudi itu, ki Padas Gempal meloncat mundur menjaga jarak.
"Siapa kalian ini yang berani - beraninya menghalangi ku untuk menghabisi mereka.?"
Tapi anak muda itu tak memperdulikan pertanyaan dari ki Padas Gempal, malah seakan - akan tak ada sesuatu pemuda itu memerhatikan sekitar tempat itu, lalu berpaling ke arah gadis di sampingnya.
"Ayu, bantulah prajurit berpangkat lurah itu. Aku akan berusaha melayani kisanak ini seorang diri."
"Baik, kakang. Berhati - hatilah." sahut gadis itu, sambil berjalan ke arah lurah prajurit yang terdesak menghadapi Lampit.
"Sombongnya kau anak muda, kau akan menyesali tindakanmu ini.!" Geram ki Padas Gempal, yang meloncat menyerang pemuda di depannya.
Tapi dengan gesit pemuda yang tak lain Arya Dipa itu mendoyongkan tubuhnya, sehingga kaki ki Padas Gempal lewat selapis di wajah Arya Dipa. Namun ki Padas Gempal kembali menyusul tendangan selanjutnya dengan cepat. Maka untuk menghindari serangan mematikan itu, Arya Dipa berjumpalitan dengan manggunakan tangannya untuk menopang tubuhnya, sampai dua kali dan berdiri kembali dengan kuda - kuda mantap.
Selanjutnya orang dari gunung Lawu itu dengan gencar dan cepat menghujami pemuda anak angkat ki Mahesa Anabrang. Pertarungan keduanya sangat seru, membuat pangeran Trenggono yang sempat melirik, memuji kegesitan pemuda yang baru datang dan memihaknya.
Sementara itu Lampit yang merupakan salah satu anggota Tiga Serangkai, menyunggingkan senyum saat seorang gadis menghampirinya.
"Wah.. mimpi apa aku semalam.? Siang begini ada dara manis menghampiriku.? Hehehe." ucap Lampit, sambil tertawa terkekeh - kekeh.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 11
oleh : Marzuki Magetan.
.........................................
Lain halnya dengan ki lurah Anggoro, kedatangan Ayu Andini membuat dirinya takjub, apalagi saat tadi ia sempat melirik gadis itu mampu menangkap lengan ki Padas Gempal.
"Maaf ki lurah, bukannya aku merendahkan tuan, namun karena keadaanlah aku harap tuan membantu prajurit lainnya untuk berpasangan menghadapi para penghadang lainnya. Biarlah aku menghadapi kisanak ini." ucap Ayu Andini halus.
"Baiklah nduk, tapi bila tak memungkinkan berilah isyarat supaya kami membantu." sahut ki lurah Anggoro.
"Baik paman."
Kini tinggal Ayu Andini berhadapan dengan Lampit, yang tersenyum sendiri.
"Kita tak usah bertempur di sini, cah ayu. Minggirlah biar aku menuntaskan tugas ini. Tunggulah di pinggir dan aku berjanji akan bergulat denganmu di tempat yang nyaman, hahaha...."
Di saat Lampit masih tertawa lepas, sebuah benda dengan cepat mengarah kepalanya dan membuat tawa itu berhenti berganti makian kasar.
"Jangkrik sundal bolong..!" maki Lampit, sambil mengusap jidatnya kerena terkena sambitan batu dari Ayu Andini.
"Ah.. Akhirnya kau sadar dari mimpi, kisanak." kata Ayu Andini, dengan senyum menghiasi bibirnya.
"Awas kau gadis tak tahu diri.!"
Usai berkata begitu, Lampit dengan garang menghunus pedangnya dan menyerang Ayu Andini. Tak ingin meremehkan kemampuan lawan, Ayu Andini lantas mencabut sepasang pedangnya dan menghadang serangan lawan.
Denting senjata telah terdengar saat senjata - senjata mereka beradu. Sabetan dan tangkisan serta tajamnya pedang yang terhunus itu dengan cepat mencari mangsa dari badan yang terdiri dari segumpal darah dan daging.
Perkelahian diantara Ayu Andini dan Lampit mempertaruhkan ilmu pedang dari jalur perguruan masing - masing. Jalur Kumara Agni dan jalur Tiga Serangkai dari Kendal.
Di ujung yang lain, pertarungan sengit juga dialami oleh senopati Reksotani. Senopati Demak itu mendapat lawan yang mumpuni, yaitu ki Jembawan saudara seperguruan ki Padas Gempal.
"Menyerahlah kau senopati, sayangilah nyawamu yang masih muda ini.!"

Hahaha... Itu tidak mungkin, kisanak. Aku akan menyerah jika nyawa ini sudah jauh dari raga."
"Hemm.. Ku akui ksatriaanmu, Senopati. Baiklah aku akan menjadikan kenyataan itu.!"
Kembali keduanya bergelut laksana macan dan singa yang tak ingin daerahnya direbut. Tingkatan demi tingkatan terus menanjak semakin ke atas hingga tak terasa tenaga cadangan keduanya menyeruak keluar.
Di sisi lain Arya Dipa meloncat mundur tatkala melihat lawannya mengeluarkan senjatanya berupa rantai panjang dengan ujung berbandul.
Ki Padas Gempal dengan tangan kanan memegang rantai ujung berbandul telah memutar - mutar senjata itu.
"Keluarkan senjatamu, supaya aku tak dianggap curang.!" teriak ki Padas Gempal.
Sesaat Arya Dipa menghela napas.
"Apa boleh buat.." desisnya, sambil mengurai ikat pinggangnya kyai Anta Denta.

Jilid 3 bagian 12.


Panasnya Pangit Demak
jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi. Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat, dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu. Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis pangeran Trenggono.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Walau kerugian sudah di depan mata para penghadang itu tidak gentar, malah keberanian yang pantas disebut dengan kenekatan telah menyelimuti hati mereka.
Ki Jembawan dengan ganas menyerang senopati Reksotani menggunakan pedang besarnya. Sementara itu Subala yang menggunakan bindinya selalu mengancam kepala lawan yang masih muda darinya. Sedangkan pangeran Trenggono, walau menghadapi Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah masih tampak segar dan bahkan dengan cepat mampu mendesak kedua lawannya.
Panasnya matahari di siang itu menjadi saksi betapa trengginasnya manusia dalam berusaha melenyapkan seseorang, di lain pihak berusaha mempertahankan nyawa yang melekat di raga.
"Menyerahlah kisanak, lihatlah kawan - kawanmu sudah dalam penguasaan para prajurit Demak." kata Arya Dipa, yang mengendurkan serangannya untuk memberi kesempatan kepada kawannya untuk memperhatikan keadaan.
Tapi Subala yang merupakan pembunuh yang ditakuti di kadipaten Jipang Panolan terus mengayun - ayunkan bindinya, layaknya Raden Duryudana melawan raden Bimasena yang merupakan musuh bebuyutannya.
"Bukalah matamu kisanak, kau akan mati kehabisan darah jika terus begini." sekali lagi Arya Dipa memberi peringatan.
"Aku tak akan mati dengan luka kecil ini.!" teriak Subala.
"Apa boleh buat." desis putra angkat ki Mahesa Anabrang, yang meningkatkan kecepatan tata geraknya.
"Bangsat..! Jangan menghindar kau.!" umpat Subala, saat lawannya selalu meloncat kesana - kemari dengan cepatnya.
Memang ini pemikiran Arya Dipa untuk mengalahkan lawan dengan menguras tenaga lawan hingga tak berdaya. Benar saja dalam beberapa kejap lawannya sudah kelelahan dan terjungkal oleh tenaganya sendiri dan wajahnya menyusruk tanah yang keras.
"Bunuh aku.! Bunuh aku.! jangan kau hina aku seperti ini.!" teriak Subala sambil berusaha berdiri, namun tenaganya sudah tak memungkinkan.
"Tangkap dia.!" perintah ki lurah Anggoro kepada prajurit pengawal.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kalian.! Bunuhlah dengan pedangmu.!" berontak Subala, namun itu sia - sia belaka.


Panasnya Pangit Demak
jilid 3 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........................................
Kekalahan ki Subala oleh Arya Dipa, menambah semangat senopati Reksotani untuk segera mengakhiri lawannya. Pedang keprajuritannya terjulur lurus menusuk paha ki Jembawan hingga orang dari lereng Lawu itu mengerang kesakitan.
Saudara ki Padas Gempal itu lantas mundur menjaga jarak dan mempersiapkan ilmu pamungkasnya, namun senopati Reksotani yang sudah membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya telah meloncat dengan cepat dan kembali menjulurkan pedangnya mengarah leher orang tua itu.
"Urungkan niatmu kisanak jika lehermu tak mau tergores oleh tajamnya pusaka ku.!" ancam senopati Reksotani, berat.
Maka tangan ki Jembawan itu pun lunglai pasrah menerima nasib selanjutnya menjadi pangewan - ewan prajurit Demak.
"Bagus ki, itu lebih baik." kata senopati Reksotani, lalu mengikat tangan ki Jembawan dengan ikat kepalanya sendiri.
Tinggalah pangeran Trenggono yang masih melayani Kidang Angkup dan Yuyu Sangkrah dengan tata gerak memukau semua yang hadir di situ. Sebagai putra ketiga dari raden Patah, kemampuan pangeran Trenggono tak diragukan lagi. Tubuhnya masih dalam keadaan segar bugar walaupun sudah bertarung begitu lamanya.
"Setan dari mana yang manjing di tubuh pangeran ini.?" tanya Kidang Angkup dalam hati.
Kesiur angin yang ditimbulkan terasa panas menyengat membuat kedua lawannya mandi keringat yang terlihat membasahi pakaian mereka. Semakin lama tata gerak pangeran itu makin rumit dan mengejutkan lawannya.
"Lihat tanganku.!" teriak pangeran Trenggono, kepada Yuyu Rumpung.
Namun peringatan itu pun tak mampu dihindari Yuyu Rumpung, akibatnya orang alas Ketonggo itu terjungkal dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan lawannya.
"Sialan.!" umpatnya.
Tak lama kemudian ganti Kidang Angkup yang mendapatkan sodokan di lambungnya hingga membuat dirinya terbungkuk - bungkuk kesakitan.
"Bagaimana kisanak.? Apakah masih dilanjutkan.?"
Kedua seperguruan dari alas Ketonggo itu saling pandang dan keduanya mengangguk perlahan sambil meloncat menjaga jarak. Pedang mereka telah disarungkan kembali, lalu dengan cepat keduanya bergerak bersamaan untuk memusatkan nalar dan budi. Kedua telapak tangan menutup rapat menempel dahi, mulut keduanya bergerak perlahan merapal mantra.
Tiba - tiba terdengar desisan keras, angin yang sebelumnya hanya silir - silir semakin kencang, udara di sekitar perkelahian mendadak panas menyengat, dan ubun - ubun keduanya nampak mengeluarkan asap tipis.
"Ilmu apa yang mereka gunakan.?" pertanyaan itu menyelimuti semua orang yang ada di ujung jalan sepi itu.
Sementara itu pangeran Trenggono dengan kewaspadaan tinggi telah melindungi tubuhnya dengan aji Tameng Waja dan menerapkan aji Bajra Geni.
Di awali dengan teriakan keras dan loncatan panjang, Sepasang Malaikat Maut dari alas Ketonggo telah membenturkan aji Bayu Geni dengan pangeran Trenggono yang sudah mantap dengan aji Bajra Geni serta aji Tameng Waja.
Tak ayal lagi, dentuman keras menggelegar mengoyak udara di jalan sepi itu. Debu telah mengepul menghalangi pandangan dimana ketiga orang beradu nyawa.
Sesaat kemudian setelah angin mampu menghanyutkan debu yang ditimbulkan oleh ledakan dahsyat itu, nampak pangeran Trenggono berdiri kokoh. Sebaliknya dengan kedua lawannya, tubuh mereka hangus layaknya terbakar api prahara.
"Ah.. tiada jalan lagi, semoga Yang Maha Agung mengampuniku." desis pangeran Trenggono.

BERSAMBUNG...










A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar