jilid 2 bag 16
oleh : Marzuki Magetan
...........
Sesuai dengan rencana yang telah di susun oleh ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka, maka mereka bergerak menuju gunung Penanggungan untuk merebut kitab yang sudah lama tak muncul itu.
Di tengah jalan seorang sahabat lama dari nyi Cempaka yang bernama ki Gagak Pracola, telah ikut rombongan itu dengan niat yang berbeda.
"Aku hanya ingin membalaskan dendam ku kepada salah satu murid resi Puspanaga." kata ki Gagak Pracola."Ia telah membunuh dua saudara seperguruanku."
"Maksud kau ki panji Barong dan ki lurah Lodra.?" tanya nyi Cempaka.
"Ia, mereka tewas di tangan orang yang menyebut dirinya Sabdho."
"Baiklah, semakin banyak kawan, kita akan cepat menuntaskan dan merebut benda itu." sela ki Ajar Lodaya.
Setelah itu merekapun melanjutkan perjalanan yang kini menanjak dengan menyusuri rimbunnya semak belukar. Setelah berjalan beberapa lama, dari bawah sudah terlihat bangunan pertapaan Pucangan.
"Apakah kita langsung memasuki pertapaan itu, guru.?" tanya Putut Lembayung.
"Tidak, lebih baik kita beristirahat dahulu dan mengatur rencana yang matang dan kau Bayu Sengoro, selidiki kekuatan mereka."
"Baik, guru."
"Aku akan ikut." pinta ki Gagak Pracola.
Ki Ajar menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan ki Gagak Pracola.
Lantas kedua orang itu dengan cepat menghampiri pertapaan yang berada di lereng gunung Pucangan itu. Dengan hati - hati keduanya mengamati dari kejauhan.
"Tak banyak orang, ki." desis Bayu Sengoro.
"Memang benar apa yang aku dengar, orang tua itu tak banyak menerima sembarang murid." sahut ki Gagak Pracola lirih.
"Baik aku akan menyusuri bagian kanan."
"Berhati - hatilah, aku akan melihat bagian kiri pertapaan ini."
Maka keduanya berpisah untuk sementara.
Sementara itu Arya Dipa yang baru saja selesai berlatih di lereng bagian bawah, ketika akan kembali ke pertapaan tanpa sengaja melihat sekumpulan orang yang tak dikenalnya.
"Siapa mereka.?" tanya pemuda itu dalam hati.
"Ah, aku akan berpura - pura sebagai seorang pencari kayu bakar untuk mendekati mereka." pikir Dipa.
Dengan cepat Dipa mengumpulkan ranting - ranting kayu dan kemudian ia ikat dengan sulur tumbuhan merambat dan ia panggul di atas pundak, lalu dengan tertatih - tatih dan tubuh berkeringat Dipa menghampiri orang - orang itu.
Demi melihat adanya seorang pemuda pencari kayu itu, semua orang memandangnya, namun ketika memerhatikan dan tak ada yang mencurigakan, maka mereka tak mengacuhkannya lagi.
Setelah melewati sekumpulan orang itu, Dipa kembali memutar dan segera menuju pertapaan Pucangan dan menghadap resi Puspanaga.
"Mengapa kau tampak terburu - buru, Dipa.?"
"Eyang, tak jau dari sini ada sekelompok orang dan tampaknya mereka bukan orang kebanyakan."
"Apakah mereka bukannya sekelompok pemburu barangkali.?"
"Bukan, eyang. Mereka tak membawa busur atau lainnya, dan mereka terdiri dari penglihatanku dua lelaki dan lima wanita." jelas Dipa.
"Hem, panggilah kakangmu Palon dan Sabdho." kata resi Puspanaga selanjutnya.
Dipa berdiri dan memanggil Palon dan Sabdho yang kemudian menemui pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Palon dan kau Sabdho, cobalah amati siapa orang - orang yang berada di lereng sisi utara itu." perintah resi Puspanaga.
"Apakah aku boleh ikut, eyang..?"
"Kau disini saja, ngger dan berbuatlah wajar seolah - olah tak mengetahui apa yang terjadi. Siapa tahu mereka pun juga mengirim salah satu dari mereka untuk mengintai keberadaan kita."
Palon dan Sabdho kemudian segera pergi ke arah yang telah dijelaskan untuk mengetaui siapa sebenarnya orang - orang itu. Hari yang mulai gelap itu membantu keduanya dari untuk menyamarkan keberadaan mereka dari sekumpulan orang itu.
"Benar apa yang dikatakan oleh Dipa." desis Sabdho perlahan.
"Sembilan orang, ah bukankah itu nyi Cempaka pemimpin padepokan Kembang Wisa.?" ucap Palon seraya menunjuk wanita yang memaki pakaian berwarna putih.
"Apa yang dikerjakan oleh si ahli racun itu di tempat ini.?"
"Entahlah, ayo kita lebih dekat."
Saat Palon dan Sabdho mengintai keberadan orang - orang yang di pimpin oleh ki Ajar Lodaya, orang - orang itu sedang merundingkan rencana mereka untuk memasuki pertapaan Pucangan.
"Di sana hanya ada enam orang, guru. Dua orang tua, satu wanita yang masih gadis dan tiga pemuda." terang Bayu Sengoro.
Ki ajar Lodaya manggut seraya membelai janggutnya.
"Baikalah besok pagi kita memasuki pertapaan itu dengan dalih mencari seseorang yang bernama Sabdho dengan alasan menuntut balas kematian saudara ki Gagak Pracola. Bagaimana ki Gagak Pracola, kau setuju.?"
"Bagus aku setuju, dan dengan tanganku sendiri orang yang bernama Sabdho itu akan aku lumatkan.?"
Di kejauhan Sabdho yang namanya disebut oleh mereka, mengerutkan dahinya.
"Kau mengenal mereka adi.?" tanya Palon.
Dengan menggelengkan kepalanya, Sabdho menjawab,"Aku rasa belum pernah berurusan dengan mereka."
Ki Ajar Lodaya dan kawan - kawannya masih melanjutkan rencana mereka.
"Aku akan menghadapi resi Puspanaga dan yang lainnya terserah kalian." kata ki Ajar Lodaya.
jilid 2 bag 17
oleh : Marzuki Magetan
......
Kini semakin nyata apa yang didengarkan oleh Sabdho maupun Palon, orang - orang itu mempunyai niat merebut kitab yang kini berada di tangan Arya Dipa.
Namun dalam pada itu, masih mengganjal di hati Sabdho mengenai niat seorang yang menyebut dirinya Gagak Pracola untuk membalaskan kematian saudara seperguruannya.
"Mungkinkah orang ini salah satu dari sepasang begal bulak Gambiran, saudara ki panji Barong.?" desis Sabdho dalam perjalanan kembali ke pertapaan.
Sampainya di pertapaan kedua murid resi Puspanaga langsung melaporkan hasil pengamatan mereka.
"Dari siapakah mereka mengetahui keberadaan kitab Cakra Paksi Jatayu..?" desis resi Puspanaga, setelah mendengarkan hasil pengintaian kedua muridnya.
"Aku rasa ini semua dari kelebihan yang dimiliki nyi Cempaka, resi." kata empu Citrasena, "Ia pasti mendalami ilmu mendiang nyi ajar Prianti."
"Hem kemungkinan itu memang ada, memang nyi ajar Prianti memiliki ilmu weruh sak durunge winarah."
"Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan, guru.?" tanya Palon.
"Kita akan sambut mereka dengan baik, dan berusaha menjauhi penyelesaian dengan kekerasan, tapi apabila situasi tak memungkinkan kita siap menghadapi mereka. Tapi ingatlah hindari korban nyawa."
Semua orang mengangguk dan memahami jalan pikiran resi yang cinta damai ini.
"Selain itu waspadalah terhadap nyi Cempaka dan murid - muridnya, mereka tentu tak segan menggunakan racun." kata empu Citrasdna, "Aku akan memberikan beberapa butir penangkal racun kepada kalian, kecuali angger Dipa yang sudah mendapat bekal dari alam yang membuat dirinya kebal terhadap racun."
.....
Derap sembilan ekor kuda terdengar memasuki regol pertapaan Pucangan, yang disambut oleh Palon dan Sabdho.
"Selamat datang di pertapaan Pucangan, kisanak. Kalau boleh tahu kisanak semuanya berasal dari mana dan ada keperluan apa.?" kata Palon.
Nyi Cempaka menghampiri ki Ajar Lodaya dan berbisik kepadanya, " Pemuda ini yang terlihat dalam mata hatiku."
Ki Ajar Lodaya mengangguk lalu dengan senyum mengembang menjawab pertanyaan murid resi Puspanaga.
"Perkenalkan kisanak, aku Ajar Lodaya yang berasal dari padepokan Lemah Jenar timur Penarukan bersama kawan - kawanku ingin menghadap resi Puspanaga, untuk meminta keadilan."
"Mari kisanak, aku akan melapor guru, kawanku akan mengantar kisanak semuanya ke pendopo pertapaan." ucap Palon, yang kemudian menghadap resi Puspanaga, sementara Sabdho mengantar para tamu itu ke pendopo.
Beberapa saat kemudian, Palon kembali dengan mengiringi dua orang tua untuk menemui orang - orang dari tlatah wetan tersebut.
"Selamat datang di pertapan ini, kisanak. Aku Puspanaga merasa terhormat atas kunjungan ki Ajar dan nyi Cempaka dari padepokan Kembang Wisa." sambut resi Puspanaga ramah.
"Ah terima kasih, resi. Maafkan kami yang datang dan merepotkan para penghuni pertapaan ini. Namun itu semua dikarenakan adanya sebab yang dirasakan saudara kami terhadap salah satu murid resi." ucap ki Ajar Lodaya.
jilid 2 bag 18
oleh : Marzuki Magetan
.........
"Maksud kisanak.?" kejar resi Puspanaga.
"Biar saudaraku ini yang menjelaskan." kata ki Ajar Lodaya, sambil memegang pundak ki Gagak Pracola yang duduk di sebelahnya.
Orang yang disebut oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar itu menggeser duduknya.
"sebelumnya perkenalkan namaku Gagak Pracola dari Kadiri, kedatanganku yaitu ingin mencari pembunuh kedua saudara seperguruanku yang tewas ditangan murid resi di bulak Gambiran setahun yang lalu." terang ki Gagak Pracola yang sesaat memandang seorang pemuda yang duduk di belakang empu Citrasena, yang ia yakini sebagai Sabdho.
"Siapa nama muridku itu, ki Gagak Pracola.?"
"Sabdho, resi, mohon kiranya sang resi menyerahkan orang itu kepadaku."
"Nanti dulu, kisanak. Itu hanya sepihak saja."
Tampak ketegangan di raut muka saudara ki panji Barong dan ki lurah Lodra.
"Aku akan bertanya kepada muridku dan apa alasannya ia sampai menghilangkan nyawa seseorang."
"Ah, mengapa sang resi yang dinilai berjiwa adil telah meninggalkan paugeran yang menyimpang hingga membela muridnya yang berlaku salah.!" sergah ki Gagak Pracola, penuh luapan kemarahan.
"Jaga bicaramu kisanak.!" bentak Sabdho, yang tak tahan mendengar gurunya dihina.
"Sabarlah Sabdho, aku memaklumi kisanak ini." ucap resi Puspanaga, "Bukannya aku membela murid ataupun orang terdekatku, kisanak. Siapa saja yang memang nyata salah tentunya akan aku katakan salah, walaupun itu keluargaku sendiri.
Sesaat orang tua itu berhenti dan memandang semua tamu yang hadir, lalu ia menoleh ke Sabdho dan bertanya.
"Sabdho, kau sudah mendengar sendiri tuduhan yang diberikan kepadamu, apa jawabmu.?"
Pemuda itu menghela napas, "Benar guru, memang aku yang menewaskan ki panji Barong dan ki lurah Lodra, itupun dikarenakan kedua orang itu ingin mencelakai seorang prajurit dari Japanan."
Orang tua itu manggut.
"Tak hanya itu saja, guru. Ki panji Barong yang dulunya seorang prajurit Kadiri, telah menyimpang menjadi begal yang meresahkan pedagang ataupun orang yang akan melewati bulak ombo Gambiran." lanjut Sabdho.
"Bangsat..!! Beraninya Kau memfitnah saudaraku..!" teriak ki Gagak Pracola. "Aku tantang kau untuk perang tanding, jika kau memang laki - laki."
Tanpa basa - basi murid resi Gangsiran itu berdiri dan berjalan ke halaman dan berdiri bertolak pinggang.
Sebenarnya kemarahan yang tak terkira juga dirasakan oleh Sabdho, namun sang guru yang paham betul keadaan muridnya, segera menenangkannya.
"Redakan amarahmu, dan kendalikan nalarmu dengan bening." desis resi Puspanaga.
"Kemarilah cecunguk...!" teriak ki Gagak Pracola.
Sabdho memandang gurunya, dan setelah gurunya mengangguk memberi persetujuan, maka ia pun menghadapi tantangan orang yang merupakan salah satu dari sepasang begal bulak Gambiran.
Kini dihalaman depan telah menjadi satu kalangan yang agak lebar dengan dikelilingi penghuni pertapaan dan kawan - kawan Gagak Pracola.
Di samping pendopo dua pasang pemuda pemudi memerhatikan secara cermat apa yang terjadi di halaman itu.
"Kakang, mari kita mendekat." ajak pemudi yang tak lain Ayu Andini dengan sepasang pedang tipis di samping kedua pinggangnya.
"Ayo, tapi kau berhati - hatilah." sambut Dipa, yang menggandeng tangan Ayu Andini dan melangkahkan kakinya.
Di tengah kalangan Sabdho dan ki Gagak Pracola sudah menunjukkan kuda - kuda yang kokoh seakan menancap bumi, keheningan yang sesaat terkoyak manakala ki Gagak Pracola dengan dahsyat melancarkan pukulan ke arah kepala lawan serta tendangan ke pinggang Sabdho.
Tentu saja Sabdho yang sudah siaga itu dengan mudah menghindari kedua serangan itu dengan melangkah kebelakang dan dengan cepat membalas serangan lawan.
Walau kemarahan yang menggebu - gebu di dada ki Gagak Pracola, namun ia mampu mengendalikan nalarnya dan melakukan penjajagan untuk menilai kekuatan lawannya.
"Pantas saja setan ini mampu menewaskan dua adik seperguruanku, ia selapis lebih tinggi dari kemampuan mereka." ucap ki Gagak Pracola.
Setingkat demi setingkat pengungkapan tata gerak kedua belah pihak semakin minangkat. Desir angin yang ditimbulkan dari pukulan keduanya semakin deras dan tajam.
Suatu kali ki Gagak Pracola dengan gesit melenting dan memutar tubuhnya seraya melakukan tendangan mengarah leher Sabdho, namun murid resi Puspanaga itu dengan cepat merendahkan kepalanya sehngga bebas dari tendangan mematikan itu.
"Hebat juga kau setan."
"Ah menghadapi serangan tata gerak dasar seperti itu, anak yang baru merangkak pun mudah." sahut Sabdho.
"Bangsat tengik..!" bentak ki Gagak Pracola marah." Akan aku bungkam mulutmu."
Di luar arena, empu Citrasena hanya geleng - geleng kepala, mendengar pancingan dari kemenakanya itu.
"Anak itu dari dulu tak berubah sifat usilnya." desis empu dari Tegowangi itu.
"Hahaha, mudah - mudahan ia mampu mengatasinya empu." sahut resi Puspanaga.
Kini Gerak ki Gagak Pracola makin gencar dan dahsyat hingga Sabdho terdesak mundur beberapa tindak. Orang satu ini selain menjadi begal, juga sangat disegani di tlatah selatan pulau jawa dwipa.
jilid 2 bag 19
oleh : Marzuki Magetan
..................
Di telatah selatan pulau jawa, ki Gagak Pracola juga menguasai tempat perburuan yang luas meliputi pantai selatan. Karena itu ia pun mendapat julukan Gagak segárá kidul.
Kembali ke pertempuran yang semakin menegangkan itu, merasakan musuhnya semakin gencar libatan serangannya, Sabdho telah meningkatkan kemampuannya dalam kecepatan gerak dan dengan terperinci membaca setiap serangan lawan yang akhirnya dapat ia mentahkan.
"Setan alas...!" umpat Gagak segárá kidul itu, manakala lawannya mementahkan gempuran melalui serangan tangannya.
"Jangan banyak berkicau kau, kisanak, di sini tak ada daging mentah untuk kau makan." sindir Sabdho, yang membuat telinga orang dari kadiri itu memerah.
"Bangsat, mulutmu memang harus aku robek.!" maki ki Gagak Pracola, sambil menarik pedang berdaun duri pandan.
Pedang yang ganas itu langsung mengarah gencar ke tubuh Sabdho, yang harus cepat menghindari libatan yang seakan - akan mempunyai mata tersendiri untuk mengejar kemana pun ia bergerak.
Tak mau mendapatkan luka sekecil apa pun, murid pertapa gunung Penanggungan itu mulai menerapkan aji Tameng Wájánya dan mencabut pedangnya. Dua ilmu pedang dari perguruan berbeda kini mulai mewarnai perang tanding di pertapaan tersebut. Saling serang berupa tusukan, sabetan silang maupun mendatar dan tangkisan yang membuat dua bilang jenis pedang berbenturan maupun kadang kala bergesekan telah menimbulkan bunyi berdenting dan memercikan bunga api.
Dalam sengitnya pertempuran itu, di luar arena telah nampak adanya perbuatan licik dari pemimpin padepokan Kembang Wisá. Dengan diam - diam nyi Cempaka mengambil jarum dari balik pakaiannya dan ia sentilkan ke arah Sabdho.
Sejurus kemudian jarum yang tentunya sudah terlumuri ganasnya racun ciri khas padepokan di sisi timur Japanan itu, dengan cepat mengarah tubuh Sabdho yang tak tahu akan bahaya yang mengancam jiwanya.
Namun seorang pemuda yang di luar kalangan yang mengetahui kecurangan di pihak ki Gagak Pracola, dengan sebat menyambar kerikil dan melesatkan menangkis jarum itu.
Suara benturan dua benda itu telah menghentikan perang tanding itu untuk sementara dan pemuda yang berhasil mementahkan sentilan jarum nyi Cempaka, dengan senyum mengembang telah maju.
"Mengapa kau berlaku curang, nyai..?" suara pemuda itu yang tak bukan Arya Dipa.
"Kau, pemuda yang mencari kayu bakar itu." ucap nyi Cempaka, "Jika tahu kau juga merupakan penghuni pertapaan ini, tentu kami akan melenyapkanmu pemuda."
"Apa salahku yang menjadi penghuni pertapaan ini, nyai.?"
"Baiklah, kami tak perlu basa - basi, kedatangan kami kesini selain ingin membunuh orang yang bernama Sabdho, kami juga ingin meminta kitab kuno peninggalan raja Airlangga.!" kini giliran ki Ajar Lodaya angkat bicara.
"Maksud kisanak.?" tanya resi Puspanaga, yang pura - pura tak mengetahui maksud orang timur penarukan itu.
"Jangan pura - pura tak mengerti, resi. Di sini pasti tersimpan pusaka kitab Cakra Paksi Jatayu itu. Lebih baik serahkan kepada kami yang berhak atas kitab itu." jawab ki Ajar Lodaya.
"Hahaha.. jangan kau meracau kisanak, adakah kisanak ini mempunyai tetesan darah bangsawan Panjalu maupun Jenggala, hingga kisanak berbicara seperti itu." sela empu Citrasena.
"Diam kau orang tua.! guruku bahkan merupakan keturunan trah Mahendradatta dari kerajaan Bedahulu di pulau Bali dwipa.!" bentak putut Lembayung dengan kasarnya.
Namun sebelum empu Citrasena atau pun yang lainnya angkat bicara, resi Penanggungan itu melangkah setindak kedepan.
"Oh kiranya, kerabat sendiri yang hadir di pertapaan yang di dirikan oleh putra prabu Mahendra datta. Jika saja kisanak datang dengan kekeluargaan, tentu kami akan menjamu dengan meriah, namun karena kisanak ini datang dan ingin merebut kitab yang aku sendiri tak kuasa menyerahkan, maka mohon kiranya kisanak maafkan."
Demi mendengar penolakan walau halus dari sang resi, dada para tamu dari timur itu telah terbakar oleh amarah mereka.
"Kalau begitu dengan terpaksa kami akan merebutnya, walau harus melenyapkan nyawa kalian semuanya.!" ancam ki Ajar Lodaya.
"Ah mengapa kisanak harus begitu.? nyawa ini pemberian sang Agung, tentunya kami akan pertahankan sebisa mungkin untuk tetap manjing di raga ini."
Keadaan kini semakin tegang dan panas, semua orang telah bersiap jiwa dan raga untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.
Ki Ajar dengan tegas menempatkan dirinya menghadapi resi Puspanaga, yang tentunya mempunyai sebangsal ilmu. Di sisi yang lain, empu Citrasena mendapat lawan sepadan, yaitu nyi Cempaka yang sudah mengurai selendangnya. Dan masih dipengaruhi dendam membara, ki Gagak Pracola atau Gagak Segárá kidul kembali menghadapi Sabdho.
Sementara itu Palon mendapat lawan sepasang murid ki Ajar Lodaya, lalu Arya Dipa dan Ayu Andini melawan empat murid Kembang Wisá.
Sesaat kemudian pertempuran itupun tak terelakkan. Tandang dan tata gerak mulai mewarnai perkelahian di lereng gunung Penanggungan, yang biasanya sepi dari hiruk pikuk.
Secara berpasangan Arya Dipa dan Ayu Andini berusaha menghadapi serangan murid - murid nyi Cempaka, yang menggunakan ilmu berpasangan yang rapi dan terus mengurung kedua lawannya. Tapi dua pemuda pemudi ini dalam setahun ini pun juga sering melakukan latihan olah kanuragan secara berpasangan yang mendapat bimbingan dari empu Citrasena maupun resi Puspanaga sendiri.
Di sisi yang lain, Sabdho dengan cepat berusaha mendesak ki Gagak Pracola, dengan serangan yang semakin mantab dan dahsyat. Itu semua demi melihat kakak seperguruannya yang nampak terdesak melawan kedua murid Lemah Jenar.
jilid 2 bag 20
oleh : Marzuki Magetan
...............
Kesebatan yang dahsyat juga terlihat antara ki Ajar Lodaya dan resi Puspanaga, kedua orang tua itu walau wadagnya sudah memasuki hari - hari senja, namun kemampuan keduanya sungguh jauh dari orang biasa.
Sementara itu tak terlalu jauh, pemimpin padepokan Kembang Wisá dengan menggunakan selendangnya, terus menyerang kemenakan dari mpu Supa yang kini menetap di kademangan Tegowangi Kadiri. Walau begitu orang tua angkat dari Ayu Andini selalu bisa lolos dari setiap pagutan selandang yang bagai mempunyai mata.
"Tak kukira ternyata ilmu nyi Cempaka sudah berkembang sejak terakhir kita bertarung sepuluh tahun lalu." kata mpu Citrasena.
Nyi Cempaka telah mengerutkan dahinya, "Apa maksudmu.? siapa kau sebenarnya.?"
"Lupakah saat kau mengganggu ketenangan seorang keluarga tumenggung di kadipaten Tuban.?"
Mendengar itu, nyi Cempaka telah meloncat surut dan dengan tajam memerhatikan orang yang dilawannya.
"Kau orang yang menyelamatkan anak gadis tumenggung itu.?" suara nyi Cempaka bergetar.
"Kau sudah mulai ingat nyai, lihatlah anak gadis itu. Bukankah ia mirip istri tumenggung Arya Sambu yang kau celakakan itu."
Tubuh perempuan itu bergetar hebat, dengan loncatan panjang ia menerjang ke arah Ayu Andini. Tapi niatnya terhalang manakala di depannya mpu Citrasena menghentikan langkahnya.
"Kau lawanku nyai, tapi bila kau ingin menghadapinya tunggulah beberapa tahun lagi." ucap mpu Citrasena.
"Kau jangan menghalangi aku, Bagus Pragola.! dulu memang kau bisa mengalahkan aku, tapi lain dengan sekarang.!" bentak nyi Cempaka, seraya melempar beberapa jarum beracun.
Tapi mpu Citrasena yang semasa mudanya bernama Bagus Pragola itu sudah tahu betul watak lawannya itu. Dengan cepat mpu Citrasena meloloskan keris berdaun panjang layaknya keris khas bali dwipa, dan menangkis jarum berbisa itu.
"Masih saja kau berlaku curang seperti itu, nyai."
Mendapati senjata rahasianya dapat dengan mudah dimentahkan, nyi Cempaka kini kembali menggerakkan selendangnya yang ujungnya terdapat besi runcing. Gebrakan demi gebrakan seolah - seolah mengulang kembali pertarungan di tlatah Tuban beberapa tahun silam.
Namun kini perbedaanya ialah keduanya sudah mengembangkan tata gerak mereka sesuai ketekunan dan keuletan masing - masing kemampuan mengasah ilmu tersebut. Nyi Cempaka dengan jalur tata gerak perguruan Kembang Wisá, mengandalkan kegesitan dan banyaknya kembangan layaknya seorang penari dengan tenaga yang dahsyat. Sedangkan mpu Citrasena lewat tata gerak perguruan Kumbara Geni, mampu meloncat tanpa beban dan membuat desiran angin pukulannya terasa panas menyengat.
Pertarungan sengit juga terjadi di kalangan Palon yang harus menghadapi putut Lembayung dan Bayu Sengoro. Kedua murid Lemah Jenar ini mampu bekerja sama saling mengisi dengan tandang yang mapan. Oleh karena itu Palon harus dengan hati - hati dan cermat dalam melayani kerja sama kedua lawannya. Ia pun mengungkap ilmu Tameng Wájánya supaya wadagnya tak hancur dari pukulan - pukulan kedua saudara perguruan itu.
"Menyerahlah kau kisanak, sebelum kami benar -benar mengerahkan ilmu kami." ancam Bayu Sengoro.
Tapi Palon tetap tatag menghadapi serangan keduanya, bahkan ia telah meningkatkan kemampuannya hingga udara disekitar mereka terasa menyengat.
jilid 2 bag 21
oleh : Marzuki Magetan.
....
Ungkapan ilmu yang bersumber dari api itu mampu membuat kedua murid Lemah Jenar kesulitan, walau hanya sesaat namun telah dimanfaatkan dengan baik oleh Palon dengan mengayunkan kepalan tangannya ke kening Putut lembayung dan sambil memiringkan tubuhnya seraya mendepak lambung Bayu Sengoro.
Dua serangan sekaligus itu mengakibatkan lawannya meringis kesakitan.
"Setan thethekan, babi alas.!" maki Putut Lembayung dengan kasarnya.
Sedangkan Bayu Sengoro hanya menggeram penuh luapan kemarahan dan kembali menerjang Palon dengan menggunakan senjatanya, dan hal itu juga ditiru oleh adik seperguruannya.
Menghadapi kedua lawannya yang sudah menggunaka senjata, Palon lantas meningkatan aji Tameng Waja dan mencabut pedang dari warangkanya.
Hal itu sempat mendapatkan perhatian dari Arya Dipa yang dengan mudah menguasai lawan - lawannya, bahkan sebenarnya pemuda ini sebenarnya hanya mempermainkan para murid padepokan Kembang Waja. Maka dari itu saat sekali lagi Arya Dipa melirik keadaan Palon dalam kungkungan pedang dan tombak lawannya, Arya Dipa telah menggebrak kedua lawannya hingga keduanya terjengkang mencium tanah dan melenting seraya mengurai ikat pinggangnya, lalu menangkis kedua senjata murid Lemah Jenar.
Suara berdenting dari pertemuan ketiga senjata itu telah mencengangkan Bayu Sengoro dan Putut Lembayung, tak hanya itu saja, genggaman tangan mereka hampir saja tak kuasa mempertahankan senjata keduanya.
"Maaf kakang, aku akan mengambil salah satu lawanmu." ujar Arya Dipa, yang terus siaga.
"Bagaimana dengan murid Kembang Wisa.? Apakah Ayu Andini mampu melawan mereka.?" sahut Palon dan menguatirkan Ayu Andini.
"Jangan kuatir kakang, Ayu Andini bisa mengatasi mereka."
Kedatangan Arya Dipa yang ikut campur itu telah membuat murid ki Ajar Lodaya, semakin berang..
"Anak ini terlalu pongah setelah ia berhasil menahan serangan kita, kakang. Biarlah aku yang menggilasnya, supaya ia meratapi selembar nyawanya di alam lain.!" teriak Putut Lembayung, yang memutar tombak pendeknya.
Tapi murid kedua ki Ajar Lodaya itu terkejut saat ujung tombak pendeknya ditangkis oleh lawannya yang hanya memakai ikat pinggang.
"Kenapa kau tertegun seperti itu, kisanak.? Apakah mata tombakmu tumpul hingga tak mampu menembus ikat pinggang kulit ini.?" kata Arya Dipa.
"Kau jangan bangga, mungkin kali ini kau mampu menangkis pusakaku ini dengan ikat pinggang kulit anehmu, tapi sebentar lagi kau akan pucat melihat ilmuku.!"
Sebuah gerakan aneh dilakukan oleh Putut Lembayung, tombak pendek itu dengan dahsyat berputar layaknya kitiran dan tiba - tiba entah bagaimana tombak yang masih berputar itu, muncul ditengah putaran menusuk Arya Dipa yang agak lengah itu.
Rasa pedih telah dirasakan pemuda itu, tatkala ia melangkah mundur menjaga jarak, sebuah luka kecil mengenai perutnya. Darah menitik itu telah menyadarkan anak angkat ki Mahesa Anabrang.
Derai tawa terdengar dari Putut Lembayung, yang memperoleh kemenangan sesaat itu.
"Itu baru sekuku ireng ilmu tombakku, yang kuberi nama kincir sewu." ucap Putut Lembayung.
jilid 2 bag 22
oleh : Marzuki Magetan
........
Setelah mengusap luka itu, Arya Dipa telah siaga dan menggenggam erat ikat pinggang kyai Anta Denta. Sesaat ia merenggangkan kakinya dengan sorot mata tajam.
"Hahaha apa lagi yang akan kau buat kucing kecil.? Menyerahlah aku akan melepaskan nyawamu secara halus.!" kata Putut Lembayung seraya memutar - mutar tombak pendeknya dengan ilmu kincir sewunya.
Tapi kini Arya Dipa mulai sungguh - sungguh menghentikan lawannya itu. Keduanya lantas beradu dengan kerasnya, ilmu tombak kincir sewu itu bertubi - tubi mengarah tubuh Arya Dipa, namun dengan cepat pemuda itu menghindar dan menangkis tombak yang muncul dari putaran layaknya putaran berwarna hitam.
Karena serangannya tak menemui hasil, Putut Lembayung meloncat kebelakang dengan menekuk setengah tengkuknya lalu melenting tinggi dengan memutar tubuhnya meluncur deras menghujam kepala Arya Dipa, dengan ujung tombak lurus di depan serangan. Hal itu tak membuat surut Arya Dipa, pegangan tangannya semakin erat menggenggam kyai Anta Denta dikedua sisinya.
Sesaat kemudian dua benturan ujung tombak dengan ikat pinggang tak terelakan, hingga membuat Putut Lembayung mental kebelakang sekitar dua tombak, sedangkan Arya Dipa kokoh berdiri ditempatnya.
Wajah murid ki Ajar Lodaya menyeringai menahan landean tombak pendeknya yang hampir lepas dari genggaman tangannya.
"Tenaga anak ini layaknya sebuah banteng." desis Putut Lembayung, mulai menyadari kelebihan lawannya yang masih muda itu.
"Baiklah kalau begitu, walau aji gelap sayutá ku baru memasuki tingkat pertama, aku yakin bisa menghancurkan pemuda ini." geram murid ki Ajar Lodaya, sambil berdiri tegak dan menggerakkan tangannya.
Pemusatan nalar budi dari Putut Lembayung, ditanggapi dengan hati - hati oleh Arya Dipa. Pemuda itu segera mempersiapkan diri dengan memusatkan nalar dan budi serta memohon lindungan Sang Pencipta. Tampak tangan anak angkat ki Mahesa Anabrang bersedekap dengan mata terpejam. Sebuah ilmu pertahanan dari kitab Cakra Paksi Jatayu telah ia ungkap, sebuah pemandangan berkilau mulai menyelimuti pemuda itu.
Sementara itu Putut Lembayung seusai menerapkan aji Gelap Sayutá, mulai mengepalkan tangannya dan dengan loncatan panjang, kepalan itu menghujam deras ke tubuh Arya Dipa.
Naas telah menimpa murid kedua orang timut Penarukan itu, pukulan Gelap Sayutá telah terhalang lapisan tebal yang menyelimuti lawannya, dan tenaga pukulan itu membalik mengenai tubuhnya sendiri hingga Putut Lembayung terpental jauh dan tak sempat mengeluh, nyawanya telah loncat dari raganya.
jilid 2 bag 23
oleh : Marzuki Magetan
.....
Tewasnya Putut Lembayung di tangan seorang pemuda itu telah menyedot perhatian ki Ajar Lodaya, yang telah meloncat kebelakang menjaga jarak dari resi Puspanaga.
"Mungkinkah pemuda itu tadi menggunakan aji Niscala Praba, aji benteng kasat mata itu.?" desisnya.
"Kau mengerti banyak mengenai salah satu ilmu resi Gentayu, ki Ajar.?"
"Jadi anak itu telah mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu.? Apakah dugaanku benar, resi.?" tanya balik ki Ajar Lodaya.
"Itulah kenyataannya, ki Ajar, karena dialah orang yang dipilih langsung oleh Hyang Agung,. Oleh karena itu, urungkan niat kisanak."
"Hahaha tak selayaknya kaki ini melangkah surut, resi. Aku tetap dalam pendirianku untuk mendapatkan hak dari nenek moyangku itu.!" sergah ki Ajar Lodaya, yang kemudian melanjutkan kata - katanya, "Aku harap kau mau membujuk anak itu untuk menyerahkan kitab itu secara sukarela.!"
"Hemm, kau salah kisanak, janganlah kita yang tua ini terseret napsu semata." ucap resi Puspanaga, lembut.
"Diam kau, tak pantas kau sesorah di depanku, bila kau memang keras kepala, terpaksa ilmuku melumatkan ragamu.!" bentak guru Bayu Sengoro, seraya meloncat menyerang resi Puspanaga.
Sementara itu, penyesalan yang amat sangat telah mempengaruhi jiwa Arya Dipa. Dirinya tak mengira jika lawannya telah tewas ditangannya.
"Oh Gusti Agung, bukan niatku untuk mengakhiri hidup seseorang." keluhnya dalam hati, ketika disamping tubuh yang mulai membeku itu.
Di sisi yang lain, ki Gagak Pracola telah melibat lawannya dengan pedang pandan rinya, goresan pedang itu akan menimbulkan luka yang mengerikan jika terkena di tubuh lawan. Tapi Sabdho yang merupakan murid dari pertapa Pucangan itu, telah melindungi tubuhnya dengan Tameng Waja seutuhnya, oleh karena itu lawannya terkejut manakala pedang pandan ri itu tak meninggalkan goresan walau sedikitpun.
"Setan ini ternyata memiliki ilmu kebal." batin ki Gagak Pracola.
Namun ia segera meningkatkat tataran ilmunya semakin tinggi, pengerahan tenaga cadangan telah ikut menyeruak yang membuat serangan dari senjatanya menimbulkan kesiur angin yang panas.Tak hanya itu saja, pedang Gagak segoro kidul itu mulai memerah teraliri tenaga aji Tapak Dahana.
Tentu saja hal itu membuat Sabdho semakin berhati - hati dan meningkatkan aji Tameng Waja selapis lagi, walau pun begitu tatkala terjadi benturan betapa terkejutnya saat tangannya hampir kehilangan pedangnya. Dan rasa hawa panas menembus pertahanan ilmu kebalnya.
Di depan lawannya telah menyarungkan kembali pedangnya, dengan sikap bersungguh - sungguh kaki ki Gagak Pracola mulai meregang dengan tangan terangkat di depan dada saling merapat, dan tangan itu mulai menyala merah membara.
"Aji Tapak Dahana.." ucap Sabdho lirih.
Tak mau dirinya hangus terkena aji milik lawan yang nggegirisi, Sabdho segera memusatkan nalar budi untuk mengerahkan aji Banthala dan meningkatkan aji Tameng Waja setinggi - tingginya.
jilid 2 bag 24
oleh : Marzuki Magetan
......
Lereng gunung Penanggungan itu kembali terguncang dengan adanya dua puncak ilmu dari dua manusia yang saling bertemu dan desak - mendesak melibat tubuh yang terbuat dari segumpal darah dan daging.
Tubuh Sabdho telah tergeser dari tempatnya berdiri, tubuhnya telah terjatuh duduk bertumpu kedua lututnya. Darah segar mulai mewarnai sela - sela bibirnya dan napasnya terasa sesak, seolah - olah bara api menggerogoti isi dadanya. Lantas dengan laku waspada, murid kedua resi Puspanaga itu memerhatikan keadaan lawannya yang masih berdiri .
"Hahaha, isi dadamu pasti hangus oleh aji Tapak Dahanaku, Sabdho. Matilah dengan tenang dan lunas sudah hutang - hutangmu atas saudara seperguruanku.!" kata ki Gagak Pracola, dengan mengumbar tawanya.
Tapi tawa itu dengan tiba - tiba terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang terjengkang keras membentur bumi. Murid tertua resi Gangsiran itu telah menyusul jiwa saudara - saudaranya di alam kelanggengan.
Mengetahui lawannya sudah tumbang, Sabdho duduk bersila memusatkan nalar dan budinya demi mengatur kembali peredaran tenaga dan darahnya.
Karena tak ingin adanya gangguan yang menghampiri Sabdho, cucu begawan Jambul Kuning dengan sigap menghampiri tubuh Sabdho dan menjaganya.
Sudah kepalang tanggung bagi ki Ajar Lodaya dan Bayu Sengoro, kedua guru dan murid ini dengan ganas melibat lawan - lawannya. Tingkatan demi tingkatan semakin dekat mendekati puncak, dan pengerahan tenaga cadangan dari perguruan Lemah Jenar seakan - akan melahap tubuh lawan - lawan keduanya.
Palon dengan cermat memerhatikan gerakan senjata Bayu Sengoro yang berupa pedang berdaun lebar. Di dukung dengan tubuh tinggi besar, pedang itu terasa memiliki tenaga yang mematikan. Setiap benturannya mampu meninggalkan luka di pedang Palon yang berjenis pedang berdaun panjang dengan kedua sisinya bermata tajam.
"Orang dari wetan ini layaknya banteng jantan." desis Palon, seraya meloncat kesamping menghindari tebasan lawan.
"Mengapa kau selalu menghindar kisanak.? Apa hanya ini saja kemampuan dari pertapaan Pucangan yang terkenal itu.?!"
Tapi tak ada tanggapan dari Palon kecuali tindakan nyata dari kakinya yang mengenai lambung Bayu Sengoro, hingga tubuh itu terdorong mundur.
"Jangkrik...!" teriaknya sambil mengayunkan pedangnya.
Tebasan demi tebasan terus mengalir dengan rapat seolah - olah tak ada waktu luang. Tebasan dengan sekuat tenaga itu mulai menampakkan hasil, dengan kutungnya pedang Palon dan membuat lengah Bayu Sengoro, dimana pada saat selanjutnya, murid pertama resi Puspanaga mampu mendepak tangan kanan Bayu Sengoro dengan kerasnya dan pedang besarnya lepas dari genggamannya.
Di depan, Palon dengan kaki meregang telah meloncat menyerang dengan kaki kanan di depan mengarah dada, yang ditanggapi lawannya dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Benturan itu telah mengejutkan keduanya, kaki Palon terasa membentur karang di tepian pantai, begitu juga dengan murid ki Ajar Lodaya.
ilid 2 bag 25
oleh : Marzuki Magetan
...
Rasa nyeri yang sangat dirasakan menjalar di tulang tangan Bayu Sengoro hingga dada.
Keduanya kini mengandalkan kerasnya tulang dan liatnya daging. Pukulan dan tendangan silih berganti mencari dimana kelengahan dan kelemahan masing - masing. Tata gerak yang ditimbulkan semakin rumit sesuai keadaan yang terjadi dan tuntunan dari masing - masing jalur perguruannya.
Bayu Sengoro ternyata mempunyai kelebihan setingkat dari adik seperguruannya dan banyaknya pengalaman telah memantapkan tandangnya. Begitu halnya dengan Palon, menjadi murid tertua dari pertapaan Pucangan juga mempunyai segudang pembedaharaan pengalaman yang menunjangnya semakin trengginas, apalagi sang guru selalu memberikan tuntunannya dalam mengetahui pusat tenaga dalam dirinya atas limpahan Yang Maha Esa.
Ketegangan semakin nyata tatkala anak manusia berbeda jalur itu saling menjaga jarak untuk membuat keputusan terakhir, yaitu mengungkap ilmu simpanan terakhir.
Dengan sikap sempurna, murid resi Puspanaga telah memusatkan seluruh panca indranya menjadi satu titik yang menimbulkan pengungkapan ilmu ciri pertapaan Pucangan yang bersumber inti bumi, aji Banthala serta diiringi aji Tameng Waja. Di lain pihak, Bayu Sengoro juga menerapkan aji pamungkasnya, aji Gelap Sayuta sampai tuntas.
Dengan diawali teriakan dari kedua belah pihak, benturan tenaga pamungkas telah menimbulkan suara ledakan membahana dan kepulan debu menyelimuti perkelahian itu. Akibatnya Bayu Sengoro terpental dua tombak dengan tubuh lemas tak berdaya lagi untuk seterusnya. Sedangkan nasib baik masih mengikuti Palon, walau tubuhnya terhuyung - huyung tapi berkat kesungguhannya dalam mempertahankan keseimbangannya, ia bisa bersyukur dan menghirup napas untuk melegakan dadanya yang sesak.
Kematian orang ketiga itu, merupakan pukulan terberat bagi ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka beserta murid - muridnya. Setelah memikir untung ruginya, maka dengan perasaan yang hancur, ki Ajar Lodaya memberikan isyarat kepada sekutunya. Isyarat itu telah menimbulkan tanda tanya bagi resi Puspanaga dan lainnya yang dimanfaatkan oleh ki Ajar Lodaya dan Nyi Cempaja serta ke empat muridnya untuk menggebrak semakin dahsyat, hingga keadaan semakin kacau yang dilanjutkan ke enam orang itu meloncat jauh dan lari dari gelanggang.
Perbuatan pengecut itu telah memancing Ayu Andini dan Arya Dipa untuk melakukan pengejaran.
"Cukup, tak usah dikejar.!" cegah resi Puspanaga.
"Tapi eyang.." kata Ayu Andini terputus.
"Biarkan mereka pergi, lebih baik kita urus ketiga jasad yang membeku itu."
Maka dengan cepat para penghuni pertapaan itu mulai membagi tugas memeriksa keadaan Sabdho dan Palon, dan yang lainnya menyelenggarakan mayat - mayat itu.
Di gerumbul semak belukar di bawah kaki gunung Penanggungan, kekecewaan dan sakit hati telah merayapi dada ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka.
"Mengapa kakang memberi isyarat untuk melarikan diri.? Apakah kakang rela atas tewasnya murid dan kawan kita itu.?" tanya nyi Cempaka.
Tapi ki Ajar Lodaya hanya diam membisu dengan memejamkan mata.
( BERSAMBUNG... )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar