Sabtu, 17 Desember 2016

Panasnya Langit Demak jilid 1 ( 14 s/d 19 )

jilid 1 bagian 14.

   Sejenak kemudian maka ki Suro Werdi dengan ganas dan cepat menyerang tengkuk ki Pramono. Tapi sebuah tendangan dari ki Demang telah membuat serangannya ditarik kembali dan berbalik menghadapi ki Demang Wilangan.

   Sungguh tandang ki Suro Werdi patut mendapatkan pujian. Walau mendapat lawan lebih satu, ia masih selapis lebih unggul.

   Sementara itu Palon yang sudah menerapkan aji Tameng Waja dan sekaligus menggunakan ilmu Banthala, yang bersumber dari tenaga bumi mampu membuatnya lebih kokoh dalam menghadapi serangan prahara lawan.

   "Iblis mana yang manjing di tubuh orang ini.?" desis ki Suro Adikoro, yang dibuat kesal oleh lawannya itu.

   Kini orang penguasa alas Saradan itu, kembali meningkatkan ilmunya. Dengan meregangkan kakinya dan dua tangan menguncup di depan dada seperti orang menyembah. Tiba-tiba dari sela-sela telapak tangannya, menyeruak asap tipis dan terbang berputar-putar di depannya dan membentuk pusaran angin.

   "Aji Prahara Sewu."desis Palon.

   Benar saja, aji yang bersumber dari tenaga angin itu membesar dan terus berputar-putar hingga membuat debu dan daun-daun ikut terangkat.

"Matilah kau, setan.!" teriak ki Suro Adikoro, seraya menyentakkan kedua tangannya.

   Bersamaan dengan sentakan tangan orang bertopeng itu, maka angin yang mirip puting beliung itu memecah menjadi beberapa putaran dan bergerak kearah Palon. Tentu saja Palon yang sudah waspada dan mengetrapkan aji Tameng Waja dan Aji Bantholo, siap menerima terjangan dari aji Prahara Sewu itu.

   Sebuah pemandangan yang sungguh membuat semua orang terbelalak, angin setinggi dua tombak dan banyak itu mengepung manusia. Dengan sekuat tenaga Palon bertahan dan menguatkan pijakannya di tanah, supaya tak terangkat dan diterbangkan oleh aji Prahara Sewu itu.

   Di dahsyatnya pertempuran itu, dua pasang mata memerhatikan dari balik rimbunnya semak belukar.

  "Bukankah orang itu yang mengalahkan dirimu, Jalak Pethak.?" ucap seorang kakek.

   "Benar paman, dialah orang yang mengalahkan aku di barat tepian kali Brantas." jawab orang satunya,yang tak lain Jalak Pethak.

   "Pantas saja kau bisa dikalahkan, sedangkan aji Prahara Sewu sepupumu saja dapat ia tahan." kata kakek itu.

   Di dalan lingkaran angin prahara itu, Palon yang awalnya bertahan, mulai menyerang dengan aji Bantholo. Dari telapak tangannya menyeruak tenaga dengan warna perak mengkilau. Dan dengan menghentakkan kedua telapak tangannya, seleret warna perak yang mengkilau itu telah membuyarkan aji Prahara Sewu milik ki Suro Adikoro.

   "Mundurlah kau Adikoro." ucap kakek yang berjalan keluar dari semak belukar.

   "Ayah.. Kau, adi Jalak Pethak.?" desis ki Suro Adikoro.

Kedatangan orang tua dan Jalak Pethak, telah menghentikan perkelahian di dalam alas Saradan itu.

jilid 1 bagian 15

    Kedatangan kakek tua beserta Jalak Pethak itu menimbulkan kewaspadaan pada diri Palon.

   "Apakah dia kyai Bagor, pemimpin padepokan Kali Bening itu.?" desis Palon dalam hati.

   Sementara itu orang tua yang tak lain ayah ki Suro Adikoro itu, semakin dekat di mana Palon dan anaknya berdiri.

   "Ayah, bukankah ayah akan pulang ke Blambangan untuk menemui saudara ayah.?" tanya ki Suro Adikoro.

   "Begitukah, namun di tengah perjalanan tanpa sengaja kami bertemu, lalu aku kembali ke barat lagi. Dan kebetulan juga ketika aku sampai di padukuhan Sukomoro yang berada di tepian kali Brantas, aku bertemu dengan sepupumu ini, yang hampir saja tewas oleh orang itu." sahut orang tua itu.

   "Benar kakang, untunglah paman Menak Sriti datang dan menolongku." jelas Jalak Pethak, yang terus memandang tajam ke arah Palon.

   "Baiklah kalian urus dua cecunguk yang menghadapi Suro Werdi. Biarlah orang ini yang aku urus." kata ki Menak Sriti.

   "Baik, paman. Kakang Suro kau beristirahatlah dahulu, biarlah aku saja yang melumatkan orang itu."  Jalak Pethak menawarkan diri.

   Tapi baru beberapa langkah saja murid dari kyai Bagor itu berjalan, dari arah utara dua orang muncul telah mengagetkannya.

   "Guru dan kakang Lesmana." desis Jalak Pethak.

   Kembali semua orang memandang kemunculan kedua orang yang baru muncul itu. Seorang sebaya dengan ki Menak Sriti dan satunya seorang lelaki yang sudah berusia tiga puluh lima- tahun.

   "Ternyata dugaanku benar adanya, guru." ucap Putut Lesmana ,"adi Jalak Pethak keponakan dari orang yang selama ini membuat onar di sekitar padepokan kita."

Kyai Bagor yang berdiri di samping Putut Lesmana menghela nafas dan memandang  Jalak Pethak, lalu beralih memandang ki Menak Sriti.

   "Tak ku sangka, kita setua ini masih berbuat layaknya anak kecil. Padahal umur ini makin susut ditelan masa dan harusnya mencari bekal untuk menghadapNya." ucap kyai Bagor, sareh.

   "Hahaha memang bila itu kau sudah pantas, Kidang Gumelar. Yang sebentar lagi akan mampus jika kau mencampuri urusanku." sahut ki Menak Sriti, yang menyebut kyai Bagor dengan nama masa mudanya.

   "Baiklah kalau begitu, marilah kita yang tua ini saling berhadapan." kata kyai Bagor,lalu katanya kepada Palon, "Angger lanjutkan permainanmu dengan angger Suro Adikoro."

   "Baik, kyai." ucap Palon, sambil mengangguk hormat.

   Sementara itu Putut Lesmana dengan ringan melangkahkan kaki ke arah adik seperguruannya, yang ternyata musuh dalam selimut itu.

   Suasana di dalam alas Saradan semakin panas dan siap memberangus. Empat kalangan pertempuran sekejap kemudian telah menyala lebih dahsyat dari sebelumnya. Ki Menak Sriti yang mendapat lawan bebuyutannya itu, mulai menyerang tanpa segan-segan. Kesiur angin dari tata geraknya membuat hempasan angin sangat tajam dan membahayakan. Ilmu dari ujung Wetan yang bersumber dari perguruan Bayu Muncar telah menyeruak menelan kyai Bagor.

   Di lain sisi, Palon kembali mengulang adu kekuatan dengan ki Suro Adikoro. Mereka tanpa basa-basi mengungkap aji pamungkasnya yang akan menentukan akhir dari perang tanding itu. Pemusatan nalar dan budi telah menerapkan aji Tameng Waja untuk bertahan dan aji Bantholo untuk menyerang, sudah mendarah daging di tubuh ki Palon.

   Sedangkan di depannya yang berjarak satu tombak, ki Suro Adikoro dengan sedikit merenggang lalu kedua tangan menguncup mulai menerapkan aji Prahara Sewu. Dan sesaat kemudian dua tenaga jarak jauh telah mereka lepas, seleret warna perak kemilau dan angin yang berbentuk puting beliung bertemu dan menyebabkan suara gemuruh.

   Hentakan itu membuat tubuh ki Suro Adikoro mencelat beberapa tombak, namun dengan sekuat tenaga ia berusaha duduk. Darah segar pun mengalir dari sela-sela bibirnya. Sementara itu  Palon masih beruntung, tubuhnya yang bergeser empat tindak masih bisa mempertahankan keseimbangannya. Tapi ia pun juga mengalami luka dalam, oleh karena itu setelah memerhatikan lawannya tak mungkin menyerang, ia pun segera duduk bersila dan memusatkan nalar budi untuk mengatur pernapasannya supaya tenaganya cepat pulih.

jilid 1 bagian 16

   Di sudut yang lain, pertempuran dua saudara perguruan juga sudah menanjak semakin tinggi. Putut Lesmana dengan kelincahannya menerjang dada  Jalak Pethak yang terbuka. Tapi lawannya itu dengan gesit mendoyongkan tubuhnya kebelakang dan dengan bertumpu menggunakan kedua tangannya, telah mengangkat kedua kakinya untuk menyerang dagu kakak seperguruannya itu.

   Kini giliran Putut Lesmana yang mendapat serangan, dengan gerakan naluri kakinya menotol tanah sehingga membuat badannya tergerak ke belakang.

    Mendapati serangannya dapat dihindari, Jalak Pethak yang sudah bertumpu kembali dengan kakinya lantas meloncat dan menendang kepala kakaknya itu. Sekejap kaki itu akan mengenai kepala, tangan berotot Putut Lesmana menangkap dan membanting tubuh adik seperguruannya. Tapi dengan gesitnya Jalak Pethak memutar tubuhnya yang masih di udara dan menendang dengan kaki kirinya. Serangan itu membuat Putut Lesmana melepaskan cengkeramannya,dan membuat Jalak Pethak terhindar dari cedera.

   "Ternyata kau tak berada jauh diatasku kakang." ucap Jalak Pethak, yang menyunggingkan senyum di bibirnya. Tapi ketika ia melihat Palon yang berdiri bebas, hatinya telah mengerut.

   "Kurang ajar, setan itu bisa mengalahkan kakang Suro Adikoro. Jika ia turun kemari aku akan binasa." desis Jalak Pethak dalam hati.

   "Jangan kawatir, adi. Ini akan menjadi perang tanding antara kita berdua." kata Putut Lesmana, yang bisa membaca pikiran Jalak Pethak." kisanak itu biarlah menjadi penonton yang baik."

   "Hahaha biar dia turun gelanggang. Aku tak akan gentar. Malahan, sekali tepuk dua lalat ku dapat." kata Jalak Pethak, menutupi kegelisahannya.

   Mendengar perkataan itu, Putut Lesmana maupun Palon tersenyum dalam hati.

  Sementara itu keadaan yang parah telah di derita oleh ki Suro Werdi. Kekalahan dari pemimpinnya membuat lengah dan sebuah tusukan dari senjata ki Demang Wilangan, telah mengantarkan nyawanya ke alam kelanggengan.

   "Terpaksa aku membunuhnya." desis ki Demang, dengan nada penyesalan.

   "Sudahlah, ki Deman. Kalau ki Demang tak berbuat begitu mungkin kitalah yang menutup mata selamanya." sahut ki Pramono yang berjongkok dan mengobati luka di lengannya.

   Di sisi yang lain pertempuran angkatan tua pun sudah merambah aji pamungkasnya. Ki Menak Sriti dengan sikap sempurna telah memusatkan nalar dan budinya. Aji yang selama ini terus diasah telah manjing dan menyeruak kepermukaan. Tangannya yang menguncup di depan dada telah bergetar hebat.

Sebuah angin kecil yang tiba-tiba muncul dari ubun-ubunnya dan bergerak ke depan itu, semakin membesar dengan setinggi pohon kelapa dan terus berputar.

   "Aji Cleret Tahun." desis Palon, yang berdiri agak jauh dari tempat itu.

   Sementara pemimpin padepokan Kali Bening kyai Bagor, juga dengan mantap mengungkap aji pamungkasnya, sebuah aji yang berintikan tenaga api. Telapak tangan orang tua itu bercahaya merah membara.

   Dengan diawali teriakan dari keduanya,hentakan tenaga itu saling berbenturan. Angin Cleret Tahun setinggi pohon kelapa yang mengangkat segala apa yang diterjangnya dan seleret warna merah membara dari aji Tapak Geni, saling mendesak satu dengan lainnya.
Dan sekali lagi alas Saradan telah bergetar hebat. Debu daun dan ranting telah berhamburan ke segala penjuru.
Setelah debu itu kembali larut, sebuah pemandangan mengerikan terlihat. Ki Menak Sriti yang masih berdiri dengan kulit terkelupas akibat luka bakar dan mata melotot yang hampir keluar dari rongga matanya,m emandang kyai Bagor yang jatuh bertelekan kedua tangannya.

   "Akhirnya kau berlutut di depanku Kidang Gumelar, hahaha....." tapi kemudian tubuh itu pun ambruk dan tak berdiri untuk selamanya.

   "Bagaimana keadaan, kyai.?" ucap Palon, yang sudah berada di samping kyai Bagor dan membantunya duduk.

   "Tak apa, ngger. Hanya sesak melanda dadaku." jawab kyai Bagor, yang segera bersila dan memusatkan nalar dan budinya untuk mengatur pernapasannya.

   Kekalahan ki Menak Sriti itu, telah membuat kegelisahan ki Jalak Pethak, oleh karena itu dia dengan ganas dan membabi buta menyerang Putut Lesmana.Dan saat yang dirasa menguntu ngkan, Jalak Pethak mencabut pisau yang terselip di sabuk pinggangnya. Pisau demi pisau tercabut dan di lemparkan ke arah kakak seperguruannya, hingga membuat lawannya itu menghindari terus menerus. Di saat yang tepat itulah maka Jalak Pethak dengan sebuah loncatan panjang berusaha kabur dari tempat dan menyelinap di lebatnya semak belukar.

jilid 1 bagian 17

   Mengetahui bahwa Jalak Pethak melarikan diri, Putut Lesmana bergerak mengejar adik seperguruannya itu.

    "Tak usah kau kerja,Lesmana." suara kyai Bagor menghentikan langkah putut Lesmana.

   Dengan patuhnya murid tertua dari padepokan Kali Bening itu berjalan kembali di mana gurunya berdiri di samping Palon. Begitu juga dengan ki Demang Wilangan dan para pengiringnya, berjalan mendekati para penolongnya.

   "Terima kasih kisanak semuanya yana sudah melepaskan kami dari maut yang hampir menerkam nyawa kami." ucap ki Demang, sambil menunduk hormat.

   "itu semua berkat anak muda ini, ki Demang." sahut kyai Bagor, yang tersenyum kearah ki Palon.

   Merasa dijadikan perhatian banyak orang, Palon dengan menunduk hormat lantas membalas.

   "Ah tapi jika kyai tak datang, mungkin aku akan di hempaskan oleh aji Cleret Tahun milik ki Menak Sriti."

   "Sudahlah, kalau begitu dengan amat sangat aku mempersilahkan kisanak semua singgah di padepokanku yang tak begitu jauh dari alas ini." pinta kyai Bagor, "Tentunya setelah menyelenggarakan mereka yang tewas."

   Maka rombongan ki Demang Wilangan dan Palon menyetujui permintaan kyai Bagor, setelah menguburkan mayat ki Menak Sriti dan ki Suro Adikoro, ki Suro Werdi serta tiga anak buahnya. Sedangkan kawanan perampok yang tak berdaya ikut dibawa ke padepokan Kali Bening.

Malam telah menyelimuti luasnya langit,kegelapan yang tercipta oleh Sang Kuasa itu telah dihiasi indahnya sang candra dan kerlip-kerlip bintang. Para cantrik padepokan Kali Bening dengan sigap menyalakan obor di samping regol dan beberapa bangunan juga mulai terang dengan adanya diyan dari getah biji jarak. Di bangunan utama padepokan, kyai Bagor telah menjamu para tamunya itu.

   "Jadi angger sudah berhadapan dengan Jalak Pethak.?"

   "Iya, Kyai. Waktu itu di barat tepian kali Brantas tanpa sengaja kami bersitegang karena ia membuat onar." kata ki Palon.
"Anak itu dulunya seorang anak yang baik,tapi sejak pamannya yang datang dari Blambangan menemuinya,perubahan itu semakin nyata.Dan baru akhir - akhir inlah aku mengetahui jika salah satu pamannya ternyata ki Menak Sriti."terang kyai Bagor.
Sementara itu ki Demang Wilangan menggeser tempat duduknya dan menghadap ki Palon.
"Angger kalau boleh tahu ke manakah tujuanmu.?"
"Saya ingin mengunjungi kerabat saya yang berada di kadipaten Prana Raga."jawab ki Palon.
"Benarkah itu.?kalau begitu kita satu tujuan,dan alangkah menyenangkan jika angger Palon berjalan bersama kami."raut wajah ki Demang terlihat cerah.
"Bila ki Demang dan kakang Pramono menghendaki begitu,dengan senang hati aku menerima ajakan ki Demang."kata ki Palon.
"Baiklah,besok kita akan berangkat bersama."
"Tapi jika kalian kembali lewat sini,kalian harus mampir di gubuk reyot ini."pinta kyai Bagor.
Perkataan tuan rumah itu membuat semua orang yang berada di ruang bangunan utama itu,tertawa renyah.
Dan malam pun makin larut,sang candra pun bergerak kebarat mengikuti perputaran waktu.Maka kyai Bagor dengan tulus menyilahkan tamunya untuk beristirahat di gandok sebelah kanan.
Sang waktu pun terus berjalan sesuai kodratnya,gelapnya malam kini telah digantikan oleh sinar surya yang memancar dari langit timur.Pagi cerah telah datang,dan para penghuni padepokan dengan giat sudah bekerja sesuai tugas masing-masing.
Ki Demang dan rombongannya yang akan melanjutkan perjalanannya sejak pagi sudah selesai berbersih diri dan berkumpul di bangunan utama padepokan.
"Oh kalian sudah bersiapkah.?"suara kyai Bagor,memecah kesunyian,"tapi marilah sarapan dahulu,kasihan para mentrik sudah menghidangkan di ruang dalam."
Karena tak ingin mengecewakan kyai Bagor dan para penghuni padepokan,maka ki Demang dan lainnya menerima ajakan kyai Bagor.
Dan setelah selesai menyantap hidangan di pagi hari itu,ki Demang pun pamit undur diri beserta ki Palon,ki Pramono dan dua pengiringnya kepada penghuni padepokan.
Dengan di antar kyai Bagor dan Putut Lesmana sampai depan regol padepokan,maka lima orang yang akan menuju ke kadipaten Prana Raga itu membedal kuda tunggangan mereka.

jilid 1 bagian 18

Perjalanan dengan menggunakan kuda itu tanpa terasa sudah melewati telatah Ngurawan,di mana telatah itu pernah didiami oleh pangeran Adipati Gugur,mertua pangeran Sabrang Lor.
Di depan sebuah tapal batas dari batu berukir menunjukkan tanah itu sudah dalam kekuasaan kadipaten Prana Raga,yang pada masa itu dipimpin oleh adipati Pangeran Anom,putra kedua dari raden Bathoro Katong.
Pada saat rombongan ki Demang Wilangan memasuki padukuhan terpinggir itu,dari depan sebuah iringan prajurit berkuda berjalan ke menuju ke arah mereka.Melihat adanya iringan kuda itu,ki Pramono yang juga merupakan prajurit bumi Wengker itu segera membedal kudanya mendahului kawan-kawannya.
"Selamat siang,ki lurah Wirapati."sapa ki Pramono,setelah dekat dengan iringan prajurit yang dipimpin oleh ki lurah Wirapati.
"Ah kau ki lurah Pramono,dari mana sesiang ini.?"tanya ki lurah Wirapati.
"Aku belum resmi menjadi seorang lurah,ki lurah.Aku baru tiba dari kademangan Wilangan,dimana ki rangga Arya Sena berasal.Dan aku kesana untuk menjemput orang tua ki rangga untuk menghadiri wisudanya."jelas ki Pramono.
Senyum keramahan terlihat dari raut wajah lurah prajurit berkuda itu,lalu ia menoleh kearah ki Demang Wilangan dan yang lainnya yang sudah berada disamping kuda ki Pramono.
"Selamat datang di kadipaten Prana Raga,kisanak sekalian.Semoga kalian betah berada disini."ucap ki lurah Wirapati.
"Terima kasih,ki lurah."balas ki Demang Wilangan,sambil mengangguk hormat yang di ikuti ki Palon dan yang lainnya.
Setelah itu maka mereka pun dipersilahkan untuk melanjutkàn perjalanan mereka.Sementara ki lurah Wirapati dan prajurit bawahannya melanjutkan tugasnya.
Sampai dipersimpangan jalan,ki Demang menghentikan kudanya karena permintaan ki Palon.
"Ada apa,ngger.?"
"Maaf ki Demang,aku tak bisa terus mengiringi perjalanan ki Demang dan ki Pramono.Karena rumah kerabatku berada di padukuhan yang menuju jalan kekanan ini."sahut ki Palon.
Sesaat ki Demang memandang ki Pramono,lalu dengan senyum ia berkata,"Baiklah ngger,tapi jika kau nanti akan kembali ke timur dan melewati kademangan Wilàngan,sebaiknya kau singgah."
"Terima kasih,ki Demang.Pesan itu akan ku ingat selalu."

"Sampai jumpa kakang Palon,dan terima kasih atas bantuanmu di alas Saradan."ucap ki Pramono.
"Sudahlah adi Pramono,itu sudah menjadi kewajiban kita saling membantu bagi yang membutuhkan."
Setelah dirasa sudah cukup untuk saling mengucapkan perpisahan,maka ki Palon melecut kudanya melewati belokan kanan.Sedangkan ki Demang Wilangan dan ki Pramono serta dua pengawal kademangan terus bergerak ke depan menuju pusat kadipaten.

jilid 1 bagian 19


Rumah itu nampak sederhana dan tertata rapi.Di kanan kini beraneka warna bunga-bunga yang bermekaran indah dan sedap dipandang mata.
Seorang remaja yang berusia belasan tahun dengan tekunnya menyiangi bunga-bunga itu.
"Wah kasian bunga Mawar ini,batang bawahnya telah lapuk."desis remaja itu,sambil memegangi batang bunga tersebut.
Maka dengan terpaksa bunga mawar itu pun ia cabut dan di ganti dengan bibit baru.
"Sudah hampir senja ngger,istirahatlah."sebuah suara dari seoarang lelaki dewasa,menegur remaja itu.
"Oh ayah,sebentar lagi ayah.Tinggal memberi air bibit Mawar ini."sahut remaja itu.
Orang tua yang dipanggil ayah itu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak angkatnya yang gemar dengan berkebun itu.
Sesaat setelah selesai dengan kerjanya,remaja itu pergi ke sumur dan menarik senggot air dan menuangkan ke padasan,untuk membersihkan diri.
Sementara itu orang tua angkat remaja tadi,duduk-duduk santai di pringgitan,setelah seharian penuh bekerja di kebun belakang rumahnya.
"Apa mataku tak salah melihat..?"desis orang itu,yang tak mempercayai penglihatannya."Palon kah itu.?"
Dari ujung jalan sebuah kuda yang ditunggangi Palon terlihat oleh orang yang duduk di pringgitan rumah sederhana itu.Segera orang itu menyongsong pemuda yang memang Palon itu.
Senyum menghiasi pemuda dari lereng gunung Penanggungan itu,yang bergerak turun dari kudanya dan menuntun memasuki regol rumah di kademangan Pudak itu.
"Tak ku sangka,suara kicau burung Prenjak itu isyarat kalau akan datang dirimu,Palon."sapa orang itu sambil merangkul Palon.
"Iya paman Mahesa Anabrang,inilah mungkin suatu kebetulan dari kicaunya burung dan kedatanganku."balas Palon.
"Hahaha marilah masuk."ajak ki Mahesa Anabrang.
Setelah mengingkat tali kekang kuda di pohon Turi,maka Palon mengikuti ki Mahesa Anabrang ke dalam rumah.
Dengan akrabnya keduanya menanyakan kabar masing-masing serta kerabat yang ditinggalkan.
"Resi Puspanaga dalam lindungan Gusti Agung,paman.Sementara adi Sabdho menemui empu Citrasena di kademangan Tegowangi."kata Palon."Dan kedatanganku kemari di utus resi Puspanaga untuk memanggil paman dan putra paman."
"Arya Dipa pun juga harus ikut,apakah ada hal yang sangat serius,Palon.?"kerut di dahi ki Mahesa Anabrang,terlihat.
"Entahlah paman,aku hanya di suruh untuk menyampaikan hal itu saja."
Pembicaraan itu terhenti manakala seorang remaja yang bernama Arya Dipa memasuki ruang dalam itu,sambil membawa nampan makanan dan minumam.


"O ya Palon,inilah Arya Dipa yang disebut oleh resi Puspanaga.Dipa ini kakangmu Palon yang datang dari gunung Penanggungan yang masuk dalam kadipaten Japanan."kata ki Mahesa Anabrang,memperkenalkan ke masing-masing.
Remaja itu mengangguk hormat dan mengucapkan salam setelah meletakkan nampan,dan tak lupa mempersilahkan Palon menikmati minuman hangat dan sepirinag singkong rebus.
Sambil menikmati enaknya hidangan itu,mereka pun berbicara panjang lebar mengenai hal-hal yang ringan dan tentunya menentukan wakth keberangkatan mereka ke timur di pertapaan Pucangan.

(Bersambung...)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar