Minggu, 18 Desember 2016
Panasnya Langit Demak Jilid 2 ( 1 -15 )
ilid 2 bag 1
Karya : Marzuki
π‘π‘π‘π‘π‘
.
Udara malam itu terasa dingin luar biasa,angin yang mengalun lembut itu membuat semua orang malas untuk keluar dari rumah.Suasana itu membuat semua orang meringkuk dalam hangatnya selimut kain panjang atau jarit.
Di gardu parondan pun yang di tempati oleh beberapa anak muda yang harusnya berjaga,tampak kosong.
Di tengah malam yang gelap dan dingin itu,seorang yang berjalan kaki menghentikan langkahnya.
"Sepertinya malam ini hujan akan turun."desis orang itu.
Sesaat orang itu memerhatikan gardu parondan di ujung regol padukuhan itu.
"Lebih baik aku bermalam di gardu ini."berkata orang itu yang kemudian menaiki gardu itu dan meletakkan buntalannya.
Tak berapa lama orang itu merebahkan diri,derap kaki kuda terdengar di telinganya.Lantas orang itu kembali bangun dan duduk.
Dari ujung lorong dua kuda yang ditunggangi oleh tiga orang,yang terdiri dua orang lelaki dan satu orang remaja.Kuda itu berjalan pelan karena tak ingin mengganggu ketenangan padukuhan yang akan mereka lewati.
"Paman,sepertinya hujan akan segera tiba.Lebih baik kita berteduh di gardu parondan itu."salah seorang dari mereka berkata.
"Baiklah sepertinya Dipa juga sudah lelah."sahut orang yang dipanghil paman itu.
Maka mereka pun bersepakat untuk berteduh di gardu yang gelap itu.Tapi saat salah seorang turun dari kudanya,sebuah dehem telah mengejutkan mereka.
"Oh maaf kisanak,aku kira gardu ini kosong.Kami bertiga ingin minta ijin berteduh disini,itupun jika kisanak ijinkan."ucap penunggang kuda yang masih muda.
Orang yang lebih dulu di gardu parondan itu menganggukkan kepalanya perlahan.
"Silahkan kisanak,kita sama-sama orang yang kemalaman."ucap.orang itu.
"Oh jadi kisanak juga kemalaman seperti kami.?"ucap penunggang kuda yang disebut paman,yang tak lain ki Mahesa Anabrang.
"Benar kisanak,o ya namaku Sawung Rana.Kalau boleh tahu kisanak ini siapa dan dari mana.?"tanya orang yang mengaku Sawung Rana itu.
"Kami bertiga berasal dari kadipaten Prana Raga,namaku Mahesa Anabrang dan ini anakku Dipa.Sedangkan yang ini kerabatku,Palon.
namanya."kata ki Mahesa Anabrang,yang menerangkan jati dirinya.
"Palon.."desis Sawung Rana dalam hati.
"Oh ya silahkan naik paman,gerimis sudah turun."lanjut Sawung Rana.
Benar saja,gerimis dari langit itu telah turun membasahi bumi.Suara guntur dan kilatannya pun mewarnai cuaca di malam itu.
Dipa yang kedinginan itu meringkuk di pojokan gardu dan berselimut kain panjang,saking lelahnya ia sudah terlelap tidur dengan pulasnya.
"Apakah angger ini seorang pengembara.?"
"Tidak paman,aku baru saja berpergian ke rumah kerabat yang berada di tanah perdikan Anjuk Ladang dan akan kembali pulang ke Ploso."jawab Sawung Rana.
"Hanya berjalan kaki.?"tanya Palon,yang mengerutkan dahinya.
"Awalnya tidak,aku berkuda waktu berangkat kesana,tapi saat sampai di rumah kerabatku ternyata ia lebih memerlukan kuda itu.Maka aku pinjamkan kuda itu kepadanya."
"Wah ternyata angger berjiwa besar dan tulus bersih."kata ki Mahesa Anabrang,memuji kebaikan pemuda itu.
"Ah tidak paman,itu sudah selayaknya."
Tanpa terasa malam pun makin menusuk ke dalam,maka mereka pun telah merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata mereka.Tapi walau mata terpejam,sebenarnya ki Mahesa Anabrang dan Palon tetap waspada dan hati-hati,meskipun tampaknya orang yang bernama Sawung Rana itu terlelap dalam tidurnya.
ilid 2 bag 2
Karya : Marjuki
π‘π‘π‘π‘π‘
.
Malam itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang membuat ketegangan,semuanya berjalan dengan semestinya hingga secercah sinar mentari muncul di mega-mega timur.
Hujan yang turun di malam,membuat hari itu tampak semakin tentram di padukuhan itu.Para penghuni padukuhan mulai bekerja sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Petani dengan memanggul Cangkul dan sebilah arit yang tergenggam di tangan kanan dan tak lupa tudung terbuat dari anyaman bambu,melindungi kepala petani yang berangkat ke sawah mereka.
Para pedagang dengan barang dagangannya berupa hasil bumi dan hasil kerajinan pun mulai meramaikan jalan padukuhan itu.
Suara senggot di dekat pakiwan berderit dan suara ikatan lidi yang menyatu untuk menyapu pekarangan juga riuh terdengar di kanan-kiri pemikiman itu.
Di gardu parondan ki Mahesa Anabrang telah lama terjaga dan duduk dipinggir parondan.
Palon pun yang juga telah terjaga menggeliatkan badannya.
"Cerahnya hari ini."desis Palon.
"Benar kisanak,dan air hujan malam tadi membuat pagi ini makin indah.Para petani akan gembira melihat sawahnya yang mendapat siraman air yang baru tiba ini."kata Sawung Rana.
"Oh kau sudah bangun ngger.?"
"Iya ki,dan aku akan segera melanjutkan perjalanan ini."sahut Sawung Rana,yang telah merapikan pakaiannya.
"Mengapa buru-buru ngger.?,hari masih terlalu pagi."
"Mumpung masih pagi,ki.Serta ada keperluan di padukuhan di depan ini."kata Sawung Rana.
"Baiklah ngger.Mudah-mudahan lain waktu kita bisa berjumpa lagi."
Maka Pemuda yang mengaku Sawung Rana itu beranjak pergi untuk melanjutkan langkahnya.
Setelah kepergian anak muda itu,ki Mahesa Anabrang dan Palon masih duduk di gardu parondan ujung padukuhan itu.Sementara itu Arya Dipa masih tidur di balik kain panjangnya.
"Apakah kita berangkat sekarang,ngger.?"tanya ki Mahesa Anabrang.
Nanti saja paman,kasihan Dipa,ia tentu sangat kelelahan dengan perjalanan berkuda ini."jawab Palon,sambil memerhatikan wajah polos Dipa.
Ki Mahesa Anabrang juga memerhatikan anak angkatnya dan sebuah senyum menghiasi bibirnya.
"Anak ini sebenarnya mempunyai badan yang baik dan sangat bagus jika mendapat gemblengan olah kanuragan."desis lirih orang tua itu.
"Bukankah paman bisa menuntunnya.?"kata Palon sambil mengerutkan keningnya.
Orang tua itu menghela napas,lalu katanya.
"Memang pernah aku menuntunnya,tapi ada satu keanehan."
"Maksud paman.?"
Dan ki Mahesa Anabrang pun mulai menceritakan kejadian aneh itu.Kejadian yang berawal dari dirinya yang ingin menuntun anak angkatnya dalam ilmu kanuragan untuk bekal perjalanan hidupnya.
Kala itu di saat pagi hari,ki Mahesa Anabrang memanggil Dipa dan mengajaknya ke belakang rumahnya yang lapang.Disitu ki Mahesa Anabrang memeragakan beberapa gerak dasar olah kanuragan dari jalur perguruannya,setelah selesai ia menghampiri Dipa dan menanyakan,apakah Dipa tertarik dengan olah kanuragan yang baru sajaki Mahesa Anabrang tunjukkan.
Ternyata gayung bersambut,Dipa kagum dengan apa yang diperagakan oleh ayah angkatnya itu,dan mau diajari.Maka karena itu,di malamnya ki Mahesa mengajak anak itu kembali di belakang rumahnya yang berada di padukuhan Pudak.
Awalnya gerak demi gerak telah ia peragakan dan di tiru oleh anak itu.Tapi saat malam makin larut,tiba-tiba di kesibukan ki Mahesa Anabrang melatih anak itu,sayup-sayup sebuah desir halus terdengar.
Tapi ki Mahesa Anabrang tak memperdulikan hal itu dan terus melatih Dipa.Hingga sekali lagi desiran halus itu muncul lagi dan makin kentara.
Dan saat itulah tiba-tiba anak remaja itu jatuh pingsan tak sadarkan diri.Tentu saja ki Mahesa Anabrang yang secara naluri bergerak menangkap tubuh anak angkatnya itu.Tapi sebuah tenaga yang tak terlihat menghempaskan tubuhnya,sampai tubuh orang tua itu terjerembab di tanah.
Dalam kekagetannya,ki Mahesa Anabrang kembali terbelalak tatkala dari ubun-ubun anak remaja itu berkelebat sesosok bayangan yang menyerupai hewan bersayap sebesar gajah.
"Ah apakah itu.?"desis ki Mahesa Anabrang.
Dan bayangan itu mencuit keras lalu pudar dan menghilang.
"Apakah ini benar-benar nyata.?"ucap ki Mahesa Anabrang yang berusaha bangkit berdiri dan berjalan menghampiri anak angkatnya dan memeriksa keadaannya.
"Syukurlah ia tak apa-apa."kata ki Mahesa Anabrang,yang kemudian membawa anaknya masjk ke dalam rumah.
Pagi harinya setelah Dipa terbangun,maka ki Mahesa Anabrang menanyakan kejadian tadi malam kepada anak itu.Namun ternyata Dipa.tak ingat sedikit pun dan ki Mahesa Anabrang tak ingin memaksa anak angkatnya untuk mengingat kembali kejadian yang dialami itu.
"Baiklah nanti malam kita berlatih olah kanuragan seperti yang ayah tunjukkan di pagi kemarin."
Hari kembali menjadi malam dan mereka kembali berlatih olah kanuragan.Dan Malam yang memucak itu telah kembali mengulang kejadian sebelumnya.
Sosok itu makin terlihat nyata,sebuah burung sebesar gajah dengan mahkota menghiasi kepala burung raksasa.
jilid 2 bag 3
Karya : Marzuki
πππππ
.
Seekor burung Garuda dengan mahkota terbuat dari permata.Mata tajam memancarkan kewibaaan dan keperkasaan burung ajaib itu.Kepakan sepasang sayapnya membuat angin dahsyat yang bisa memporak-porandakan apapun yang ada di belakang rumah ki Mahesa Anabrang.
Sementara itu ki Mahesa Anabrang,dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangannya agar tak tersapu oleh kibasan angin yang ditimbulkan burung itu.
"Kaaaaak..!"suara burung bermahkota itu telah mengoyak udara di malam itu.
Suara yang bagaikan mengandung gelombang aji Gelap Ngampar itu membuat jantung ki Mahesa Anabrang bagaikan akan lepas dari tangkainya.Dengan sekuat tenaga orang tua angkat Arya Dipa mengerahkan tenaga cadangan dan berusaha menutup segala lubang panca indranya.
Di depan terlihat burung Garuda bermahkota permata itu mengangkasa setinggi dua tombak dan berputar-putar di atas tubuh Dipa yang tak sadarkan diri.Tak selang beberapa lama,kabut tipis telah keluar di sekitar tubuh anak itu,yang semakin lama menjadi pekat hingga burung Garuda itu pun tak terlihat.
Apa yang terjadi itu telah mendebarkan jantung ki Mahesa Anabrang,dengan hati was-was ia mencemaskan keselamatan anak angkatnya.
Tapi sebuah suara yang berasal dari dalam kabut,membuat hati orang tua itu.
"Tak usah kau kawatir dengan keselamatan anak ini.Dan ingatlah,jangan kau ajarkan anak ini dengan ilmu olah kanuragan,biarlah ia mendapatkan tuntunan itu dari sebuah tuntunan Cakra Paksi Jatayu."
"Siapakah kau.?"tanya ki Mahesa Anabrang,tanpa sadarnya.
"Aku putra Mahendradatta dari Bedahulu,ngger."jawab suara itu,yang mengandung wibawa.
Mendengar suara itu menyebutkan putra Mahendradatta,lantas saja membuat ki Mahesa Anabrang menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila dan menggerakkan tangannya yang ngampurancang.
"Mohon ampuni kelancangan hamba,gusti prabu."sembah ki Mahesa Anabrang.
"Sudahlah,ngger.Aku kini bukanlah seorang raja,dan kini pun aku hanyalah seoarang hamba Sang Pencipta yang berada di alam kelanggengan.Ingatlah janganlah kau tuntun anak itu dengan ilmu kanuraganmu,walau sebenarnya ilmumu juga masih sejalur dari ilmuku.Karena sebenarnya anak itu sudah digariskan mendapat tuntunan dari sebuah kitab Cakra Paksi Jatayu,yang akan tiba pada waktunya."kata suara dari kabut itu.
"Kasinggihan dawuh pikulun,hamba tentu akan mematuhi sabda pikulun."jawab ki Mahesa Anabrang.
"Baiklah,rawatlah anak ini dengan baik."
Usai perkataan itu,kabut itu memudar dan sesosok bayangan putih berada di atas punggung garuda yang secepat tatit mengangkasa dirgantara.
Setelah kepergian bayangan putih yang mengaku putra prabu Mahendradatta dari kerajaan Bedahulu,maka ki MΓ hesa Anabrang mendekati putra angkatnya dan membawa tubuh anak itu,masuk dalam rumahnya.
"Bukankah putra prabu Mahendradatta itu prabu Airlangga,paman."tanya Palon,setelah mendengarkan cerita aneh menyangkut diri Arya Dipa.
"Benar Palon,walau putra prabu Mahendradatta berjumlah tiga,tapi yang mempunyai lambang garuda terbang hanyalah prabu Airlangga atau resi Gentayu,yang moksa di gunung Penanggungan.
"Apakah ini berhubungan dengan pesan dari resi Puspanaga,yang menyuruh paman dan Arya Dipa ke pertapaan Pucangan.?"desis Palon.yang lirih seakan berkata pada dirinya sendiri.
"Entahlah."sahut ki Mahesa Anabrang.
TΓ k selang lama,remaja yang dibicarakan itu menggeliatkan badannya dan bangun dari tidurnya.Dengan polosnya remaja itu mengucek-ngucek matanya.
"Kau sudah bangun,ngger.?"
"Iya ayah,ah hari sudah begini panasnya,mengapa ayah dan kakang Palon tidak membangunkanku.?"ucap anak itu
"Tak apa ngger,kau terlihat lelah dan tidurmu begitu lelap."
"Tapi sekarang aku sudah baikan,ayah.Dan aku sudah sanggup untuk menaiki Jatayu."
Palon mengerutkan keningnya."Jatayu.."
"Iya kakang,kuda hitam itu bila dipacu oleh ayah,kencangnya bagai burung garuda tunggangan Batara Wisnu."kata Dipa,polos.
Ki Mahesa Anabrang hanya tersenyum mendengar celoteh anak angkatnya itu.
"Baiklah nanti kita adu cepatapa benar Jatayu itu lebih cepat dari Bayu Turangga milikku."tantang Palon,yang di sambut tawa ki Mahesa Anabrang.
"Wah nama kudamu begitu bagus,Palon."ucap ki Mahesa Anabrang,yang masih tersenyum.
"Hahaha,entahlah paman.tanpa sadar akupun juga memberi nama kuda itu dengan nama itu."sahut Palon.
Karena hari makin terang,ketiganya kemudian beranjak naik ke kuda masing-masing dan melanjutkan langkah mereka.
ilid 2 bag 4
Karya : Marzuki
πππππ
.
Dua kuda itu dengan perlahan menaiki tangkis sungai. Penunggangnya seorang berperawakan kekar dengan tombak menghiasi punggungnya. Sedangkan yang satunya, seorang perempuan dengan pakaian merah tua dan sebuah pedang panjang di samping pinggangnya.
Di atas tangkis berjarak dua tombak, bangunan kecil yang terbuat dari bambu kuning dengan atap rumbia terlihat tampak sepi.
"Apakah kakang Sawung Rana belum kembali.?" ucap lelaki itu, yang sudah turun dari kudanya.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan kakang." sahut si wanita.
"Kalau begitu aku akan ke sungai kembali, badanku penuh dengan debu." kembali lelaki itu bersuara.
"Baiklah kakang, aku akan menunggu di sini saja."
Lelaki itu pun kemudian berjalan kembali kearah sungai yang agak berwarna kecoklatan, karena hujan semalam.
Sedangkan si wanita, dengan menyandarkan badannya di tiang untuk mengurangi rasa lelahnya. Namun wanita itu segera berdiri tatkala dari balik pohon, seseorang telah muncul.
"Oh kakang Sawung Rana, aku kira siapa." suara wanita itu, tampak lega.
Orang yang disebut Sawung Rana itu tersenyum dan duduk di amben dekat wanita itu.
"Kau sendirian, Sumirah.?"
"Tidak kakang, aku bersama kakang Menak Raung. Ia sedang membersihkan diri di sungai." jawab Sumirah.
"Oh ya kakang, bagaimana pengamatan kakang selama di bumi Bintara itu.?" tanya Sumirah.
"Di sana sudah banyak perubahan setelah sepeninggal raden Lembu Kenanga, sekarang tampuk pemerintah berada di tangan putra mahkota, raden Pati Unus."
"Apakah ini saat yang baik untuk menggerakkan pasukan dari Puger kakang.?"
Seaat orang itu terdiam, setelah menghela napas maka Sawung Rana memandang arah sungai, di mana dari situ Menak Raung berjalan sambil menyeka air di mukanya.
"Ah kakang Sawung Rana,sudah lamakah kakang tiba.?"
"Baru saja adi, duduklah."
"Bagaima kakang, setelah kakang menyelidiki Demak.?"
Dan sekali lagi Sawung Rana menjelaskan hasil penyelidikannya ketika berada di kesultanan Demak yang merupakan sebuah ancaman bagi kadipaten Puger.Terlihat keduanya mengangguk-anggukan kepala mereka setelah mendengar rincian dari Sawung Rana, yang merupakan seorang prajurit telik sandi kadipaten Puger.
"Apakah kita tidak sanggup untuk menggempur Demak, kakang.?" tanya Menak Raung.
"Sangat sulit adi, banyak kadipaten dan tanah perdikan yang berada di kuasaan Demak, belum lagi perjalanan yang di tempuh."kata Sawung Rana.
"Tapi bukankah kanjeng Adipati sudah bekerja sama dengan kadipaten PenarukΓ n dan Blambangan, kakang.? dan itu merupakan sebuah penggabungan pasukan segelar sepapan." Sumirah angkat bicara.
"Serta beberapa padepokan tlatah wetan dan juga para bekas pasukan Giriwardana." lanjut Menak Raung.
"Memang penggabunggan pasukan itu cukup besar, tapi apakah kalian tidak memandang kadipaten Ujung Galuh dan kedaton Giri.? dan kita pun harus memandang kadipaten Japanan yang merupakan Benteng terdepan dari Demak." ucap Sawung Rana.
"Selain itu Terung pun tentu tak akan tinggal diam begitu saja, karena adipati Terung yang juga di sebut raden Kusen itu sudah berada di Demak dan mendukung pemerintahan keturunan kakaknya, raden Patah atau raden Lembu Kenanga." kembali Sawung Rana berkata.
"Lalu bagaimana selanjutnya rencana kakang.?"
"Aku akan menetap di sini, sekaligus melakukan penyelidikan di kadipaten Japanan. Siapa tahu ada peluang untuk membujuk para bangsaawan kadipaten ini."
"Baiklah kakang, tapi ijinkan kali ini aku menemani kakang." ucap Sumirah, dengan suara agak bergetar.
Sawung Rana memandang wajah wanita itu, sehingga membuat wajah wanita itu bersemu merah dan menunduk.
"Bertanyalah pada kakangmu, apakah ia mengijinkan jika adik gadisnya tinggal di tempat yang terpencil ini."
Mendengar itu, Sumirah memandang kakangnya. Tapi belum ia menggerakkan bibirnya, kakangnya tersenyum dan berkata.
"Tentu saja aku tak keberatan jika adikku yang bersedia dan tinggal bersama dengan Arjunanya..."
Tapi sebuah cubitan telah hinggap dipinggangnya dan menghentikan kata yang belum tuntas itu.
"Aduh...sudah Sumirah, aku kapok..."
Pemandangan itu membuat Sawung Rana tersenyum.
jilid 2 bag 5
Karya : Marzuki
.
Malam mulai menggelayuti langit di sekitar sungai itu. Di dalam gelapnya malam, seberkas sinar dian yang memancar dari sela - sela dinding rumah yang terbuat dari bambu kuning itu.
Di dalamnya tiga orang yang terdiri dua lelaki dan satu wanita tampak duduk di amben menikmati ganyong dan wedang.
"Bila esok kau berangkat, lewatlah sisi selatan kadipaten Penarukan dan mampirlah di padepokan Lemah Jenar." ucap Sawung Rana.
"Baik kakang, apakah ada pesan untuk ki Ajar Lodaya.?" kata Menak Raung,lalu diteruskan dengan bertanya.
Tampak Sawung Rana sesaat termenung dan menghela napas, lalu katanya.
"Katakan pada ki Ajar Lodaya, kalau aku berpapasan dengan seseorang yang bernama Palon. Mungkin orang itu berada di sekitar kadipaten Japanan ini."
"Baik kakang." sahut Menak Raung, yang kemudian menyruput wedang.
"Kakang, aku tidur dulu, mata ini sudah ingin terpenam." suara Sumirah yang halus itu, terdengar.
"Tidurlah, kami masih ingin berbincang - bincang."
Setelah kepergian Sumirah, Sawung Rana dan Menak Raung semakin bersungguh - sungguhpembicaraan mereka.
"Kakang, jika kau ingin mencari hubungan di kadipaten Japanan ini, carilah seorang pedagang kuda di pusat kota. Namanya ki Ganjur, ia masih kerabat jauhku." kata Menak Raung.
"O baik, terima kasih adi."
Di luar rumah, suara jangkrik dan bermacam serangga malam riuh terdengar. Agak di kejauhan suara kodok bangkak terdengar begitu keras, sebuah suara untuk menarik pasangannya. Dan malam yang larut semakin memuncak ketitiknya.
Sementara itu di suatu tempat yang berjarak ratusan tombak, di bawah lereng gunung penanggungan, suasana gembira memenuhi ruangan di bangunan utama pertapaan Pucangan.
Resi Puspanaga dengan ditemani empu Citrasena dan Sabdho, menyambut kedatangan ki Mahesa Anabrang, Palon dan Arya Dipa.
Usai menanyakan kabar masing - masing dan kesehatan, maka pembicaraan berlanjut dengan kelakar ringan.
"Ah malam sudah semakin larut, lebih baik kalian membersihkan badan kalian di pakiwan dan beristirah di gandok kiri." ucap resi Puspanaga.
"Baik, resi." sahut ki Mahesa Anabrang.
Ketiga orang yang baru tiba dari kadipaten Prana Raga itu kemudian berdiri dan beranjak ke pakiwan.
Ketika Arya Dipa berjalan paling belakang, resi Puspanaga memerhatikan punggung anak remaja itu.
"Empu Citrasena, itulah anak yang aku ceritakan."
"Maksud resi, anak yang kau temukan disamping suami istri yang sudah tak bernyawa di puncak gunung Bancak itu.?" tanya empu Citrasena.
"Iya, empu.Kasihan anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan Jambul Kuning, kakek anak itu sendiri."
"Memang begawan satu ini sering berubah - ubah wataknya. Aku sendiri pernah di selamatkan oleh begawan Jambul Kuning, tapi di lain waktu aku pun hampir mati ditangan orang sakti itu. Apakah resi Puspanaga bertemu dengan orang itu.?"
"Iya, kami bertarung seharian penuh. Dan anehnya, yang membuat kami berhenti bertarung karena mendengar tangis bayi Arya Dipa. Dan begawan Jambul kuning kembali berubah wataknya menjadi seorang yang berhati baik dan memungut cucunya itu." kata resi Puspanaga.
Mendengar itu, empu Citrasena hanya menghela napas dan manggut - manggut, begitu juga dengan Sabdho.
"Lalu ketika ia memandang anak dan menantunya, ia bertanya, mengapa keduanya diam.Tentu saja aku menceritakan kejadian sebenarnya, kalau ialah yang membunuhnya. Perasaan sedih yang tak terhingga telah memenuhi hati begawan itu dan ia pun menyerahkan bayi yang berada di pelukannya kepadaku, lalu dengan cepatnya orang itu menyambar kedua anak menantunya dibawa pergi dari puncak gunung Bancak. Namun lama aku menunggu, orang itu tak kunjung tiba, maka aku pun pergi dari tempat itu dan membawa bayi Dipa dan aku serahkan kepada ki Mahesa Anabrang." tutur resi Puspanaga.
"Dan semenjak itu aku belum berjumpa dengan begawan Jambul Kuning, O ya empu apakah bahan besi itu sudah berbentuk.?"
"Bahan itu sulit ditempa, resi. Malam ini aku akan melakukan semedi, mudah - mudahan mendapat kemudahan." jawab empu Citrasena.
"Baiklah aku pun akan menemani empu."
"Terima kasih, resi."
jilid 2 bag 6
Oleh : Marzuki
.......................
Suasana yang hening itu menambah pemusatan nalar budi empu Citrasena dan resi Puspanaga untuk melakukan lelaku khusus dalam langkah memperlancar pembuatan sebuah wesi aji menjadi senjata untuk menunjang si pemakai benda itu, semakin dalam. Dua orang yang linuwih dalam penguasaan ilmu yang merambah ke kedalaman diri itu, berusaha sekuat tenaga dengan memasrahkan kekerdilan jiwa, kehadapan Yang Maha Agung, agar supaya mendapat tuntunan dan pertolongan berupa kemudahan dalam mewujudkan sesuatu yang mereka inginkan.
Sementara itu, di gandok yang sudah dipersiapkan untuk Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, keduanya segera merebahkan tubuh mereka yang terasa letih akibat perjalanan siangnya. Sedangkan Palon dan Sabdho, keduanya duduk di amben dalam biliknya.
"Tidurlah kakang, perjalananmu mungkin menguras tenaga kakang." desis Sabdho.
"Tubuhku sudah merasa segar, setelah tadi tersiram dinginnya air dari sumber patirtan itu." sahut Palon, sambil menyeruput wedang sere.
"O ya kakang, coba ceritakan perjalanan kakang menuju tlatah wengker itu, pasti menyenangkan, bukan.?"
"Hahaha, menyenangkan bagaimana.? aku hampir mati di tangan orang tua gerombolan dari alas Saradan."
"Gerombolan alas Saradan.?" ulang Sabdho.
"Benar, mereka menyebut raja yang menguasai alas yang berada di tlatah Segaten itu." kata Palon.
"Siapa mereka kakang.?" kejar Sabdho.
"Namanya Suro Adikara yang merupakan anak ki Menak Sriti dari padepokan Blambangan." jawab Palon, lalu lanjutnya, "Untungnya seorang kakek yang memimpin padepokan Kali Bening, ikut membantuku."
"Maksud kakang, kyai Bagor.?"
"Iya, dengan murit tertuanya, Putut Lesmana."
Tak terasa waktu mendekati dini hari.
"Kakang, beristirahatlah meskipun barang sejenak. Aku akan keluar untuk memastikan pertapaan aman." ucap Sabdho, yang melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Baiklah."
Dan suara derit pintu terdengar terbuka, dan kembali tertutup setelah salah satu punakawan resi Puspanaga, keluar dari bilik itu.
............
Pagi itu merupakan pertama kalinya, Arya Dipa menghirup segarnya udara lereng gunung Penanggungan. Remaja itu dengan riang berjalan ke arah pakiwan dan sesampainya di pakiwan, segera ia mengerek tali senggot dan menuangkan ke dalam padasan di pakiwan.
Setelah dirasa penuh maka remaja itu akan memasuki pakiwan itu, tapi betapa terkejutnya ketika seseorang mengguyur air dari dalam pakiwan.
"Hee, jangan kurang ajar.!" bentak sebuah suara dari dalam pakiwan.
"Ooo, maaf - maaf aku tak tahu." kata Dipa, yang langsung mengurungkan niatnya dan berdiri agak jauh dari pintu pakiwan.
Sesaat kemudian seorang gadis keluar dari pakiwan dengan wajah merengut dan langsung menghajar Dipa dengan perkataan.
"Sungguh aku tak tahu jika kau berada di dalam, aku berani beraumpah." kata Dipa.
"Ah dasar hidung belang, masih kecil saja sudah begitu, kau pantas mendapat tamparan." balas gadis remaja itu, yang tak lain Ayu Andini.
Benar saja, sebuah tamparan dengan cepat mengarah Dipa. Karena Dipa tak mengerti ilmu kanuragan, maka tamparan Ayu Andini tepat mengenai pipinya.
"Aduuh...!" keluh Dipa.
"Ooh, mengapa kau tak menghindar.?" tanya Ayu Andini, yang menyesali perbuatannya setelah tamparannya tak bisa dihindari remaja di depannya.
"Bagaimana aku menghindar, tanganmu begitu cepat seperti angin." sahut Dipa,yang masih mengusap - usap pipinya.
"Maaf, tapi apa benar kau tak tahu jika aku berada di dalam.?" ucap Ayu Andini yang kemudian masih bertanya.
"Sungguh demi yang Maha Agung, bila aku berbohong aku siap diceburkan dalam sumur."
"Benar, kau berani diceburkan dalam sumur..?"
"E...e..itu.." suara Dipa terputus - putus.
"Yee....dasar, ya sudah, aku tidak sungguh - sungguh kok." kata Ayu Andini, sambil tersenyum.
Arya Dipa merasa lega, mengetahui hati gadis itu melunak.
"Oh kalian disini, apakah kalian sudah saling mengenal.?" tegur resi Puspanaga.
Kedua anak remaja itu saling menggelengkan kepala mereka.
"Baiklah, Dipa ini Ayu Andini, putri dari empu Citrasena." kata resi Puspanaga, memperkenalkan.
"Dan Andini, anak yang berada di sampingmu ini Arya Dipa, tadi malam ia bersama ayahnya ki Mahesa Anabrang, baru tiba dari telatah Prana Raga." lanjut resi Penanggungan.
Sesaat keduanya saling pandang, namun keduanya dengan cepat menunduk malu.
"Ada apa dengan kalian.?" tanya resi Puspanaga, tersenyum.
"Tidak apa - apa, eyang." sahut keduanya, bersamaan.
"Hahaha, jawaban kalian kompak, kalian ternyata cepat akrab. Baiklah aku akan kehalaman depan." kata pemimpin pertapaan itu, dan meninggalkan kedua remaja itu.
Setelah kepergian resi Puspanaga, keduanya masih berdiri mematung.
"Maafkan aku tadi, kakang." desis lirih Ayu Andini.
"Aku pun juga begitu, Ayu. Yang dengan sembrono memasuki pakiwan."
"Ah sudahlah, aku duluan kakang."
"I..iya Ayu."
Ayu Andini kemudian beranjak dari pakiwan menuju gandok yang ia tempati. Sementara itu, Dipa masih memandang belakanv punggung gadis yang sudah menampar pipinya, hingga bayangan tubuh gadis itu tak tampak.
jilid 2 bag 7
Oleh : Marzuki
.
"Wah anak gadis itu sangat perkasa, tanganya bagaikan besi gligen." desis Arya Dipa, sambil masih mengusap - usap pipinya yang kena tampar Ayu Andini.
"Mungkin jika marahnya tak cepat reda, mungkin aku sudah lumat, hehehe..." lanjut remaja itu, yang kemudian melangkahkan kakinya ke pakiwan.
Tak lama kemudian, suara guyuran air pun terdengar dari dalam pakiwan.
Sementara itu di ruang depan, tampak ki Mahesa Anabrang dan empu Citrasena duduk beralaskan tikar mendong.
"Apakah Dipa belum bangun, ki Mahesa.?"
"Sudah, empu. Mungkin ia berada di pakiwan." sahut ki Mahesa Anabrang.
Orang tua dari candi Tegowangi itu manggut - manggut, ia masih teringat dengan cerita yang dituturkan oleh resi Puspanaga.
"Ki Mahesa Anabrang, apakah kau pernah mengatakan sebenarnya kalau anak itu cucu begawan Jambul Kuning.?" tanya empu Citrasena.
"Begitulah, empu. Namun aku tak mengatakan jika sebenarnya anak itu pun juga merupakan cucu tumenggung Lembu Kumbara."
"Ah.... benarkah itu, ki Mahesa.?" ucap empu Citrasena, kaget.
Ki Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Pantas wajah anak itu mirip dengan senopati Demak yang berjuluk banteng Bintoro itu."
"Benar empu Citrasena, ki tumenggung Lembu Kumbara dalam medan perang selalu berhasil membuat lawan - lawannya kecut dan ia pun disegani oleh kawan - kawanya, sehingga ia dekat dengan Sultan Jimbun." kata ki Mahesa Anabrang.
"Namun ketika ia mendengar putri tunggalnya tewas bersama suaminya, maka ia pun mendadak sakit dan menemui ajalnya." lanjut ki Mahesa Anabrang, "Karena itulah Arya Dipa sampai sekarang aku rawat dan aku anggap anak sendiri."
"Oh jadi ki Mahesa sebenarnya berniat mengembalikan anak itu kepada eyangnya.?"
"Iya, empu."
Keduanya memadang halaman yang penuh dengan bermacam - macam bunga, walau sebenarnya keduanya merasa kasihan terhadap anak yang sebenarnya keturunan bangsawan Demak, dan kini sebatang kara. Sedangkan kakek yang satunya, tak diketahui keberadaannya danjika tahu pun, masih di sangsikan kejiwaan kakek yang selalu berubah - ubah tabiatnya.
"Ah, aku tinggal dulu ki Mahesa. Hari ini aku akan memulai penempaan." kata empu Citrasena, yang berdiri dari duduknya.
"Silahkan empu, aku pun juga ingin menemui Dipa."
........
"Dipa, mari kita menghadap resi Puspanaga." ajak ki Mahesa Anabrang.
"Mari ayah."
Keduanya kemudian melangkahkan kaki mereka ke sanggar pertapaan Pucangan.
Dari dalam sanggar, resi Puspanaga yang menunggu kedatangan ki Mahesa Anabrang dan anak angkatnya itu, segera mempersilahkan keduanya, saat keduanya mengetuk pintu sanggar itu.
"Baiklah, sekarang aku ingin mengatakan kepada kalian berdua, khususnya angger Dipa." kata resi Puspanaga, mengawali perkataannya.
jilid 2 bag 8
oleh : Marzuki
........
Dengan sungguh - sungguh Arya Dipa dan ki Mahesa Anabrang, menunggu apa yang akan dikatakan oleh orang tua dari pertapaan Pucangan itu. Suara hening untuk beberapa saat dan hanya desir halus angin saja yang terdengar.
Perlahan resi Puspanaga berkata, "Arya Dipa, bukankah kau mengetahui jika ki Mahesa Anabrang ini hanyalah ayah angkatmu.?"
Mendengar pertanyaan itu, Dipa mengangkat kepalanya dan memandang orang tua itu dan kembali menundukkan kepalanya.
"Benar, Eyang. Ayah Mahesa sudah menjelaskan mengenai jati diriku sejak lima tahun yang lalu, kalau diriku ini anak dari ayah Arya Wila dan ibu Retnowati, dan kakekku seorang begawan dari gunung Bancak, eyang begawan Jambul Kuning, orang tua dari ayah Arya Wila." kata Dipa, yang tampak sayu menahan kesedihan.
Melihat keadaan putra angkatnya itu, ki Mahesa Anabrang memegang pundak remaja itu.
"Tabahkan hatimu, bukan maksud eyangmu mengingatkan kesedihan yang telah berlalu itu."
Dipa remaja hanya mengangguk perlahan, dan sekuat tenaga menahan air matanya yang ingin menyeruak keluar.
"Kepahitan anak ini memang begitu besar, bila yang membunuh orang tuanya itu orang lain, mungkin masih bisa ia menuntut balas dengan hati yang ringan. Tapi kenyataanya, eyangnya sendiri yang berbuat begitu." desis resi Puspanaga dalam hati.
"Ngger cah bagus, tabahkan hatimu dan sekali lagi aku akan bertanya. Jika suatu hari kau bertemu dengan eyangmu dan dirimu mempunyai ilmu kanuragan yang sundul langit, apa yang akan kau perbuat.?"
Pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong, di telinga ki Mahesa Anabrang. Orang tua angkat Arya Dipa itu tak mengetahui apa yang ada dalam hati pertapa Pucangan itu, hingga meluncurkan pertanyaan yang bisa - bisa menimbulkan sesuatu yang diinginkan dan mempengaruhi jiwani Dipa.
Di sampingnya, Dipa menunduk semakin dalam. Kematian ayah dan ibunya ditangan kakeknya sendiri merupakan pukulan yang begitu berat. Ingin rasanya bila ia memang mempunyai ilmu kanuragan, maka tentu saja ia akan membalas dendam. Tapi dalam hatinya berkata lain.
"Bila keinginanku terwujud dan bisa membunuh kakekku, apakah aku tak ada bedanya dengan perbuatan kotor yang dilakukan oleh kakekku..? Dan apakah ayah dan ibuku akan hidup kembali..? Ah tidak..tidak..tidak, aku harus menyirnakan niat buruk itu..!"
Dan anak itu pun mengangkat kepalanya perlahan, terlihat senyum mengembang menghiasi bibir remaja itu.
"Tidak eyang, mengapa aku harus mengulang kembali pembunuhan yang dilakukan oleh eyang begawan Jambul Kuning.? Bila aku berbuat seprti itu, tentu aku pun akan terkutuk seumur hidupku dan mendapatkan karma yang serupa."
Jawaban itu bagaikan siraman air yang sangar sejuk di hati resi Puspanaga dan tentunya ki Mahesa Anabrang, yang tak menyangka ternyata jiwani remaja di sampingnya berjiwa ksatria.Karena itu secara naluri maka Dipa telah ia peluk dengan eratnya.
Suasana keharuan itu terasa menyejukkan ruang sanggar Pucangan, hingga kemudian resi Puspanaga mendehem.
"Semoga yang kau katakan itu terus tersimpan dalam sanubarimu, ngger. Sekarang mendekatlah dan menghadap ke arah ayahmu."
Dipa pun menggeser duduknya hingga mendekat tempat duduk resi Puspanaga, lalu tak lupa menghadap ke arah ayahnya.
Setelah itu resi Puspanaga menyingkap pakaian Dipa tepat di tengah punggungnya.
"Ternyata benar, tanda cakra ini sama persis dalam kitab Cakra Peksi Jatayu." desis perlahan resi Puspanaga.
"Kitab Cakra Peksi Jatayu..." ulang ki Mahesa Anabrang.
Dan pakaian itu pun kembali di turunkan.
"Ki Mahesa Anabrang mengetahui kitab itu.?"
"Ceritanya panjang resi." jawab ki Mahesa Anabrang, yang kemudain menceritakan pengalaman yang dirasanya sangat aneh itu.
Orang tua dari Penanggungan itu mendengar dengan seksama, yang kadang manggut bila cerita itu menyinggung sebuah burung yang bermahkota, lalu tampak tegang manakala burung itu mencuit dan suara cuitannya mengakibatkan getaran layaknya aji Gelap Ngampar dan kepakan sayapnya bagaikan angin Prahara. Dan ketika ki Mahesa Anbrang menyebut putra prabu Mahendradatta, maka semakin teguhlah hati resi Puspanaga, bahwa Dipalah anak pilihan itu.
"Begitulah resi Puspanaga." kata ki Mahesa Anabrang, mengakhiri ceritanya.
Mendengar penuturan itu, Dipa tampak bingung. Apakah benar bahwa bayangan seekor burung raksasa itu kelur dari ubun - ubunnya.
"Syukurlah, ternyata hyang widi memberikan kemudahan kepadaku." ucap resi Puspanaga.
"Semua itu benar ki Mahesa, memang Dipa inilah yang mendapat karunia dan sekaligus ujian dalam masa peralihan ini." kembali resi Puspanaga berkata.
"Dipa, apakah kau siap mengabdikan dirimu untuk berusaha berbuat kebajikan di atas buana ini..?" tanya resi Puspanaga.
Remaja itu tampak bingung, itu terlihat dari tatapan matanya.
"Hahaha, betapa bodohnya aku. Maafkan eyangmu ini Dipa, lupakan pertanyaanku tadi, kini aku ingin dirimu mempelajari sebuah kitab. Mau kah kau..?"
Mendengar kalau dirinya ditawari untuk mempelajari kitab, Dipa mengganggukkan kepalanya.
"Baiklah sebentar aku akan mengambil kitab itu." kata resi Puspanaga, sambil bergerak berdiri dan mengambil sebuah kitab yang terbungkus kain mori putih dan ia bawa kembali ke tengah sanggar.
jilid 2 bag 9
oleh : Marzuki
.........
Pandangan dua pasang mata itu tak lepas dari bungkusan kain mori itu.
"Inilah kitab Cakra Paksi Jatayu." ucap resi Puspanaga, sambil menaruh dihadapan mereka bertiga.
Dengan pelan bungkusan itu dibuka oleh resi Puspanaga, Sebuah kitab dari kulit binatang dengan gambar burung garuda bermahkota yang mengepakkan kedua sayapnya dengan sebuah lingkaran berbentuk cakra melingkari burung itu.
"Sungguh simbol yang begitu menakjubkan." desia ki Mahesa Anabrang.
Kini resi dari penanggungan itu membuka halaman pertama, yang berisi sebuah petunjuk orang yang bisa mempelajari kitab itu. Yaitu seorang yang berjiwa sabar jauh dari dendam dan mempunyai simbol garuda bermahkota dalam lingkaran cakra.
"Bacalah ki Mahesa, bukankah Dipa memenuhi syarat ini." kata resi Penanggungan, kepada ki Mahesa Anabrang.
Maka ki Mahesa Anabrang pun membaca tulisan Sansekerta itu, dan ia pun menggangguk - anggukkan kepalanya.
"Kau beruntung Dipa, ternyata dirimu berjodoh dengan kitab ini." ucap ki Mahesa Anabrang.
Arya Dipa hanya diam membisu dan pandangannya terus tertuju ke kitab itu.
Kembali resi Puspanaga membuka halaman selanjutnya, tapi di halaman selanjutnya kosong, dan ini membuat ki Mahesa Anabrang mengerutkan keningnya, tapi ia diam saja.
Lembaran demi lembaran terbuka, namun tetap kosong sampai halaman terakhir.
"Maaf resi, mengapa kitab itu berisi tulisan hanya selembar saja dan itupun hanya petunjuk seseorang yang bisa mempelajari kitab ini.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang tak bisa menahan keheranannya.
Tapi resi Puspanaga hanya tersenyum saja dan memandang Dipa, seraya membuka halaman ketiga yang menurut ki Mahesa Anabrang kosong.
"Apa yang kau lihat, ngger.?"
"Gambar seorang yang kakinya merenggang dan kedua tangannya membentuk siku - siku di samping badannya, dengan jari - jari mengepal." jawab Dipa.
"Hanya itu saja.?" kembali resi Pusanaga bertanya.
"Tidak eyang, masih ada sembilan gambar lainnya yang menggambarkan sebuah tata gerak."
Mendengar penjelasan putra angkatnya, ki Mahesa Anabrang termangu keheranan.
"Hahaha.. kau mendengar sendiri ki Mahesa.? Hanya orang terpilihlah yang mampu melihat isi kitab ini."
"Dan resi.?"
"Aku pun juga tak dapat melihatnya." sahut resi Puspanaga, yang menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apakah Dipa akan mempelajari sendiri kitab ini tanpa adanya seorang yang menuntunnya.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Aku akan berusaha mendapinginya dengan mengamati dan memberinya nasehat - nasehat." janji resi Puspanaga.
"Syukurlah kalau begitu." kata ki Mahesa Anabrang, dengan wajah lega.
"Baiklah, besok kita akan memulainya. Hari sudah semakin siang, mungkin Palon dan Sabdho sudah mempersiapkan makan siang." kata resi Puspanaga.
Dan ketiganya beranjak keluar sanggar, setelah sebelumnya resi Puspanaga menyimpan kembali kitab Cakra Paksi Jatayu ditempat yang dirasa aman.
.......
Sementara itu di padepokan Lemah Jenar, ki Ajar Lodaya sedang menerima tamunya, yaitu Menak Raung, lurah prajurit kadipaten Puger.
"Bagaimana kabar kakak seperguruanmu itu, anak mas.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Atas doa dari ki Ajar, kakang dalam keadaan sehat, ki Ajar. Dan kedatanganku kemari karena permintaan dari kakang Sawung Rana, yang kini berada di kadipaten Japanan."
"Oh begitu, tapi pesannya nanti saja, lebih baik anak mas menikmati makan malam dahulu."
"Terima kasih ki Ajar, tapi....." ucap lurah Menak Raung, yang tak selesai.
"Anakmas, tolonglah walau makanan ini hanyalah makanan desa, tapi janganlah kau tolak." kata ki Ajar Lodaya, sambil menggamit lurah muda itu.
Karena tak ingin membuat sahabat kakak seperguruannya itu kecewa, maka lurah Menak Raung mengikuti ki Ajar Lodaya ke ruang dalam. Yang ternyata di situ telah tersedia hidangan malam yang menggugah selera.
Setelah jamuan itu selesai, mereka pun kembali ke pendopo padepokan. Ternyata tak jauh dari pendopo, seorang putut sedang menuntun beberapa cantrik dalam olah kanuragan.
"Ternyata mereka sangat terampil dan cekatan, ki Ajar." puji lurah Menak Raung.
"Hahaha mereka hanya pandai meloncat - lancat saja, anakmas. Masih kalah jauh di bandingkan dengan perguruan yang di pimpin oleh ki Ajar Bajulpati." sahut ki Ajar Lodaya, merendah.
"Hahaha ki Ajar Lodaya dan guru merupakan orang pinunjul di bang wetan ini, mungkin ilmu ki Ajar dan guru imbang."
"Tidak anakmas, waktu muda dulu aku kalah telak oleh ki Ajar Bajulpati, hingga aku mengalami luka dalam yang parah, untunglah ki Ajar Bajulpati berbaik hati kepadaku dengan merawatku sampai luka itu sembuh. Dan beberapa tahun kemudian, saat aku berhadapan dengan ki rangga Sawung Rana, hasilnya imbang." tutur pemimpin Lemah jenar itu.
Lurah Menak Raung manggut - manggut, pikirannya melayang ke masa lalu, di mana gurunya ki Ajar Bajulpati yang masih berdiam di timur alas Baluran.
"Jika guru tidak pergi, mungkin kakang dan aku akan menjadi orang yang pilih tanding." desis lurah Menak Raung.
Melihat tamunya melamun, ki Ajar Lodaya mendehem hingga membuat lurah Menak Raung menyadari.
"Maaf ki Ajar."
"Tak apa anakmas, aku tahu kalau anakmas sedang merindukan ki Ajar Bajulpati, yang kini tak tahu rimbanya."
"Begitulah ki Ajar. Oh ya ki Ajar mengenai pesan dari kakang Sawung Rana, ia mengatakan jika ia bertemu dengan seseorang yang bernama Palon." kata lurah Menak Raung.
"He..." Orang tua itu tampak kaget.
"Benarkah itu, anakmas.?" tanya orang tua itu, tak percaya pendengarannya.
"Benar, ki Ajar. Mungkin saat ini orang yang bernama Palon itu berada di Japanan."
Keterkejutan orang tua pemimpin padepokan Lemah Jenar itu berangsur - angsur berubah menjadi kegembiraan, namun ia berusaha tak memperlihatkan kepada tamunya itu.
"Terima kasih, anakmas. Syukurlah anak itu bisa di temukan." ucap ki Ajar Lodaya.
Dan pembicaraan demi pembicaran terus berlanjut hingga wayah sepi wong. Lalu ki Ajar Lodaya mempersilahkan tamunya itu beristirahat di bilik yang telah dipersiapkan.
Sayup sayup suara binatang malam mulai terdengar dengan irama yang semestinya. Malam yang begitu gelap karena mendung yang begitu tebal, mendung yang mengandung uap air laut dan akan kembali menetesi bumi ini.
jilid 2 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.....
Loncatan demi loncatan dilakukan oleh Arya Dipa, di bebatuan yang berserakan belakang pertapaan Pucangan. Atas tuntunan dari resi Puspanaga yang bersumber dari kitab Cakra Paksi Jatayu, dalam sepekan ini sudah menampakkan perkembangan yang pesat.
Walau tubuh anak itu sudah berkucuran keringat, namun anak itu tak menampakkan keletihan sedikitpun.
"Sungguh tak kusanggka anak ini mempunyai tenaga yang begitu besar.." desis rasi Puspanaga, memuji tenaga Arya Dipa.
Tubuh Dipa dengan entengnya berjumpalitan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Di suatu saat, ketika kaki itu menginjak batu sebesar anak kerbau, batu itu ambles beberapa kilan kedalam tanah.
"Oh Bathoro agung.." gumam resi Puspanaga.
"Cukup ngger.!" teriak resi Puspanaga, menghentikan latihan Dipa.
Anak remaja itu dengan perlahan menata pernapasannya untuk memulihkan kembali tenaganya yang terkuras dalam latihan, lalu ia melangkah menghampiri orang tua penunggu pertapaan Pucangan di lereng gunung Penanggungan tersebut.
Orang tua itu tersenyum dam menepuk pundak Dipa perlahan.
"Ternyata kau mempunyai bakat yang bagus dalam olah kanuragan, ngger." ucap resi Puspanaga.
"Terima kasih, eyang, ini semua atas kemurahan eyang dalam menuntun cucu eyang ini." jawab Dipa.
"Hahaha..aku senang mendengarkan itu, tetap jagalah sifat rendah diri dalam tubuhmu, dan jangan mudah menepuk dada." kata resi Puspanaga.
"Ingatlah, ilmu itu hanyalah titipan dari Yang Kuasa semata dan hendaknya digunakan untuk kebenaran yang hakiki saja, ngger." kata orang tua itu lagi dengan sareh.
"Terima kasih, eyang. Semua petuah dari eyang akan senantiasa cucu ingat dan lakukan."
Orang tua itu lalu membalikkan badan dan berjalan ke gubuk pinggir kolam, yang di ikuti oleh Dipa. Keduanya duduk dengan pandangan menghadap kolam yang dihuni beberapa ikan.
"Dipa, coba kau buka lembar selanjutnya dari kitab itu." perintah resi Pusanaga.
"Iya, eyang."
Dalam lembaran itu, menurut penglihatan Dipa terdapat lukisan seseorang yang bertarung dengan ular besar yang mempunyai jampang dikedua sisi kepalanya.
"Apa yang kau lihat, Dipa.?"
"Dalam lembaran ini, menggambarkan seseorang yang bertarung dengan seekor ular, Eyang." jawab Dipa.
"Ular.?"
"Begitulah, eyang. Dan anehnya ular ini mempunyan jampang dikedua sisi kepalanya? yang mirip sebuah telinga."
"Ah benarkah itu..? apakah ada petunjuk lainnya dalam lembaran itu.?" tanya resi Puspanaga.
Ternyata di bawahnya terdapat aksara yang menerangkan lukisan itu.
"Di arah terbenamnya sang surya, sebuah lubang di atas bukit menganga dalam lindungan sang Boga Dentha...." ucap Dipa, "begitulah eyang, penjelasan aksara itu."
Orang tua itu mengerutkan keningnya, memikirkan aksara yang tentunya mempunyai sebuah makna.
"Arah terbenamnya sang surya, itu arah barat dan sebuah lubang di atas bukit, apakah itu gua..?"
"Sang Boga Dentha, mempunyai kemiripan dengan hyang Anta Boga, Dewa berwujud naga. Mungkinkah itu.....?"
"Ada apa, eyang.?" tanya Dipa, keheranan .
Resi Puspanaga mengangkat kepalanya dan memejamkan mata sesaat dan kembali membuka matanya.
"Ngger ini merupakan ujian pertama yang akan kau terima, dan taruhannya iyalah nyawamu. Apakah kau siap.?"
Tampak wajah Dipa menegang sesaat, namun wajah itu kembali tenang.
"Aku akan selalu berusaha, eyang. Bila memang Yang Maha Agung menakdirkan diri ini mati saat inipun, walau tak berada dalam medan tempur, nyawa ini tentu akan kembali kehadapanNya. Dan bila Sang Kuasa berkehendak baik, maka diri ini akan mendapat lindungannya."
Orang tua itu tak kuasa memeluk tubuh kokoh itu.
"Bagus, ngger. Besok kita akan melanjutkan pendadaran yang akan kau lalui." kata resi Puspanaga.
Ikan dalam kolam berenang kian kemari tanpa menghiraukan adanya dua orang yang duduk di gubuk itu. Warna - warni ditubuhnya membuat orang yang melihat akan mengagumi. Apalagi jika tubuh itu dibakar ataupu dimasak dengan cara lainnya, tentu akan mendatangkan manfaat bagi yang melahapnya, itulah ciptaaan dari Yang Maha Agung.
jilid 2 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.........
Di tengah malam yang begitu dingin itu, tiga sosok bayangan orang melangkahkan kaki ke arah barat pertapaan Pucangan. Ketiganya walau di kegelapan malam dan rimbunnya semak tanpa kesulitan melangkahkan kaki dengan cepat.
Tanpa terasa tempat yang dituju yang berjarak ratusan tombak itu telah sampai. Di depan mereka kini banyak ditumbuhi beraneka macam tumbuhan empon - empon dan sejenisnya. Dan bila dicermati dengan tajamnya panca indra, berjarak lima langkah, terdengar desis hewan melata.
"Ular.." desis ki Mahesa Anabrang.
"Tak hanya satu ki, di sana pun juga ada." sahut resi Puspanaga, sambil menunjuk ular yang berwarna belang.
Mengetahui banyaknya ular - ular yang berada di depannya itu, tengkuk Dipa meremang.
"Dipa kami hanya bisa mengantarmu sampai disini, kini kau harus berjalan ke depan sampai kau menemukan mulut gua itu. Semuanya tergantung tekad dan keberununganmu." ucap resi Puspanaga.
Anak remaja itu hanya menganggungkan kepalanya.
"Berdo'alah kepada Hyang Agung, supaya mendapat lindungannya dan bisa menyelesaikan lakumu yang pertama ini." lanjut orang tua dari gunung Penanggungan itu.
"Baik eyang, aku mohon restunya." kata Dipa, lalu menghadap ayah angkatnya, "Ayah, akupun juga meminta pangestu dari ayah."
"Terimalah pangestu kami, ngger."
Setelah meminta restu dari eyang resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang, maka Dipa berbalik badan dan melangkahkan kakinya.
Tiga langkah kemudian, kaki Dipa telah menotol tanah sehingga membuat tubuhnya membal keatas dan melewati beberapa ular berbisa. Atas keuletan selama sepekan ini mampu membuat tubuh anak remaja itu seringan kapas layaknya sang garuda mengarungi dirgantara.
Ki Mahesa Anabrang yang memperhatikan gerak anak angkatnya itu, terkagum - kagum. Ternyata ilmu peringan tubuh anaknya itu, telah berada di atasnya.
Sementara itu, Dipa dengan cermat dan tangkas, selalu melompat dari batu ataupun batang pohon kesatu ke lainnya untuk menghindari marabahaya dari bisa ular yang begitu banyaknya, hingga sampai di tanah rerumputan berbatasan gerumbul tinggi
Anehnya di tanah rerumputan itu, tiada satupun ular yang berani mendekatinya. Dengan wajah termangu - mangu Dipa memperhatikan ular - ular yang hanya berdesis tanpa mengganggunya. Lalu Dipa membalikkan badannya dan menghadap rerimbunnya gerumbul.
"Aneh, di sini tak ada lubang pintu gua." desis Dipa, perlahan.
Sekian lama memperhatikan dan dengan menyibak rerimbunan gerumbul itu menggunakan tangannya, akhirnya lubang mulut gua itu nampak.
Sebuah mulut gua yang tak terlalu besar membuat Dipa kembali melangkahkan kakinya dengan hati - hati dan perlahan.
Gelap yang begitu pekat tak menyurutkan tekad dihati Arya Dipa, walau agak sulit dalam melangkahkan kakinya ia terus maju ke depan.
Saat melangkahkan kakinya beberapa tindak, Dipa mendengarkan desis yang keras dari dalam gua.
"Mungkinkah itu yang dimaksud dengan Anta Denta itu.?" ucapnya dalam hati.
Kembali suara itu kembali terdengar, dan kini semakin keras.
"Duh Gusti Agung, berikanlah hambamu ini kekuatan dan ketabahan untuk menuntaskan lelaku ini." do'a Dipa dalam hati.
Langkahnya kini semakin dalam yang ternyata sampai di tikungan gua.Dari situ, lamat - lamat terlihat seekor ular besar mengerikan.
Badan ular bersisik merah dengan ekor melingkar, lalu diatas kepalanya nampak tanduk bercabang, layaknya tanduk rusa. Kedua sisi kepala terdapat jampang kuning keemasan dan mata yang terpejam
"Apakah ini kenyataan ataukah hanya mimpi...?" desis Dipa, seraya mengucek - ucek matanya.
"Ah ini memang nyata..." sanggahnya.
Di awali dengan kepasrahan kepada sang Agung, kembali Dipa mencoba melangkahkan kakinya lebih dekat lagi.
Tiba - tiba ular itu telah bergerak meregangkan lilitan ekornya, dan kembali terdiam tanpa membuka matanya.
Jantung Dipa yang berdetak kencang itu, agak lega manakala menyaksikan ular itu kembali terdiam.
"Kelihatannya, ular itu sedang menjaga sesuatu di balik badannya. Tadi di saat ia mereganggkan ekornya, tampak sesuatu di mataku." ucapnya dalam hati.
jilid 2 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.........
Sesungguhnya di balik tubuh naga itu, tumbuh sebuah tanaman ajaib yang selalu direbutkan oleh semua makhluk. Itu terbukti dari adanya tulang - tulang kerangka yang berserakan di sekitar dalam gua itu, entah itu dari kalangan manusia atau hewan.
Ular itu kembali bergerak walau hanya sesaat. Dan Dipa sangat yakin dengan apa yang ada di balik ular raksasa itu.
Segera anak itu memutar otak untuk memancing ular sebesar batang kelapa itu meninggalkan tumbuhan yang ia tunggu. Karena itu, Dipa memungut sebutir kerikil dan dengan tenaga penuh, kerikil itu ia sentilkan ke arah kepala naga.
Begitu derasnya laju kerikil mengarah tepat di tengah dahi ular raksasa itu, hingga membuat ular itu membuka matanya dan dengan keras mendesis penuh kemarahan.
Sorot mata sang ular begitu tajam mengarah anak remaja yang telah berani memasuki dan bahkan mengganggunya. Tubuh ular itu menggeliat begitu hebat, dan ekornya dengan ganas menyabet tubuh anak manusia yang berada di depannya.
Tapi datangnya serangan dari ekor ular itu sudah dierkirakan oleh Arya Dipa. Kakinya segera bergeser kebelakang beberapa tindak, lalu menotol tanah untuk melambungkan tubuhnya kebelakang dan berhenti di depan mulut gua.
Mengetahui mangsanya bisa dengan mudah menghindari serangan ekornya, ular jampang bersisik merah itu marah bukan kepalang. Kembali ekor itu menyabet seonggok tanah yang padat di depannya, hingga membuat onggokan tanah padat itu mencelat kearah Dipa.
Sungguh kecepatan lesatan onggokan tanah padat itu melampaui pemikiran orang awam. Tapi itu tak membuat Dipa kehilangan akal, ia tetap dalam keseimbangan nalar dan dengan tenang menggulingkan badannya untuk menghindari cipratan tanah padat itu.
Dan tanah itu melaju terus hingga mengenai gerumbul semak di depan gua. Pemandangan mendebarkan terlihat dari akibat tanah itu, gerumbul itu rusak parah tak karuan. Mungkin jika onggokan tanah padat itu mengenai manusia yang terdiri dari seonggok daging, bisa dipastikan tubuh itu akan mengalami luka arang kranjang.
Tubuh Dipa kini sudah bertumpu dengan kakinya kembali dan suap menghadapi ular yang mungkin juga disebut naga itu. Supaya mendapat tempat yang luas dan menguntungkan, anak angkat ki Mahesa Anabrang itu menggeser kakinya ke tanah yang agak lapang dan supaya ular itu terpancing keluar dari gua yang berbentuk siku itu.
Desisan yang panjang dan keras sering terdengar seiring kemarahan sang ular naga yang merasa diganggu oleh mahkluk berkaki dua. Gesekan badan ular itu cukup membuat tanah yang dilewati meninggalkan bekas panjang sedalam satu kilan orang dewasa.
Sesampai ular naga itu berada di luar gua, ular naga yang disebut Anta Denta dalam kitab Cakra Paksi Jatayu itu, mengamuk dengan mengibaskan ekornya mengarah Dipa. kibasan demi kibasan itu membuat tumbuhan yang terjangkau dari serangan dahsyat itu, porak poranda.
Hal itu juga membuat beberapa ular yang mulanya berada di sekitar gua itu, tunggang langgang menjauhi pertempuran di tengah malam dan berada di punggung gunung Penanggungan.
Bahkan suara gemeretak cabang - cabang ranting yang terkena serangan ekor Anta Denta, sampai terdengar dari tempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga berada, namun kedua orang tua itu tak bisa berbuat apa - apa.
Kembali di depan gua, Arya Dipa dengan gesit dan lincah menghindari kibasan dan lilitan ular Anta Denta. Suatu kali anak itu yang menotolkan kakinya hingga melampaui tubuh sang ular naga, kaki Dipa sempat mendepak kepala belakang ular itu. Tapi depakan itu, bagi Anta Denta seperti terkena semilir angin saja. Lain halnya dengan Dipa, kakinya bagaikan mendepak besi gligen, hingga anak itu meringis.
" Apakah bagian belakang kepala ular naga itu, terbuat dari besi gligen..?" keluh Arya Dipa.
Kelengahan yang hanya sesaat itu, mengakibatkan kerugian Dipa. Begitu tersadar tubuh anak itu terhempas dua tombak, terkena kibasan ekor ular.
Dengan tertatih - tatih Dipa berusaha sekuat tenaga berdiri, namun lagi - lagi ekor ular itu berhasil membuatnya tehempas dengan luka memar - memar menghiasi tubuhnya. Namun tekad dan semangt yang besar menguatkan diri anak itu. Kakinya kembali dengan kokoh berdiri di atas bumi.
Tapi Ular itu kini bergerak cepat ingin melahap anak itu, mulut itu terbuka lebar dengan dua taring yang mengerikan siap menancap kepala Dipa.
Namun semua itu sirna manakala anak pilihan resi Gentayu itu melesat layaknya burung garuda dan hinggap naga Anta Denta. Dipa yang tak mau nyawanya berhenti di mangsa ular naga, dengan keras tangannya mencengkram tonjolan merah yang tepat di dahi ular itu. Akibatnya ular itu menggeliat - geliatkan badannya tak karuan. Ekornya pun berusaha mengibas anak yang memeluk badannya.
Bertubi - tubi ekor itu mengenai tubuh Dipa, tapi Dipa dengan sekuat tenaga menahan sakit akibat kibasan ekor itu dengan mencengkram tonjolan merah itu lebih keras lagi.
Karena usaha kibasan ekornya tak berujung hasil, kini ular naga Anta Denta mengguling - gulingkan tubuhnya, agar manusia yang berada di atas tubuhnya bisa terlepas. Usaha itu membuahkan hasil, tangan kanan Dipa terlepas dari cengraman, tapi tangan Dipa kini mengarah pada belakang kepala ular itu. Di situ ada sisik yang bergaris panjang menyerupai sabuk. Dengan keras Dipa menggapainya dan menarik dengan kekuatan penuh.
Sebuah keuntungan tak terkira didapat anak itu, ia berhasil mendapatka sisik bergaris panjang itu, walau tubuhnya terpelanting dan jatuh. Lain halnya dengan Anta Denta, ular itu merasakan tubuhnya bagai tersiksa dikarenakan tonjolan sisik bergaris panjang itu, merupakan kelemahan keduanya.
Sementara itu Dipa memperhatikan bekas tonjolan sisik bergaris panjang yang berada di genggamannya.
"Inikah tadi yang membuat kakiku sakit ketika aku mendepak belakang kepala ular itu, walua begitu sisik ini lentur layaknya kain." desis pemuda itu.
Di depannya, Anta Denta yang berangsur meredakan rasa sakit yang tak terkira, kembali menatap penuh kemarahan dan menyergap anak yang sudah berlaku berlebihan itu. Serangan yang menggunakan mulut itu kembali terulang dengan cepat dari serangan pertama.
Dipa yang tak menghilangkan kewaspadaannya, telah menyilangkan sabuk sisik naga itu ke depan tepat ke mulut yang menganga lebar itu.
Saling dorong pun telah terjadi dengan dahsyatnya. Tapi tenaga ular itu sangat besar, hingga hamir membuat Dipa kewalahan. Tapi sebuah pemikiran yang tak terduga melintas dibenak kepala Dipa. Anak itu menggunakan hasil dorongan lawan untuk mengangkat tubuhnya yang kemudian menggunakan mulutnya, Dipa menggigit tonjolan merah yang berada tepat di tengah dahi ular naga Anta Denta.
Tonjolan merah itu pecah dan darah yang ada dalam tonjolan itu tanpa bisa ditahan telah tertelan oleh Dipa dan menyusup ke dalam perut dan menyebar ke seluruh daging tubuh Dipa, yang mengakibatkan tubuh anak itu panas bukan kepalang.
Disisi lain ular naga Anta Denta bagai terserap tenaganya, hingga ular itu lemas dan lunglai yang kemudian mengantarkan nyawa ular naga itu melayang.
jilid 2 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
........
Rasa panas menyengat yang sangat dirasakan oleh Arya Dipa. Tubuhnya bagaikan tersiram lahar panas tumpahan gunung berapi hingga anak itu menjerit - jerit dan tingkahnya tak karuan.
Sementara itu ditempat ki Mahesa Anabrang dan resi Puspanaga yang sedang menunggu, tampak kegusaran yang sangat menyelimuti hati keduanya. Apalagi saat terdengar jeritan yang menyayat dari arah gua, hati keduanya sudah tak tahan lagi untuk menghampiri serta mengetahui apa yang terjadi pada diri Arya Dipa. Maka keduanya setelah saling pandang, keduanya lantas bergerak dengan loncatan panjang yang disertai ilmu peringan tubuh.
Betapa terkejutnya kedua orang tua itu, manakala kedua orang tua itu melihat apa yang ada dihadapan mereka.
" Resi, inikah wujud dari Anta Denta itu.?" tanya ki Mahesa Anabrang, yang memerhatikan bangkai ular naga di depan gua.
Tapi sang resi diam saja, orang tua itu tertegun tatkala memerhatikan kobaran api yang menyelimuti seorang anak yang ia kenal sedang berlari memasuki gua.
"Ada apa, resi.?" tanya ki Mahesa Anabrang.
"Dipa..Dipa, ki. Dalam keadaan berlari memasuki gua, ia seperti diselimuti kobaran api. Ayo kita kesana." kata resi Puspanaga, sekaligus berlari ke mulut gua.
Tapi ketika orang tua itu hampir sampai mulut gua, betapa terkejutnya. Sebuah kekuatan yang tak kasat mata telah menghalangi dan menghentikan pergerakan orang tua pemimpin pertapaan Pucangan itu.
"Apakah ini, resi Puspanaga.?" tanya ki Mahesa Anabrang, setelah ayah angkat Dipa itu merasakan adanya kekuatan yang menghalanginya memasuki mulut gua.
"Duh Gusti Agung, inilah kuasaMu. Entahlah ki, rupanya mulut gua ini telah terselimuti oleh sebuah kekuatan penghalang layaknya dinding tebal." jawab resi Penanggungan, pasrah.
Di dalam gua, Arya Dipa yang sekujur tubuhnya terselimuti kobaran api, tanpa sadar menghampiri sebuah tumbuhan yang berbunga layaknya bunga teratai dengan warna keemasan dan daun berwarna merah menyala.
Sebuah kekuatan yang tak nampak telah menuntun anak itu untuk menggapai bunga itu dan memetiknya, lalu memakannya.
Kunyahan bunga itu dengan perlahan memasuki tenggorokannya dan terus ke dalam lambung anak itu. Sesaat kemudian anak itu tersadar lagi dan ia kembali menjerit merasakan hawa panas yang tak terkira. Tapi sesaat kemudian, sebuah hawa yang sejuk berputar - putar dalam tubuhnya yang kemudian menyebar keseluruh tubuhnya. Dan dengan perlahan kobaran api yang menyelimuti Dipa menghilang.
"Duh Gusti Agung, ku haturkan syukur yang tak terkira atas lindunganMu." desis Dipa, yang duduk bersila dengan tangan yang masih memegang tangkai bunga.
Sejenak anak itu memerhatikan dirinya degan teliti. Anak itu tertegun, manakala mengetahui luka - luka lebam dan goresan dari batu ataupun ranting waktu bertempur dengan naga Anta Denta telah pulih.
"Terima kasih, Gusti Agung." ucap anak itu kehadapan Sang Nata.
Lalu anak itu bangkit berdiridan memerhatikan sekeliling gua itu, ternyata di ujung gua itu memiliki pintu di lain sisinya. Setelah itu kemudian ia bergegas kembali menyusuri lorong menuju pintu mulut gua dimana ia memasuki pertama. Wajah anak itu tampak cerah tatkala di depan mulut gua ada dua sosok orang tua, yaitu resi Puspanaga dan ki Mahesa Anabrang.
"Eyang, ayah..." teriak Dipa sambil berlari memeluk kedua orang tua itu.
"Bagaimana keadaanmu, ngger.?" tanya ki Mahesa Anbrang, yang mencemaskan keadaan anak angkatnya.
"Aku tidak apa - apa ayah, bahkan aku merasakan adanya kesejukan dalam tubuh ini."
"Baiklah kalau begitu lebih baik kita segera kembali ke pertapaan." ajak resi Puspanaga.
Namun Dipa sesaat berlari mendekati bangkai naga Arya Denta, dan mengambil sebuah benda yaitu bekas tonjolan sisik bergaris panjang mirip sabuk.
"Apa itu, Dipa.?" kini giliran resi Puspanaga bertanya.
"sisik naga Anta Denta eyang. bolehkah aku membawanya untuk aku jadikan sabuk.?"
"Hehehe...tentu ngger."
Lalu ketiganya bergegas kembali ke pertapaan Pucangan.
Kini gua itu tampak sepi, bahkan serangga pun seperti lenyap di telan bumi. Hanya suara desau bayu saja yang hilir mudik memenuhi. Malam pun berlalu sesuai kodratnya digantikan dengan kemunculan sinar bagaskara di ujung langit timur.
jilid 2 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
............
Pagi itu setelah mengisi perut dengan masakan khas pegunungan, seisi pertapaan Pucangan di gunung Penanggungan berkumpul di ruang utama pertapaan.
Empu Citrasena yang sudah menuntaskan pekerjaannya dalam membantu resi Puspanaga, telah memberikan hasil yang gemilang dalam menempa wesi aji yang kini berbentuk pedang tipis dengan guratan yang menyerupai bulu burung garuda, sedangkan tangkainya terbuat dari kayu cendana berbentuk kepala burung garuda.
Dengan cermat resi Puspanaga mengamati pusaka itu dan ia nampak senang dengan hasil itu.
"Sungguh hasil tempaan empu, sangat bagus. Ternyata ilmu dari empu Supa yang terkenal itu bisa engkau teruskan, empu Citresena." puji resi Puspanaga.
"Ah, itu hanya sekuku ireng dari paman Supa, resi...." kata empu Citrasena.
"Hahaha... tak hanya ilmu empu Supa saja yang menurun di tubuh empu Citrasena, tapi jiwa rendah hatinya pun juga ia tiru.." sela ki Mahesa Anabrang, yang disambut tawa yang hadir di ruang utama itu.
"Karena pedang itu tipis dan lentur, maka pedang itupun bisa menjadi ikat pinggang dan mudah dibawa, resi." terang empu Citrasena.
Resi Puspanaga mengangguk, lalu ia bertanya kepada keponakan empu Supa itu.
"Resi kau sebagai pembuatnya, dengan senang hati aku ingin memberi kesempatan dan rasa hormat berupa pemberian nama yang cocok dengan pusaka ini."
Mendengar itu, empu Citrasena termangu dan menggelengkan kepalanya.
"Maaf resi Puspanaga, aku tak bisa mengusulkan barang satu nama pun, lebih baik resi sendiri atau orang yang berhak menggunakan pusaka itu, yaitu angger Arya Dipa."
"Hem..." lalu resi Penanggungan itu memandang Arya Dipa.
"Angger Dipa, kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan pamanmu empu Citrasena, dan karena aku pun juga sulit untuk memberikan nama pusaka yang akan kau terima ini, maka kaulah yang akan menamai pusaka yang akan mendukung perjalananmu nanti.."
Tampak remaja itu terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya. Tak lama kemudian kepala itu terangkat dan memandang semua orang yang hadir di tempat itu.
"Terima kasih eyang dan paman, karena wesi aji yang kini berbentuk pedang tipis itu, anugrah sang prabu Airlangga atau resi Gentayu yang mempunyai lambang garuda, maka pusaka ini aku beri tetenger, kyai Jatayu.."
Semua yang mendengar nama yang disebut remaja itu, merasa senang karena memang cocok nama kyai Jatayu dengan ilmu kanuragan dari kita cakra Peksi Jatayu.
"Wah nama yang bagus, kakang. lalu apa nama sabuk yang dari kulit naga itu...?" sela Ayu Andini.
Arya Dipa tak menyangka akan mendapat pertanyaan mengenai sabuk kulit naga itu, sehingga anak remaja itu tampak bingung dan membuat orang - orang disekitarnya tersenyum.
"Kenapa kakang tampak bingung seperti itu.? aku punya usul dengan kyai Anta Denta. Bagaimana.?" kata Ayu Andini.
"Wah itu bagus, kau sungguh pintar Andini." puji Sabdho," Benarkan Dipa.?"
"Baik, sabuk kulit naga ini aku namai kyai Anta Denta." sahut Dipa, seraya menyentuh sabuk yang kini melekat di pinggangnya itu.
Maka mulai hari itu, Arya Dipa mempunyai senjata pedang kyai Jatayu dan ikat pinggang kyai Anta Denta. Dalam hari - hari selanjutnya, kedua pusaka itu pun mulai dipergunakan dalam latihan.
Ternyata keserasian dari kedua senjata itu melebur menjadi satu tata gerak dan mendukung pesatnya ilmu kanuragan Arya Dipa. Pedang yang sangat tipis dan lentur itu mampu memotong daun yang sangat tipis sekalipun dan mampu membabat pohon sebesar paha orang dewasa sekali tebas. Sedangkan ikat pinggang kyai Anta Denta, yang terlihat lentur itu bila dikibaskan dan mengenai batu, maka batu itu akan remuk. Tak hanya itu saja, tatkala sebuah serangan dari tajamnya pedang mengenai ikat pinggang itu, keuletan serat kulit naga itu layaknya besi gligen.
"Sungguh sangat besar karunia Hyang Agung terhadapmu, ngger." ucap resi Puspanaga," Selain ilmu tata gerak Cakra Peksi Jatayu dan pusaka kyai Jatayu, kau mendapatkan ikat pinggang kyai Anta Denta serta tak sengaja kau menelan darah naga Anta Denta yang mengakibatkan engkau kebal racun dan menambah tenaga cadanganmu."
"Tapi itu semua jangan membuatmu merasa terkuat di jagat ini, karena di atas langit masih ada langit, bukankah kau ingat tentang seorang raja dari Alengka yang mempunyai aji pancasona itu.?"
"Cucu selalu ingat, eyang."
"Bagus, karena sifat angkara murkanya, maka Hyang Agung membinasakan melalui Sri Rama." tutur resi Puspanaga.
"Jadikan ilmu itu berguna dengan membantu sesama yang memerlukan pertolongan dan hindarilah sifat angkuh jumawa dan mementingkan diri sendiri." lanjut Orang tua itu.
"Baik eyang, semua nasehat eyang akan terpatri dalam hati cucumu ini."
"Bagus ngger, kini tata gerak dasar Cakra Peksi Jatayu sudah kau kuasai dengan baik, selanjutnya dalam tahap yang lebih tinggi akan dapat kau telusuri sendiri seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu besok ayahmu akan kembali ke barat dan kau dapat menentukan untuk mengikutinya atau kau akan tinggal disini untuk sementara."
Remaja yang kini tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan badan tinggi besar itu menatap jauh kebarat, lalu katanya.
"Aku akan tinggal di sini, Eyang."
"Baiklah, itulah yang sebenarnya aku harapkan. Mungkin ayahmu akan sedih untuk beberapa saat, tapi aku yakin jika ia akan tabah karena ia pun merupakan seorang berjiwa besar dan penuh bijak."
Di ke esok harinya, ki Mahesa Anabrang sudah siap menaiki pelana kudanya untuk kembali ke padukuhan Pudak di kadipaten Prana Raga yang kini berganti menjadi kadipaten Ponorogo.
"Jagalah dirimu, ngger. Jika kau berjalan ke barat, singgahlah di gubuk kita."
"Iya ayah, suatu saat aku akan pulang ke padukuhan Pudak dan kembali menyirami bunga di halaman depan."
Ki Mahesa Anabrang tersenyum seraya menepuk pundak anak angkatnya, lalu setelah berpamitan kepada semuanya, ia pun segera menaiki kudanya dan memacu kuda itu.
jilid 2 bag 15
oleh : Marzuki Magetan
........
Sudah setahun lamanya Arya Dipa mendalami olah kanuragan di pertapaan Pucangan, kini ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan kokoh. Begitu juga dengan Ayu Andini, gadis ini layaknya bunga yang mekar dan membuat kumbang - kumbang terpesona di buatnya. Namun bunga ini bukanlah bunga sembarangan, berkat keuletan dan niat yang besar dari gadis ini, ia menjadi gadis yang memiliki olah kanuragan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Empu Citrasena dengan tekun menuntun putri angkatnya dengan menurunkan ilmunya dari perguruan Kumbara Agni.
Sementara itu timur kadipaten Japanan, ki Ajar Lodaya bersama dua muridnya sedang duduk menanti seseorang di sebuah kedai.
"Guru, apakah yang dikatakan nyi Cempaka itu benar.?" tanya muridnya yang membawa tombak pendek.
"Nyi Cempaka tak mungkin berdusta, setiap ramalannya pasti mendekati kenyataan." jawab ki Ajar Lodaya.
"Tapi sampai dua hari ini ia tak menampakkan batang hidungnya, guru. Apakah ia sudah bergerak mendahului kita dan merebut kitab Cakra Peksi Jatayu dari orang yang bernama Palon itu.?" kini giliran murid satunya yang berbibir tebal.
"Kau keliru Putut Lembayung, orang yang bernama Palon itu bukanlah yang memiliki kitab itu, tapi ia memiliki kedekatan dengan pemilik sah kitab itu."
"Apakah sebaiknya aku kembali ke perguruan Kembang Wisa, guru.?!" Bayu Sengoro, angkat bicara.
"Sabarlah barang sejenak, Sengoro. Lihatlah akhirnya para kembang itu muncul juga.... hehehe."
Memang benar apa yang dikatakan oleh pemimpin padepokan Lemah Jenar itu, Lima wanita cantik - cantik dengan pemimpinnya yang berwajah ayu memasuki kedai itu.
Kedatangan kelima wanita itu menarik perhatian orang - orang yang sudah duduk terlebih dahulu di kedai itu, tapi kebanyakan dari mereka tak berani terus memandang wanita - wanita yang cantik - cantik itu.
"Selamat datang di kedai kami, nyi Cempaka. Hidangan apakah yang nyai inginkan akan segera kami siapkan." ucap pelayan kedai dengan tergopoh - gopoh menerima kedatangan pemimpim padepokan Kembang Wisa itu.
"Hidangkan makanan khas kedai ini, kisanak. Mereka akan kami traktir." sahut ki Ajar Lodaya.
Namun pelayan kedai itu tampak bingung dan memandang bergantian ke arah ki Ajar Lodaya dan nyi Cempaka. Namun ketika melihat anggukan kepala wanita cantik dihadapannya, maka pelayan itu segera kembali kebelakang dan mempersiapkan makanan khas kedai itu.
"Maafkan aku, kakang Ajar Lodaya. Hingga membuat kakang lama menunggu." suara merdu wanita itu terucap manakala sudah duduk di amben besar dalam kedai itu.
"Hahaha.. Kau dari dulu tak pernah berubah nyai, lihatlah rambutku sudah berwarna dua dan kulitku sudah keriput, namun kau tetap cantik seperti dua puluh tahun silam."
"Ah kakang Ajar terlalu memuji." kembali nyi Cempaka berucap dengan senyum menghiasi bibir tipisnya.
"Aku tak sekedar memujimu, nyai, seharusnyai padepokanmu lebih cocok dengan sebutan Kembang Nirwana. Karena murid - muridmu yang semuanya wanita tak ada celanya."
"Sudahlah kakang Ajar, kita kembali ke pokok intinya saja."
"Hahaha, baik - baik. Nyai setahun yang lalu aku mendapat kabar dari murid sahabatku yang menjadi telik sandi kadipaten Puger, saat ia pulang dari tugasnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Palon bersama dua rekannya. Dan menurut petunjuk dari nyai, kita akan bisa mendapatkan sebuah kitab kuno bila kita akan bertemu pemuda Palon yang mempunyai kedekatan dengan pemilik kitab itu." terang ki Ajar Lodaya.
"Dan menurut murid sahabatku itu, kemungkinan besar pemuda itu berada di kadipaten Japanan ini." lanjut pemimpin padepokan Lemah Jenar.
Sesaat nyai Cempaka memejamkan matanya, lalu perlahan mata itu terbuka dan menatap penuh keceriaan.
"Ia kakang, dalam mata batinku aku melihat titik terang pemuda itu dan kitab Cakra Peksi Jatayu itu. Namun orang - orang yang berada dikelilingnya bukanlah orang sembarangan." sesaat nyai Cempaka terdiam," sebuah titik terang memancar dilereng gunung Penanggungan, dan kakang tahu jika disana ada seorang resi yang sangat dusegani."
"Maksudmu, resi Puspanaga.?" tanya ki Ajar Lodaya.
"Benar kakang."
"Apakah orang tua itu masih hidup.?"
"Entahlah, sudah sepuluh tahun ini aku tak mendengar namanya disebut - sebut."
Namun pembicaraan itu terhenti manakala pelayan kedai menghidangkan berbagai makanan khas kedai itu.
"Silahkan tuan dai nyai." kata pelayan kedai itu, mempersilahkan dan kembali ke ruang belakang.
Mereka dengan lahap menyantap hidangan itu, sambil berbicara ringan.
"Tapi aku rasa kita bisa mengatasi pertapa itu, apalagi kita delapan orang." kata ki Ajar Lodaya, setelah selesai makan.
"Baik kakang, kalau begitu kapan kita berangkat kesana.?"
Orang dari bang wetan itu termenung sesaat.
"Karena hari sudah hampir senja, besok saja kita berangkat."
"Baik kakang, kapanpun kami siap."
( Bersambung... )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar