Selasa, 03 Januari 2017

PANASNYA LANGIT DEMAK JILID 3 ( 16 - 30 )

Panasnya Langit Demak jilid 16 -30



Pelangi Langit Demak
jilid 3 bag 16
oleh : Marzuki Magetan

Kematian Sepasang Malaikat maut dari alas ketonggo telah mengakhiri tindakan pelenyapan pangeran Trenngono, kini penghadang yang tersisa dan dalam keadaan tak berdaya karena luka maupun ikatan di tangan mereka, hanya menerima nasib serta ganjaran yang setimpal berupa hukuman.
Pangeran Trenggono dengan cepat dan sigap memberikan perintah kepada senopatinya yang diteruskan kepada prajurit pengawal untuk merawat yang terluka maupun yang tewas entah itu dari prajurit Demak maupun lawan - lawan mereka. Dan tak lupa pangeran Trenggono, menghampiri sepasang anak muda yang telah ikut membantu mengatasi para penghadang di ujung jalan menuju Jipang itu.
"Terima kasih anak muda berdua, kehadiran kalian sangat membantu kami dalam mengatasi para pembunuh itu." ucap pangeran Trenggono.
"Ampun kanjeng Pangeran, itu semua hanyalah kebetulan semata. Dan tanpa kami pun, para prajurit Demak pasti sanggup mengatasinya, apalagi di pimpin oleh Kanjeng Pangeran sendiri." kata Arya Dipa, sambil menundukkan kepala.
Senang hati pangeran Trenggono mendengar perkataan lembut dan merendah dari pemuda di depannya, tangan pangeran ketiga Demak itu menepuk pundak Arya Dipa.
"Siapa nama mu, ngger.?" tanya pangeran Trenggono.
"Ampun kanjeng pangeran, hamba Arya Dipa dan ini Ayu Andini, kami berasal dari bang wetan."
"Lalu mau kemanakah tujuanmu.?"
Arya Dipa menggeser tempat duduknya, kepalanya yang menunduk hormat kemudian menjawab, "Kami ingin mencari pengalaman hidup di luar pertapaan sekaligus ingin menyumbangkan setitik ilmu dalam diri ini untuk kehidupan yang luas, pangeran."
Sesaat Pangeran Trenggono tampak berpikir, lalu ia pun dengan senyum ramah berkata, "Angger berdua, jika kalian mau, kalian dapat memasuki lingkungan keprajuritan untuk menerapkan ilmu kalian untuk nagari dan kehidupan yang luas itu. Aku rasa dengan modal kemampuan olah kanuragan, kalian akan menjadi senopati di Demak."
"Beribu terima kasih, pangeran. Tapi bila kami memasuki dunia keprajuritan, lebih baik kami lewat pendadaran layaknya orang - orang yang ingin manjadi prajurit pada umumnya."
"Baiklah, datanglah di pekan yang akan datang ke Demak, di sana kalian bisa mengabdikan diri menjadi prajurit."
"Baik pangeran."
"Sekarang aku akan meneruskan perjalanan ini, namun karena adanya tawanan itu, aku akan mampir ke Jipang dan menitipkan mereka kepada kakanda pangeran Sekar. Berangkatlah terlebih dahulu ke Demak dan carilah rumah ki Bonangan untuk menungguku, bawalah pisau ini, supaya ki Bonangan percaya jika kalian benar - benar mengenalku." kata pangeran Trenggono.
"Baik pangeran, kami akan berangkat terlebih dahulu ke Demak." ucap Arya Dipa, setelah menerima pisau kecil dari pangeran Trenggono dan menyelipkan di ikat pinggangnya.
Setelah kepergian Arya Dipa, pangeran Trenggono beserta rombongannya menuju kadipaten Jipang untuk menitipkan tawanan.
........
Kedatangan pangeran Trenggono disambut oleh kakaknya pangeran Sekar atau raden Kikin di pendopo kadipaten.
"Bagaimana keadaan kerabat di Demak, adinda.?"
"Semuanya masih dalam lindungan Gusti Agung, kakanda. Datanglah ke Demak kakanda, setelah kepergian kakanda Sultan ke Malaka, Demak terasa sepi. Kedatangan kakanda akan kembali menyegarkan bagi kerabat di Demak."
"Hemm, memang aku sudah lama tak berkunjung ke Demak setelah keberangkatan kakanda Sultan. Baiklah kapan - kapan aku akan ke kotaraja bersama anak - anakku, adinda." gumam pangeran Sekar.
Kini pangeran Trenggono baru sadar dengan dua kemenakannya itu.
"Dimana mereka kakanda.? Arya Jipang dan Arya Mataram.?"

"Apakah kau lupa.? kemenakanmu itu bila dekat dengan kuda, sehari pun ia betah, Khususnya Arya Jipang. Sedangkan adiknya, Arya Mataram dengan tekun belajar ilmu pemerintahan." jelas pangeran Sekar.
Pembicaraan itu terhenti manakala emban pelayan kadipaten menghidangkan makanan dan minuman. Sambil menikmati hidangan itu, maka pangeran Trenggono menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu ingin menitipkan para tawanannya.
"Siapa mereka.? Berani - beraninya membunuhmu, adinda.?" tanya pangeran Sekar, dengan nada terkejut.
"Masih samar, kakanda. Mereka masih membisu."
"Baiklah, biarlah mereka di sini. Aku nanti akan memeriksa dan mengorek keterangan dari mereka."
"Terima kasih kakanda, maaf jika adikmu ini terus merepotkan kakanda."
Setelah di rasa cukup maka pangeran Trenggono beserta pengawalnya meneruskan langkah mereka ke Demak.
Sementara itu di Jipang, kedatangan tawanan itu yang di bawa pangeran Trenggono telah mengejutkan tumenggung Harya Kumara dan tumenggung Sardulo.
"Cepatlah kau bertindak, adi. Saat ini mereka masih mampu diam, tapi jika pangeran Sekar bertindak, mereka pasti membuka kedok kita." kata ki tumenngung Harya Kumara.
"Baik kakang, nanti malam biarlah menjadi akhir dari orang - orang yang bodoh itu." geram ki tumenggung Sardulo.


Panasnyq Langit Demak
jilid 3 bag 17
oleh : Marzuki Magetan.

Di kegelapan malam mongso rendeng saat hujan rintik - rintik, sebuah bayangan dengan gerak yang lincah menaiki dinding luar pakunjaran kadipaten Jipang. Sosok itu dengan menggunakan cadar hitam beserta pakaian hitam lantas dengan mengendap - endap di bawah dinding dalam pakunjaran menuju sebuah gerumbul dekat bangunan yang di depan pintunya di jaga sekelompok prajurit penjaga.
"Lima orang, di mana yang dua.?" desis bayangan bercadar itu.
Sesaat bayangan itu terdiam dan menunggu keadaan lebih lanjut.
"Biarlah yang dua orang ku urus nanti saja." kembali sosok bercadar itu bergumam.
Tampak tangannya mengambil tulup lalu mengarahkan kepada penjaga - penjaga itu. Pergerakan yang begitu cepat tanpa adanya suara bunyi yang ditimbulkan budikan tulup itu membuat lima prajurit penjaga tumbang, pingsan.
Setelah mengamati beberapa saat dan tak ada yang mencurigakan, sosok bercadar itu meloncat ke arah pintu bangunan pakunjaran dan berlari munyusuri lorong. Tapi saat hampir di tikungan lorong, telinganya mendengar suara dari sisi yang lain sedang bercakap - cakap, sosok itu berhenti dan menempel tembok yang agak gelap.
"Siapa mereka itu kakang.?" tanya seorang suara dari sisi lain tembok.
"Tawanan dari Demak yang tertangkap di jalan sebelum gapura timur kadipaten, mereka berencana membunuh rombongan pangeran Trenggono." jawab kawannya.
"Tapi mengapa mereka di bawa kesini.? kok tidak di bawa langsung ke Demak.?"
"Mungkin beberapa hari kedepan mereka diambil, Sampar. Apakah kau keberatan dengan adanya tawanan ini.? Kau bisa melapor ke gusti adipati, dan tawanan ini akan segera dipindah." celetuk kawannya.
"Ah jangan menggoda seperti itu kakang, bukannya mereka saja yang dipindah, mungkin aku pun juga turut serta memasuki bilik sempit seperti itu di Demak."
"Hahaha... makanya, sebagai prajurit kau jangan banyak mempersoalkan tugas kita, apa yang ditugaskan lebih baik kita kerjakan maka kita akan cepat naik pangkat jadi lurah atau bahkan rangga."
"Ah kakang sebelum tidur sudah mimpi." desis orang pertama.
Kedua prajurit itu makin lama mendekati tikungan yang disisi lainnya tersembunyi sosok bercadar. Tanpa menyadari, kedua prajurit itu telah diserang dengan cepat sosok bercadar. Sebuah pukulan bersarang di lambung kedua orang itu hingga membuat mereka membungkuk kesakitan, tak berselang lama sentuhan keras di tengkuk membuat keduanya pingsan.

Setelah melumpuhkan kedua prajurit itu, sosok bercadar kembali berlari dan menghentikan langkahnya di depan bilik yang dihuni lima tawanan titipan pangeran Trenggono.
Kedatangan sosok bercadar itu telah mengejutkan kelima tawanan itu.
"Tenanglah kalian." kata orang bercadar itu.
"Siapa kau kisanak.?" tanya ki Jembawan, yang paling dekat dengan jeruji besi tahanan.
"Aku Lintang Kemukus pangrampung."
Jawaban itu membuat bulu kudung kelima orang itu berdiri.
"Ma..maaf kami, kami berjanji akan melanjutakan tugas itu, berilah kami kesempatan tuan." pinta ki Jembawan.
"Apa kalian dapat dipercaya.?" tanya orang bercadar yang menyebut dirinya Lintang Kemukus pangrampung.
"Tentu..tentu kami akan berjanji." kini giliran Lampit, salah satu anggota Tiga Serangkai dari Kendal.
Orang bercadar itu termenung, lalu menghela napas.
"Baiklah aku mengampuni jiwa kalian, tapi bila kalian mau meminum air ini dalam lima botol kecil ini." kata Lintang Kemukus Pangrampung, seraya mengambil lima botol kecil dari balik pakaiannya.
Kelima orang dalam kurungan itu saling berpandangn satu dengan lainnya.
"Terserah kalian, hidup kalian tergantung dengan air dalam botol ini. Bagaimana.?"
"Baiklah, kami akan meneguk air itu."
"Apakah kalian tak takut jika dalam botol ini racun.?"
Keraguan membayang disetiap raut wajah kelima orang itu.
"Hehehe...kalian pengecut." ejek orang bercadar.
"Baiklah, mana."
Kelima botol itu diangsurkan kepada ki Jembawan yang dibagi - bagikan keseluruh kawannya. Walau tangan mereka gemetar, tapi air itu pun diteguk hingga tetes terakhir. Wajah mereka tampak sumringah, ternyata dugaan mereka keliru, mereka tak mengalami apa - apa.
"Mundurlah, aku akan menghancurkan pintu." perintah orang bercadar yang dituruti kelima orang itu.
Tapi saat kelima orang itu menempel dekat tembok, tiba - tiba tenggorokan mereka terasa panas menyengat dan muntah darah dengan mata melotot mereka pun tumbang.
"Itulah ganjaran dari kalian." desis orang bercadar yang mengaku Lintang Kemukus Pangrampung, sambil melangkah keluar dari ruang tahanan.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 18
oleh : Marzuki Magetan

Pakunjaran itu tampak lengang setelah kepergian sosok bercadar itu, menyisakan lima mayat dengan keadaan mulut berbusa dan tubuh gosong.
Di pagi harinya maka kegemparan menyelimuti hati para prajurit pengganti yang akan bertugas di pagi harinya. Kegaduhan itu dengan cepat merembet hingga ke telinga Adipati Jipang Panolan sendiri.
"Putranda pangeran, bagaimana kita akan menjelaskan ini semua kepada pangeran Trenggono.? Rama mu ini pasti akan terkena hukuman dari adinda mu itu." keluh Adipati Jipang sepuh kepada anak menantunya yang tidak lain pangeran Sekar atau raden Kikin.
"Tidak rama adipati, putranda akan bertanggung jawab dan menjelaskan kepada adinda pangeran Trenggono." kata pangeran Sekar, "Karena kepada putranda, tawanan itu dititipkan."
"Baiklah putranda pangeran, walau begitu aku akan ikut bertanggung jawab, jika hukuman menimpa mu."
"Baik ayahanda adipati, untuk sementara aku akan memeriksa keadaan tawanan yang tewas itu."
"Silahkan, ngger."
Dengan diiringi oleh patih Mentahun, pangeran Sekar menuju bangunan khusus diperuntukan bagi tabib kadipaten meneliti mayat.
"Apa yang menyebabkan mereka, ki Tambarana.?" tanya pangeran Sekar kepada tabib yang memeriksa mayat tawanan.
Sesaat tabib yang bernama ki Tambarana ini menghela napas, setelah memeriksa mulut mayat yang gosong itu.
"Ampun pangeran, kemungkinan yang paling mendekati kebenaran yaitu, mereka tewas disebabkan oleh racun ganas." sejenak ki Tambarana berhenti, lalu lanjutnya, "Mungkin itu berupa racun cair bersifat pans yang menyerang lambung dan meresap ke pembuluh darah dan merembes hingga pori - pori kulit."
Penjelasan itu mengejutkan pangeran Sekar yang kemudian menoleh kepada ki patih Mentahun.
"Bagaimana penjelasan kakang patih.?"
Dahi patih Jipang mengernyit dengan mata tajam memerhatikan mulut mayat yang masih nampak bekas busa yang mengering.

"Tapi bagaimana orang itu meracuni orang - orang yang jelas bukan orang sembarangan.? Apakah mereka mengenal sang pembunuh sehingga tiada perlawanan.?" ucap ki patih Mentahun, dengan pertanyaannya.
"Mungkin kakang Patih, sosok hitam bercadar itu mampu memperdayakan para prajuri penjaga, dan mungkin tawanan itu mengira kalau orang bercadar itu membantu mereka." sebuah suara terdengar dari samping tabib kadipaten.
"Bagaimana kau tahu kalau pembunuh itu bercadar, adi temenggung Sardulo.?"
"Ki Sampar yang berkata, ia prajurit yang mengalami serangan mendadak dari orang bercadar itu." jawab ki tumenggung Sardulo.
Patih Mentahun dan pangeran mengangguk - angguk perlahan, walau begitu ki patih Mentahun merasa curiga terhadap ki tumenggung Sardulo, yang masih saudara seperguruannya.
"Prajurit, panggil Rakai Welar kemari.!" perintah ki patih Mentahun.
"Seorang prajurit segera bergegas mencari senopati Rakai Welar dan menyampaikan panggilan dari patih Jipang Panolan. Tak lama kemudian, seorang pemuda dengan tubuh sedang dan kuat datang menuju ruang khusus itu.
"Paman patih memanggil ku.?"
"Iya ngger, selidikilah kematian para tawanan ini dan laporkan kepadaku atau pangeran Sekar."
"Baik paman patih."
Ki tumenggung Sardulo tampak gusar sesaat, namun dengan cepat ia berkata, "Aku akan membantu angger Rakai Welar, kakang patih."
Sesaat ki patih memandang pangeran Sekar, yang menganggukan kepala tanda menyetujui.
"Baiklah."
Usai memberi perintah itu dan menerangkan betapa pentingnya peristiwa tewasnya para tawanan yang dititipkan oleh pangeran Trenggono, pangeran Sekar dan ki patih Mentahun kembali ke pendopo kadipaten. Di sana pangeran Sekar segera menulis warta untuk dikirimkan kepada adiknya di Demak atas tewasnya lima tawanan itu.
Sementara itu senopati Rakai Welar segera melakukan penyelidikan secara tuntas dan menyebar beberapa prajurit khusus di bidang pencari jejak, ahli racun dan memeriksa para saksi.
"Biarlah aku yang mengusut racun itu, angger senopati." pinta ki temenggung Sardulo.
"Iya paman tumenggung, silahkan dan aku haturkan terima kasih atas bantuan paman tumenggung." sahut senopati Rakai Welar.
Persetujuan itu membuat ki tumenggung Sardulo bernapas lega. Tumenggung berbadan tambun itu merasa kalau senopati kemenakan ki patih Mentahun itu dapat ia kelabui.
"Dasar bodoh kau, Rakai Welar." ucapnya dalam hati.

Tapi di pikiran dan hati senopati Rakai Pikatan telah terucap sesuatu di luar dugaan ki tumenggung Sardulo.
"Aku tak sepenuhnya percaya denganmu, paman menggung, aku akan mencari sendiri mengenai racun itu dan menyelusuri siapa orang bercadar itu." desis senopati Rakai Welar dalam hati.
.......
Kedatangan utusan dari kadipaten Jipang Panolan telah mengejutkan pangeran Trenggono, walau kekecewaan menyelimuti hatinya, tapi pangeran itu tak menyalahkan sepenuhnya kepada kakaknya pangeran Sekar.
"Semoga kakanda pangeran bisa mengungkap pembunuh tawanan itu, mungkin pembunuh itu salah satu komplotan yang ingin melenyapkan diriku." gumamnya.
Lalu setelah menulis surat balasan dan memasukan dalam bumbung yang kemudian diserahkan kepada prajurit utusan itu.
"Katakan kepada kakanda pangeran Sekar, semuanya aku serahkan kepadanya dalam mengungkap peristiwa misteri ini."
"Sendiko dawuh gusti pangeran."
"Hemm, kau boleh kembali."
Lantas prajurit utusan dari Jipang Panolan bergegas kembali setelah pamit undur diri.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 19
oleh : Marzuki Magetan
👀👀👀👀👀👀👀👀👀
Waktu berjalan terus tanpa ada yang bisa menghentikan walau hanya sekejab. Di Demak Arya Dipa dan Ayu Andini yang ikut serta memasuki penerimaan calon prajurit baru, telah menolak secara halus uluran tangan pangeran Trenggono untuk langsung dijadikan seorang senopati.
"Maafkan kami pangeran, bukannya kami tak menghargai kemurahan pangeran mengangkat kami menjadi senopati, tapi itu semua pasti akan menimbulkan ketidakpuasan beberapa pihak dikarenakan pembuktian yang nyata dari hamba ini." kata Arya Dipa di suatu hari.
"Baiklah bila memang itu menjadi keyakinanmu, tapi aku yakin dengan kemampuanmu itu kau bisa mengungguli perwira yang akan memimpin pendadaran." sahut pangeran Trenggono.
"Ah, pangeran terlalu berlebihan menilai kemampuan hamba yang hanya sekuku ireng ini." Arya Dipa merendah.
"Hahaha... kau terlalu merendah, Arya Dipa."
Maka di keesokan harinya di alun - alun Demak telah dibuka untuk umum penerimaan calon prajurit baru. Ternyata banyak yang memasuki pendadaran itu, anak muda atau yang sudah berumur dan dari wanita atau gadis. Dan mereka pun berasal dari berbagai pelosok telatah Demak, dari pedesaan maupun kotaraja.
Seorang perwira bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang berdiri di panggungan dan menerangkan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap calon prajurit.
Di tahap pertama calon prajurit akan diuji ketahanan tubuh mereka dengan berlari dari alun - alun kotaraja menuju hutan kecil di luar pintu gerbang timur dan memutar ke selatan memasuki gerbang selatan dan berakhir di barak prajurit.
Namun tak semudah itu saja, di hutan kecil luar gerbang timur setiap calon prajurit harus bisa menghindari berbagai jebakan yang sudah dipersiapkan oleh perwira penyelenggara.
"Apakah kalian mengerti.?" kata rangga Gajah Sora, setelah menerangkan tata cara pendadaran dan mendapat jawaban serentak dari para calon prajurit, bahwa semuanya mengerti dan siap sedia.
"Bagus, kalau begitu semuanya laksanakan.!" perintah rangga Gajah Sora.
Aba - aba itu segera menggerakkan semua peserta calon prajurit, tak terkecuali Arya Dipa dan Ayu Andini. Dari ratusan peserta itu semuanya berusaha saling mendahului satu dengan lainnya. Tapi berbeda dengan Arya Dipa dan Ayu Andini, mereka berusaha menyesuaikan diri mereka dengan peserta lainnya.

Sampai di hutan kecil luar gapura, ternyata jalan yang dilalui semakin sulit dan terjal, selain itu berbagai rintangan membuat langkah mereka semakin parah.
"Sial siapa yang membuat lubang dengan isi kotoran sapi ini.!" maki salah satu calon prajurit yang jatuh dalam lubang penuh kotoran sapi.
Ada juga yang terikat kakinya dan membuat tubuhnya terjungkal dengan kepala di bawah. Lain lagi seorang berbadan tambun, saat berlari terkena sambitan senjata tumpul dan membuat orang tambun itu pingsan.
Dari sekian calon prajurit itu yang mampu menyelesaikan dan sampai di barak tinggal setengahnya saja, termasuk Arya Dipa dan Ayu Andini.
"Baiklah untuk hari ini kalian yang lolos dalam pendadaran kali ini akan di tempat barak ini sampai kalian di wisuda menjadi prajurit Demak." ucap rangga Gajah Sora. "Untuk calon prajurit wanita akan diberikan tempat sisi kanan barak ini dan untuk laki - laki sebelah sisi kiri, sekarang kalian bisa menempati bilik - bilik itu dan menerima ransum."
Walau terasa sedih berpisah dengan Arya Dipa, Ayu Andini merasa lega tatkala seorang calon prajurit wanita menghampiri dirinya.
"Apakah kau merasa sedih berpisah dengan kekasihmu itu.?" ucap calon prajurit wanita.
"Oh..." Ayu Andini tak melanjutkan kata - katanya.
"Sudahlah, aku Rara Asih, bolehkah aku tahu namamu.?"
"Aku Ayu Andini, salam kenal." jawab Ayu Andini, yang mulai akrab dengan kawan barunya itu.
"Baiklah mari kita ke barak dan membersihkan diri." ajak Rara Asih, sambil mengandeng tangan Ayu Andini.
Sementara itu Arya Dipa pun juga mendapat kawan baru, tapi ada juga calon prajurit yang sombong tak mau bercakap sesama calon prajurit, karena menganggap yang lainnya tak melebihi kemampuannya.
Setelah memberaihkan diri dan berganti pakaian yang telah disediakan, mereka pun mendapat makanan rangsum berupa nasi jagung dengan lauknya. Walau begitu makanan yang terlihat sederhana itu dengan lahapnya termakan oleh para peserta calon prajurit.
...............

Di Jipang Panolan, ki patih Mentahun telah ditemui senopati Rakai Welar, senopati sekaligus kemenakan patih Mentahun.
"Paman aku rasa ini semua berhubungan dengan orang dalam." desis senopati Rakai Welar.
"Aku pun juga berpikir begitu, ngger. Apalagi saat melihat akibat yang di timbulkan oleh racun itu menjurus ke seseorang yang dekat dengan perguruan kita."
"Benar paman, tapi apakah saudara eyang guru masih hidup atau mewariskan ramuan racun yang membahayakan itu kepada seseorang.?"
"Entahlah, tapi sudah sewindu ini paman Jati Kanjar tak nampak terdengar wartanya. Bila ia masih hidup umurnya sudah hampir se abad."
"Paman patih, aku curiga ini semua berhubungan dengan apa yang dibicarakan oleh paman tumenggung Sardulo waktu itu." gumam senopati Rakai Welar.
"Maksudmu ajakan makar kepada Demak yang akan di pimpin seseorang yang mengaku keturunan raden Wijaya itu.?"
"Begitulah pendapat saya, paman patih."
"Hemm, aku sudah berkata kepada Sardulo dan Harya Kumara kalau perbuatan itu salah. Mungkin orang yang menyebut dirinya panembahan Bhre Wiraraja itu hanyalah membual." sejenak ki patih Mentahun berhenti dan menghela napas, lalu lanjutnya, "Awasi terus lingkungan Harya Kumara dan Sardulo."
"Baik paman."


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 20
oleh : Marzuki Magetan
Udara dingin menebar menyelimuti kadipaten Jipang Panolan, di langit bulan sepenggal tertutup awan yang kian tebal sehingga menghalangi sinar bulan untuk menerangi bumi. Dinginnya udara malam itu membuat orang enggan keluar untuk keperluan pengairan sawah atau untuk mengunjungi sanak kadang mereka.
Jalan - jalan sepi dari hiruk pikuknya manusia seperti di siang harinya, bahkan para peronda hanya segelintir saja yang mau menempati gardu parondan di padukuhan masing - masing. Selain itu banyak oncor yang tak menyala entah itu disengaja atau pun telah tertiup hembusan angin yang agak kencang dari malam sebelumnya.
Di gardu depan rumah ki tumenggung Sardulo, lima pengawal bercakap - cakap untuk menghilangkan rasa bosan dan kantuk yang hampir melanda mereka.
"Tadi pagi aku bertemu Murni di dekat pasar, semakin hari ia menawan hati ini." seseorang pengawal muda memulai bicara.
"Hahah... jangan kau mimpi mendapatkan Murni, Gendon. Dia dalam incaran saudagar di ujung kotaraja ini, carilah yang lainnya." sahut kawannya yang mempunyai tahi lalat di dagu.
"Ah bukannya saudagat itu sudah menikah sepekan yang lalu, kakang.?"
"Hehehe.. namanya juga orang kaya, mau menikah sampai sepuluh kali pun tak ada yang melarang, yang penting keluarga si perempuan dikasih uang atau sepasang rajakaya pasti mau saja."
"Gendon, daripada Murni lebih baik kau kawini kemenakan saja, Surti." kini giliran pengawal yang tertua di gardu itu.
Pengawal yang bernama Gendon itu beringsut mendekati pengawal tua itu.
"Paman apa tak malu punya menantu seperti aku.?"
"Jaga omonganmu, Gendon. Bila aku malu mempunyai menantu untuk kemenakan ku yang pekerjaannya seorang pengawal, itu sama saja aku tak menghargai pekerjaan yang aku kerjakan ini.!" kata pangawal tua itu agak keras.
"Maaf paman, bukannya aku menyinggung paman, tapi upahku kecil jika dibanding dengan paman atau kawan - kawan semuanya."
"Sudahlah, aku tak mempersoalkan masalah upah itu, yang penting aku tahu pribadimu yang aku nilai cukup baik dan sesuai dengan kemenakanku itu."
"Terima saja Gendon, kalau kau menolak aku yang akan menggantikannya, bagaimana kakang.?" celetuk pengawal yang mempunyai tahi lalat di dagu.

"Gundulmu itu, Surti akan kau taruh mana.? Apa kau berani dengan istrimu yang masih kerabat pekatik ki tumenggung Sardulo.?" tukas pengawal tertua.
Percakapan para pengawal itu kadang kala di warnai tawa renyah jika ada hal yang lucu, tapi suatu kali tampak kerut merut manakala pembicaraan mereka menjurus hal - hal yang penting dan bahkan menakutkan.
"Sudahlah janganlah kalian berbicara mengenai lampor itu, lebih baik makan ubi rebus dari mbok Darmi ini." potong pengawal yang dari tadi menikmati ubi rebus dengan lahapnya.
Sementara itu di balik perigi depan gardu parondan itu, dua orang dengan hati - hati mengamati keadaan di rumah ki tumenggung Sardulo.
"Hari ini tak ada yang mencurigakan kakang, mungkin dugaan kita keliru." desis salah satu bayangan yang berjongkok di balik perigi yang gelap.
"Bersabarlah Lawe, siapa tahu malam ini apa yang kita nanti itu akan muncul." sahut kawannya.
Di saat keduanya dilanda kebosanan, seekor kuda memasuki regol ki tumenggung Sardulo. Penunggangnya dengan tangkas turun dari kuda dan menyapa para pengawal.
"Wah nikmatnya di malam dingin seperti ini menyantap ubi rebus." sapa orang yang baru turun dari kudanya itu, yang disambut dengan hormat oleh para pengawal.
"Oh ki tumenggung Harya Kumara, bila tuan mau kami akan membawakan sebakul ubi rebus." kata Gendon seraya meminta tali kekang kuda.
"Baik besok antarkan ke rumahku, tapi awas jika kau lupa maka aku akan melaporkan ke adi menggung supaya upahmu dikurangi." sahut ki tumenggung Harya Kumara, bercanda.
"Ta...tapi upah hamba hanya sedikit, tuan. Jika upah hamba dipotong, maka hamba akan telat kawin."

Jawaban itu membuat ki tumenggung Harya Kumara tertawa, sambil menepuk pundak pengawal muda itu ia berkata, "Maka tepatilah janjimu itu."
Setelah ki tumenggung memasuki halaman dan naik tlundak, di gardu parondan Gendon dijadikan bahan tawaan kawan - kawannya.
Kedatangan ki tumenggung Harya Kumara itu, menyedot perhatian dua bayangan yang merupakan petugas sandi dari senopati Rakai Welar.
"Ayo kita masuk lewat samping." ajak seseorang yang disebut kakang oleh Lawe.
Keduanya lantas beringsut dan mengendap menyusuri perigi mengarah samping rumah ki tumenggung Sardulo dan dengan cepat melompati pagar dan sesaat berhenti untuk mengetahui keadaan disekitar bawah pagar sisi dalam.
"Aman." desis Lawe yang disambut anggukan dan langkah kawannya menuju dinding tembok dan merapatkan tubuh mereka.
Di dalam terdengar kasak - kusuk bersumber dari dua tumenggung Jipang Panolan.
"Siapa sebenarnya orang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung itu.?" tanya ki tumenggung Harya Kumara.
"Entahlah kakang menggung, prajurit penjaga itu hanya mendengar sayup - sayup saja."
"Hal ini akan membuat ki patih Mentahun mengira kalau kita yang melakukan semuanya, adi. Apalagi ia memerintahkan kemenakanya itu." kata ki tumenggung Harya Kumara cemas.
Sejenak ruang dalam itu sunyi, hanya gerit pintu terbuka manakala seorang pembantu menghidangkan makanan kecil dan minuman hangat.
"Silahkan kakang." ki tumenggung Sardulo mempersilahkan.
"Suutt..." ki tumenggung memberi isyarat sambil menggerakkan jari telunjuknya di depan bibir.
"Siapa itu..?!" teriak ki tumenggung Sardulo yang dengan cepat keluar menuju halaman depan yang diikuti ki tumenggung Harya Kumara.
Sesampainya di halaman kedua tumenggung itu memandang seseorang bercadar berdiri di atas atap rumah tumenggung Sardulo. Dan teriakan itu juga memancing para pengawal serta dua orang petugas sandi yang tak mengira kemunculan orang bercadar hitam.
"Siapa kau kisanak.? Turunlah dan tunjukkan jati dirimu.!" teriak ki Sardulo.
Di atas atap bayangan bercadar itu bertolak pinggang dan tertawa, tapi tawa itu telah mengguncang setiap hati yang mendengarkan, bahkan para pengawal tak kuat bertahan dan jatuh terduduk tak berdaya, begitu juga dengan dua petugas sandi yang hampir tak tahan dengan tawa yang bergema mengganggu pendengaran mereka, jikalau orang bercadar itu tak menghentikan tawanya yang dilambari ilmu tinggi.

"Katakan kepada penguasa Jipang, aku akan melenyapkan mereka jika ikut campur kelompokku untuk melenyapkan Trenggono, aku Lintang Kemukus Pangrampung tak gentar menghadapi pasukan segelar sepapan.! Camkan itu.!" teriak orang bercadar itu yang dengan cepat pergi dari atap itu.
"Tunggu.!" teriak ki tumenggung Sardulo, mengejar bayangan itu, tapi sebuah hempasan angin telah menghentikannya pengejarannya.
"Bangsat.! Siapa orang itu.? Beraninya ia meremehkan diriku.!" umpat ki tumenggung Sardulo.
"Sudahlah adi, kita harus hati - hati dengan orang itu yang ternyata memiliki tenaga tinggi."
Di kegelapan malam dua petugas sandi yang sudah pulih tenaganya akibat hentakan tenaga orang bercadar, segera pergi dari lingkungan rumah ki tumenggung Sardulo dan melaporkan apa yang mereka lihat kepada senopati Rakai Welar.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 21
oleh : Marzuki Magetan
................******...............
Tak jauh dari rumah ki tumenggung Sardulo, bersamaan dengan perginya orang bercadar hitam yang mengaku dirinya Lintang Kemukus Pangrampung, seorang lelaki dengan cepat mengikuti kepergian orang bercadar. Walau kecepatan langkah Lintang Kemukus Pangrampung bagai tak menapak tanah, tapi orang yang mengikuti itu juga gesit dengan menjaga jarak.
Di sebuah tempat tanah lapang dan gelap, tiba - tiba orang bercadar telah menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap arah kedatangannya.
"Keluarlah kisanak.! Marilah kita bermain loncat - loncatan.!" kata Lintang Kemukus Pangrampung.
Sapaan itu telah mengejutkan orang yang berusaha mengikuti orang bercadar dengan sembunyi - sembunyi, tapi walau begitu orang itu masih berdiri di balik pohon Bramasta.
"Aku hitung sampai lima, jika kau masih tak menampakkan diri maka aku akan menghancurian tempat sembunyimu.!" teriak orang bercadar.
Hanya desir angin yang menyahut tanpa rasa takut ancaman orang bercadar itu, sehingga orang bercadar mulai menghitung.
"Satu...dua...tiga.." sesaat hitungan itu terhenti.
Suasana semakin tegang menyelimuti orang yang bersembunyi di belakang pohon Bramasta.
"Apakah aku mampu menghadapi orang itu.? Sedangkan paman tumengung Sardulo saja tak mampu." desis orang itu dalam hati.
"Keluarlah.! empat...lima.!" teriak Lintang Kemukus Pangrampung mengakhiri hitungannya, dan saat itu juga seorang lelaki tampan telah keluar dari persembunyiannya.
"Siapa dia..? Oh pangeran Sekar.." kata orang yang masih bersembunyi di belakang pohon Bramasta, ia tak mengira jika selain dirinya ternyata seorang pangeran juga mengikuti orang bercadar hitam.
"Bagus akhirnya kau muncul, siapa kau kisanak.?"
Lelaki yang ternyata pangeran Sekar itu memandang tajam berusaha melihat wajah orang bercadar itu dan mengamati perawakannya, tapi sangat sulit mengetahui apakah ia mengenali atau tidak.

"Aku Kikin kakak dari orang yang akan kau lenyapkan itu, apakah kau gentar mendengarnya.?"
"Hahaha... jangankan kau, Kikin. Walau Pati Unus yang berdiri menyertaimu, aku tak akan lari.!" sumbar Lintang Kemukus Pangrampung.
Kata - kata itu memang membuat panas telinga pangeran Sekar atau raden Kikin, tapi dengan sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan dan mengendapkan.
"Mengapa kau berusaha melenyapkan adinda Trenggono.? Apa kesalahannya.?"
"Hemm, tak hanya dia saja, tapi seluruh keturunan trah Demak akan aku musnahkan, termasuk kau." orang bercadar itu berhenti sesaat, lalu lanjutnya, "Tapi kau lain, karena kau hanya anak selir, Kikin."
Ucapan yang terakhir ini telah menyulut kemarahan pangeran Sekar yang sebelumnya tak mempersalahkan dirinya sendiri lahir dari garwo selir, karena itu dengan kecepatan yang dahsyat pangeran Sekar menyerang orang bercadar dengan kaki kanan mengarah leher lawan.
Namun lawannya yang sudah siaga telah menangkis dengan menggunakan tangan kiri dan mundur untuk menghindari serangan beruntun dari putra menantu adipati Jipang Panolan.
Di kegelapan malam itu dua sosok manusia dengan tata gerak yang begitu cepat bagaikan sosok bayangan hantu mengerikan, loncatan pendek atau pun panjang terus berlanjut untuk mengejar lawan dan mengenainya dengan pukulan maupun tendangan.
Di balik pohon Bramasta yang rindang, pemuda yang dari tadi mengikuti jalannya perkelahian itu di buat tercengang mengetahui kemampuan dari kedua orang yang berkelahi.
"Apakah ini kemampuan pangeran Sekar yang selalu dibicarakan oleh paman patih.? kecepatannya bagai alap - alap dan tenaganya laksana banteng." puji pemuda yang ada di balik pohon bramasta.
Ketegangan semakin memuncak manakala di perkelahian dua sosok yang menyerupai orang bercadar muncul dan ikut menyerang pangeran Sekar.
"Orang ini mempunyai aji Kakang Pambarep Adi Wuragil.." desis pangeran Sekar, yang meningkatkan kecepatannya dengan mengungkap ilmu yang bersumber kekuatan angin.

Peningkatan ilmu pangeran Sekar telah memecah ilmu lawan dan membuyarkan dua bayangan itu. Tapi betapa kecewanya pangeran itu, mengetahui lawannya telah lenyap dan hanya meninggalkan gema suara yang dilandasi ilmu tingkat tinggi.
"Hahaha...! belum waktunya kau mampus, Kikin.! hahaha....!"
"Ah aku terkecoh dengan ilmu orang itu." desis pangeran Sekar, lalu pangeran itu menghadap pohon bramasta dan berkata, "Keluarlah Tohjaya.!"
"Maafkan aku pangeran." ucap pemuda yang ternyata bernama Tohjaya, saat sudah di hadapan pangeran Sekar.
"Sudahlah, jika kau keluar pun mungkin malah kau yang akan celaka. Baiklah, mari kita kembali ke kadipaten."
"Sendiko pangeran."
Keduanya lantas beranjak meninggalkan tempat itu.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 22
oleh : Marzuki Magetan
............*******................
Di pagi harinya pangeran Sekar yang telah ditemui oleh ki patih Mentahun, senopati Rakai Welar dan Tohjaya, sedang membicarakan seorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung.
"Jadi siapa sebenarnya orang itu, kakang patih.?" tanya pangeran Sekar.
"Masih samar - samar, pangeran. Sepertinya Harya Kumara dan Sardulo tak ada hubungannya dengan orang itu. Apa mungkin orang itu berhubungan dengan keturunan Giriwardhana.?"
"Tapi menurut petugas sandi tiada satu pun keturunan Giriwardhana yang hidup, paman." kata senopati Rakai Welar.
Ki patih Mentahun dan pangeran Sekar mengangguk, memang semua keturunan raja kadiri yang menyerang Wilatikta telah tumpas lapis saat penyerangan Demak yang dipimpin patih Wanasalam dan senopati Sunan Ngudung.
Sebenarnya hati ki patih Mentahun masih condong untuk mencurigai keterlibatan dua saudara seperguruannya, tapi ia tak sampai hati menindak saudara perguruannya tanpa adanya bukti yang kuat.
"Mungkin dia merupakan salah satu dari kelompok pendukung musuh eyang prabu Brawijaya, yang ingin meruntuhkan kerajaan Demak ini." desis pangeran Sekar.
"Aku akan memperketat keamanan kadipaten, pangeran." kata Tohjaya.
Kepala pangeran mengangguk perlahan.
"Tapi kau jangan melupakan istrimu yang sedang hamil tua itu, Tohjaya. Aku sudah menganggap jabang bayi yang ada dalam kandungan istrimu, sebagai cucu ku, dan aku sudah menyediakan nama yang bagus untuknya." gumam ki patih Mentahun.

"Oh ya, aku hampi lupa dengan keadaan istrimu, Tohjaya." sesaat pangeran Sekar berhenti, lalu lanjutnya kepada patih Mentahun, " Tentunya kakang akan memberikan nama yang bagus bagi calon jabang bayi itu.?"
Dengan menggeser letak duduknya dan sambil memandang Tohjaya dengan senyum, ki patih Mentahun berkata, " aksara depan ku ambil dari ayahnya, dan aksara selanjutnya kuharapkan agar kelak si jabang bayi menjadi senopati trengginas kadipaten Jipang sekaligus pengawal setia anakmas raden Arya Jipang, yaitu Tohpati. Bagaimana Tohjaya.?"
"Terima kasih, paman patih. Nama itu sangat bagus." ucap Tohjaya.
.........
Suasana yang berbeda terlihat di Demak, tepatnya di barak prajurit yang di khususkan untuk tempat pendadaran prajurit baru Demak.
Ki rangga Gajah Sora telah berdiri di panggungan ditemani oleh lima perwira lainnya memandang kesegenap peserta pendadaran.
"Hari kedua ini kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok dan akan dipimpin salah satu dari kalian, tapi sebelumnya kalian akan ditilik satu demi satu oleh para perwira di samping kanan kiri ku ini." sejenak ki rangga Gajah Sora berhenti, lalu, "Dalam penilikan kali ini akan dilihat kemampuan perorangan dalam olah kanuragan, oleh karena itu persiapkan diri kalian."
"Sendiko....!" teriak para peserta.
Setelah di rasa cukup dalam memberi penjelasan, maka lima perwira telah membagi ratusan calon prajurit itu lima bagian, yang terdiri dari tiga puluh hingga empat puluh orang setiap kelompoknya dan akan ditilik satu perwira.
Dalam pada itu Arya Dipa masuk kelompok yang akan ditilik oleh lurah Tohjaya, seorang lurah prajurit berbadan tinggi besar.
Sementara itu di kelompok yang lain, Ayu Andini dan Rara Asih berada di kelompok pengawasan lurah Anggoro, yaitu lurah prajurit yang pernah ikut dalam iringan pangeran Trenggono dan dihadang oleh kelompok Sepasang Malaikat Maut dari alas Ketonggo tempo dulu.
"Ki lurah.." desis Ayu Andini.
Ki lurah Anggoro menoleh dan tersenyum kepada gadis muda itu.
"Jangan kau keluarkan kemampuanmu yang nggegirisi itu, Ayu. Aku akan malu jadinya.." desis lurah Anggoro perlahan, dengan senyum menghiasi bibirnya.

"Ah.. ki lurah.."
Maka di hari itu dengan teliti para perwira pengawas menilik kemampuan para calon prajurit sesuai paugeran yang berlaku tanpa membahayakan nyawa calon peserta. Setelah semuanya selesai ditilik dan atas ketelitian para perwira pengawas, maka setiap kelompok dipimpin lima pemuda yang dirasa cukup mumpuni untuk memimpin kelompok itu.
Kelompok pertama dengan sebutan Cakra Emas yang berada dalam pengawasan ki lurah Tohjaya akan dipimpin oleh Arya Dipa. Kelompok kedua dengan sebutan Candra Banyu yang berada dalam pengawasan ki lurah Angkayuda akan dipimpin oleh Banyak Wide. Kelompok tiga dengan sebutan Bumi Gumelar yang berada dalam pengawasan ki lurah Anggoro akan dipimpin Bangau Lamatan. Kelompok keempat dengan sebutan Segoro Rob yang berada dalam pengawasan ki lurah Yudapati akan dipimpin Bojang Geni. Dan yang terakhir Bayu Semilir di bawah pengawasan ki lurah Lembu Pangraron akan dipimpin Wiratsemi.
Setelah pengumuman itu, diharapkan setiap anggota kelompok saling bekerja sama dalam ikatan yang kuat. Namun seoarang calon prajurit yang berada dalam kelompok Cakra Emas dengan sembunyi - sembunyi tak mengakui kepemimpinan Arya Dipa. Pemuda itu menganggap kalau sang pengawas salah dalam menilai kemampuan Arya Dipa yang dianggapnya masih berada dibawahnya.
"Aku akan membuktikan kalau pemuda gunung itu tak berhak menjadi pemimpin kelompok, seharusnya ki lurah Tohjaya memilihku, apakah ia lupa kalau aku mewarisi kemampuan ayah panji Sambipati.?" desis pemuda itu.
Pamuda itu lalu pergi ke pakiwan dan membersihkan diri.
Sementara itu ki lurah Tohjaya mendekati pemuda yang ia pilih sebagai pemimpin dalam kelompok dalam pengawasannya.
"Anak muda, kau berasal dari mana.?" tanya ki lurah Tohjaya.
"Aku dari kadipaten Ponorogo, ki lurah." jawab Arya Dipa.
"Siapa gurumu.?"
"E... Seorang pertapa gunung Penanggungan yang telah menuntunku dalam memahami beberapa dasar olah kanuragan, ki lurah."
Tampak ki lurah Tohjaya mengerutkan dahinya, ia berusaha mengingat - ingat sesuatu. Rasanya ia pernah mendengar seorang pertapa yang berdiam di lereng gunung dalam wilayah kadipaten Japanan. Tapi sekian lama ia tak mampu menyebutkan nama orang itu.
"Rasanya dulu aku pernah bertemu dengannya saat guru Kebo Kenanga masih hidup." katanya dalam hati.

"Apakah ki lurah mengenal eyang resi Puspanaga.?"
"O.. ya benar, resi Puspanaga. Aku mengenalnya walau sekilas tatkala aku dan guruku mengembara ke bang wetan." kata ki lurah Tohjaya, dengan raut muka senang.
Perbincangan itu telah menyegarkan ingatan ki lurah Tohjaya yang waktu mudanya pernah diajak oleh gurunya yang bernama ki Ageng Pengging Anom melawat ke bang Wetan.
"Pantas kemampuanmu melebihi para peserta lainnya." desis ki lurah Tohjaya.
"Walau begitu aku memuji kerendahan hatimu yang berusaha menyembunyikan kemampuanmu itu dan tak berlaku sombong." puji ki lurah Tohjaya.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 23
oleh : Marzuki Magetan
................******..............
Semenjak hari kedua itu keakraban antara ki lurah Tohjaya dan Arya Dipa semakin terjalin lebih erat, namun hal itu membuat putra ki panji Sambipati yang juga ikut dalam pendadaran prajurit baru Demak semakin iri hati. Karena itu pemuda itu sering mencari kesempatan untuk membikin ulah Arya Dipa dan mau menyerahkan pemimpin kelompok Cakra Emas kepada dirinya.
Dan hari itu menjadi kenyataan manakala putra ki panji Sambipati yang bernama Sambi Wulung mengajak kawan - kawannya menemui Arya Dipa di sanggar terbuka.
"He kau masih disini sesore ini.?" tanya Sambi Wulung.
"Ah kalian rupanya, aku baru saja berlatih menggunakan bambu - bambu pijakan itu." jawab Arya Dipa tanpa prasangka.
Kasak - kusuk terdengar dari kawan Sambi Wulung, dengan bibir mencibir meremehkan pemuda padukuhan di depannya.
"Arya Dipa, kedatanganku kali ini ingin memperingatkan dirimu kalau sebenarnya kawan - kawan tak menyetujui kepemimpinanmu menjadi pemimpin kelompok ini."
Dahi Arya Dipa mengerut tak begitu memahami perkataan kawannya itu.
"Tapi mengapa baru berkata sekarang.? Seharusnya dari kemarin kalian berkata dihadapan ki lurah Tohjaya, sehingga tak berkelanjutan seperti ini."
"Ah lebih baik kau mengundurkan diri Arya Dipa, daripada kau mengalami perlakuan buruk dari kami."
Kini semakin nyata kalau pemuda di depannya memang ingin mencari perkara dengannya, oleh karena itu Arya Dipa walau dengan tenang berusaha mengingatkan kawan - kawannya itu.
"Ingatlah kawan, kita berada dalam lingkungan prajurit yang tentunya terikat dengan paugeran yang sudah ditentukan. Aku rela jika kepemimpinan ini pindah kepada diantara kalian, namun kita harus menghadap terlebih dahulu ke ki lurah Tohjaya."
Sambi Wulung tampak bingung sesaat dan memandang kawan - kawannya yang berjumlah lima orang.
Salah seorang kawannya yang berbadan kurus akhirnya angkat bicara, " Tapi kau harus bilang kalau pengunduran dirimu atas kemauanmu sendiri.!"
Senyum tersungging di bibir Arya Dipa.
"Kenapa kau senyum - senyum sendiri.? Kau mengejekku ya.?"
"Bukan begitu kawan, tapi bukankah tadi kalian bilang kalau kawan - kawanlah yang tak menyetujui kepemimpinanku itu.?"
"Cukup.! Memang kau ingin mendapat pelajaran dari kami.!" teriak kawan Sambi Wulung lainnya.
"Tunjukkan kemampuanmu bocah gunung."
Kawan Sambi Wulung menyerang Arya Dipa, namun dengan mudahnya Arya Dipa mengelak seraya mendorong tubuh kawan Sambi Wulung hingga terjerembab tersuruk ke tanah.
"Aduuuh..." keluh kawan Sambi Wulung, sambil menyeka kotoran di wajahnya.
Kini giliran kawan Sambi Wulung yang kurus dan kawan satunya yang berbadan tinggi. Serangan dua orang itu tak membuat gentar Arya Dipa, dengan lincah pemuda itu menangkis serangan si kurus dengan menangkap tangannya dan menjadikan tubuh kawan Sambi Wulung sebagai perisai dari tendangan kawan satunya. Tak hanya itu saja, Arya Dipa lantas berputar dan menyarangkan tendangan ke pundak lawan hingga pemuda itu jatuh bergulingan.

Mendapati kawan - kawannya babak belur, Sambi Wulung menggeram marah, tapi sebelum dirinya bertindak kawannya yang masih tersisa dua orang sudah bergerak menyerang Arya Dipa. Kali ini dua kawan Sambi Wulung lebih sigap dan lincah. Tata gerak keduanya lebih mantap dibandingkan kawan sebelumnya.
"Mereka cukup bertenaga juga." desis Arya Dipa.
Loncatan pendek dari kaki kokoh selalu bisa menghindari serangan kawan Sambi Wulung kemana pun mengarah. Tak terasa peluh sudah membanjir merembes dari pakaian dua pemuda itu.
"He.. kau jangan terus menghindar, terima pukulanku.!" teriak si Jangkung.
Pukulan itu telah mendapat tanggapan dari anak angkat ki Mahesa Anabrang dengan pukulan juga, dan dua pukulan dari tangan terkepal itu saling bertemu dan menimbulkan keadaan yang berbeda. Si jangkung itu mengaduh - aduh berkelanjutan, jari - jarinya terasa patah hingga ketulang - tulangnya.
"Mengapa kau meringis seperti itu, kawan.?" ejek Arya Dipa sambil masih menghadapi lawan satunya.
Sambi Wulung sudah tak tahan lagi, ia telah meloncat dan siap menggebrak melumpuhkan lawannya, namun sebuah teriakan menghentikan segala - galanya.
"Berhenti.....!!!"
Mereka segera menghentikan perkelahian di sanggar terbuka itu, dan menantikan apa yang akan dilakukan oleh orang yang baru datang itu.
"Apa yang kalian lakukan ini.? Ini bukan hutan yang tak ada aturan dalam setiap bertindak, ini adalah barak keprajuritan Demak.!" kata orang yang tak lain ki lurah Anggoro.
Semua orang hanya menunduk malu, kecuali Sambi Wulung walau menunduk tapi masih memendam kemarahan kepada Arya Dipa.
"Baiklah kalian harus mempertanggungjawabkan kepada pengawas kalian, yaitu ki lurah Tohjaya." kata ki lurah Anggoro selanjutnya dan membawa ketujuh pemuda itu ke hadapan ki lurah Tohjaya.
Kedatangan ki lurah Anggoro dan ketujuh calon prajurit telah mengejutkan hati ki lurah Tohjaya, tapi panggraitanya telah peka adanya persaingan diantara para calon prajurit itu.
"Oh kau ki lurah Anggoro, ada apa ini.?"
Maka ki lurah Anggoro menceritakan apa yang ia lihat saat berada di sanggar terbuka.
"Begitulah ki lurah, semuanya aku serahkan kepada ki lurah yang merupakan pengawas dari kelompok prajurit Cakra Emas." kata ki lurah Anggoro, dan selanjutnya minta diri.
Setelah kepergian ki lurah Anggoro, dengan tajam ki lurah Tohjaya memandang setiap yang berdiri dihadapannya.
"Apa yang kalian lakukan itu.? Coba terangkan apa yang terjadi serta permasalahan kalian sehingga berkelahi di tempat terbuka.!" suara ki lurah Tohjaya agak berat.

Namun Sambi Wulung telah mengangkat kepalanya dan berkata, "Sudahlah ki lurah Tohjaya, anggaplah ini semua tidak pernah terjadi."
Lurah itu menghela napas sejenak lalu memandang tajam ke arah Sambi Wulung hingga pemuda itu menunduk.
"Apakah kau akan melaporkan semua ini kepada ayahmu ki panji Sambipati, Sambi Wulung.? Itu tak akan mempengaruhi hukuman bagi yang bersalah, sekalipun diantara kalian anak tumenggung."
Semuanya diam membisu.
"Kau, katakan apa yang terjadi." tunjuk ki lurah Tohjaya kepada seorang yang memegang tangannya yang sakit.
Pemuda itu bingung akan menjawab apa, ia takut jika berkata sebenarnya. Tapi sebuah bentakan telah mengejutkan pemuda itu sehingga walau tergagap ia berkata dengan jujur.
Jawaban itu memang sudah diperkirakan oleh ki lurah Tohjaya sebelumnya, oleh karena itu dengan bijak lurah murid ki Ageng Pengging Anom telah memberikan jalan keluar.
"Sambi Wulung aku akan memberimu kesempatan untuk menjajagi kemampuan Arya Dipa, biarlah pandanganmu terbuka lebar dan tak menganggap jalur olah kanuragan yang kau warisi dari ayahmu ki panji Sambipati semata yang unggul dari sejuta jalur perguruan lainnya." sejenak ki lurah Tohjaya berhenti untuk bernapas, lalu lanjutnya, "Dua hari lagi kita adakan perang tanding itu dengan batasan agar tak ada yang terluka parah, kalian setuju.!"
"Baik, aku setuju dengan syarat yang menang akan menjadi pemimpin kelompok Cakra Emas." jawab Sambi Wulung.
Ki Lurah Tohjaya hanya menghela napas, lalu menghadap ke Arya Dipa.
"Bagaimana denganmu, Arya Dipa."
Anak muda itu mengangguk perlahan walau sebenarnya ia tak menginginkan adanya perselisihan yang tak ada gunanya itu.
"Baik ki lurah, aku akan ikut serta."


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 24
oleh : Marzuki Magetan
..........*********...............
Perang tanding untuk pembuktian siapa yang berhak menjadi pemimpin kelompok prajurit Cakra Emas telah dipersiapkan dengan baik oleh ki lurah Tohjaya, yang tentunya atas ijin dari pemimpin perwira pengawas yaitu ki rangga Gajah Sorah.
Sebuah gawar telah dipasang di tengah sanggar terbuka untuk pelaksanaan perang tanding tersebut. Bukan hanya itu saja, sebuah panggungan juga dibangun dikarenakan pangeran Trenggono berkenan melihat perang tanding antara seorang pemuda yang ia kenal rendah hati melawan seorang calon prajurit anak ki panji Sambipati.
Pada saat itu dua orang yang besangkutan sudah siap memulai aba -,aba dari ki lurah Yudapati, sebagai pengawas dengan dibantu oleh ki lurah Anggoro dan ki lurah Lembu Pangraron. Sementara itu ki rangga Gajah Sora berdiri di samping pangeran Trenggono dan senopati Reksotani. Di sisi lain ki lurah Tohjaya dan ki lurah Angkayuda berdiri bersama pemimpin kelompok calon prajurit lainnya, yaitu Bojang Geni, Wiratsemi, Bangau Lamatan, dan Banyak Wide.
"Kakang terlalu lunak kepada anak ki panji itu, harusnya kakang memberi hukuman kepada anak bengal itu." desis ki lurah Angkayuda.
"Biarlah ini memberi pelajaran bagi Sambi Wulung kalau anak muda itu bukanlah tandingannya." sahut ki lurah Tohjaya.
"Maksud kakang lurah.?"
Ki lurah Tohjaya berbisik dekat telinga ki lurah Angkayuda.
"Anak itu masih berhubungan dengan seorang resi dari lereng gunung Penanggungan."
"Oh... benarkah itu.?" ki lurah Angkayuda terkejut.
Pengawas dari kelompok calon prajurit Cakra Emas mengangguk perlahan.
Di ujung yang lain Ayu Andini merasa cemas, gadis itu selalu gelisah memandang wajah Arya Dipa yang berdiri di dalam gawar, tapi kegelisahan itu bukannya takut kalau sang kekasihnya kalah dari lawannya, tapi kegelisahan itu mengenai akhir dari pertandingan ini yang bisa mengakibatkan dendam di hati lawannya.

"Mengapa kau terlalu tegang, Ayu.? Apa kau menyangsikan kemampuan Arya Dipa.?" tanya Rara Asih yang berdiri di samping Ayu Andini.
"Bukan itu Asih, aku ingat cerita yang kau katakan tadi, bahwa anak yang melawan kakang Arya Dipa merupakan anak yang selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain, aku takut jika hasil pertandingan ini membuatnya kecewa,ia akan terus mempersulit kakang Arya Dipa." jelas Ayu Andini.
"Sudahlah kita serahkan kepada Arya Dipa, jika perlu biarlah ayah Reksotani menegur anak itu bilamana ia terus mempersulit kekasih temanku." kata Rara Asih sambil menggoda temannya.
"Ah kau..." geruru Ayu Andini.
Dalam pada itu ki lurah Yudapati telah mengingatkan beberapa kepada kedua anak muda yang akan bertarung.
"Pertama yaitu siapa yang melewati batas gawar maka ia akan dinyatakan kalah, kedua tak boleh menggunakan senjata rahasia atau pun menggunakan pasir untuk dihamburkan ke mata, dan ingat pengawas akan menghentikan perang tanding ini bilamana mengetahui salah satu dari kalian dinyatakan tak mampu lagi bertanding. Kalian mengerti.?"
"Mengerti ki lurah..!" jawab keduanya berbarengan.
Sesaat ki lurah Yudapati memandang ke arah ki rangga Gajah Sora untuk meminta ijin memulai perang tanding itu. Setelah terlihat isyarat dari ki rangga Gajah Sora, maka ki lurah Yudapati memberi aba - aba mulai untuk Arya Dipa dan Sambi Wulung.
Kedua pemuda itu mulai bergerak memasang kuda - kuda, pergerakan pertama terasa lambat bahkan tak kunjung datang, inilah merupakan perang batin untuk menjajagi kesabaran seseorang dalam menunggu serangan.
Rupanya Sambi Wulunglah yang terpancing untuk memulai serangan, dengan kedua tangan bergantian menyerang Arya Dipa dengan kecepatan tinggi. Mata Arya Dipa yang tajam bagai mata garuda dengan awas membaca serangan itu dan dapat menghindari dengan mudahnya. Tapi serangan bagai badai putra ki panji Sambipati terus mencerca lawannya tanpa ampun.

Awal perang tanding itu memukau semua yang hadir, terutama para calon prajurit yang berkemampuan rendah. Ternyata anak ki panji Sambipati merupakan seorang anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang cukup sehingga pemuda itu meremehkan pemuda di depannya. Tapi kali ini yang dilawannya adalah anak muda yang mendapat tuntunan berat dari seorang resi di lereng gunung Penanggungan, bahkan selama peningkatan ilmunya, pemuda ini sudah sering lelaku pati geni hingga berbulan - bulan lamanya.
"Apa yang di lakukan Arya Dipa.? sepertinya ia hanya melayani Sambi Wulung saja." desis ki lurah Anggoro dalam hati. Lurah satu ini sebenarnya sudah mengetahui kemampuan Arya Dipa dikala menghadapi Subala dan ki Padas Gempal di jalan dekat Jipang Panolan.
Perang tanding itu terasa lama dan lambat hingga sang mentari semakin terik, di dalam gawar terlihat Sambi Wulung menendang Arya Dipa dan membuat pemuda itu jatuh, namun dengan cepat melenting berdiri dan melakukan serangan cepat yang mengenai pundak Sambi Wulung hingga pemuda itu kesakitan.
"Setan alas..!" geram Sambi Wulung.
Kembali serangan demi serangan mengenai tubuh keduanya bergantian hingga tubuh mereka nampak bilur - bilur biru dan memar, bahkan seberkas darah memercik dari sela - sela bibir.
Melihat hal itu pangeran Trenggono tersenyum, pangeran itu sudah bisa membaca apa yang dipikirkan oleh Arya Dipa mengenai akhir dari perang tanding ini. Dan karena itu putra ketiga dari raden Patah merasa senang dan memuji kebesaran hati dari Arya Dipa.
"Memang pantas jika anak muda itu menjadi senopati pilihan." desis pangeran Trenggono dalam hati.
Di ujung yang lain lima calon prajurit yang juga kawan Sambi Wulung merasa yakin kalau kawannya itu mampu mengalahkan lawan yang telah membuat kelima pemuda itu babak belur dua hari yang lalu.
"Aku yakin kalau Sambi Wulung bisa membuat anak itu bertekuk lutut." desis si jangkung dengan senyum sinis, manakala melihat tendangan Sambi Wulung mengenai lambung Arya Dipa.
"Tapi mengapa Sambi Wulung lama mengakhiri perang tanding ini.?" keluh si kurus.
"Mungkin ia ingin mempermainkan anak sombong itu.?" sahut kawan lainnya.
Keringat deras mulai merembes membasahi pakaian kedua anak pemuda itu, oleh karena tenaga yang semakin terkuras maka Sambi Wulung berusaha segera menumbangkan lawannya, namun lawannya walau dengan gontai mampu mengelak hingga dirinya terbawa oleh daya tenaganya sendiri dan membuat tubuhnya terjerembab tersuruk ke tanah. Tapi Sambi Wulung walau dengan lemahnya berusaha bangkit dan kembali menyerang lawannya, kali ini tendangannya tertangkap tangan lawan dan sebuah ayunan telah mengeluarkan tubuhnya keluar gawar, sedangkan lawannya yang masih berdiri di dalam gawar dengan napas berkejaran hanya diam mematung.

"Cukup..! teriakan dari ki lurah Yudapati telah mengakhiri perang tanding itu, dan menyatakan kalau pemenangnya adalah Arya Dipa.
"Bagus, dengan begitu anak ki panji Sambipati tak merasa kalah telak." batin ki lurah Tohjaya.
Sementara itu Sambi Wulung telah dibantu oleh ki lurah Anggoro untuk berdiri.
"Bagaimana keadaanmu, Sambipati.?"
Walau tubuhnya terasa sakit dan letih tapi pemuda itu tetap menjawab kalau dirinya tak mengalami luka serius.
"Syukurlah... beristirahatlah, biarlah kawanmu membantu membawamu ke barak."
Sementara itu Arya Dipa telah dihampiri oleh pangeran Trenggono yang memuji daya pikirnya dalam bertindak tanpa menonjolkan kelebihannya walau sebenarnya ia mampu.
Begitu juga dengan ki lurah Tohjaya yang senang dengan apa yang dilakukan oleh pemuda yang ia tunjuk sebagai pemimpin kelompok calon prajurit Cakra Emas.
"Semoga ia menerima kekalahan ini, jika orang tuanya keberatan aku yang akan menghadapinya." kata ki lurah Angkayuda.
"Ah..itu tak perlu adi." desis ki lurah Tohjaya.
Setelah perang tanding itu usai, kepemimpinan dari Arya Dipa semakin diakui oleh para calon prajurit lainnya. Tapi tidak dengan Sambi Wulung, pemuda ini belum puas dengan apa yang baru saja ia alami.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 25
oleh : Marzuki Magetan
.........................................
Musim hujan telah berlalu dengan datangnya musim kemarau, terik sang bagaskara begitu menyengat kulit. Tanah yang dulunya lembab kini nampak mengeras dan merekah hingga beberapa ruas jari. Begitu juga dengan pohon - pohon yang dulunya berdaun rindang, mulai menguning dan meranggas.
Waktu itu merupakan tahap pendadaran terakhir bagi para calon prajurit Demak. Lima kelompok calon prajurit kali ini mendapatkan ujian yang berbeda - beda tempat maupun jenis ujian yang akan dihadapi oleh para calon prajurit itu.
Kelompok Cakra Emas mendapat tugas menumpas gerombolan perampok di pesisir utara Jepara, yang sering mengganggu para pedagang maupun orang berlalu lalang. Kelompok perampok ini dipimpin seorang lelaki berperawakan layaknya raksasa dan beranggotakan lebih dari lima puluh orang.
Dengan bekal pengetahuan dari telik sandi Demak dan Jepara yang selalu mengamati keadaan di wilayah pesisir, maka ki lurah Tohjaya membawa kelompok Cakra Emas secara bergelombang supaya tak diketahui oleh para perampok pesisir utara. Setiap gelombang terdiri dari lima atau tujuh orang dengan jarak tidak terlalu jauh, yang akan berkumpul di sebuah gumuk dekat pesisir yang dirasa aman dan jauh dari pengamatan anak buah kelompok perampok yang dipimpin oleh Gagak Riung.
Perjalanan itu memerlukan waktu panjang dan melelahkan, namun demi impian yang semakin nyata sebagai prajurit dan semangat yang menggelora maka di kegelapan malam, gelombang demi gelombang mulai tiba di gumuk itu yang disambut oleh sepasang prajurit telik sandi dari Demak dan kadipaten Jepara.
"Selamat datang, ki lurah. Seratus tombak dari sini ki lurah akan mendapati tempat berkumpulnya gerombolan perampok itu." sambut prajurit telik sandi.
"Terima kasih, prajurit. Apakah pemimpin mereka ada bersama mereka.?"
"Sejauh kami tahu, orang itu berada bersama gerombolannya, ki lurah."
"Baiklah untuk malam ini kami akan beristirahat di gumuk ini, mungkin besok malam kelompok ini yang akan dipimpin oleh Arya Dipa akan melakukan penyergapan."
"Silahkan ki, karena hanya sampai disini tugas kami, dan selanjutnya tugas itu akan dilanjutkan oleh kelompok calon prajurit ini."
Setelah mendapat penjelasan mengenai keadaan alam maupun jumlah serta kekuatan lawan, ki lurah Tohjaya menemui Arya Dipa untuk memberikan tugas penyergapan itu yang sepenuhnya akan ditanggung oleh kelompok Cakra Emas.

"Setiap anggota kali ini dilarang menyalakan api, karena hal itu akan memancing perhatian musuh.!" suara Arya Dipa mengingatkan anggota kelompoknya.
Karena malam semakin dalam, sebagian dari para calon prajurit yang lelah segera menyandarkan tubuh mereka ke pohon dan bahkan merebahkan tubuh mereka di tanah beralaskan pakaian panjang.
Walau sebagai seorang pemimpin, Arya Dipa juga ikut dalam pembagian tugas jaga bagian pertama. Saat itulah ia teringat dengan gadis yang menawan hatinya, Ayu Andini.
"Apakah kelompoknya juga mendapat tugas menghadapi perampok seperti yang aku alami ini.?" batin Dipa.
Di langit bintang berkelip indah menyejukkan mata. Setiap orang yang memandangnya akan berpikiran seberapa jauhkan jarak bumi ini dengan bintang yang tak terhitung itu.? apakah disana juga ada mahkluk seperti manusia.? Namun itu semua sulit dijawab, hanya Yang Maha Agung semata yang tahu pasti itu semuanya.
Induk burung hantu telah keluar mencari mangsa untuk mengisi perutnya atau pun anak - anaknya. Tikus yang merupakan salah satu dari makanan burung hantu, dengan gesit menghindari sergapan dan berusaha kembali ke liangnya, namun nasib berkata lain manakala burung hantu kembali menyerang dan berhasil memcekram dengan kuatnya.
Tak terasa waktu berlalu dimana penjagaan kedua telah berganti sampai terbitnya sang fajar. Gumuk itu mulai terasa hidup kembali dengan adanya kicauan burung. Bagi prajurit yang mendapatkan tugas mempersiapkan rangsum, segera menyiapkan dengan cepat dan membagikan kepada prajurit lainnya.
Siang berjalan sangat lamban dan menjadikan kebosanan di hati calon prajurit. Namun akhirnya waktu yang ditunggu pun telah tiba untuk penyergapan di bukit dimana gerombolan Gagak Riung bersarang.
Arya Dipa kembali menjelaskan dan memberikan perintah kepada anggota kelompoknya.
"Jaka Ungaran, bawalah sepuluh kawan kita menuju Jalur selatan dengan tugas memasang obor - obor untuk pengalihan, dan saat kau melihat gerombolan itu turun segeralah memberi isyarat dengan panah sendaren."

"Baik aku mengerti." sambut Jaka Ungaran.
"Wasis, nanti setelah kita berhasil medaki tebing, pimpinlah sebagian anggota kelompok memutari sarang itu dan sergap di ujung barat. Sambi Wulung, aku mengharapkan kau memimpin di ujung utara."
Wasis dan Sambi Wulung mengangguk berbarengan.
"Baik mari kita berangkat dan jangan lupa meminta perlindungan kepada Sang Pencipta, semoga tugas kita berhasil tanpa korban dari pihak kita."
Ternyata setelah kepergian anggota itu dari gumuk, seorang senopati telah muncul seseorang dengan memakai pakaian layaknya senopati.
"Oh ki Rangga Reksotani.." desis ki lurah Tohjaya.
"Kita akan mengawasi mereka, jika mereka gagal, prajurit dari pasukan berkuda akan segera membantu mereka." sahut orang itu yang tak lain senopati Reksotani, yang datang dengan pasukan berkuda.
"Baik ki rangga, tapi aku harap kita tak menggerakkan pasukan berkuda, karena aku merasa yakin jika kelompok Cakra Emas mampu menghadapi gerombolan Gagak Riung."
"Hemm, semoga."


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 27
oleh : Marzuki Magetan
************************
Tiga puluh calon prajurit telah berdiri di bawah tebing dan siap memanjat tebing dengan menggunakan enam tali pengait secara bergantian. Setelah di atas Arya Dipa mengatur anak buahnya untuk segera melakukan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dua puluh orang bergerak ke utara memutari sarang gerombolan Gagak Riung secara sembunyi - sembunyi, sesampainya di utara sepuluh orang berhenti yang dipimpin oleh Sambi Wulung, sementara sisanya melanjutkan langkah mereka untuk menempati ujung barat yang akan dipimpin oleh Wasis.
"Kita akan menunggu panah sendaren, persiapkan busur dan anak panah kalian untuk mengurangi pihak lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari kita." perintah Arya Dipa, sambil terus bergerak mendekati gua dari arah timur.
Begitu juga dengan Wasis maupun Sambi Wulung, keduanya juga memberikan perintah kepada kawan - kawannya untuk mempersiapkan senjata mereka.
Di jalur utama Jaka Ungaran dan kawannya dengan cepat mengikat obor - obor dan menyalakannya, sehingga dari kejauhan nampak bagaikan barisan sepasukan.
Nyala puluhan obor itu telah mengejutkan pengawas gerombolan perampok yang sempat memperhatikan apa yang ia lihat.
"Apa aku tertidur.? Gawat prajurit manalagi itu yang akan menyerang kita.?" kata seorang pengawas.
"Aku akan melaporkan hal ini kepada ki Gagak Riung." sahut kawannya yang lari menuju mulut gua.
Saat pengawas itu lari memasuki mulut gua, dari dalam seorang perampok berkepala botak berjalan keluar. Maka keduanya telah bertabrakan.
"Bangsat, he matamu kau taruh mana.?!" umpat perampok berkepala botak.
"Ma...maaf kakang, ketiwasan..."
"ketiwasan bagaimana.?" tanya perampok berkepala botak, heran.
"Anu...anu.."
"Kenapa anumu.? ingin ku potong.!"" teriak perampok berkepala botak, jengkel.
Kaki perampok yang akan melapor itu gemetar dan keringat dingin mengucur.
"Sarang kita diserbu sepasukan prajurit.." akhirnya ia bisa lancar menjawab.
"Apa...? mereka tak bosan - bosannya menyerang gerombolan pesisir utara, cepat kau bangunkan lainnya, biarlah kakang Gagak Riung aku bangunkan."

Perampok itu lantas membangunkan kawan - kawannya yang mendengkur di tengahnya malam. Sementara perampok berkepala botak yang merupakan tangan kanan Gagak Riung, menuju ruang dalam gua dan membangunkan pemimpinnya.
"Kakang, para prajurit itu kembali menyerang kita."
Gagak Riung merapikan ikat kepalanya serta menyambar pedangnya dan pergi ke luar gua. Di luar semua anak buahnya sudah berkumpul dengan wajah mereka yang sangar dan buas.
"Kita akan lumatkan prajurit itu.!" teriak Gagak Riung yang disambut sorakan menggelora memenuhi udara di depan mulut gua.
Berbagai senjata tergenggam erat di tangan mereka, senjata - senjata yang sudah meneguk darah lawan - lawan mereka demi kepuasan semata. Geromblan perampok itu bergerak menyongsong barisan obor yang dikiranya sepasukan prajurit.
"Mereka tak bergerak, ki lurah." lapor perampok yang bertugas berjaga dimalam itu.
"Apa sebaiknya kita keluar dari pagar bebatuan pertama ini dan menyerang mereka, ki lurah.?" tanya seorang anak buah perampok.
"Goblok..! kau sudah ikut dengan kami sejak kapan.?" bentak Gembong Londang, perampok berkepala botak.
Anak buah perampok itu terdiam dan hatinya kuncup.
"Kita akan tunggu sesaat, pasti mereka akan naik." kata ki Gagak Riung, berat.
Benar saja apa yang dipikirian ki Gagak Riung, di bawah obor - obor itu bergerak ke atas sampai di pagar bebatuan paling bawah. Namun sesampainya disana, obor - obor itu padam semua walau hanya sesaat, tapi sesaat kemudian obor - obor itu kembali menyala di atas pagar bebatuan.
Di bawah Jaka Ungaran dengan kesembilan kawannya bekerja dengan cepat, tatkala ia dan sembilan kawannya mendaki pagar bebatuan, dengan cepat mereka memadamkan obornya begitu juga dengan obor di bawah yang masih terikat dipohon, mereka lepas terus dibawa naik dan diikat di pohon yang tumbuh di pagar bebatuan paling dasar dan kembali dinyalakan.
"Bagus mereka sudah di pagar bebatuan dasar, ayo kita serang mereka.!" perintah ki Gagak Riung, yang keluar dari pagar bebatuan paling atas untuk menyerang musuh mereka.

Bersamaan dengan pergerakan musuh yang menuruni bukit, sebuah panah sendaren dilepas ke atas dengan menimbulkan lengkingan sebagai isyarat penyergapan di mulai dari atas tebing. Suara panah sendaren itu telah mengejutkan gerombolan perampok itu, sehingga mereka berhenti melangkah, tapi sebuah teriakan dari ki Gembong Londangan telah membuat mereka sadar dan kembali meneruskan langkah mereka menyerbu musuh.
Di atas dekat mulut gua, ujung timur, utara, barat serentak para prajurit yang mendengar lengkingan panah sendaren, merangsek sambil memasang anak panah dan mengarahkan ke arah gerombolan perampok yang terjebak itu. Hujan anak panah di gelapnya malam itu telah mengejutkan gerombolan perampok pesisir utara, tapi mereka tak bisa berjalan mundur atau menyesali keadaan, karena tubuh mereka tertembus oleh anak panah itu.
Hanya perampok berkepandaian menggunakan senjata saja yang bisa bertahan menangkis hujan panah itu. ki Gagak Riung dengan lincah menggerakkan pedangnya memapas anak panah itu. Begitu juga dengan ki Gembong Londang, tongkatnya bagai kitiran menangkis serangan lawan.
"Pengecut prajurit ini..!" umpatnya.
"Menyerahlah kalian, tempat ini sudah terkepung dan kawan kalian sudah banyak bertumbangan.!" teriak Arya Dipa.
"Cih.. Tak ada dalam hidupku kata menyerah.!" balas ki Gagak Riung.
Apaboleh buat karena peringatan darinya tak mendapat sambutan, maka Arya Dipa memerintahkan anggotanya menyerbu dengan menggunakan senjata jarak dekat. Pertempuran brubuh pun tak dapat dielakan, sambaran pedang mulai menggores lawan yang lengah ataupun lemah. Erangan semakin banyak terdengar menghiasi bukit di pesisir utara Jepara.
Ki Gagak Riung dengan ganas berhasil melukai beberapa anggota Cakra Emas, bila dilanjutkan maka korban akan semakin banyak, oleh sebab itu Arya Dipa telah menempatka dirinya untuk menghadapi orang itu.
Pedang ki Gagak Riung telah bertemu dengan pedang tipis Arya Dipa, percikan api telah berpijar di malam itu dan mengejutkan keduanya.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 28
oleh : Marzuki Magetan
************************
Tangan ki Gagak Riung terasa panas saat pedangnya terbentur senjata tipis lawannya, pedang lawannya ternyata sangat kuat dan lentur, kilatan cahaya obor yang terpantul dari bilahnya menambah pamor kyai Jatayu.
"Pantas anak ini berani menyerang sarangku, ternyata ia mempunyai senjata pamungkas dari bahan pilihan." puji ki Gagak Riung.
Pemimpin gerombolan itu kemudian meningkatkan kemampuannya, tenaganya bertambas dahsyat layaknya gajah murka, walau begitu kecepatannya juga meningkat dengan loncatan panjang hingga kakinya seperti tak menapak tanah.
Oleh karena melihat kemampuan lawan meningkat selapis demi selapis, Arya Dipa melayaninya dengan meningkatkan kemampuannya mengungguli lawannya selapis di atas lawannya. Tangannya yang mengenggam kyai Jatayu dengan cepat bergerak menusuk menyambar ataupun menyabet ke tubuh lawan, tak hanya itu saja, tangan dan kaki yang kuat ikut menggebrak menghancurkan lawannya.
"Hohoho... Kau sungguh berbakat anak muda, sebaiknya kau mundurlah dan tekuni bakatmu itu daripada mampus di bukit ini.!" ki Gagak Riung memuji serta meremehkan kemampuan lawannya seraya terus meningkatkan ilmunya.
"Terima kasih kisanak, namun aku akan berusaha menangkap kisanak hidup atau mati." jawab Arya Dipa.
"Hemmm..." dengus ki Gagak Riung sambil mengayunkan pedangnya yang nampak membara.
Perkelahian itu semakin meningkat sengit dan seru, tata gerak mereka pun begitu rumit dengan lambaran ilmu cadangan, tempat yang mereka pijak membekas layaknya kena bajak dan membuat orang di sekitar mereka menepi memberi tempat tersendiri bagi keduanya.
Di ujung yang lain seorang pemuda tercengang saat memerhatikan perkelahian antara Arya Dipa dan ki Gagak Riung, pemuda itu tak mengira jika orang yang pernah berperang tanding dengannya ternyata memiliki kemampuan yang mengerikan.
"Jadi waktu itu ia hanya bermain - main saja denganku.?" gumam pemuda yang tak lain Sambi Wulung.

Tapi sebuah ayunan pedang telah menyadarkan dirinya, kulitnya tergores ujung pedang lawan yang tak mampu ia hindari sepenuhnya. Sambi Wulung telah mengatupkan giginya dan menyerang perampok yang berhasil melukainya.
"Kau akan membayarnya.!" teriak Sambi Wulung sambil menghujamkan pedang keprajuritannya.
Sementara itu tak jauh dari pagar bebatuan bawah, Ki Gembong Londang telah dihadapi Jaka Ungaran dan Wasis.
"Majulah kalian berdua agar semakin cepat pekerjaanku ini..!" sumbar ki Gembong Londang seraya memutar tongkat panjangnya.
Dua calon prajurit itu tak memandang remeh lawannya, keduanya berusaha bekerja sama saling mengisi secara teratur tak memberi waktu luang bagi lawan mereka untuk beristirahat barang sejenak. Keduanya ternyata meleburkan ilmu mereka menjadi satu kesatuan seolah - olah tubuh mereka digerakkan satu pikiran saja.
Keringat dingin membasahi ki Gembong Londang tatkala lengannya tergores pedang Wasis, kemudian disusul tendangan dilambungnya perampok berkepala botak itu olah Jaka Ungaran.
"Bajingan tengik setan gentayangan...!" maki ki Gembong Londang dengan kasarnya.
"Jaga mulutmu, kisanak. sadarlah dan letakkan tanganmu.!"
"Lalu aku akan menjadi pangewan di Demak.? Tak sudi.!"
"Apa boleh buat, kami akan menggunakan kekerasan.!" kata Wasis.
Kembali perkelahian itu berlanjut lebih seru dari sebelumnya. Keadaan telah mendesak para gerombolan perampok pesisir, banyak dari mereka terluka dan bahkan tewas penuh luka sayatan menghiasi sekujur tubuh mereka. Saat seoarang calon prajurit meneriakkan peringatan agar mereka menyerah, maka tanpa berpikir panjang mereka melempar senjata mereka dan pasrah saat kedua tangan mereka diikat dengan ikat kepala mereka sendiri.
Kini yang tersisa hanya dua kalangan saja, yaitu Arya Dipa yang terus melayani kemampuan dari ki Gagak Riung dan di ujung satunya antara ki Gembong Londang yang harus mengalami tekanan dari sepasang anggota Cakra Emas.
Di luar gelanggang dua orang yang bersembunyi di balik pagar bebatuan yang tertata oleh alam, merasa lega melihat keadaan di sekitar bukit itu.

"Kemenangan sudah nampak di depan mata, ki Rangga." desis ki lurah Tohjaya.
"Kemampuan anak muda itu menunjukkan kalau ia pantas menjadi senopati pilihan, sejak pertama bertemu dengannya aku sudah mengagumi pemuda itu." sahut ki rangga Reksotani, lalu lanjutnya, "Padahal dari pertama pangeran Trenggono ingin menjadikan ia senopati tanpa adanya pendadaran, tapi ia dengan halus menolaknya dan akan memasuki lingkungan keprajuritan secara wajar."
Ki lurah Tohjaya menggangguk perlahan dan memuji keluhuran budi Arya Dipa.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 29
oleh : Marzuki Magetan
************************
Tekanan yang ditimbulkan oleh Wasis dan Jaka Ungaran terasa semakin berat menimpa ki Gembong Londang, perampok berkepala botak itu keteter hingga tubuhnya kembali menerima gebukan dari Jaka Ungaran sangat keras. Tapi perampok itu tak menunjukkann kalau ia menyerah, malah sebaliknya tongkat panjang dalam genggamannya tergenggam erat menohok lambung Wasis, tapi mata Wasis masih jeli dan dengan cepat menangkis serangan itu dengan daun pedang yang ia pegang di ganggang dan pucuknya. Walau begitu pemuda ini kalah tenaga hingga kakinnya bergeser beberapa tindak.
Kini ki Gembong Londang berusaha menggemplang kepala lawan di depannya, tapi serangannya segera ditarik manakala ia melihat kilatan pedang Jaka Ungaran mengarah tangan ki Gembong Londang. Sambil menarik serangannya, tangan kanan perampok ini berputar berusaha menyapok leher Jaka Ungaran, tapi sekali lagi sebuah ancaman mengarah punggung perampoo itu. Goresan panjang dari pedang Wasis telah menghentikan gerak ki Gembong Londang yang sempat memutar tubuhnya memelototi orang yang melukainyai itu.
"Kau......." suara itu putus seiring nyawa lepas dari raganya dan tubuh itu tumbang ke tanah dengan kerasnya.
Tak jauh dari tempat itu, pertempuran sengit mewarnai tandang dari Arya Dipa dan ki Gagak Riung. Semburat warna merah menyala di sekeliling daun pedang kepala gerombolan pesisir utara yang terus mengapai tubuh lawannya yang berusaha menghindari dengan gesit dan cepat. Sungguh mengagumkan kedua tandang keduanya, kesiur angin terasa semakin menusuk ke kulit, jika.yang terkena orang biasa maka kulit mereka akan terluka seperti sayatan benda tajam.
Kemampuan yang semakin meningkat itu telah membuka mata Arya Dipa untuk mengungkap aji Niscala Praba, tubuh pemuda itu terlapisi cahaya kuning kemilau untuk menahan hawa panas ataupun serangan senjata lawan.
"Gila anak ini mempunyai ilmu aneh, hawa panas dan sambaran pedang yang aku lambari aji Prahara Geni tak berpengaruh sama sekali..." gerutu ki Gagak Riung, sambil terus mencerca lawannya.
"Lihatlah sekitarmu kisanak, anak buahmu sudah kami kendalikan, menyerahlah untuk mempertanggungkan semua kejahatan yang pernah kau lakukan." kata Arya Dipa memberi kesempatan kepada lawannya untuk melihat apa yang terjadi di sekitarnya.
Walau mengetahui kalau gerombolan telah hancur terlindas oleh prajurit yang masih dalam tahap pendadaran akhir itu, ki Gagak Riung memilih bertaruh nyawa daripada menjadi pangiwan di Demak yang berujung penggal kepala atau hukuman mengerikan lainnya.

"Aku menantangmu perang tanding bila kau jantan anak muda, bila aku menang aku bisa keluar dari tempat ini tanpa adanya tindakan dari anak buahmu.!" tantang ki Gagak Riung.
"Bukankah dari tadi kita sudah bertempur tanpa adanya keikut campuran kawan - kawanku.? Dan jika aku menyetujui permintaanmu untuk menepati janji untuk membebaskan dirimu bila berhasil mengalahkanku, aku tak dapat memastikan kawanku juga menyetujuinya."
"Hemm terserah...!
Usai mengakhiri perkataannya pemimpin gerombolan perampok pesisir utara kembali menyerang lebih dahsyat dan ganas, sambaran pedangnya meninggalkan bekas walau senjata itu sudah berpindah. Tandang yang nggegirisi itu tak membuat lawannya yang masih muda itu gentat sedikit pun, malah pedang tipis di tangan lawannya mampu menahan serangannya dan bahkan pedang itu mampu berkelak kelok layaknya seekor ular dan menggores lengannya.
"Bangsat tengik..!" maki ki Gagak Riung, sambil meloncat mundur menjaga jarak dan mengusap darah yang menitik dari lengannya.
Dengan kemarahan yang sudah memuncak di ubun - ubun, ki Gagak Riung menggerakkan pedangnya seakan akan menggores silang di udara di depannya, tapi anehnya udara yang tergores menyilang itu berbekas membara dan melabrak Arya Dipa.
Sontak serangan yang tak terduga itu mengejutkan beberapa pihak, juga dengan diri Arya Dipa yang hanya menyilangkan kedua tangannya dengan lambaran aji Niscala Praba. Meskipun berhasil menangkisnya, tapi pemuda itu bagai tergedor tenaga dahsyat hingga anak muda itu terlempar dua tombak ke belakang. Dengan tertatih - tatih Arya Dipa berusaha bangun dan bertopang kuat memandang ke depan.
Saat itulah ki Gagak Riung menyarungkan pedangnya dan tangannya membara sampai berwarna merah kehitaman, aji Prahara Geni telah manjing dan siap diluncurkan menghanguskan lawannya.
Sontak hal itu membuat Arya Dipa segera memusatkan nalar dan budi meminta lindungan Sang Pencipta dengan perantara pengetrapan aji Niscala Praba sepenuhnya dan sebuah pukulan yang nggegirisi, aji Gelap Ngampar. Kedua aji melebur menjadi satu sehingga meningkatkan kemampuan pemuda itu.
Tak berselang lama sebuah gema dentuman menguncang bukit kecil itu, tanah berhamburan memenuhi udara malam menjelang pagi. Semua mata memandang dengan tajam memerhatikan kepulan debu yang berhamburan menutupi kedua sumber tenaga dahsyat. Saat debu itu berangsur - angsur luruh kembali ke tanah, tampak tubuh setengah duduk dengan tangan kanan memegangi dada, dan tak jauh di depannya sebuah mayat tergeletak mengenaskan dengan luka bakar mengerikan.
Arya Dipa menghela napas perlahan saat memandang lawannya yang tergeletak tak bergerak lagi, pemimpin gerombolan perampok itu tewas oleh ajian Gelap Ngampar serta ilmunya sendiri yang mental dari tubuh pemuda pemimpin anggota Cakra Emas.


Panasnya Langit Demak
jilid 3 bag 30
oleh : Marzuki Magetan
************************
Kematian ki Gagak Riung telah mengakhiri gerombolan yang ia pimpin di pesisir utara, bersamaan munculnya sang fajar di ujung timur, para calon prajurit mengumpulkan kawan - kawan mereka yang terluka dan tak ketinggalan para gerombolan perampok yang menyerah ataupun yang terluka, tak ketinggalan mayat - mayat juga segera mendapat perawatan dan diselenggarakan dengan alat seadanya.
Pada saat itulah ki rangga Reksotani dan ki lurah Tohjaya bersama sepasukan prajurit berkuda muncul mengagetkan para calon prajurit anggota kelompok Cakra Emas.
"Senopati.." desis Arya Dipa yang mengenali ki rangga Reksotani.
Senopati itu mendekati pemuda itu dan menepuk pundaknya seraya memberikan selamat atas kepemimpinannya dalam penyergapan gerombolan perampok pesisir utara.
"Terima kasih ki rangga, ini semua berkat kerjasama kami semuanya."
"Baiklah istirahatkan kawan - kawanmu, biarlah pasukan berkuda yang melanjutkan semuanya itu dan menangani para tawanan."
"sendiko ki rangga."
Pasukan berkuda dengan cepat menyelenggarakan mayat - mayat itu dan memasukan ke liang dan menimbunnya agar tak di makan hewan buas di sekitar bukit itu.
"Ki lurah Tohjaya, ada kabar baik untukmu." ucap ki rangga Reksotani.
Lurah murid ki Ageng Pengging Anom itu beringsut dari duduknya.
"Apakah itu ki rangga.?"
"Bersamaan dengan wisuda calon prajurit baru ini, kau akan diwisuda menjadi seorang rangga oleh pangeran Trenggono sendiri, kanjeng pangeran merasa puas dengan pengabdianmu selama ini, puluhan tugas yang kau lakukan berhasil dengan baik." terang ki rangga Reksotani.
"Itu semua sudah menjadi kewajibanku, ki rangga. Sebagai seorang prajurit hanya inilah cara saya dalam menjunjung serta ikut nenegakkan kerajaan ini." kata ki lurah Tohjaya.
"Hahaha... aku mengerti dan itu pun sudah termasuk penilaian pangeran Trenggono dalam menunjuk seseorang dengan tepat."
Setelah para calon prajurit sudah merasakan tenaga mereka pulih seperti sedia kala dan pasukan berkuda juga menyelesaikan menyelenggarakan mayat perampok, maka ki rangga Reksotani memerintahkan prajurit Demak kembali ke kotaraja.

Perjalanan iringan itu terasa lambat, apalagi di antara pasukan itu terdapat tawanan dan beberapa dari mereka mengalami cedera dan luka, begitu juga dengan para calon prajurit baru.
Setelah hari mendekati senja iringan pasukan itu memasuki gerbang kotaraja bagian utara, di situ ki lurah Angkayuda menyambut kedatangan mereka sekaligus mengambil alih para tawanan untuk dibawa ke balai pakunjaran yang bersebelahan di barak pasukan wira manggalayuda yang dipimpin tumenggung Suranata. Sementara ki rangga Reksotani dengan pasukan berkudanya dan ki lurah Tohjaya beserta anggota kelompok Cakra Emas melanjutkan langkah mereka ke barak wira tantama yang dipimpin oleh ki tumenggung Gajah Pungkuran.
Barak wira Tantama yang berdekatan dengan keraton terasa semarak di malam itu, atas persetujuan ki tumenggung Gajah Pungkuran barak itu malam ini dihiasi beberapa obor yang lebih banyak dari malam sebelumnya. Sebelumnya seorang prajurit penghubung telah mewartakan atas keberhasilan anggota kelompok Cakra Emas yang merupakan calon prajurit dari Wira Tantamayuda, maka oleh itu ki tumenggung sendiri berkenan melakukan penyambutan itu.
Anggota kelompok Cakra Emas setelah membersihkan diri bagi mereka yang tak terluka langsung di bawa ke balai utama di barak itu, di sana berbagai hidangan siap sedia bagi mereka. Sedangkan yang terluka akan ada prajurit juru adang yang akan membawakan kepada mereka.
"Aku bangga kepada kalian semua, kalian dengan telak berhasil menghancurkan sarang mereka." kata ki tumenggung Gajah Pungkuran, yang duduk diapit oleh ki rangga Gajah Sora dan ki rangga Reksotani.
"Nikmatilah hidangan ini sepuas kalian." ki tumenggung Gajah Pungkuran mempersilahkan.
Sementara itu ki lurah Tohjaya mendekati Arya Dipa yang duduk bersebelahan dengan Jaka Ungaran, Wasis dan Sambi Wulung.
"Ayo kalian tak usah malu - malu." ujar ki lurah Tohjaya.

"Bagaimana kami tak malu, ki lurah.? sedangkan orang yang memimpin kami saja hanya melamun." sahut Sambi Wulung yang kini menyadari kesalahannya dan mulai akrab dengan Arya Dipa.
"Pemimpin kita ini sedang memikirkan sang rembulan yang kini berada di barak pasukan wira braja." celetuk Jaka Ungaran.
"Ah kau..." desis Arya Dipa.
"Hahaha, tak usah kau risau kakang, mbakyu Rara Asih akan menemani mbakyu Ayu Andini." kini giliran Wasis berkata.
"Wah tenyata kau mendapat pengawalan dari putra senopato Reksotani, Arya Dipa." goda Jaka Ungaran, yang disambut tawa oleh semuanya.
Malam itu suasana gembira terlihat di barak pasukan wira tantamayuda, perayaan atas keberhasilan sekaligus ujian terakhir dari kelompok Cakra Emas yang gemilang menghancurkan lawan -lawan mereka mendapat nilai baik dari kelompok lainnya.
Saat malam terdengar kentongan yang menandakan tengah malam, maka para calon prajurit segera menuju bilik yang disediakan bagi mereka untuk beristirahat dikarenakan esok harinya mereka akan diwisuda.

(Bersambung jilid 4...)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar