Sabtu, 07 Januari 2017

PANASNYA LANGIT DEMAK jilid 4

PANASNYA LANGIT DEMAK 4

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 1
oleh : Marzuki Magetan.

   Pada hari Anggara di Demak Bintara tampak suasana berbeda di hari - hari sebelumnya, khususnya di alun -alun Demak Bintara telah didirikan panggungan yang cukup lebar dan memanjang dengan hiasan umbul dan rontek serta tunggul ciri kebesaran kesultanan Demak, di depan panggungan berbaris berbagai pasukan dari Wira Tantamayuda, Wira Manggalayuda, Wira Braja, Wira Jalapati, dan Wira Radya dengan pakaian kebesaran mereka juga di samping setiap barisan terdapat tunggul bergambar simbol pasukan masing - masing kelompok pasukan Demak Bintara.

    Suasana semakin semarak saat pangeran Trenggono beserta kerabat keraton menaiki panggungan, tampak pangeran ketiga itu bangga menyaksikan prajurit Demak yang menyorakan nama pangeran.
   
    "Hidup Demak...! Hidup pangeran Trenggono..!" sorak para pasukan beberapa kali.
   
    "Silahkan pangeran." sambut ki tumenggung Gajah Pungkuran yang memakai pakaian dari Wira Tantama.

   "Terima kasih, paman tumenggung." sahut pangeran Trenggono, sambil menyalami tumenggung itu dan tumenggung lainnya, yaitu ki tumenggung Gagak Kukuh dari pasukan Wira Braja, ki tumenggung Suranata dari pasukan Wira Manggala, ki tumenggung Siung Samudro dari pasukan Wira Jalapati, dan ki tumenggung Pideksa dari Wira Radya, sedangkan pasukan Patang Puluhan tak nampak dikarenakan ikut bersama kanjeng sultan ke Malaka.

   Di situ juga ada tamu undangan dari berbagai telatah kadipaten, tanah perdikan atau simo dan beberapa kademangan. Kadipaten Jipang Panolan diwakili oleh pangeran Sekar, kadipaten Ponorogo diwakili oleh ki tumenggung Tunggul Manik, kadipaten Jepara diwakili oleh adipati Kalinyamat atau raden Hadiri suami ratu Kalinyamat, dan masih banyak lainnya.

   Pelaksanaan wisuda itu dibuka dengan pemukulan bende kebesaran Demak, lalu sambutan dari ki rangga Gajah Sora yang merupakan pimpinan pengawas yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pendadaran calon prajurit baru. Setelah itu barulah kanjeng pangeran Trenggono menyatakan bahwa calon prajurit baru itu sah menjadi prajurit Demak seutuhnya dengan kewajiban membela serta menegakkan keutuhan kerajaan di tanah Jawadwipa ini.

   Tak hanya itu saja, beberapa calon prajuritakan mendapatkan sebuah jenjang keprajuritan lurah prajurit, selain itu beberapa perwira juga mendapat kenaikan jenjang keprajuritan sesuai pengabdiannya selama ini. Ki lurah Tohjaya yang sebelumnya berada di barak pasukan Wira Tantama, mendapatkan jenjang keprajuritan rangga dan bertugas mengepalai pasukan penjaga gedung perbendaharaan sekaligus pusaka sipat kandel keraton. Ki lurah Anggoro pun juga menjadi seorang rangga yang bertugas mengepalai pasukan Patang Puluhan menggantikan ki panji Kalayuda, juga ki lurah Angkayuda, ki lurah Yudapati, ki lurah Lembu Pangraron, dan masih banyak lainnya.
Sementara itu Arya Dipa, Wiratsemi, Bojang Geni, Bangau Lamatan, dan Banyak Wide telah diangkat menjadi lurah prajurit di pasukan masing - masing.

   Sorak gemuruh menggetarkan bumi Demak atas pewisudaan itu serta pemberian kekancingan keprajuritan bagi calon prajurit baru itu. Seorang lelaki merasa terharu ketika menyaksikan anaknya telah menjadi prajurit yang akan ikut andil dalam memperkuat negerinya itu.

   "Berbanggalah kakang demang, anakmu sekarang seorang lurah prajurit yang memimpin empatpuluh prajurit." desis seseorang kepada kawannya.

   "Iya adi, aku tak mengira anak bengal yang dulu selalu mengganggu dan merepotkan diriku yang tua ini, telah menjadi lurah prajurit. Aku harap angger Bojang Geni dapat mengharumkan kademangan yang aku pimpin."

   Di lain tempat tanpa diketahui oleh Arya Dipa, seseorang berkaca - kaca memerhatikan anak angkatnya bisa menjadi seorang lurah prajurit.

   "Sudah waktunya ia mengetahui jati diriku selama ini." desis orang itu yang tak lain ki Mahesa Anabrang.

   Di sampingnya seseorang menggamitnya, seraya bertanya, "Kau mengenal pemuda itu, ki panji.?"

   "Bagaimana aku tak mengenalinya, ki panji Sambipati. ia anak angkatku yang aku rawat selama bertugas di kadipaten Ponorogo."

   "Apakah ia tak mengetahui jika ayah angkatnya ini prajurit telik sandi Demak.?"

   Ki Mahesa Anabrang menggeleng perlahan.

   "Tidak ki panji, saat aku pergi meninggalkan gubuk di padukuhan Pudakan aku selalu bilang ingin mengunjungi kawanku dan ia kutitipkan kepada tetanggaku."

   "Cek..cek..cek bahkan kepada anak angkatmu pun kau merahasiakan jati dirimu, ki panji. Pantas kau selalu bisa melakukan penyusupan tanpa diketahui oleh lawan." ujar ki panji Sambipati.

   "Ah.. kau ini, o ya bukankah anakmu juga diwisuda, ki panji.?"

   "Hem, tapi ia tak seberuntung putramu, mungkin anak itu berulah waktu pendadaran, biarlah itu menjadi pelajaran baginya." sahut ki panji Sambipati sambil memerhatikan anaknya, Sambi Wulung yang berdiri berkerumun dengan kawan - kawannya.

   "Marilah kita kembali ke barak, wisuda ini sudah usai." ajak ki Mahesa Anabrang, yang ternyata seorang panji dari pasukan telik sandi Demak Bintara.

   "Hahaha, kau takut jika putramu itu mengetahui jati dirimukan..?" goda ki panji Sambipati, sambil berjalan mengikuti ki panji Mahesa Anabrang.

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 2
oleh : Marzuki Magetan

   Udara di malam itu terasa panas luar biasa, entah mengapa pangeran Trenggono terbangun dari tidurnya dan melangkah keluar dari peraduannya menuju gedong pembatas bilid dan ruang dalam kesatrian. Di luat langit sangat cerah dan bila memandang langit nampak bulan bersinar terang dengan lintang yang menyertainya. Namun beberapa saat kemudian angin berhembus kencang membawa awan menutupi sinar bulan.

    "Ada apa ini.? perasaanku mengapa seperti ini.?" batin pangeran dalam hati.

    Kegelisahan terasa melanda hati pangeran Trenggono itu. Seorang pangeran yang pilih tanding itu tak luput mengalami perasaan janggal di hatinya.
Sementara itu jauh dari kotaraja Demak, sebuah kejadian tak terduga melanda kapal yang ditumpangi oleh Sultan Demak kedua, lambung kapal itu terkena bola baja api dari kapal kerajaan Pahang.

    "Cepat selamatkan kanjeng Sultan.!" teriak Senopati pengapit di kapal yang lain.

   Tapi suasana sangat tak menguntungkan bagi mereka, sebuah kapal dari Portugis juga mulai berdatangan menyerang kapal yang ditumpangi oleh kanjeng Sultan.
Di kapal utama Demak, sebuah bayangan memanggul tubuh yang penuh dengan luka dengan tangkas berlari dan melompat menuju kapal pengapit dan meletakkan tubuh yang dipanggulnya ke lantai kapal.

    "Senopati, sebaiknya segera perintahkan kapal ini mundur." ucap orang yang memanggul tubuh itu.

    "Tapi bagaimana dengan kedua pangeran.?" tanya senopati pengapit.
Sekali lagi sesosok bayangan dengan tangkas berjumpalitan dan hinggap ke kapal itu dan menghambur memeluk tubuh yang tergeletak penuh luka.

    "Ayahanda sultan...!" pekik bayangan itu, yang tak lain pangeran Arya Jepara.

    "Tabahkan hati ananda pangeran, tabib akan merawat luka ayahanda sultan..." kata raden Tu Bagus Pasai, menenangkan pangeran Arya Jepara.
Bersamaan dengan mundurnya kapal senopati pengapit, tubuh lemah kanjeng Sultan yang lebih dikenal dengan pangeran Sabrang Lor dibawa ke bilik dalam kapal dan mendapat rawatan dari seorang tabib. Luka itu sangat parah dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan nyawa kanjeng Sultan Demak kedua.

    Tangis pilu mewarnai mangkatnya sang Sultan kehadapan Illahi, semua prajurit menundukkan kepala mereka tanpa kecuali. Dan sesegera mungkin kapal itu diarahkan menuju Demak Bintara yang diikuti oleh kapal - kapal kecil lainya yang kini kepemimpinannya dibawah raden Tu Bagus Pasai.
Tak terceritakan dikala kapal kapal itu mengarungi laut hingga akhirnya sampai di bandar Demak Bintara, kedatangan kapal - kapal itu mengejutkan para nelayan dan kepala bandar serta penghuni padukuhan dekat bandar itu.
Seorang kepala bandar segera menyambut kedatangan iring - iringan kapal itu, dan betapa terkejutnya saat dirinya diberitahu kalau kanjeng Sultan telah gugur di medan pertempuran.

    "Cepat utus prajurit penghubung untuk mewartakan keadaan ini kepada kerabat kerajaan." perintah raden Tu Bagus Pasai kepada kepala bandar itu.

    "Sendiko, senopati."
Maka seorang utusan dengan menggunakan kuda yang paling cepat menggeprak kudanya ke kotaraja Demak bagaikan sipat angin. Sementara raden Tu Bagus Pasai memerintahkan prajurit bandar untuk mempersiapkan kereta beserta kuda untuk mengangkut jenasah kanjeng Sultan ke kotaraja. Gerak cepat dari kepala bandar dalam mempersiapkan kereta dan beberapa kuda segera terpenuhi sehingga jenasah kanjeng Sultan dipindahkan ke kereta itu dan segera diberangkatkan dengan pengawalan pasukan yang baru turun ke darat itu menuju kotaraja.
Iringan yang panjang mendapat sambutan dari kawula yang berdiri berjejer di jalan yang dilalui paaukan yang pulang dari Malaka. Kesedihan terlihat dari raut wajah kawula yang berdiri berjejer itu saat mengetahui pasukan yang lewat itu membawa jenasah raja mereka yang gugur dalam medan perang.

    Sementara itu prajurit penghubung yang berkejaran dengan waktu terus menggebrakkan kudanya untuk sesegera mungkin sampai di kotaraja. Kuda tunggangan yang kokoh dan tangguh itu akhirnya sampai di gerbang utara kotaraja dan terus berlari di lorong - lorong dalam kotaraja menuju istana.
Di depan pintu gerbang istana, dua orang prajurit menghentikan kuda itu.

   "Mengapa kau seperti dikejar setan.? bukankah kau prajurit Wira Jalapati di bandar.?" tanya prajurit penjaga pintu gerbang istana.

    "Menyingkirlah, aku tak sempat memberi alasan, ini sangat genting.!" teriak prajurit penghubung, sambil menggebrak kudanya dan hampir melanggar prajurit itu jika tak segera menghindar.

    "Hoi... dasar wong edan...!" teriak prajurit penjaga itu, mengumpat sejadinya.

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 3
oleh : Marzuki Magetan

   Prajurit penghubung tanpa berpaling terus mengendalikan kudanya mengarah ke keraton dan segera turun dari kudanya menuju gardu penjagaan depan balai manguntur. Seorang prajurit telah menghentikan langkahnya yang tergesa - gesa itu.

    "Semi kau kah itu..?" tanya prajurit penjaga yang mengenali prajurit penghubung.

    "Oh syukur aku bertemu denganmu, kakang Banyak. Ada berita yang harus aku sampaikan kepada kerabat ataupun ki patih yang bertanggung jawab mengendalikan pemerintahan sementara ini."

   "Bisa kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, Semi.?"

  "Tak ada waktu kakang, cepat laporkan hal ini aku akan menghadap sendiri." desak prajurit penghubung.

     "Baiklah tunggulah di gardu, aku akan memberitahukan prajurit Narpacundaka tentang kedatanganmu." kata prajurit itu, yang langsung berlari ke dalam balai Manguntur dan melaporkan kedatangan prajurit penghubung dari Bandar, yang diteruskan laporan itu ke ki tumenggung Suranata.

    "Suruh prajurit penghubung itu menghadap." perintah ki tumenggung Suranata, lalu memanggil ki lurah Banyak Wide, "ki lurah, perintahkan prajuritmu untuk memanggil patih Wanasalam serta kerabat keraton lainnya."

    "Sendiko dawuh ki tumenggung." sahut ki lurah Banyak Wide, dan segera menjalankan perintah.

     Di malam itu Balai Manguntur semua Nayaka Praja dan beberapa kerabat keraton telah hadir semuanya, tak ketinggalan ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki tumenggung Suranata.
"Katakanlah warta itu, prajurit." perintah ki tumenggung Suranata.

    Prajurit penghubung dari kesatuan Jalapati itu beringsut ke depan dan ngapurancang menghadap pangeran Trenggono dan patih Wanasalam Anom.

    "Ampun kanjeng pangeran dan ki patih, sebuah kenyataan yang mengejutkan telah melanda tanah ini, ka...kanjeng Sultan gugur di medan perang." lapor prajurit itu dengan menundukkan kepala.

    Balai Manguntur bagaikan diguncang gempa tak terkira, semua yang hadir tak percaya atas apa yang mereka dengar.

    "Coba katakan sekali lagi.!"

    "Ampun kanjeng pangeran, kanjeng Sultan telah pralaya dan saat ini jenasah beliau sedang menuju ke kotaraja bersama sisa pasukan yang dipimpin oleh senopati raden Tu Bagus Pasai dan pangeran Arya Jepara."

   Walau hal itu sangat mengejutkan semua pihak, tapi pangeran Trenggono kembali menguasai dirinya dan memerintahkan penyambutan jenasah kakaknya dan memerintahkan agar mengirim utusan ke berbagai pelosok kerajaan mengabarkan gugurnya sang Sultan Demak kedua.

    Malam itu juga ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Suranata membagi tugas penyambutan jenasah kanjeng Sultan, serta tak lupa mengirim prajurit penghubung ke kadipaten, tanah perdikan atau simo dan beberapa kademangan.

   Ternyata kabar gugurnya sang nata Demak itu begitu cepat tersebar dan sampai ke beberapa pihak, salah satunya terdengar telinga kaki tangan Panembahan Bhre Wiraraja.

     "Ini saat yang bagus menggerogoti Demak dengan melenyapkan beberapa pihak." gumam seseorang berwajah tampan.

    "Apa maksudmu raden, masih banyak adipati yang berada dibawah kekuasaan Demak.?" tanya orang tua yang rambutnya sudah memutih.

    "Hahaha, kita akan menghacurkan satu demi satu serta membujuk adipati - adipati itu, bahwa sepeninggal Sultan Sabrang Lor Demak akan ringkih dan tak mempunyai taring lagi." kata orang yang disebut raden, yang tak lain raden Sajiwo bangsawan dari Kadiri.

      "Benar apa yang dikatakan raden Sajiwo, aku menyetujuinya." kata ki tumenggung Harya Kumara.

    "Apakah kau tak takut menghadapi saudara seperguruanmu yang kini menjadi patih Jipang itu.?" tanya ki Ageng Bawean, menyindir.

    "Jaga mulutmu, ki Ageng. Aku tak takut dengan siapa pun, bahkan denganmu.!" bentak ki tumenggung Harya Kumara.

    Mendengar tantangan itu, orang dari Bawean itu segera bangkit dari duduknya, namun suara batuk kecil membuat dirinya mengurungkan niatnya.

     "Apa kalian tak memandang sedikitpun kehadiranku.!" suara itu terasa berat.

     "Maafkan kami Lintang Kemukus, ini hanyalah salah paham biasa." pinta ki tumenggung Sardulo.

     "Hindari setiap ketegangan di antara kawan sendiri bila kalian masih ingin mukti bersama Panembahan Bhre Wiraraja." sesaat orang yang memakai cadar itu diam, lalu lanjutnya kepada raden Sajiwo, "Apa rencanamu, raden.?"
Raden Sajiwo berdiri dan membisikkan rencananya itu ke telinga Lintang Kemukus Pangrampung, yang di tanggapi dengan anggukan.

   "Bagus."

    Semua yang hadir saling memandang tak mengerti dengan apa yang dibisikkan oleh raden Sajiwo kepada Lintang Kemukus. Orang bercadar itu bisa membaca hati mereka, lalu ia berkata, 
"tenangkan hati kalian, kita akan melakukan sebuah pertunjukan yang akan merugikan keturunan trah Demak, hahaha..."

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 4
oleh : Marzuki Magetan

Kedatangan kereta jenasah kanjeng Sultan Demak kedua di kotaraja membuat kotaraja bagai lautan manusia. Berbondong - bondong berbagai penghuni kotaraja ikut berbela sungkawa untuk melihat jenasah raja mereka, namun tak sembarang orang dapat memasuki gerbang keraton yang dijaga ketat oleh prajurit pasukan Wira Braja dan Wira Manggala.
"Maafkan kami ki patih, hamba tak bisa melindungi kapal yang ditumpangi kanjeng Sultan, serangan itu tak pernah kami perhitungkan sedikitpun." ucap raden Tu Bagus Pasai, sesampainya di balai Manguntur.
"Bagaimana itu bisa terjadi, anakmas raden.?"
"Waktu itu kami bersama dengan armada kerajaan sahabat bertemu dengan kapal perang kerajaan Pahang yang sudah kami anggap saudara sendiri, namun hal yang tak kami duga itu terjadi, ternyata mereka berkhianat dan menyerang kapal yang ditumpangi oleh kanjeng Sultan di malam buta. Tak hanya itu saja ternyata kami terperangkap dengan datangnya armada musuh sehingga kami terdesak mundur." jelas pangeran dari tanah Malaka itu.
Gemeratak gigi pangeran Trenggono tatkala mendengar penghianatan kerajaan Pahang yang mengakibatkan saudaranya itu gugur.
"Sebaiknya raden membersihkan diri terlebih dahulu, biarlah pasukan dari Wira Tantama yang akan mengambil alih ini semua."
"Baik ki patih." jawab raden Tu Bagus Pasai.
Maka pasukan yang baru datang itu di antar oleh ki rangga Yudapati ke tempat peristirahatan.
Sementara itu pangeran Arya Jepara dengan wajah murung selalu disamping jenasah ayahandanya, hal itu mengetuk hati seorang pangeran yang masih muda, yang melangkah mendekati pangeran Arya Jepara.
"Tabahkan hatimu, kakanda pangeran."
Pangeran Arya Jepara menoleh ke arah suara yang ada di sampingnya.
"Kau adinda Mukmin, lihatlah adinda kini aku sendiri, ayahanda dan kakandaku telah mendahuluiku menghadap Sang Pencipta." kesedihan pangeran Arya Jepara membuat suaranya parau.
"Tidak kakanda pangeran, disini masih ada kerabat kerajaan yang masih sedarah denganmu, aku Mukmin, nimas Retna Kencana, nimas Cempaka, dan adinda Timur dan di Jipang ada kakanda Arya Jipang dan adinda Arya Mataram, serta yang lainnya." hibur raden Mukmin.
"Terima kasih adinda, tapi setelah ini mungkin aku akan ke pergi ke ujung kulon, menghadap eyang kanjeng sunan Gunung Jati."
"Tapi bukankah kakanda akan meneruskan tugas dari pamanda kanjeng Sultan.?" raden Mukmin bingung.
Pangeran Suryadiwang atau pangeran Arya Jepara menggelengkan kepalanya.
Semakin siang para kerabat jauh dan adipati atau pun kepala tanah perdikan, kabuyutan, dan kademangan mulai berdatangan. Adipati Jipang bersama pangeran Kikin serta dua anaknya. Randu Sanga diwakili raden Kanduruwan, Jepara diwakili oleh adipati Hadiri dan ratu Kalinyamat, Ponorogo diwakili oleh pangeran Adipati Anom, Sagaten oleh ki Ageng Rekso Gati, ki Ageng Selo dari Selo, dan masih banyak lainnya, dan dari waliullah telah hadir Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan masih banyak lagi.
Sementara itu seorang lurah muda dari pasukan Wira Tantama yang bertugas mengamankan para tamu telah dikejutkan dengan hadirnya seseorang yang sangat ia kenal.
"Ayah..." desis pemuda itu, sambil melangkah menuju orang yang dianggap ayahnya itu.
"Ayah Mahesa Anabrang." tegur lurah muda itu.
Orang yang memang ki panji Mahesa Anabrang itu menoleh dan tersenyum.
lurah muda itu memerhatikan ki panji Mahesa Anabrang mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, pemuda itu merasa heran memerhatikan pakaian yang dikenakan oleh ayahnya itu merupakan pakaian perwira prajurit Demak.
"Jadi ayah merupakan prajurit Demak..." tanyanya.
"Maafkan aku, ngger. Selama ini aku menutupi jati diriku ini."
"Mengapa ayah..?"
"Ah sudahlah, nanti aku akan ceritakan kepadamu." janji ki panji Mahesa Anabrang.
"Tapi.." kata - kata itu terpotong.
"Lihatlah aku seorang panji, ngger jangan membantah." potong ki panji Mahesa Anabrang dengan senyum dibibirnya.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurung niatnya untuk mendesak ayah angkatnya.
"Lanjutkan tugasmu, nanti aku akan pergi ke barakmu."
Setelah semua kerabat keraton dan para nayaka praja berkumpul serta jenasah kanjeng Sultan sudah dibersihkan dan dirawat secara semestinya, maka jenasah itu dibawa ke masjid Agung Demak untuk di sholatkan yang dipimpin oleh sunan Giri. Selanjutnya jenasah itu dimakamkan di lingkungan makam kerabat keraton bersebelahan dengan kanjeng Sultan sebelumnya, yaitu raden Patah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Kematian kanjeng Sultan Demak II di selat Malaka yang sudah berlalu sepekan itu masih dipergunjingkan oleh kerabat kesultanan maupun kawulo alit, di ksatrian, katumenggungan, barak prajurit, pasar maupun tempat umum lainnya, bahkan di sawah dan tegalan para petani ikut mempersoalkan kematian raja yang sangat mereka kagumi itu.
"Aku tak mengira jika kanjeng Sultan akan pergi di usia terlalu muda bila dibandingkan dengan mendiang kanjeng Sultan sebelumnya." gumam seorang petani.
"Itulah takdir, kang. ingatkah dengan jlitheng anaknya ki jagabaya.? usianya baru seumur jagung, tapi anak itu sudah menghadap Sang Kuasa." sahut kawannya, sambil menikmati makanan siang di gubuk.
Petani yang lebih tua itu mengangguk, memang namanya lahir, rejeki, jodoh dan kematian sudah di atur Gusti Agung, manusia sepertinya hanya berusaha saja.
Sementara itu di barak pasukan Wira Tamtama, Arya Dipa telah kedatangan pangeran Trenggono dengan didampingi ki panji Mahesa Anabrang bersama ki rangga Reksotani. Dengan tergopoh - gopoh pemuda itu menyambut pangeran Trenggono.
"Sudahlah kau tak usah berlaku begitu, Arya Dipa." kata pangeran Trenggono sambil duduk di amben.
"Aku sudah tahu semuanya mengenai dirimu, dari ayahmu angkatmu ini aku tahu jika sebenarnya kau cucu dari paman tumenggung Lembu Kumbara." lanjut pangeran itu.
Pemuda itu memandang ayahnya sejenak dan melihat ki panji Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Sebenarnya kau berhak mendapatkan tanah dimana paman tumenggung pernah berdiam, apakah kau berkenan Dipa.?"
"Terima kasih atas kebaikan, kanjeng pangeran. Namun apakah nantinya tidak akan menimbulkan masalah bagi kerabat mendiang eyang tumenggung Lembu Kumbara.? Bila itu akan terjadi, lebih baik hamba tak memintanya, kanjeng pangeran."
Pangeran putra raden Patah ini mengerti jalan pikiran pemuda di depannya, memang tanah ki tumenggung Lembu Kumbara saat ini ditempati oleh saudaranya yang sehari - harinya bekerja sebagai saudagar. Dan jika Arya Dipa mengaku cucu ki tumenggung Lembu Kumbara, tak ada bukti atau yang meyakinkan.
"Baiklah jika kau tak menghendaki hal itu." sejenak pangeran Trenggono berhenti, lalu lanjutnya, "kedatanganku selain hal itu ingin meminta kesediaanmu untuk berada di dekat putraku, Angger Mukmin. Apakah kau bersedia, ngger.?"
"Sendiko dawuh, pangeran, hamba akan menjalankan perintah dari pangeran dengan senang hati."
"Terima kasih, sebenarnya aku mendapat laporan dari ayahmu ki panji Mahesa Anabrang, akan adanya sekelompok orang yang ingin mencelakakan putraku itu, sebenarnya aku bisa memerintahkan satu bergadha untuk mengawalnya, namun anakku tak mau dan menganggap itu berlebihan, dan aku rasa kau yang sebaya dengannya akan cocok ." terang pangeran Trenggono.
"Sendiko, pangeran."
"Bagus, kalau begitu nanti malam kau bisa langsung ke ksatrian dimana putraku berada."
"Sendiko, pangeran."
Setelah itu pangeran Trenggono keluar dari barak bersama ki lurah Reksotani, sementara itu ki panji Mahesa Anabrang masih tinggal di barak.
"Kau pasti bertanya - tanya mengenai ayahmu inikan, Dipa.?"
"Begitulah ayah, aku tak mengira bahkan bermimpi pun tidak, jika ayahku seorang perwira Demak."
"Maafkan ayahmu ini, ngger. Tapi itu semua demi kebaikanmu, aku tak ingin mempengaruhi watakmu di masa kecil hingga remaja."
"Ah ayah pasti mengira jika aku tahu kalau ayahku seorang perwira prajurit, aku akan berlaku sombong saat bersama kawan - kawanku di padukuhan Pudakan, bukankah begitu ayah.?"
"Hahaha, tapi jika kau akan berlaku begitu kau akan ditertawakan oleh kawan - kawanmu."
pemuda itu pun ikut tertawa.
"O ya ki panji, siapakah yang berani mencelakakan raden Mukmin.?" tanya ki lurah Arya Dipa, berlagak berbicara dengan atasannya.
"Kau harus memijit badanku dulu, ki lurah. Nanti kau akan kuberi tahu." goda ki panji Mahesa Anabrang.
Walau senyum mengembang di bibir lurah Wira Tamtama, tapi tangannya bergerak memijit pundak ayahnya yang jenjang keprajuritannya dua tingkat di atasnya, sambil berkata, "Sendiko ki panji."
Ki panji Mahesa Anabrang tak bisa menahan tawanya, sehingga bilik bagian barak itu riuh tawa antara ayah dan anak dan mengundang penasaran kawan - kawan ki lurah Arya Dipa.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di senja hari ki lurah Arya Dipa bergegas pergi ke ksatriyan tepatnya di sebuah bangunan yang di tinggali oleh raden Bagus Mukmin. Saat lurah muda itu berjalan melewati lorong dalam lingkungan ksatriyan, beberapa prajurit mengangguk hormat kepadanya yang balas senyuman dengan ramah.
Sesampainya di depan sebuah bangunan dengan ukiran ekor menjangan, dua orang prajurit penjaga mengangguk hormat kepada ki lurah Arya Dipa.
"Tolong sampaikan kedatanganku ini kepada raden Bagus Mukmin." pinta ki lurah Arya Dipa.
"Baik ki lurah."
Lantas prajurit penjaga itu bergegas melangkahkan kakinya menaiki tlundak melewati pringgitan dan memasuki pintu gebyok. Tak berselang lama prajurit itu keluar lagi menemui ki lurah Arya Dipa.
"Silahkan menunggu barang sejenak ki lurah, raden Bagus Mukmin sedang berbenah."
"Terima kasih, prajurit." ucap ki lurah Arya Dipa, sembari melangkahkan kakinya menaiki tlundak dan duduk menunggu di pringgitan.
Saat lurah anak angkat ki panji Mahesa Anabrang memerhatikan indahnya ukiran di gebyok, seorang pemuda sebaya dengannya telah keluar dari pintu ruang dalam yang dibatasi gebyok, maka dengan sigap ki lurah Arya Dipa bangkit dari duduknya sambil menggerakkan tangannya dengan kedua telapak tangan saling merapat menempel di dahi.
"Apakah kau ki lurah Arya Dipa dari pasukan Wira Tamtama.?" tanya pemuda yang tak lain raden Bagus Mukmin.
"Kasinggihan dalem, raden. Dan kedatangan hamba atas perintah ayahanda raden, pangeran Trenggono untuk selalu menemani raden."
"Hemm, duduklah ki lurah, aku tahu mengenai perintah dari ayahanda, tapi selain itu ayahanda memerintahkanmu untuk menjagaku dari seseorang yang ingin mencelakakan ku, bukankah begitu.?"
"Maafkan laku daksura hamba, raden. Sebenarnya kemampuan raden sangat mumpuni dalam menanggapi ancaman itu, dan hamba hanyalah bumbu bawang semata." kata ki lurah Arya Dipa, merendah.
"Hahaha, walau begitu aku sudah mengetahui jika kemampuanmu dalam olah kanuragan sangat tinggi, itu terbukti dengan jenjang yang kau sandang ini, ki lurah." sahut raden Bagus Mukmin, lalu lanjutnya, "Mungkin jika kita berhadapan, aku akan kelelahan dan pingsan."
Mendengar perkataan dari putra pangeran Trenggono ki lurah Arya Dipa tersenyum, ia tak mengira jika dia mendapat perlakuan yang begitu akrab dari putra seorang pangeran Demak. Tanpa terasa keduanya asyik berbicara seputar masa muda yang mereka alami, hingga akhirnya raden Bagus Mukmin berkata.
"Aku sudah lama tak keluar dari kotaraja, ki lurah maukah kau menemaniku melihat - lihat suasana di luar tembok kotaraja.?"
Sontak saja permintaan dari seorang putra pangeran itu mengejutkan pendengaran ki lurah Arya Dipa, sehingga lurah muda itu terdiam.
"Bagaimana, ki lurah.?" tanya raden Bagus Makmun, mengejutkan lurah di depannya.
"Ta..tapi hal itu akan membahayakan raden, dan pangeran Trenggono pasti tak menyetujui hal ini, raden."
"Ah, bilah ayahanda murka, aku akan bertanggungjawab tanpa menyeret namamu, ki lurah, percayalah." desak raden Bagus Mukmin.
Akhirnya setelah terus di desak, ki lurah Arya Dipa menyanggupi permintaan raden Bagus Mukmin.
"O ya, apakah kau mengetahui siapa orang yang ingin mencelakakan diriku.?"
Sejenak ki lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya dan akan menjawab, namun sebuah langkah telah mengurungkannya. Seorang emban pelayan datang membawa nampan dan meletakkan isi nampan di hadapan raden Bagus Mukmin dan ki lurah Arya Dipa.
"terima kasih mbok emban." ucap raden Bagus Mukmin.
Dan emban pelayan itu kembali masuk menuju dapur ksatriyan. Lalu sepeninggal emban itu raden Bagus Mukmin memersilahkan ki lurah Dipa menikmati hidangan itu. Wedang hangat itu telah menyegarkan tenggorokan lurah yang masih muda itu, lalu setelah meletakkan gelasnya anak ki panji Mahesa Anabrang kembali teringat apa yang akan dituturkan kepada raden Bagus Mukmin.
"Raden, ayah panji Mahesa Anabrang mengatakan kepadaku apa yang ia ketahui mengenai sekelompok orang yang saat ini dalam pengawasan pasukan telik sandi."
"Tunggu sebentar, kau tadi menyebut ki panji Mahesa Anabrang sebagai ayahmu.?"
"Sesungguhnya memang begitu, raden. Hamba anak angkat dari ayah panji Mahesa Anabrang."
Saudara tertua dari raden Timur itu, mengangguk, "Teruskan mengenai kelompok itu tadi."
"Sekelompok orang itu diperkirakan dari bang wetan, yang akan mengancam jiwa kerabat keraton, salah satunya diri raden."
"Mengapa tak dilakukan penangkapan sesegera mungkin, ki lurah.?" kejar raden Bagus Mukmin.
"Sebenarnya pasukan Wira Braja akan bertindak, raden. Namun seorang lurah telik sandi mencurigai kalau sekelompok orang itu hanyalah umpan saja, untuk mengelabui perwira Demak untuk tertuju satu titik saja, sedangkan tujuan utama mereka menyingkirkan beberapa kerabat keraton." terang ki lurah Arya Dipa.
"Siapa saja tujuan yang ingin mereka lenyapkan selain diriku.?"
"Pangeran Sekar dari Jipang Panolan beserta kedua putranya, pangeran Trenggono dan raden sendiri, pangeran Arya Jepara yang tak lain putra mendiang kanjeng Sultan, dan seorang pangeran dari Randhu Sanga."
"Paman Kanduruwan.? bukankah paman Kanduruwan selama ini jauh dari keraton.?"
"Entahlah raden."
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di waktu yang bersamaan menjelang wayah sepi bocah, di Balai Manguntur terjadi sesuatu yang mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Sebuah penuturan dari pangeran Arya Jepara yang berniat ingin menetap di tlatah jawa bang kulon.
"Kau jangan bercanda, ananda pangeran." kata pangeran Sekar.
"Tahta keraton ini merupakan kewajiban yang ananda pikul setelah gugurnya, ayahandamu." pangeran Trenggono ikut membujuk kemenakannya itu.
Sementara itu sunan Giri menatap tajam putra Sultan Demak II, waliullah itu merasakan tanda - tanda peralihan kekuasaan kali ini pasti akan menimbulkan guncangan bagi keutuhan Demak.
"Apakah kau sungguh - sungguh, cucunda pangeran.? Pertimbangkanlah dengan hati jernih dan matang, karena semuanya ini akan menentukan keberlangsungan dan keutuhan kerajaan yang telah di bangun oleh eyangmu, Sultan Demak I." kata sunan Giri.
"Maafkan cucunda ini, kanjeng Sunan. Suara hati cucunda mengatakan serta memberikan petunjuk sebuah jalan terang yang akan cucunda lalui di ujung kulon, cucunda akan menyerahkan tahta kerajaan ini kepada kerabat disini."
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan yang lainnya. Penyarahan tahta itu tentu membingungkan semua pihak, entah itu dari sesepuh sekaligus penasehat keraton, kerabat keraton maupun nayaka praja dengan jenjang tumenggung dan panji.
"Dimas sunan Gunung Jati, cobalah kau bujuk cucu mu ini, hanya suara dimas saja dapat didengar oleh pangeran Arya Diwang." kata sunan Giri sambil memandang sunan Gunung Jati.
Waliullah sekaligus pemimpin Cirebon itu hanya menghela napas, sebelumnya ia sendiri sudah mendengar niat dari cucunya itu dan pernah membujuk pangeran Arya Jepara untuk mengurungkan niatnya, tapi niat pemuda itu sekokoh gunung Merbabu.
"Maafkan aku kangmas sunan Giri, aku pun pernah membujuknya saat cucunda mengatakan niatnya itu, tapi tiada dayaku untuk membujuknya, pendirian cucunda pangeran sangat kuat dan kokoh." ucap sunan cucu dari prabu Siliwangi ini.
Jalan buntu menghadang pikiran para sesepuh dan waliullah untuk membujuk calon penerus Demak. Tak ada jalan lain selain memilih siapa yang pantas memimpin roda pemerintahan di kerajaan yang baru berdiri ini.
Rundingan demi rundingan dilakukan demi mendapatkan calon yang pantas memegang tampuk kerajaan, namun perundingan para sesepuh dan penasehat itu diwarnai perdebatan dari beberapa pihak. Ada yang mencalonkan pangeran Sekar sebagai sultan selanjutnya, tapi usulan itu mendapat tentangan dari seorang sesepuh Demak.
"Tapi pangeran Sekar hanyalah putra ketiga, aku lebih condong jika pangeran Kanduruwan lah yang pantas menjadi sultan Demak." kata sesepuh itu.
"Kau keliru adimas, walau pangeran Sekar hanya putra ketiga tapi aku yakin jika ia pun mampun." bantah sesepuh yang memihak pangeran Sekar.
"Tenanglah kalian, disini telah hadir seorang waliullah yang menjadi panutan kita, biarlah sunan Giri memberikan pendapatnya." seseorang kerabat keraton menengahi.
Sementara itu jauh dari kotaraja, dua orang prajurit mengenakan ciri dari pasukan Wira Manggala memacu kudanya ke sebuah pondok pesantren yang ada sebuah menara bercorak hindu berdiri di depan pondok pesantren itu.
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda mereka dan mengucapkan salam kepada seorang santri yang berjaga di panggungan samping dalam regol pondok pesantren.
"Selamat malam kisanak, adakah ada yang bisa aku bantu.?" tanya santri itu.
"Selamat malam, kisanak. Kami dari kotaraja Demak mendapat perintah dari kanjeng sunan Kudus untuk mengambil pusaka beliau."
Santri yang ada di atas panggungan mengerutkan keningnya, memang saat ini kanjeng sunan Kudus berada di kotataja Demak, tapi ia menyangsikan keterangan dua orang itu.
Mengetahui santri di atas panggungan mencurigai, salah satu dari penunggang kuda itu mengeluarkan benda berbentuk bintang dan saat terkena cahaya obor, telah memantulkan cahaya gemerlapan. Dan benda itu membuat santri di atas panggungan berteriak kepada kawannya yang berada di bawah.
"Bukakan pintu regol.!"
Selarak pintu regol segera diangkat oleh santri yang ada di bawah, lalu pintu regol itu terbuka lebar.
"Silahkan tuan prajurit."
Salah seorang santri meminta tali kekang kuda untuk dibawa ke tempat kuda ditambatkan pada sebatang patok, sementara kawannya membawa kedua prajurit itu ke pendaoa pondok pesantren Kudus.
"Silahkan tuan, aku akan memberitahukan kedatangan tuan kepada panembahan Kudus, putra kanjeng sunan Kudus." Lalu santri itu bergegas masuk ke dalam mencari panembahan Kudus.
Sepeninggal santri Kudus, dua orang yang memakai pakaian keprajuritan dengan ciri pasukan Wira Manggala duduk dan mengamati sekitar pendapa.
"Yakinkah adi dengan rencanamu ini." desis prajurit yang mempunyai tahi lalat di bawah bibir.
"Ssstt... " balas prajurit satunya.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
.
"Kakang tak usah kawatir."
Suara langkah kaki dari dalam membuat keduanya terdiam dan menanti kedatangan tuan rumah, tapi keduanya mengumpat dalam hati manakala yang keluar santri yang tadi mempersilahkan keduanya.
"Mohon kisanak berdua bersabar, panembahan Kudus masih khusyuk beribadah." kata santri itu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan, lalu sahut prajurit berwajah tampan, "Baik kisanak, kami akan menunggu."
Mulut memang tak bertulang dan kadang kala bertolak belakanh dengan hati, sama dengan prajurit tampan itu.
"Adi tak dapat menyembunyikan isi hatimu yang sebenarnya, adi pasti memaki dalam hati kan...?" celetuk kawannya.
"Jangan kau berisik, kakang." geram parjurit berwajah tampan.
"Hahaha, redakan amarahmu adi, lihatlah santri itu kembali membawa minuman dan makanan." kata kawannya sambil memandang kedatangan seorang santri yang membawa nampan makanan dan minuman.
"Silahkan dinikmati tuan berdua." kata santri itu, mempersilahkan hidangan.
"Terima kasih."
Tak lama kemudian dari arah dalam seorang lelaki berbadan tegap berjalan ke arah dua prajurit itu.
"Maaf menunggu lama, tuan sekalian." sapa orang itu, yang tak lain putra sunan Kudus.
"Tak mengapa, panembahan." balas prajurit berwajah tampan, yang selanjutnya menerangkan kedatangan mereka ke pondok pesantren Kudus.
"Begitulah, panembahan."
Putra sunan Kudus itu tampak mencerna setiap kata - kata dari tamu yang mengaku utusan dari Demak.
"Apakah bapa sunan membawakan sebuah benda atau apapun yang bisa meyakinkanku, kisanak.?"
"Jika yang dimaksud panembahan adalah aksara sandi, kami akan menunjukkannya." kata prajurit berwajah tampan, seraya mengambil secarik kain dengan tulisan aksara jawa kuno tergores di kain itu, dan menyerahkan kepada panembahan Kudus.
Secarik kain putih dengan tulisan aksara jawa kuno itu membuat putra sunan Kudus menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kisanak, kain ini meyakinkan diriku kalau kalian memang diutus oleh bapa sunan, tunggulah aku akan mengambil pusaka itu."
Panembahan Kudus berdiri dan masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian panembahan itu muncul kembali dengan membawa bungkusan kain putih bersih dan duduk di depan kedua prajurit Demak.
Udara hangat tiba - tiba melanda ruang pendapa itu, padahal angin berhembus menggoyangkan daun pohon jambu air yang tumbuh di halaman. Keanehan itu bersamaan dengan panembahan membuka bungkusan yang saat dibuka, terlihat sebuah keris dengan pamor menakjubkan bagi mereka yang memandang.
"Inilah pusaka itu, kisanak. Pusaka berwujud keris dengan nama tetenger, kyai Brongot Setan Kober." ujar panembahan Kudus, "Bawalah dengan hati - hati, dan untuk amannya pusaka ini, sebaiknya simpanlah rapat - rapat di balik pakaian kisanak."
"Baik, Panembahan. Kami akan menjaga dengan taruhan nyawa kami sampai pusaka ini berada di genggaman sunan Kudus."
Akhirnya pusaka keris kyai Brongot Setan Kober itu berhasil dibawa prajurit berpakaian layaknya prajurit pasukan Wira Manggala. Keduanya setelah pamit dan berjalan keluar dari pondok pesantren bumi Kudus, keduanya lantas memacu kudanya bagaikan di kejar hantu, apalagi jika melewati bulakan, kuda mereka seperti tak menapak tanah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
.
..
...
Ratusan tombak dilalui oleh dua prajurit yang sedang memacu kudanya dengan cepatnya, di sebuah pertigaan jalan keduanya membelok ke arah kanan hingga sampai di sebuah gubuk kecil beratapkan daun blarak. Seseorang muncul dari dalam gubuk mengenakan pakaian lurik serta ikat kepala hitam arang, di balik pinggangnya terselip keris menggunakan warangka dari kayu cendana.
Kedua prajurit itu turun dari kudanya dan mengikat di batang pohon turi yang tumbuh di samping gubuk itu, lalu keduanya menghampiri orang yang keluar dari gubuk dan mengangguk hormat.
"Apakah kalian berhasil membawa pusaka itu.?" tanya orang itu.
"Kasinggihan dawuh, raden. Kami bisa meyakinkan putra sunan Kudus sehingga berhasil membawa kyai Brongot Setan Kober." jawab prajurit berwajah tampan.
"Bagus Lanjar dan kau Danur, kalian akan mendapat kenaikan jenjang keprajuritan di pasukanmu, mari masuk kedalam." ajak orang itu, yang masuk ke dalam gubuk dan diiringi oleh prajurit Lanjar dan Danur.
Di dalam gubuk ketiganya duduk di atas amben yang cukup bila diduduki oleh empat orang.
"Mana pusaka itu.? aku ingin meyakinkan apa pusaka itu memang benar kyai Brongot Setan Kober."
Prajurit Lanjar mengambil bungkusan kain putih yang ia simpan di balik pakaian dan dengan perlahan menyerahkan kepada orang yang disebut seorang bangsawan oleh prajurit Lanjar. Bungkusan itu diterima oleh seorang bangsawan itu yang kemudian membuka keris pusaka tersebut.
Udara hangat memenuhi gubuk, pertanda keampuhan dari keris pusaka kanjeng sunan Kudus memberikan kenyataan yang dirasakan oleh ketiganya, apalagi saat sebilah keris itu ditarik dari warangkanya sinar dari pamornya begitu terang menyilaukan mata yang memandang.
"Cek...cek..cek.. kalian berdua memang bernasib baik, malam ini juga kalian akan merasakan ganjaran dariku.!" ucap seorang yang disebut raden itu, sambil menggerakkan keris itu dengan cepat menggorok kedua leher prajurit tanpa adanya perlawanan sedikitpun.
Kedua prajurit itu ambruk seketika dengan mata melotot dan napasnya terhenti untuk selamanya.
"Jiwa kalian tak akan sia - sia, karena bebanten dari kalian berdua akan menjadi pupuk kelancaran dalam menjalankan rencana ini." gumam orang itu.
Orang itu bangkit dari duduknya, lalu membersihkan noda darah di daun keris kyai Brongot Setan Kober dan memasukan kembali ke warangkanya, sesaat keris itu ditempelkan ke kening sambil mulutnya merapalkan sesuatu yang mengakibatkan udara di dalam gubuk terasa dingin seperti udara di luar gubuk, setelah itu memasukkan keris pusaka ke dalam balik pakaian luriknya.
Tangannya meraih ublik dalam gubuk, kakinya bergerak keluar dan sejarak satu tombak orang yang di sebut raden itu membalikkan tubuhnya dan memandang gubuk, helaan napasnya bersamaan tangan yang memegang ublik bergerak melemparkan ublik dari biji jarak ke arah atap gubuk. Cahaya terang dari si jago merah mulai terlihat melahap gubuk yang masih tergeletak dua prajurit dari Wira Manggala.
Orang itu kemudian melepas tali kedua kuda dan menepuk tubuh kedua ekor kuda itu, tentu saja tepukan itu mengagetkan hewan tunggangan prajurit Lanjar dan Danur, hingga kedua ekor kuda itu lari tunggang langgang. Setelah apa yang dilalukannya, orang itu bersuit memanggil sesuatu, dan tak lama seekor kuda putih datang dari balik rerimbunan. Kuda itu dielus sesaat lalu dinaiki oleh orang itu, kemudian memacu kuda putih meninggalkan gubuk yang kini hampir habis dilahap api.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Seperti yang diinginkan oleh raden Bagus Mukmin saat menerima kehadiran ki lurah Arya Dipa di senja harinya, yaitu ingin melihat suasana di luar tembok kotaraja Demak, keduanya dengan memakai pakaian layaknya orang biasa berjalan menyusuri pagar tembok setinggi tiga tombak dan berhenti di dekat pohon waru yang dahannya menjorok ke luar.
Keduanya dengan cekatan memanjat pohon itu hingga ke dahan yang menjorok melintasi pagar tembok, seutas tali diikatkan pada dahan dengan lilitan kuat, lalu ki lurah Arya Dipa menuruni tembok itu dan memastikan kalau keadaan di bawah aman.
"Silahkan raden, hamba rasa tempat ini tak dijangkau orang." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baik, aku segera turun." sahut raden Bagus Mukmin, sambil menuruni tembok bata.
"Ki lurah, sebaiknya nanti jika kau memanggilku jangan menyebut jati diriku, panggilah aku Kidang Alit." ucap raden Bagus Mukmin, saat sampai di bawah.
"Sendiko raden."
"Awas jangan kau lupa." ingat putra pangeran Trenggono.
"Baik, kakang Kidang Alit, sekarang kita kemana.?"
Kini giliran raden Bagus Mukmin yang memilih nama Kidang Alit nampak bingung. Melihat kebingungan ndoronya itu, Dipa tersenyum dan akhirnya ia yang menentukan mau kemana.
"Maaf kakang, marilah kita menyusuri lorong jalan itu saja." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Ah untung kau cepat berkata, Dipa. Jika tidak, mungkin semalaman aku terus memikirkan kita mau kemana."
"Hahaha.. mari kakang."
Lantas keduanya menyusuri lorong jalan dekat tembok yang baru saja mereka turuni. Walau hari sudah semakin gelap, tapi keadaan padukuhan di luar tembok kotaraja masih terasa ramai oleh hilir mudik beberapa orang. Seorang pedagang ada yang kemalaman saat menuju kotaraja, maka ia terpaksa menginap di padukuhan itu. Ada juga seorang penghuni kotaraja keluar dari pintu gerbang untuk menengok saudaranya yang berada di padukuhan luar kotaraja. Tak ketinggalan beberapa pemuda bermain ditengah sinar sang rembulan bersama kekasihnya, atau anak kecil bermain petak umpet bersama kawannya.
"Keadaan di padukuhan ini masih tenang semenjak uwa Sultan gugur di selat Malaka." desis Kidang Alit.
"Iya kakang, para nayaka praja dengan bekerja sama dengan ki demang dan para bebahu lainnya berusaha menenangkan hati kawula melalui penyuluhan pentingnya menjaga kesatuan dan keamanan di bumi Demak ini." sahut Dipa, yang selalu mengiringi Kidang Alit.
"Semoga hal ini tetap terjaga, tanpa adanya keonaran."
"Kami para prajurit akan berusaha menjaga kedamaian ini, kakang."
"Itu yang aku harapkan, Dipa. Tapi tahukan kau, jika kakanda pangeran Arya Jepara tak mau menduduki Dampar Kencana bumi Demak.?"
"Ah benarkah itu, kakang.? Lalu siapa pengganti kanjeng Sultan selanjutnya jika pangeran Arya Jepara tak berkenan.?"
"Itulah yang ada dalam pikiranku, tentu hal ini akan mengakibatkan keresahan di hati para sesepuh maupun kerabat keraton. Dan yang aku takutkan jika hal ini bisa menimbulkan riak dipermukan Demak." kata Kidang Alit selanjutnya.
"Apakah kakang bisa menerka siapa yang pantas menjadi pengganti kanjeng Sultan Sabrang Lor.?" tanya Dipa.
Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin menghela napas seraya menatap rembulan di langit.
"Jika sesepuh kesultanan memilih putra eyang Patah, maka yang akan terpilih uwa pangeran Sekar. Tapi jika memilih dari garwo padmi, tentu ayahanda pangeran Trenggono menjadi Sultan Demak selanjutnya. Atau malah paman raden Kanduruwan sebagai pilihan terakhir dari sesepuh keraton, tapi siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan, aku harap tak ada gejolak terjadi, karena pada umumnya kami semua masih sedarah."
Anak angkat ki panji Mahesa Anabrang mengangguk dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh Kidang Alit.
"Ah sebaiknya kita ke kedai itu, Dipa. Aku ingin merasakan makanan di luar kotaraja." ajak Kidang Alit.
"Mari ra.. eh kakang." hampir saja Dipa keceplosan.
Keduanya berjalan beriringan menuju kedai yang masih buka walau hari merambat malam, seorang pelayan kedai dengan berlari kecil menyambut keduanya dengan ramah tamah.
"Silahkan denmas, ingin memesan makanan atau minuman.?" tanya pelayan kedai.
"Keduanya saja, kisanak. Kami merasa lapar dan dahaga setelah mengantar pesanan di kotaraja." sahut Kidang Alit, sekenanya.
"Silahkan, kami akan mempersiapkannya." ucap pelayan dan masuk ke dalam.
Sementara Kidang Alit dan Dipa menuju tempat duduk dekat lubang angin - angin, tempat itu terasa cocok untuk melihat ke luar halaman kedai hingga jalan. Di dalam kedai itu selain Kidang Alit dan Dipa, juga ada beberapa pembeli menunggu hidangan atau menikmati makanan pesanan mereka.
Saat itulah terdengar percakapan seseorang kepada kawan di sampingnya.
"Lama sekali orang itu." desis seseorang dengan perawakan jangkung.
"Mungkin dia sedang menghadapi pertanyaan penjaga gerbang." sahut kawannya.
"Mengaa harus lewat pintu gerbang.? seharusnya ia dengan mudah meloncati pagar tembok itu." gerutu si Jangkung.
"Hahah... kau tak tau jalan pikirannya, ki Landung Galih." sejenak kawannya itu mengunyah makanannya, lalu lanjutnya, "Tapi walau pun begitu ia dalam bekerja selalu berhasil."
Percakapan kedua orang itu walau pelan namun dapat ditangkap Kidang Alit dan Dipa, dan keduanya merasa.curiga dengan kedua orang itu.
"Apa yang mereka kerjakan di sini.?" desis Dipa, "Sepertinya mereka sedang mengerjakan sesuatu, kakang."
Anggukkan terlihat dari Kidang Alit.
"Biarlah orang yang dimaksud itu datang, siapa tahu kita mengenalinya." sahut Kidang Alit tanpa memperhatikan kedua orang itu dengan memandang ke luar halaman.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Di kala Kidang Alit memandang halaman, saat itu terdengar derap seekor kuda yang mengarah memasuki regol kedai yang ditunggangi seorang lelaki berperawakan tegap dengan dada bidang. Lelaki yang baru turun itu memasuki kedai setelah sebelumnya mengikatkan tali kekang kudanya di patokan yang disediakan oleh pemilik kedai.
Arya Dipa mengernyitkan dahinya saat mengenali orang yang baru masuk itu, "Ki lurah Lembu Suro..."
"Kau mengenalinya Dipa.?" tanya Kidang Alit.
"Iya, kakang, ia merupakan lurah pasukan Wira Manggala." jawab Dipa, lantas dirinya berpindah ke lincak membelakangi bangku yang dituju oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedatangan ki lurah Lembu Sura disambut oleh kawan ki Landung Galih dengan mempersilahkan lurah dari Wira Manggala.
"Silahkan ki lurah Lembu Sura."
"Aku tak mengira akan bertemu denganmu disini, ki Pracona."
"E.. aku sedang mengunjungi saudara angkatku di padukuhan ini, ki lurah. Oh ya perkenalkan ini sahabatku, ki lurah." ki Pracona memperkenalkan kawannya kepada ki lurah Lembu Sura.
"Selamat datang di padukuhan ini, kisanak."
"Terima kasih ki lurah, padukuhan ini terasa nyaman." ucap ki Landung Galih.
"Baiklah, silahkan menikmati makanan kakakku ini." kata ki lurah Lembu Sura selanjutnya, "Aku akan menemuinya untuk meminta nasi barang sepincuk."
"Silahkan, ki lurah."
Ternyata ki lurah Lembu Sura merupakan adik dari pemilik kedai itu, yang mampir setelah seharian melakukan tugasnya di luar kotaraja.
"Oh aku kira ki lurah Lembu Sura merupakan dari mereka, ternyata bukan. Jadi siapa yang mereka tunggu.?" Dipa tampak bingung.
"Settt.. ki lurah Lembu Sura berjalan kemari." Kidang Alit memberi isyarat kepada Dipa, tapi ia pun semakin menunduk sambil menjumput nasi.
Hal yang sama dilakukan Dipa untuk menyembunyikan wajahnya tanpa diketahui oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedua pemuda itu bernapas lega, ternyata lurah dari Wira Manggala itu tak mengenali mereka. Begitu juga saat ki lurah Lembu Sura kembali melewati samping meja mereka yang kemudian keluar dari kedai dan terdengar kembali derap kuda meninggalkan halaman kedai.
Sepeninggal ki lurah Lembu Sura, di bangku meja yang ditempati oleh ki Landung Galih dan ki Pracona, keduanya menarik napas lega atas kepergian lurah itu.
"Untung lurah itu cepat keluar dari kedai ini." gumam ki Pracona.
"Setan alas orang itu, sudah habis wedangku ia juga belum muncul batang hidungnya.!" gerutu ki Landung Galih.
"Benar juga ki, tak seperti biasa - biasanya orang itu membuatku juga hilang kesabaran."
Tiba - tiba seorang pelayan kedai menghampiri meja bangku ki Landung Galih dan ki Pracona dan menyerahkan selembar kain putih.
"Dari siapa ini, kisanak.?" tanya ki Pracona kepada pelayan kedai.
"Seorang lelaki yang memakai pakain lurik dengan ikat kepala berwarna hitam arang, tuan." jawab pelauan kedai.
"Hemm, ini untukmu." kata ki Pracona sambil mengangsurkan dua kepeng perunggu.
"Terima kasih, tuan" dan pelauan itu pergi ke belakang.
Ki Pracona membuka lipatan kain putih itu, sebuah pesan tertulis membuat keduanya mengumpat penuh kekesalan.
"Ayo kita kesana." ajak ki Landung Galih.
Keduanya bergegas keluar dari kedai setelah membayar pesanan mereka.
Di dekat lubang angin - angin, Kidang alit berdiri memanggil pelauan kedai dan memberikan uang kepeng untuk pembayaran pesanan mereka dan bergegas mengikuti kedua orang yang mereka curigai. Tanpa membuat kesalahan, kedua pemuda itu berhasil mengikuti ki Landung Galih dan ki Pracona menuju kesebuah gumuk di luar padukuhan terluar kotaraja.
Di gumuk itu terdapat dua pohon besar tumbuh menjulang menambah keangkeran dari gumuk itu, gumuk yang bagi penghuni padukuhan merupakan tempat yang dikeramatkan, karena menurut mereka di situ dihuni oleh Banaspati, sosok hantu berwujud api menyala, dan bila seseorang di hantui maka orang itu esok harinya akan mati.
Tapi bagi ki Landung Galih dan ki Pracona, tiada rasa gentar atau pun takut dengan hal seperti itu, dengan tatag keduanya menaiki gumuk itu dan bahkan ki Landung yang tak sabaran lantas berteriak keras.
"Ki Sengguruh, keluarlah jangan bermain petak umpet.!"
Hening..senyap..sepi..
"He keluarlah ki Sengguruh, jangan membuatku membakar tempat ini.!" ancam ki Landung Galih.
Semilir angin berhembus pelan, pucuk dedaunan bergoyang seirama datangnya sesosok memakai pakaian lurik serta ikat pinggang hitam arang, kumis tipis menambah ketampanan orang yang turun dari pohon walau usianya tak muda lagi.
"Hahaha... kalian terlalu tegang." desia orang itu.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 12
oleh : Marzuki Magetan
.
..
"Sampai - sampai kalian lengah jika seseorang sedang membuntuti kalian.." lanjut orang yang disebut ki Sengguruh.
Menyadari kelengahannya, ki Pracona dan Landung Galih tergagap dan memerhatikan arah kedatangannya. Panca indra penglihatan dipertajam untuk melihat siapa yang membuntuti keduanya, namun karena sinar candra terhalang awan, wujud yang disebutkan olah ki Sengguruh tak nampak. Lantas keduanya menajamkan pendengaran dan pranggaita untuk menangkap getar yang ditimbulkan oleh gerak wadah atau napas apapun yang ada disekitar gumuk itu.
Kelambatan yang dilakukan oleh ki Pracona dan ki Landung Galih dalam menyikapi keadaan membuat ki Sengguruh geli, orang itu melangkah ke depan beberapa tindak, lalu berucap perlahan.
"Keluarlah kau yang ada di bawah pohon keluwih..."
Suara itu sebenarnya terucapkan pelan, namun sebuah getar yang ditimbulkan menggema keseluruh gumuk, seakan - akan suara itu membentur benda lalu dipantulkan lagi berurutan, sebuah pertunjukan landasan ilmu tingkat tinggi dipamerkan ki Sengguruh.
Sapaan itu mengejutkan seseorang yang sebenarnya memang bersembunyi dibalik pohon keluwih sebesar dua pelukan orang dewasa. Karena itu maka orang dibalik pohon, melangkah menampakkan dirinya.
Kini giliran ki Pracona dan ki Landung Galih yang dibuat kaget oleh seseorang yang baru keluar dari persembunyiannya.
"Kau.. ki lurah Lembu Sura."
"O.. kalian mengenali orang ini.? apakah ia kawan kalian, ki Pracona dan ki Landung Galih.?" tanya ki Sengguruh.
"Sebatas tahu saja, ki Sengguruh." ucap ki Pracona, lalu katanya sambil terus memandang ki lurah Lembu Sura, "Apa yang kau lakukan disini, ki lurah.?"
Tapi lurah prajurit dari pasukan Wira Manggala itu tak menanggapi pertanyaan dari ki Pracona, malah dirinya memerhatikan wajah orang yang disebut ki Sengguruh, dirinya merasa pernah melihat raut muka orang itu, tapi dimana ia tak ingat. Sehingga ki Pracona kembali mengulang pertanyaannya.
"He.. ki lurah apa kau tuli.? Apa yang sedang kau lakukan disini.?!" kata ki Pracona kali ini lebih keras dan kasar.
Namun ki lurah Lembu Sura mengendapkan gejolak di hatinya dan setelah menghela napas maka ia pun berkata kepada ki Sengguruh.
"Maaf tuan yang memakai pakain lurik, jika tak salah apakah aku berhadapan dengan seorang senopati bang wetan, yaitu ki panji Menak Sengguruh.?"
Orang yang disebut ki Sengguruh itu mengerutkan alisnya, ia tak mengira jika seseorang mengetahui jati dirinya, begitu juga dengan ki Pracona maupun ki Landung Galih.
Sementara itu tak jauh dari situ, ki lurah Arya Dipa dan raden Bagus Mukmin yang awalnya mengira jika keduanya yang diketahui keberadaannya oleh ki Sengguruh dan ternyata itu salah, masih mengendap dan menyerap semua getar disekelilinggnya sehingga masih tak diketahui keberadaannya. Kedua anak muda itu terus mengikuti apa yang terjadi dan jika diperlukan keduanya akan memihak ki lurah Lembu Sura.
Kembali di tengah gumuk, ki Sengguruh mengangguk dan senyum menghiasi bibirnya.
"Benar kisanak aku memang orang yang kau sebutkan, lalu apa tindakanmu selanjutnya.?"
"Tentu tuan senopati paham yang akan aku lakukan, yaitu menghadapkan tuan senopati ke senopati Demak."
"Hahaha, baru saja keluar dari pintu gerbang timur kotaraja, dan tak ada yang mempersoalkannya, mengapa kau merepotkan dirimu sendiri, ki lurah.?"
"Karena ini sudah menjadi pengabdianku, tuan senopati. Jika seorang prajurit Demak yang berkeliaran di kadipaten Puger, tentu tuan senopati akan berlaku seperti yang aku lakukan, bukankah begitu.?" tanya ki lurah Lembu Sura.
Senopati kadipaten Puger itu tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya kepada kedua kawannya, "Kalian berdua uruslah prajurit ini.!"
"Jangan kau memerintah aku layaknya bawahanmu, ki Sengguruh.!" gerutu ki Landung Galih, meskipun orang itu melangkah menghampiri ki lurah Lembu Sura.
Kesigapan dan kewaspadaan nampak digerak ki lurah dari pasukan Wira Manggala, kuda - kuda kokoh siap menyambut serangan yang dilancarkan oleh ki Landung Galih. Sebuah ayunan tangan mendatar bergerak cepat mengancam ulu hati prajurit Demak itu, tapi serangan penjajagan itu mudah dielakkan dibarengi serangan balasan tendangan kaki kanan ke arah lambung lawan.
Serangan balasan itu sudah terbaca oleh ki Landung Galih, maka ia dengan cepat menangkap kaki itu. Tentu saja si pemilik kaki tak membiarkan hal itu terjadi, oleh sebab itu kakinya ia tarik dengan berputar bertumpukan kaki satunya terus dilanjutkan mengganti tumpuan kaki kanan, kaki kiri terangkat menendang pinggang kanan ki Landung Galih.
"Setan alas.!" umpat ki Landung Galih, yang tak mengira gerakan aneh lawan.
Kembali perkelahian itu terjadi dengan sengitnya, ternyata ki lurah Lembu Sura memiliki kemampuan yang tak bisa dipandang remeh. Arya Dipa dan Kidang Alit yang memerhatikan daru kejauhan memastikan jika ki lurah bisa mengungguli kemampuan lawannya.

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 13
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Tandang ki lurah Lembu Sura terasa semakin menekan lawannya hingga lawannya itu keteter tak karuan. Suatu kali tendangan mendatar mengenai dada ki Landung Galih dan membuat orang tua itu jatuh bergulingan, tapi dengan cepat orang itu melenting berdiri dengan sikap sempurna.
Mata memerah yang menandakan kemarahan mewarnai lingkaran bola matanya, mulutnya mengumpat lirih lalu berganti merapalkan sesuatu yang dimengerti oleh dirinya sendiri. Sikap itu semakin lama mencengangkan mereka yang berada di sekitar gumuk itu, dua buah bayangan secara perlahan muncul disamping orang dari gunung kidul itu, sosok wujud itu berpenampilan serta berperawakan menyerupai ki Landung Galih tanpa adanya perbedaan sedikit pun.
"Kakang pambarep adi wuragil.." desis ki Pracona.
"Nampaknya begitu.." sahut ki panji Menak Sengguruh.
Sekejap kemudian sosok itu bergerak cepat saling bertukar tempat satu dengan lainnya, sebuah rencana pengaburan mata lawan diterapkan oleh ki Landung Galih.
"Rasakan ini...!" teriak salah satu bayangan menyerang ki lurah Lembu Sura.
Serangan itu sempat dilihat oleh lurah prajurit Demak itu, tapi betapa terkejutnya saat dua serangan bertemu, bayangan itu tertembus dan membuat lurah itu terdorong terbawa tenaganya sendiri, dan saat itulah serangan wujud asli ki Landung Galih tepat mengenai pundak ki lurah Lembu Sura, yang mengakibatkan tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Bangunlah wahai lurah prajurit..!" teriak ki Landung Galih sambil bertolak pinggang.
Walau punggungnya bagaikan terkena hantaman besi gligen, lurah dari Wira Manggala segera berdiri dan menghadap lawannya yang berdiri pongah.
"Majulah."
Tarikan napas dilakukan untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya, setelah dirasa berkurang maka ki lurah menajamkan pranggaitanya untuk mengetahui wujud asli dari ki Landung Galih berdiri. Di depannya tiga sosok itu saling bertukar tempat lalu berpencar ke tiga penjuru bertujuan mengurung ki lurah Lembu Sura, tiga sosok itu lantas mencabut trisula dengan menghunuskan ke arah prajurit Demak itu.
Oleh karena melihat lawan sudah mencabut senjatanya, ki lurah Lembu Sura juga mencabut pedang keprajuritannya, senjata dari besi gligen pilihan dengan tangkai ada guratan ciri pasukan Wira Manggala.
Semilir angin menerpa tubuh mereka, di langit awan yang sebelumnya menutupi cahaya bulan, kini mulai bergerak sehingga cahaya itu mampu menyinari seluruh gumuk itu. Kilaun cahaya itu juga mengenai senjata dari mereka dan memantulkan cahaya itu. Pantulan cahaya sang candra membuat ki lurah Lembu Sura menyunggingkan senyum, menandakan dirinya mengetahui keberadaan sesungguhnya dari lawan.
"He mengapa kau tersenyum seperti itu.? Apakah kau sudah siap mati di ujung trisula ku ini.?!"
"Mati hidupnya seseorang hanya Sang Pencipta semata yang mengetahui, kisanak."
"Tutup mulutmu, tak usah sesorah di depanku.!"
Bersamaan dengan kata terakhir dari salah satu sosok ki Landung Galih, ki lurah Lembu Sura meloncat ke sisi kananya mengarah sosok yang dipastikan sosok sesungguhnya dan menggoreskan pedang mengenai lengan lawan yang tak sempat menghindari serangan dadakan dari ki lurah Lembu Sura.
"Setan alas, kau licik Lembu Sura.!" umpat ki Landung Galih kasar, seraya bergerak mundur. keberhasilan mengoreskan senjata di lengan lawannya tak membuat lurah dari pasukan Wira Manggala itu bernapas lega, itu dikarenakan adanya serangan dari sosok lain ki Landung Galih yang mampu membuat dirinya terpental saat kaki lawannya mengenai tubuhnya.
"Ah aku kira sosok - sosok itu semu, tapi mereka juga mampu menyakiti wadahku." keluh ki lurah Lembu Sura dalam hati, sambil menggelinding menghindari injakan kaki sosok lainnya.
Setelah berada jauh dari lawan, dengan cepat ki lurah Lembu Sura melenting berdiri, tapi sebuah gempuran menghantam dada lurah itu hingga dirinya kembali jatuh lagi.Tak hanya itu saja ancaman nyata terlihat dari trisula yang dipegang oleh sosok asli ki Landung Galih.
Saat itulah sebuah bayangan bagaikan terbang datang mendepak tangan ki Landung Galih serta sebuah tendangan menghantam orang tua itu dengan kerasnya. Selain itu tanpa berhenti bayangan orang yang baru muncul itu terus menerjang sosok lain ki Landung Galih hingga sosok itu pecah tak berbentuk, setelah menginjak tanah kaki itu kembali melenting ke atas dan berjumpalitan ke arah sosok lainya, sebuah tendangan memutar di udara kembali berhasil menghamburkan sosok lain dari ki Landung Galih.
Bayangan itu lalu menghampiri ki lurah Lembu Sura dan membantunya berdiri.
"Terima kasih ki lurah." ucap ki lurah Lembu Sura.
"Nanti saja, ki lurah. musuh kita masih berdiri lengkap." sahut orang itu, yang tandangnya mengejutkan ki panji Menak Sengguruh dan kedua kawannya.

Pansnya Langit Demak
jilid 4 bag 14
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Munculnya pemuda yang membantu ki lurah Lembu Sura, memberi angin segar bagi lurah dari Wira Manggala itu, yang mengenali penolongnya di kala musim pendadaran waktu lalu. Sebaliknya dengan ki panji Menak Sengguruh berserta kedua kawannya, terutama ki Pracona dan ki Landung Galih. Kedua orang itu merasa pernah menjumpai seorang pemuda yang berdiri di samping lawannya.
"Kau... pemuda yang duduk di dekat lubang angin di kedai itukah.?" tanya ki Pracona.
"Begitulah, kisanak."
Rasa geram, kesal, marah bercampur aduk mewarnai hati ki Landung Galih, yang merasakan sentuhan langsung dari pemuda itu, apalagi lengannya masih terasa sakit.
"Bukankah kau berdua.?"
"Benar kisanak...!" teriak seorang pemuda sambil berlari menghampiri tempat perkelahian.
Semua mata memandang ke wajah pemuda yang berlarian itu, semuanya mengerutkan kening kecuali pemuda yang menolong ki lurah Lembu Sura saat memperhatikan wajah penuh lumpur itu.
"Siapa dia, ki lurah.?" bisik ki lurah Lembu Sura ditelinga penolongnya.
Tak ada tanggapan dari pemuda disampingnya, malah pemuda itu menahan senyumnya.
Sedangkan orang dengan wajah kotor itu cengar cengir layaknya orang tak waras.
"He siapa sebenarnya kalian ini.!" gertak ki Pracona tak sabar.
"Aku kawan ki lurah Lembu Sura ini, kisanak." kata orang itu, "Sedangkan kawanku ini, anak petani pedukuhan pinggir kotaraja."
"Mengapa wajahnya penuh lumpur seperti itu.?" tanya ki lurah Lembu Sura, tak mengenali wajah pemuda itu.
"He.. bangsat tengik.! kalian terlalu meremehkan kami sehingga kalian berbicara sendiri tanpa menghiraukan kami.!" bentak ki Pracona, " kalian pantas mendapat imbalan dari kami."
Bersamaan dengan itu, ki Pracona mengambil pisau kecil dan membidikkan kearah ketiganya dengan cepat. Kesiur angin yang ditimbulkan menandakan tenaga cadangan melambari laju dari pisau - pisau itu.
Tapi yang dibidiknya bukanlah burung perkutut, melainkan mereka orang pilih tanding dan mengetahui dasar olah kanuragan, ketiganya mampu menghindar sehingga pisau - pisau kecil itu terus melaju menghujam dalam ke tanah.
"cek..cek..cek, wah jika pisau itu jika mengenaiku pasti menyakitkan." gumam pemuda berwajah kotor yang tak lain Kidang Alit.
Dengus ki Pracona terdengar bersamaan dengan meluncurnya tubuh itu layaknya gasing ke arah Kidang Alit. Luncuran tubuh itu begitu cepat dan dahsyat melumat pemuda kotor wajahnya, walau begitu Kidang Alit mampu mengelak dan membiarkan tubuh itu meluncur terus mengenai kayu sebesar paha orang dewasa. Bunyi berderaknya pohon membuat ki lurah Lembu Sura, dan kedua pemuda yang baru datang kagum oleh apa yang ditimbulkan dari gempuran ki Pracona, kayu itu patah.
Sementara itu ki Landung Galih kembali mengeluarkan ilmu Kakang Pambarep Adi Wuragil, dimana dua sosok muncul menyerang ki lurah Lembu Sura. Tak ingin kesukaran dialami oleh lurah dari Wira Manggala, pemuda penolong yang tak lain ki lurah Arya Dipa akan ikut ambil bagian menghadang sosok itu, tapi langkahnya terhenti manakala k panji Menak Sengguruh berada di dekatnya.
"Mari kita buat kalangan sendiri, anak muda."
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurungkan niatnya dan berdo'a supaya ki lurah Lembu Sura mampu bertahan dari lawannya sampai Kidang Alit berhasil menundukkan lawannya.
"Baiklah ki panji."
Maka di gumuk itu terjadi tiga kalangan perkelahian sengit dan seru. Tata gerak dan tandang dari ilmu masing - masing menyeruak kepermukaan untuk mengungguli lawan dari masing - masing.
Perasaan aneh menghinggapi hati ki Pracona, setiap serangannya mampu dihindari oleh lawannya yang berwajah kotor itu dengan mudahnya, bahkan seakan - akan orang itu menikmati perkelahian ini. Tenaga banteng ki Pracona yang mampu menumbangkan pohon seakan tertumbuk dengan lawan satu ini. Selapis demi selapis tenaga terus meningkat seiring waktu berlalu.

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 15
oleh : Marzuki
.
..
Juluran tangan ki Pracona yang bertujuan merengkuh tubuh Kidang Alit dan mencengkeram tubuh itu dan diangkat, tapi sesuatu terjadi yang membuat ki Pracona melenguh karena tak mampu mengangkat tubuh pemuda berwajah penuh lumpur itu.
"Apa yang akan kau lakukan kepadaku, kisanak.?" tanya Kidang Alit diselngi tawa kecil.
Dengan sekuat tenaga orang dari bang wetan itu terus berusaha mengangkat dan membanting tubuh lawannya, tapi tubuh lawannya bagaikan mengakar ke perut bumi.
"Hiaaat...!!" teriak Kidang Alit, sambil mengangkat tubuh lawan dan melempar tubuh itu melewati atas tubuhnya.
Suara debuman ke tanah terdengar saat tubuh ki Pracona jatuh dibanting oleh lawannya yang masih muda. Orang dari bang wetan itu menyeringai seraya memegangi pinggangnya yang sakit bukan main, dengan masih mendeprok orang itu mengumpat dengan kasarnya.
Tak jauh dari kalangan pertama, tiga sosok menyerang ki lurah Lembu Sura dengan gencarnya. Tubuh lurah dari Wira Manggala itu dibeberapa tempat tergores tajamnya trisula milik ki Landung Galih. Ternyata kemampuan ki Landung Galih dalam pengetrapan aji Kakang Pambarep Adi Wuragil, mampu membuat lawannya mengalami kesulitan dan terdesak, sosok bayangannya selain membuat lawannya bingung juga merupakan persoalan yang harus dihadapi dengan pemusatan tersendiri.
Disisi lain, ki panji Menak Sengguruh merupakan seorang prajurit sandi yang ngedab - ngedabi tandang dalam olah kanuragannya, setiap pukulannya selalu membuat angin disekitarnya bergolak hebat, bahkan terasa perih mengenai kulit.
"Bukan main orang ini." puji ki lurah Arya Dipa dalam hati.
Tangan kanan ki panji Menak Sengguruh menjulur layaknya ular mematuk - matuk tubuh lawan dengan gesitnya, tapi pemuda yang merupakan prajurit dari pasukan Wira Tantama itu seorang pemuda yang sudah mempunyai pengalaman dalam menghadapi tata gerak mirip gerak ular, bahkan dulu pemuda ini pernah bertempur mati - matian dengan naga Anta Denta di lereng Penanggungan.
Setiap tangan lawannya mematuk, ki lurah Arya Dipa dengan cepat dan gesit menyerang pergelangan tangan lawan sisi luar, sehingga ia mampu membuat lawannya merubah tata geraknya yang lebih mantab. Perubahan tata gerak lawan kini lebih rumit dan cepat dua kali lipat dari serangan sebelumnya.
Tanah yang mereka pijak menjadi tak karuan dengan rumput tercerabut dari akarnya. Begitu juga dengan udara disekitar mereka bergolak hebat dengan putaran tak terarah.
Perkelahian mereka berdua ini merupakan perkelahian yang paling seru dan sengit. Bila diibaratkan sebangsa binatang, ki panji Menak Sengguruh bagaikan ular naga yang menghadapi ki lurah Arya Dipa layaknya burung garuda. Si ular dengan ekornya terus mengibas keras tubuh garuda yang terbang rendah, tapi garuda ini dengan gesit mengepakkan sayapnya terbang tinggi menukik menyambar dengan cakar kuat mengarah tubuh sang ular, bila sang ular mengelak maka garuda itu terbang mendatar mengarah kepala untuk mematuk dengan paruhnya.
Serang menyerang silih berganti dengan elakan lincah, kembali mendesak hebat menyudutkan lawan tanpa ampun. Peluh yang mulai merembes tak membuat keduanya berniat istirahat, tapi malah sebaliknya, peluh itu bagai pemanasan saja dan meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis untuk mengungguli lawan.
Dalam hati ki panji Menak Sengguruh, pujian mengalir terhadap lawannya yang masih muda itu. Di kadipaten Puger saja yang mampu menyamai ilmunya hanya segelintir orang saja, salah satunya ki rangga Sawung Rana murid ki Ajar Bajulpati yang kini berada dekat dengan raden Sajiwo dan seorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung. Namun disini ia bertemu dengan pemuda yang selalu mampu menandinginya walau ia terus meningkatkan ilmunya.
"Bila anak ini dibiarkan, maka ia akan menjadi batu sandungan dari pergerakan panembahan Bhree Wiraraja." desia ki panji Menak Sengguruh.
Dalam hati sebenarnya panji ini berkecamuk perasaan bercabang, ingin rasanya membunuh pemuda itu jika dirinya mampu, namun dilain sisi ia sangat menyayangkan ilmu pemuda itu. Lalu ada sebuah pikiran melintas dalam kepalanya.
"Anak muda, siapa namamu.?" tanyanya denhan terus menyerang.
"Arya Dipa, ki panji."
"Apakah kau seorang prajurit.?"
"Hemm, begitulah ki, aku memang prajurit Demak. Kenapa.?"
"Tidak, aku hanya mengagumi ilmu kanuraganmu itu." sejenak ki panji Menak Sengguruh berhenti, lalu lanjutnya, "Bergabunglah dengan kami, maka kau akan mendapat harta dan derajat.!"
Bujukan itu hanya ditanggapi senyum dengan terus menggebrak lawannya.
"Apa jawabmu.?" desak ki panji Menak Sengguruh.
Tapi lurah muda itu terus menyerang dengan dahsyatnya. Bahkan kakinya mengenai pinggang lawan yang terbuka dan membuat lawannya tergeser.
"Hemm, terpaksa aku membunuhmu, agar kau tak menjadi batu sandungan.!" dengus ki panji Menak Sengguruh.
Bersaman dengan itu orang dari bang wetan itu mulai merambah tenaga cadangan, udara disekitarnya terasa panas menyengat.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 16
oleh : Marzuki
.
..
Gelembung - gelembung aneh nampak disekitar tempat ki panji Menak Sengguruh berdiri, sebuah gelembung berwarna kuning kemerahan dan bila saling bergesekan satu dengan lainnya, menimbulkan suara letupan. Saat tangan orang dari bang wetan itu bergerak menghadap lawannya, gelembung itu mengikuti mengambang mengarah tubuh lawannya.
Serangan dari gelembung itu tak dipandang sebelah mata oleh ki lurah Arya Dipa, dengan gesit pemuda anak angkat ki panji Mahesa Anabrang mengelak ke samping sejauh satu tindak. Gelembung itu berbenturan satu sama lain di udara dimana sebelumnya ki lurah Arya Dipa berdiri, sudah dapat dibayangkan gelembung berwarna kuning kemerahan itu meletup dengan kerasnya, walau begitu ki lurah dari Wira Tamtama masih merasakan hawa panas menyengat kulitnya.
"Hemm.. kali ini kau bisa lolos dari ilmu ku, anak muda, tapi aku akan menerapkan serangan dengan lebih cepat dari sebelumnya.!" gertakan itu memang nyata.
Sekejap kemudian tempat itu terkurung oleh gelembung yang tiba - tiba muncul dikalangan tersebut. Ancaman menjurus kekematian tak terelakkan bila puluhan gelembung itu mengenai sebongkah daging serta segumpal darah manusia. Sebuah ilmu kuno pada wangsa Sanjaya pendiri kerajaan Mataram kuno, telah muncul kembali di tangan panji dari kadipaten Puger ini. Dan hal itu mengejutkan Arya Dipa, yang serba sedikit mengetahui ilmu itu di kitab Cakra Paksi Jatayu, bahwasanya ilmu nggegirisi itu dinyatakan sesat.

"Prahara Kalageni..!" desis ki lurah Arya Dipa.
"He..kau mengetahui ilmu ku ini.? Siapa kau sebenarnya anak muda.?" suara ki panji Menak Sengguruh bergetar.
"Sudah aku bilang aku lurah prajurit Demak, dan ilmu mu merupakan ilmu terlarang di jaman Medang Kamulan dahulu hingga jaman Kadiri ilmu itu dilarang keras untuk dipelajari."
"Huh itu hanya bualan semata, mengapa ilmu ini dilarang.? bukankah itu hanya ketakutan segelintir orang saja.?" sangkal ki panji Menak Sengguruh.
Masih dalam kewaspadaan tinggi dan bahkan aji Niscala Praba mulai diterapkan, ki lurah Arya Dipa menjawab dengan sebuah pertanyaan.
"Sudah berapa nyawa bayi yang kau tumbalkan untuk lelaku itu, ki panji.?"
Tak ayal lagi bagi ki panji Menak Sengguruh untuk menutupi mengenai ilmunya yang merupakan ilmu sesat.
"Kau terlalu banyak mengetahui ilmu ini anak muda, pasti kau mempunyai bekal untuk menghadapinya, tapi aji ini sudah hampir tingkat sempurna." gertak ki panji Menak Sengguruh, yang tak menyadari jika lawannya terselubungi oleh lapisan kuning kemilau, dikarenakan sinar gelembung dari aji Prahara Kalageni miliknya menyamarkan.
"Mati kau anak muda..!!!!" teriak ki panji seraya menggerakkan kedua tangannya, menandakan serangan gelembung kuning kemerahan mengeroyok sasaran yang sudah terkepung.
Suara letupan maha dahsyat mengetarkan gumuk pinggiran padukuhan luar kotaraja, dimana ki lurah Arya Dipa berdiri terkurung oleh api menyala membumbung setinggi pohon kelapa. Sehingga hal itu membuat perkelahian disekitarnya terhenti menatap api yang membumbung tinggi di tengah gumuk.

Bahkan api itu terlihat dari rumah penghuni padukuhan, satu dua peronda jatuh lemas menyaksikan api yang mereka sangka berasal dari sosok yang mereka takuti.
"Ba..naspati..!" teriak seorang pemuda sambil berlari tunggang langgang, sedangkan kawannya pingsan tak sadarkan diri.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 17
oleh : Marzuki
.
..
Teriakan dari para peronda itu terdengar oleh seorang pemuda yang mempunyai keberanian melebihi kawan - kawannya, pemuda itu meraih pemukul kentongan dan memukul kentongan dengan irama bertalu - talu.
Padukuhan itu langsung terjadi keributan menanggapi suara kentongan yang saling bersahutan dari parondan satu ke parondan lainnya, bahkan sampai pintu gerbang kotaraja. Seorang lurah segera membawa sepuluh prajurit berkuda dan menggebrak perut kuda berlari pintu gerbang yang terpaksa dibuka untuk melihat apa yang terjadi di padukuhan itu.
Derap kaki kuda yang ditunggangi oleh prajurit Demak semakin membuat penghuni padukuhan yang bernyali kecil, semakin meringkuk sembunyi di bilik kamar mereka. Akhirnya sepuluh prajurit beserta beberapa peronda padukuhan sampai di gardu peronda ujung padukuhan.
"Ada apa.?" tanya lurah prajurit, yang masih diatas punggung kuda.
"Api ki lurah, gumuk itu terbakar." jawab pemuda yang memukul kentongan.
Tapi kawannya menyahut dengan suara bergetar.
"Bu.. bukannya itu tadi Banaspati, Wawa.?"
"Ah.. kau ini, itu tadi pasti api biasa yang mungkin membakar pohon keluwih atau trembesi di gumuk." bantah Wawa.
"Sudahlah aku dan prajurit akan melihat gumuk itu, jika kalian berani, ikutlah." kata lurah prajurit, sambil menarik kekang kuda, meneruskan ke gumuk.

Hanya beberapa pemuda saja yang ikut ke gumuk, salah satunya Wawa. Jarak puluhan tombak itu akhirnya bisa mereka tempuh beberapa saat saja. Keheranan nampak di raut muka lurah prajurit yang turun dari kuda dan mengamati keadaan di gumuk itu.
"Kakang lurah, sepertinya baru terjadi sebuah pertempuran yang dahsyat." seorang prajurit mengungkapkan pendapatnya.
"Hem.. sepertinya apa yang kau katakan memang benar adi, lihatlah disini ada ceceran darah yang masih segar, sementara disitu tanah hangus dan masih terasa hawa panas.."
"Apa yang akan kita lakukan, kakang.?" tanya seorang prajurit.
Lurah itu terdiam sesaat, lalu kemudian memberi perintah kepada prajuritnya.
"Selidiki tempat ini dengan teliti dan cermat, apabila ada yang mencurigakan., segera beritahu kepadaku." lalu lurah itu berkata kepada seorang prajurit berbadan tinggi, "Sukra kau kembali ke gardu parondan gerbang timur, dan beritahu ki lurah Banyak Wide agar memperketat penjagaan."
"Baik ki lurah." lalu prajurit itu bergegas menaiki kuda dan memacu kudanya ke gerbang timur.
....

Gumuk itu memang sudah kosong dari orang - orang yang sebelumnya terlibat pertempuran. Suara kentongan dari padukuhan membuat ki panji Menak Sengguruh bergegas meninggalkan gumuk setelah sebelumnya memberi isyarat kepada ki Pracona dan ki Landung Galih tanpa menunggu apa yang terjadi dengan lawannya.
Saat ketiga orang yang disangka penyusup itu meninggalkan tempat, Kidang Alit terlambat untuk bertindak jauh dikarenakan dirinya mencemaskan Arya Dipa yang terkurung oleh aji Prahara Kalageni milik ki panji Menak Sengguruh. Sedangkan ki lurah Lembu Sura keadaannya juga tak memungkinkan, bahkan lurah itu tampak kelelahan.
Di dalam kepungan api Prahara Kalageni, Arya Dipa sebenarnya mampu menahan ilmu lawan dengan menggunakan aji Niscala Praba, yang menyelubungi tubuhnya sehingga tak tersentuh oleh aji yang menakutkan itu.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ilmu lawan dapat ia padamkan, namun saat ia melihat kesekitar tak nampak batang hidung lawannya.
"Mereka melarikan diri, ki lurah." suara Kidang Alit menyadarkanya.
"Oh.. ra eh kakang.." kata Arya Dipa.
"Bagaimana keadaanmu.?"

"Aku tak mengapa, kakang." sahut ki lurah Arya Dipa, lalu, "Oh ki lurah Lembu Sura."
Pemuda itu berlari ke arah tubuh ki lurah Lembu Sura yang pingsan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, mungkin api tadi akan mengundang para peronda." ajak Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin, sambil ikut membopong ki lurah Lembu Sura.
"Biar aku saja, raden."
Keduanya lantas pergi dari gumuk sambil mendukung tubuh ki lurah Lembu Sura yang jatuh pingsan.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 18
oleh : Marzuki
.
..
Dua orang dengan mendukung sesosok tubuh berlari melewati pemantang sawah tanpa adanya kesulitan sedikitpun. Mereka tak lain ki lurah Arya Dipa dan Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin, sedangkan dalam dukungan di atas pundak ki lurah Arya Dipa tubuh ki lurah Lembu Sura masih tak sadarkan diri.
Melalui tembok yang mereka berdua lewati sebelumnya, yang dimana seutas tali kuat masih terikat kuat di pohon waru, keduanya kembali menaiki tembok tinggi kotaraja.
"Bagaimana dengan ki lurah Lembu Sura.? Apa harus harus di bawa ke Ksatriyan.?"
"Jangan raden, sebaiknya akan hamba bawa ke rumah ki Bonangan." sahut ki lurah Arya Dipa, "Dan sebaiknya, raden kembali ke ksatriyan sekarang juga."
"Baik.. berhati - hatilah, dan segera kau ke ksatriyan."
"Sendiko raden." ki lurah Arya Dipa, menyanggupi.
Setelah kepergian raden Bagus Mukmin dari bawah pagar tembok, ki lurah Arya Dipa dengan hati - hati bergegas menuju rumah ki Bonangan yang pernah dirinya menginap sebelum menjadi prajurit Demak. Sampai di regol rumah ki Bonangan, seorang pembantu ki Bonangan yang duduk di pringgitan mengerutkan kening saat memandang ke arah regol.
Pembantu ki Bonangan berdiri dengan kewaspadaan, tangannya tanpa sadar menyentuh keris yang terselip di pinggangnya sambil berjalan ke arah regol.
"He siapa kau.?!" hardik pembantu rumah tangga itu.

"Aku paman Sentanu, Dipa.." jawab orang yang memang ki lurah Arya Dipa.
"Oh denmas, ada apa ini.?"
"Nanti saja paman, tolong buka pintu regolnya."
"Oh... maaf paman lupa." kata ki Sentanu sambil membuka pintu regol.
Setelah memasuki halaman rumah ki Bonangan, keduanya membawa tubuh ki lurah Lembu Sura ke pringgitan.
"Paman beritahukan kepada ki Bonangan, aku menitipkan tubuh ki lurah Lembu Sura disini untuk malam ini, besok aku akan menjelaskan kepada ki Bonangan."
Tapi sebuah langkah membuat keduanya menengok ke arah langkah itu.
"Oh ki Bonangan." desis ki Sentanu.
Orang itu memang ki Bonangan, salah satu kepercayaan pangeran Trenggono yang rumahnya di ujung kotaraja.
"Oh kau denmas Arya Dipa." sapa ki Bonangan.
"Benar ki, maaf mengganggu ketenangan rumah ki Bonangan."
"Siapa dia, denmas.? apa yang terjadi.?" tanya ki Bonangan setelah melihat seorang yang masih dalam dukungan ki lurah Arya Dipa.
Tapi sebelum Arya Dipa menjawab, ki Bonangang kembali berkata, "Sebaikanya bawa masuk orang ini ke gandok kanan, supaya mendapat perawatan."
Maka segera tubuh ki lurah Lembu Sura di bawa ke gandok kanan dan direbahkan di sebuah amben.

"Sebelumnya aku sudah memeriksa keadaanya, ki. Dan berhasil memampatkan lukanya."
"Syukurlah, ada apa sebenarnya denmas.?" kembali ki Bonangan bertanya.
Lalu pemuda itu menceritakan kejadian yang ia alami di gumuk ujung padukuhan luar kotaraja tanpa menyangkutkan nama raden Bagus Mukmin.
"Begitulah paman, tapi saat hendak mengejar para penyusup itu keadaan ki lurah Lembu Sura menguwatirkan, maka aku membawanya kemari."
Orang tua kepercayaan pangeran Trenggono itu manggut setelah mendengarkan penjelasan dari ki lurah Arya Dipa dan berjanji akan merawat ki lurah Lembu Sura.
"Baiklah ki Bonangan, aku mohon diri dan besok aku akan kemari."
"Iya denmas."
Malam hampir sampai di ujungnya, pemuda itu berjalan menyusuri lorong sepi dan kecil untuk menghindari prajurit peronda yang bertugas di malam itu. Walau agak memutar akhirnya ki lurah Arya Dipa sampai di Ksatriyan dan melaporkan kalau ki lurah Lembu Sura dalam perawatan ki Bonangan.
"Baiklah ki lurah, bersihkan tubuhmu ke pakiwan dan beristirahatlah di gandok kanan."
"Injeh raden.." dan ki lurah menuju ke pakiwan untuk membersihkan tubuhnya.
Gemericik air membuat tubuh pemuda itu kembali segar, walau hari malam dengan hembusan angin membuat air terasa dingin.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 19
oleh : Marzuki
.
..
Kicau burung terasa merdu di telinga, berbagai jenis burung tampak di pepohonan sedang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, kadangkala kepakan sayap membuat burung - burung itu terbang rendah dan hinggap lagi ke dahan atau pun ke ranting pohon.
Pagi yang cerah dengan adanya sinar sang fajar tanpa adanya awan yang menutupi, semakin menambah kecerahan di pagi itu. Dan sinar itu menerangi bilik di mana ki lurah Lembu Sura berbaring, melewati sela - sela lubang angin.
Desuhan napas mulai terdengar seiring keriyapan mata lelaki paruh baya itu. Semakin nyata mata itu terbuka sehingga dipenglihatan lurah Wira Manggala nampak kayu usuk di langit - langit.
"Uuh..." desuh kembali terdengar lirih.
Ketika tubuh itu bergerak dan ingin berdiri dari pembaringan, pintu bilik gandok berderit dan seseorang membuka pintu itu dengan membawa nampan.
"Berbaringlah, ki lurah." sapa orang itu, yang tak lain ki Bonangan.
Mata yang masih merasakan sakit itu memandang penuh keheranan terhadap orang yang menyapanya.
"Jangan bingung, ki lurah. Kau di tempat yang aman dan masih di lingkungan kotaraja Demak." kata ki Bonangan, yang dapat memahami apa yang ada dalam hati ki lurah Lembu Sura.
Setelah merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh orang yang memasuki bilik dimana ia berbaring, ki lurah Lembu Sura menyandarkan tubuhnya.
Sementara ki Bonangan mengangsurkan nasi sepiring dengan lauk sederhana kepada ki lurah Lembu Sura.
"Makanlah ki lurah, supaya tubuhmu cepat pulih."

"Terima kasih, kyai." ucap ki lurah, sambil menerima piring yang terbuat dari tanah liat.
"Tadi malam, denmas Arya Dipa membawa ki lurah kemari dan memintaku merawat ki lurah yang mengalami cedera."
Demi mendengar penuturan itu, ki lurah teringat apa yang ia alami tadi malam di gumuk luar padukuhan. Memang saat itu dirinya mengalami beberapa goresan luka di tubuhnya, saat lawannya meninggalkan gumuk sebenarnya dirinya akan mengejar walau mungkin itu akan membahayakan dirinya, namun darah yang keluar terlalu banyak, maka ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri. Dan saat itulah hanya ki lurah Arya Dipa dan kawannya yang menolongnya dan membawa dirinya kepada seseorang yang belum ia kenal.
"Tapi mengapa aku dibawa kemari.? tidak ke barak atau rumahku.?" tanya ki lurah Lembu Sura dalam hati.
"Maaf kyai, sebenarnya siapa kyai ini.?" tanya ki lurah setelah menghabiskan makanan dalam piring.
"Minumlah ramuan ini." tanpa memberi jawaban, ki Bonangan mengulurkan bumbung gelas yang berisi ramuan kepada lurah prajurit.
Seteguk demi seteguk ramuan itu memasuki tenggorokan ki lurah, walau terasa pahit di lidah, namun setelah masuk dalam lambung tubuhnya terasa hangat dan nyaman.
"Bagaimana keadaan ki lurah.?"
"Sepertinya rasa sakit semakin berkurang, kyai. Dan tubuhku terasa nyaman."
"Syukurlah." ucap ki Bonangan, "Aku sering disebut dengan Bonangan oleh tetangga disekitar sini, ki lurah. Dan ki lurah Arya Dipa merupakan salah seorang yang kawan baikku."

Kepala ki lurah manggut, dalam hati ia berterima kasih kepada lurah muda dari Wira Tamtama itu, jika tiada lurah muda itu muncul, mungkin nyawanya sekarang akan tertanam tanah gumuk atau hal yang mengenaskan lainnya, yaitu menjadi santapan burung gagak atau binatang buas lainnya.
Sementara itu dari balik bilik gandok, ki Sentanu yang merupakan pembantu ki Bonangan muncul dan mengatakan kalau ki lurah Arya Dipa datang.
"Suruh ia masuk, Sentanu."
"Baik, ki."
Tak lama kemudian ki lurah Arya Dipa memasuki bilik itu dengan menyapa salam tuan rumah dan ki lurah Lembu Sura. Dan tak lupa menanyakan keadaan dari ki lurah Lembu Sura.
"Terima kasih, ki lurah. Jika kau tak berada di gumuk itu, mungkin aku tak lagi berbicara sebebas ini."
"Ah sudahlah, ki lurah. Itu semua hanyalah kebetulan saja, jika bukan aku mungkin orang lain, karena aku merasakan seseorang bersembunyi di balik rerumputan tak menampakkan dirinya." sahut ki lurah Arya Dipa, sambil melirik ke arah ki Bonangan.
"Ah benarkah itu.? ternyata aku tak merasakan keberadaan seseorang."


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 20
oleh : Marzuki
.
..
Senyum menghiasi bibir ki Bonangan manakala memerhatikan raut muka ki lurah Lembu Sura yang menandakan ketidakmampuannya dalam membaca situasi di malam sebelumnya.
"Sudahlah ki lurah, tak usah kau pikirkan hal itu. Sekarang sebaiknya kau menmanfaatkan waktu ini untuk penyembuhan tenaga maupun luka yang ki lurah derita." akhirnya ki Bonangan bersuara.
Anggukan terlihat dari prajurit Wira Manggala itu, dengan merebahkan kembali tubuhnya di atas pembaringan, untuk mengikuti petunjuk dari ki Bonangan yang mengerti mengenai ilmu pengobatan melalui tata pernapasan demi melancarkan peredaran darah dalam tubuh. Sesudah memberikan beberapa petunjuk kepada ki lurah Lembu Sura, ki Bonangan mengajak ki lurah Arya Dipa menuju ruang utama rumahnya.
Di ruang utama terdapat beberapa perkakas dan pajangan kepala seekor harimau loreng dengan mulut menganga, di sudut ruangan terlihat dua tombak yang ujungnya tertutup selongsong berdiri tegak di tempatnya.
Keduanya duduk di tikar anyaman pandan saling berhadapan. Tak berapa lama, seorang pembantu wanita ki Banongan muncul membawa nampan dengan berisikan minuman dan sepiring ketela rebus yang masih hangat, dan menaruh di tengah ki Bonangan dan ki lurah Arya Dipa. Setelah mempersilahkan maka pembantu wanita itu kembali masuk ke ruang dalam menuju dapur.
"Silahkan Anakmas lurah, mumpung masih hangat." ki Bonangan mempersilahkan.
"Terima kasih, ki." ucap lurah muda itu sambil meraih gelas yang terbuat dari tanah liat dan meneguk wedang sere itu.
Sambil menikmati hidangan itu, ki lurah Arya Dipa mengeser letak duduknya dan bertanya keada tuan rumah, "Apakah kyai bisa menduga apa yang akan terjadi di Demak ini.?"

Helaan napas orang tua itu terasa berat sambil mengerjapkan matanya.
"Tentu kau bisa menduganya anakmas, kekosongan tahta ini mungkin akan dimanfaatkan oleh pihak berseberangan khususnya orang - orang dari bang wetan." kata ki Bonangan, "Apalagi orang - orang itu mempunyai ilmu aneh seperti yang kau hadapi semalam, mungkin kalau aku yang menghadapi orang yang kau hadapi itu, aku akan hangus tak tersisa."
"Memang tepat kalau pangeran Trenggono memilihmu untuk mengawal raden Bagus Mukmin, selain pemomongnya yang kini sedang kembali ke padukuhannya." lanjut orang tua itu.
"Oh jadi raden Bagus Mukmin mempunyai seorang pemomong sampai saat ini, kyai.?"
"Iya, namanya ki Surayata."
"Oh ya apakah kyai memberitahukan situasi tadi malam kepada kanjeng pangeran Trenggono.?"
"Tenanglah anakmas, aku masih merahasiakan tindakan raden Bagus Mukmin yang keluar hanya bersamamu, tapi seandainya pangeran Trenggono tahu pun, ia tak akan melarangnya."
Kelegaan menyelimuti pemuda itu, andai ki Bonangan melaporkan tindakan tadi malam kepada pangeran Trenggono dan saat itu raden Bagus Mukmin mengalami sesuatu, maka dirinya tentu mendapat hukuman.
"Apa yang kau pikirkan, anakmas.?"
"Ah tidak kyai, aku hanya membayangkan sesuatu yang mengacam nyawa kerabat keraton sepertinya semakin nyata."
"Hem.. memang hal itu patut diwaspadai, semoga tak ada situasi menggemparkan terjadi di tanah Demak ini." sebuah doa terlontar dari orang tua itu.
........

Saat bersamaan di pinggiran sungai, Seorang berpakain hitam dengan topeng menutupi wajahnya sedang duduk bersama tiga orang yang tak lain ki panji Menak Sengguruh, ki Pracona dan ki Landung Galih.
"Hemm, siapa sebenarnya pemuda yang kau hadapi itu, ki panji.?"
"Dia menyebut dirinya Arya Dipa, seorang lurah prajurit." jawab ki panji Menak Sengguruh, " Tapi aku yakin jika anak itu pasti hangus tak tersisa dari Prahara Kalageni milikku."
"Kita harus semakin waspada, jangan sampai gerakan ini tercium oleh orang Demak." tegas orang bertopeng itu.
"Baik Lintang Kemukus, lalu bagaimana dengan rencana dari raden Sajiwo."
Senyum mengembang menghiasi bibir orang bertopeng yang disebut Lintang Kemukus.
"Usahakan orang dalam menggiring sasaran, untuk rencana pengambilan pusaka berjalan mulus dan semoga kawan lainnya mampu menghasut seseorang untuk melakukan puncak dari rencana ini."
Semua orang tersenyum dan mulai membayangkan keberhasilan rencana itu, sebuah rencana adu domba melemahkan kekuatan sang singa lalu batu disergap secara bersamaan. Kehancuran Demak dan keturunannya akan melahirkan sebuah kerajaan baru yang akan dikendalikan oleh Panembahan Bhre Wiraraja dengan memberikan imbalan kepada pendukungnya berupa pangkat dan harta kekayaan.

Walau pendukung paling bawah sebenarnya masih gelap dalam memahami jati diri dan bahkan penampilan sosok Panembahan itu pun belum mereka ketahui, jangankan sosok Panembahan, raut muka tangan kanannya saja yang sekarang berada diantara mereka dengan sebutan Lintang Kemukus Pangrampu saja masih rahasia.
Pernah ada seorang pendukung dari lembah pantai kidul mempersoalkan kehadiran Panembahan Bhre Wiraraja, tak ayal orang itu mendapat perlakuan yang membuat nyawanya terbang. Dan di lain hari seorang tumenggung bang wetan tak mengakui kekuasaan dari seorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung, hal serupa dialami oleh tumenggung itu. Di tengah - tengah suasana perkumpulan, tumenggung itu tewas di tangan Lintang Kemukus dengan kepala putus dari lehernya.
"Siapa yang tak mengakui kekuasaan yang aku emban dari Panembahan Bhre Wiraraja dan menyangsikan ke absahan dari Panembahan, maka ia akan mengalami hal ini.. cam kan hal ini..!"
Sejak saat itu tiada yang mengusik atau mempersoalkan jati diri Lintang Kemukus maupun Panembahan Bhre Wiraraja dalam kelompok ini.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 21
oleh : Marzuki
.
..
Pertemuan kerabat keraton dengan sesepuh serta penasehat kesultanan dalam membahas kelanjutan tahta, terasa alot dan rumit. Belum usai menemukan kesepakatan yang nyata, kini terdengar adanya kegiatan yang menggemparkan dibeberapa kadipaten di bang wetan.
Prajurit telik sandi melaporkan adanya kekuatan berpusat di Penarukan mulai bergerak ke barat menyusuri kademangan Grati terus ke pinggir kadipaten Japanan. Berselang sepekan warta mengejutkan menyatakan pertahanan kadipaten Japanan jebol sehingga membuat adipati dan kerabat kadipaten beserta para nayaka praja Japanan mengungsi ke kadipaten Tuban dan Ponorogo.
"Adimas pangeran Trenggono, ini tak bisa dibiarkan, aku akan kembali ke Jipang Panolan untuk menyusun kekuatan menghadang pasukan itu." suara tegas terdengar dari pangeran Sekar atau raden Kikin.
Rasa yang sama dirasakan oleh raden Kanduruwan dan beberapa utusan dari kadipaten bang wetan yang masih menanti hasil penunjukan sultan di Demak, untuk kembali ke kadipaten masing - masing demi mempertahankan tanah kelahiran mereka dari ancaman penguasa ujung timur.
Sebenarnya pangeran Trenggono juga mengkwatirkan pasukan gabungan dari tiga kadipaten bang wetan yang menurut warta dipimpin oleh seorang yang menyebut dirinya Panembahan Bhre Wiraraja. Bahkan dirinya juga siap mengikuti kakaknya, namun oleh para sesepuh hal itu tidak diijinkan.
"Aku rasa cukup anakmas pangeran Sekar saja yang bertindak melakukan penghadangan pasukan itu, dan untuk mengimbangi kekuatan dari bang wetan, biarlah pasukan dari Ponorogo, Ujung Galuh, dan Jipang Panolan serta Tuban dipusatkan dibarat kali Brantas." kata ki patih Wanasalam anom.
"Tapi biarkan diriku juga ikut membantu kakanda pangeran Sekar, kakang patih." pangeran Trenggono masih mendesak ingin pergi ke garis depan.
"Sudahlah adimas, tak baik juga bila disini terjadi kekosongan pemimpin, dan aku rasa kemampuan adimas sangat dibutuhkan di kotaraja. Biarlah aku saja yang memimpin pasukan segelar sepapan menghancurkan pasukan di Japanan." akhirnya pangeran Sekar ikut membujuk.
Saat pembicaran berlangsung di balai Manguntur masih berlangsung, tiba - tiba seorang lurah prajurit datang menghadap melaporkan adanya utusan dari Jipang Panolan.
"Suruh prajurit itu menghadap."
"Sendiko dawuh gusti." lalu lurah prajurit itu memanggil utusan Jipang dan dihadapkan ke balai Manguntur.
Utusan itu dengan laku layaknya seorang prajurit menghadap gusti, dengan unggah ungguh kesopanan melaporkan kejadian yang semakin menggemparkan.
"Ampun gusti pangeran, ketiwasan.."
"Ada apa prajurit.? katakanlah supaya yang hadir ini bisa mendengar dengan jelas."
Prajurit itu beringsut agak maju dengan kedua tangan merangkap di depan melekat di dahi.
"Ketiwasan, kanjeng gusti.. kadipaten Tuban dan Ujung Galuh kini diduduki oleh pasukan Panembahan Bhre Wiraraja." jawab prajurit itu dengan suara bergetar.

Balai Manguntur bagaikan dilanda gempa, semua yang hadir terkejut dengan warta yang di bawa oleh utusan dari Jipang itu. Bila Ujung Galuh dan Tuban telah direbut oleh pihak lawan, maka kini kadipaten garis depan ialah kadipaten Jipang Panolan untuk sisi utara.
Seketika pangeran Sekar berdiri dari tempat duduknya, dan menghadap ke arah duduk pangeran Trenggono, ki patih Wanasalam anom dan seorang sesepuh Demak.
"Kakang patih Wanasalam, adimas pangeran dan paman Ngabehi Arya Wiratanu, biarlah aku mendahului ke timur untuk mengumpulkan segenap kawula kadipaten Jipang." seru pangeran Sekar, "Dan bila adimas atau siapa pun yang ingin memimpin pasukan dari Demak juga bergerak ke timur, aku akan menunggu di Jipang Panolan. Tapi aku harap bantuan dari Demak sesegera mungkin."
"Baiklah kakang, aku akan berjanji segera menyusun pasukan bantuan dan memimpin sendiri." sanggup pangeran Trenggono.
Maka pangeran Sekar yang tak lain ayah Arya Jipang dan Arya Mataram, bergegas kembali menuju Jipang Panolan. Sepeninggal pangeran Sekar, pemimpin tertinggi sementara di Demak, mengumpulkan nayaka praja untuk menyusun pasukan yang akan diperbantukan menggedor pasukan bang wetan yang telah menguasai kadipaten Tuban.
Derap belasan kaki kuda mulai terdengar keluar dari gerbang kesultanan, dipaling depan kuda itu ditunggangi oleh pangeran Sekar dengan dikawal oleh belasan prajurit pilihan dari Jipang Panolan. Iringan dari pangeran Sekar itu, membuat seseorang yang berdiri di pinggir jalan yang dilalui iringan, tersenyum.
"Bagus, sasaran sudah keluar dari kotaraja.." desis orang itu yang melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 22
oleh : Marzuki
.
..
Iringan dari pangeran Sekar terus memacu kuda mereka melintasi kademangan luar gerbang kotaraja, walau sang matahari sudah sepenggalah, iringan itu tanpa beristirahat tetap melanjutkan perjalanan yang panjang itu. Bahkan saat makan pun, tetap berada dipunggung kuda sambil mencongklak kuda demi mengejar waktu.
Hingga akhirnya menjelang senja, iringan yang dipimpin oleh pangeran Sekar memasuki sebuah padang ilalang yang tumbuh dipinggir telatah kadipaten Jepara.
"Berhenti..!" isyarat dari pangeran Sekar, sambil mengangkat tangan kiri.
Semua pengawal prajurit menarik kekang kuda untuk menghentikan laju kuda mereka. Senopati Rakai Welar menggiring kudanya mendekati kuda tunggangan raden Kikin hingga sebaris berdekatan.
"Senopati, perintahkan kepada para pengawal, kita akan bermalam disini."
"Baik, pangeran. Kami akan mendirikan tenda serta membuat pagar penghalang dari gangguan hewan liar." sahut senopati Rakai Welar.
Senopati dan kemenakan patih Mentahun itu lantas memerintahkan para pengawal untuk mendirikan tenda dan yang sebagian memangkas dahan sebesar lengan untuk membuat pagar mengitari tenda, lalu sisanya membabat ilalang supaya tanah lapang dan rata.
Kesigapan terlihat dari pengawal prajurit pilihan itu. Dengan cepat tugas dapat dilakukan sehingga empat tenda berdiri melingkari tanah lapang seluas empat tombak bila dilingkarkan, tanah lapang itu nantinya akan dijadikan tempat api unggun. Selain itu dahan hasil memangkas beberapa pohon yang tumbuh di pinggir padang ilalang, mulai ditanam berjajar membentuk pagar yang berguna membatasi adanya gangguan binatang buas.
Setelah senja sepuluh obor dinyalakan dan diikatkan di seputar pagar untuk menerangi sekitar tenda, selain itu berguna menghalau binatang buas supaya tak mendekati sekitar tenda. Di tengah - tengah dimana tenda berdiri, api unggun juga dinyalakan untuk menghangatkan tubuh dari hembusan angin padang ilalang itu.

Dalam pada itu di dalam tenda khusus bagi pangeran Sekar, senopati Rakai Welar memasuki sambil membawa makanan dan minuman bekal mereka.
"Ini pangeran, untuk sekedar mengisi perut." senopati itu mempersilahkan.
"Terima kasih, senopati. Makanlah terlebih dahulu, aku belum lapar." gumam pangeran Sekar, sambil menghela napas.
"Ah... maaf pangeran, adakah sesuatu yang pangeran pikirkan." senopati itu memberanikan diri bertanya.
Helaan napas terdengar dari anak raden Patah itu, tatapan mata terlihat menerawang jauh menembus dinding tenda.
"Apakah pangeran mencemaskan pertahanan di Jipang.? Percayalah, pangeran. Hamba kira paman patih Mentahun dapat mengulur waktu hingga kita dan bantuan dari Demak tiba." kembali senopati Rakai Welar angkat bicara.
"Hem.. Sebenarnya aku juga mempercayai kalau kakang patih Mentahun dapat bertindak dengan cepat, namun hati ini merasakan adanya sesuatu yang sangat mengkwatirkan.."
Sejenak pangeran Sekar berhenti untuk meraih wadah air yang terbuat dari kulit, lalu meneguk air secara perlahan.
"Aku masih memikirkan sesorang yang menyebut dirinya Lintang Kemukus itu."
"Oh.. maksud pangeran, orang yang berkerudung hitam itu.?" tanya senopati Rakai Welar.
"Benar.. orang itu juga merupakan ancaman yang patut diperhitungkan."
"Maafkan hamba, pangeran. Sampai saat ini tak ada warta mengenai jati diri orang itu." senopati merasa dirinyalah yang patut disalahkan.
"Sudahlah, kau tak usah berlaku seperti itu, Rakai Welar. Selama ini aku tahu bahwasannya pengabdianmu sangat besar kepada kadipaten."
Di luar angin berhembus membuat udara terasa dingin dikulit para pengawal yang bertugas berjaga. Api unggun pun nampak berliuk - liuk seirama hembusan angin yang mempermainkannya. Sementara dikejauhan lolongan anjing liar saling bersahutan menggetarkan udara malam dan membuat beberapa hewan mangsanya lari tunggang langgang. Di sekitar pagar nampak dua orang prajurit berjaga - jaga mengawasi sekitar mereka.

"Aduh, nyamuk sialan tak tahu diri.." gerutu seorang prajurit, sambil menggaruk tengkuknya.
"Ah.. baru seekor nyamuk saja kau sudah heboh seperti ini.." ucap kawannya, "Untung bukan anjing liar itu yang menggigit tengkukmu."
"Huh kau ini.. Sebelum anjing itu mendekat, tentu aku sudah melempar pisau kearah anjing itu." bantah prajurit pengawal.
"Hohoho.. Iya kalau mengenainya, jika tidak.? kau yang akan diterkam kawanan anjing liar itu beramai - ramai." goda kawannya sekali lagi.
Prajurit pertama menggeram sambil berlalu meninggalkan kawannya yang masih tertawa.
"He.. tunggu, kau nanti akan dikeroyok kawanan hewan buas itu.." teriak kawannya sambil mengikuti prajurit pertama.
Malam terus merangkak sesuai kodratnya, dan petugas berjaga berganti sesuai apa yang telah ditentukan. Malam itu tiada hal yang mencurigakan ataupun membahayakan, hingga sang Bagaskara merekah menyinari tanah di padang ilalang itu.
Seusai menyantap sarapan di pagi hari seadanya, senopati Rakai Welar memerintahkan para prajurit berkemas untuk kembali melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Tak berselang lama derap langkah kuda mulai terdengar mengguncang bekas perkemahan dan meninggalkan debu membubung dibelakang kuda.
Pada hari sukra, iringan dari pangeran Sekar sampai di sebuah padukuhan yang sudah dalam lingkup telatah kadipaten Jipang Panolan. Walau jarak dari padukuhan itu dengan kotaraja kadipaten tak terlalu jauh, tapi pangeran Sekar ingin berhenti di padukuhan itu untuk melakukan ibadah bersama penghuni padukuhan setempat.
"Kita sebaiknya melepas lelah di padukuhan ini, senopati. Mumpung hari ini hari sukra, kita akan beribadah bersama penghuni padukuhan di langgar setempat."
"Baik, pangeran. Kalau begitu hamba akan bicara kepada ki bekel setempat."
Lalu senopati Rakai Welar mencari rumah ki Bekel untuk menyampaikan keinginan dari pangeran Sekar. Tiada kira senangnya ki Bekel mengetahui kedatangan iringan menantu adipati Jipang, maka ia melakukan penyambutan serta menjamu iringan pangeran Sekar di rumahnya. Tentu saja raden Kikin tak enak bati menampik kebaikan dari ki Bekel.

"Terima kasih atas jamuan ki Bekel." ucap pangeran Sekar.
"Ini semua kami haturkan atas kebaikan pangeran serta para nayaka praja Jipang dalam menjaga keamanan padukuhan ini, pangeran." kata ki Bekel, "Bilamana tiada ronda dari pasukan berkuda Jipang melewati padukuhan ini, mungkin padukuhan ini selalu disatroni oleh kawanan perampok."
"Itu sudah menjadi tugas kami sebagai pejabat kadipaten Jipang, ki Bekel. Demi ketentraman dan kesejahteraan para kawula, kami berusaha bertindak sesuai paugeran yang telah ditentukan."
Jamuan itu terasa sangat menyenangkan bagi iringan dari Demak yang akan kembali ke Jipang. Hingga suatu saat terdengar suara bedug bertalu - talu dari langgar, yang menandakan sudah waktunya beribadah dilaksanakan.
"Oh.. mari pangeran, sudah waktunya.."ajak ki Bekel.
"Mari, ki Bekel.."
Dengan segenap hati maka mereka menuju padasan untuk sesuci dan segera memasuki langgar untuk beribadah di hari sukra itu.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 23
oleh : Marzuki
.
..
Tatkala sang surya semakin bergerak ke barat, seusai melukakan sembahYang di langgar padukuhan, pangeran Sekar mengucapkan ucapan terima kasih sekaligus berpamitan kepada ki Bekel dan bebahu padukuhan.
"Selamat jalan pangeran, hamba harap lain waktu jika pangeran melewati padukuhan ini, berkenan singgah di gubuk hamba." pinta ki Bekel sekaligus mengantar keberangkatan pangeran sampai gapura ujung padukuhan.
"Tentu ki Bekel." dan pangeran menaiki punggung kuda yang diikuti oleh pengawal prajurit dengan diiringi oleh lambaian tangan ki Bekel dan bebahu padukuhan.
Kuda - kuda itu bergerak menyusuri jalan yang kanan dan kiri terhampar sawah sebatas mata memandang, sawah dengan tanaman jagung yang siap panen di musim mangsa ketigo itu terlihat berhasil, itu terlihat dari tongkol jagung besar memanjang. Sedangkan lebih ke timur tanaman padi tumbuh dengan suburnya, ini dikarenakan tanah sawah dekat dengan aliran sungai, walaupun di musim kemarau air tetap melimpah dan dialirkan ke parit - parit yang dibuat oleh penghuni padukuhan.
Iringan itu membelok ke hilir menyusuri tepian sungai mencari permukaan sungai yang dangkal supaya dapat menyeberang ke sisi bagian timur. Di teriknya sang bagaskara itulah ada keinginan raden Kikin untuk membasuh muka dengan air jernih sungai, oleh sebab itu maka menantu adipati Jipang Panolan turun dari kuda, dan tanpa menghiraukan para pengawalnya raden Kikin menghampiri tepian dan meraup air lalu membasuhkan ke wajahnya.
Keheranan terlihat diseluruh para prajurit pengawal, tak seperti biasanya junjungan mereka bertingkah seperti di siang itu. Bukankah sebelumnya di padukuhan berjarak ratusan tombak dari sungai ini, raden sudah membasuh wajahnya.? Itulah dalam pikiran mereka.
Sekali lagi raden Kikin kembali membasuh wajahnya, bahkan seteguk air jernih sungai itu masuk dalam mulutnya .
"Ah.... sungguh segar air ini." gumam pangeran Sekar, setelah meneguk air sungai.
Di belakangnya senopati Rakai Welar berdiri ragu.
"Pangeran..." hanya itu saja suara yang keluar dari mulut kemenakan ki patih Mentahun.
Saura itu membuat pangeran Sekar menoleh dan menatap abdi setianya itu, lalu ia perlahan berdiri melangkahkan kakinya ke sebuah batu sebesar kerbau dan duduk menghadap sungai.

"Rakai Welar.."
"Dhalem..pangeran." jawab senopati Rakai Welar.
"Kau pasti heran dengan apa yang aku lakukan, bukan.?" tanya ayah dari Arya Jipang.
Bergayut rasa heran di benak sang senopati atas apa yang ditanyakan oleh junjungannya itu.
"Maafkan hamba pangeran, begitulah yang hamba rasakan saat ini, begitu juga dengan para prajurit lainnya." ucap senopati Rakai Welar, sambil mengunjuk sembah.
"Aku sendiri pun juga bingung, Rakai Welar.. tapi aku merasakan tempat ini terasa sangat nyaman dan akan menjadi tetenger akan diriku."
Ini menambah kebingungan yang menggunung di hati senopati Rakai Welar, bahkan kebingungan itu berganti menjadi kegelisahan tersendiri di hatinya, walau dirinya sulit memahami arti dari kegelisahan yang tak berujung itu. Tapi sebuah derap kuda memecah alam pikiran dan mengembalikan ke alam sadar dari senopati Rakai Welar.
Kernyit dahi terlihat di dahi senopati muda itu saat mengedarkan pandang matanya yang menumbuk seekor kuda hitam dengan penunggang yang tak asing.
"Pangeran, bukankah itu pemomong raden Bagus Mukmin.?" tanya senopati Rakai Welar, meminta penegasan.
Memang tak salah lagi apa yang diucapkan oleh senopati andalan Jipang Panolan itu, memang penunggang itu ki Surayata.
Bibir pangeran Sekar, berdesis lirih " ki Surayata."
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda dan menghormat kepada pangeran Sekar dan mengucapkan salam pangabekti.
"Kau dari mana, ki Surayata.?"
"Ampun pangeran, hamba baru menjenguk kampung halaman dan tanpa sengaja melihat iringan yang bercirikan prajurit Jipang Panolan." kata ki Surayata
"Lalu.?"
"Begini pangeran, hamba sebagai utusan ingin menghaturkan sesuatu kepada pangeran."
Alis pangeran nampak mengernyit ke atas.
"Siapa yang mengutusmu dan apa yang akan kau haturkan itu, ki Surayata.?"
Orang yang merupakan pemomong dari raden Bagus Mukmin itu beringsut mendekat dan mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, dan secepat kilat tanpa terduga benda yang berwujud keris meluncur menghujam dada pangeran Sekar.
"Keparat licik...!!!" teriak pangeran Sekar sambil melayangkan pukulan menghantam ki Surayata.
Pemomonh raden Bagus Mukmin itu terpental dua tombak, tak hanya itu saja beberapa prajurit yang kaget serentak menghujamkan senjata mereka ke tubuh ki Surayata, sehingga tubuh itu bagai gedebog dicacah. Dan nyawanya amblas meninggalkan raga.
Sementara itu pangeran Sekar merintih menahan rasa sakit di dadanya. Tangannya memegangi gagang keris yang menghujam dalam.
"Pangeran.. bertahanlah.." senopati Rakai Welar bingung sambil menyangga kepala pangeran Sekar.
"Ra..kai ca..butlah ke..ris ini.." desis pangeran Sekar, terbata - bata menahan sakit tak terkira.
"Tapi raden..."
"Ce..patlah."
Walau terasa berat dan sedih, demi apa yang diperintahkan oleh junjungannya, maka tangan senopati Rakai Welar yang gemetar dengan perlahan mencabut keris itu. Darah deras menyembur manakala keris itu tercabut seluruhnya, dan dengan cepat senopati Rakai Welar menyobek kain panjangnya dan mendekapkan ke luka itu.
Para pengawal prajurit setelah mengakhiri nyawa ki Surayata, segera mengerubut disekitar junjungannya yang ada dalam pangkuan Rakai Welar.Kepala tunduk dengan mata mengembun saat mereka melihat junjungannya lunglai tak berdaya.
"Mengapa Ba..gus Muk..min mengu..tus dia mem..bunuhku..?" di sela - sela rasa sakit itu, pangeran menguatkan tenaganya, "Ra..kai We..lar.."
"Dalem pangeran."
"Sim..panlah ke..ris itu dan se..rahkan kepa..da pa..man kanjeng Ku..dus.."

"Sendiko dawuh, pangeran.
Bibir pangeran terlihat bergerak lirih, sehingga senopati Rakai Welar mendekatkan telinganya ke bibir sang pangeran. "ja..galah anak - anakku......."
Hening kesedihan menggelayuti hati para prajurit pengawal Jipang Panolan, kelengahan mereka telah memakan korban utama dari kekuatan Demak ditangan seorang yang terkena hasutan dari musuh Demak. Layon kematian menggemparkan kadipaten Jipang Panolan dan kerabat dari pangeran Sekar.

Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 24
oleh : Marzuki
.
..
Kadipaten Jipang Panolan di hari itu menunjukan kesibukan di pendopo kadipaten, Adipati Sepuh yang sebelumnya meletakan palungguhannya dan menyerahkan kepada menantunya, pangeran Sekar, terpaksa menduduki dampar palungguhan utama kadipaten Jipang Panolan.
Kematian putra mantunya di tepian sungai, merupakan kejadian yang mengejutkan orang tua itu. Karena itulah maka di hari radite dua hari setelah kematian pangeran Sekar Sedo ing Lepen, pasewakan diadakan yang harus dihadiri oleh nayaka praja, demang, dan kepala perdikan di telatah Jipang Panolan.
Adipati Sepuh duduk di dampar palungguhan beralaskan kain beludru berwarna merah masih terlihat berwibawa diusia yang makin senja, diapit oleh perwira yang berdiri agak dibelakang. Sementara ki patih Mentahun duduk sebelah kanan berjejer dengan ki tumenggung Surataka, ki panji Rakai Welar dan ki panji Tohjaya. Sedangkan di sebelah kiri berjejer ki tumenggung Harya Kumara, ki tumenggung Sardula dan ki panji Jaran Tangkis. Agak di belakang beberapa demang dan kepala tanah perdikan duduk bersila.
Setelah beberapa saat maka pasewakan itu dimulai oleh penuturan juru wicara yang mengatakan ihwal dari diadakan pasewakan mendadak itu. Pasewakan itu tiada lain mempersoalkan kematian pangeran sekar oleh seorang ki Surayata yang tiada lain orang kepercayaan raden Bagus Mukmin, putra pangeran Trenggono.
"Panji Rakai Welar, cobalah kau kembali menuturkan kejadian itu secara runtut.." ujar Adipati Sepuh.
Usai unjukan sembah hormat, senopati Rakai Welar mulai menuturkan saat pangeran Sekar beserta sebelas prajurit pengawal termasuk ki panji Rakai Welar, keluar dari kotaraja setelah mendengar adanya pasukan bang wetan yang kini berada di kadipaten Tuban. Perjalanan iringan itu tiada halangan sampai akhirnya tiba di pinggiran sungai wates kadipaten, dimana saat itu raden Kikin turun dari kuda dan menghampiri tepian yang berair jernih, lalu membasuh mukanya. Ketika sang pangeran duduk disebuah batu sebesar anak sapi, muncul seorang penunggang kuda yang dikenal pangeran dan seluruh prajurit pengawal, tiada lain orang itu ki Surayata. Tanpa diduga setelah berbasa basi, dengan cepat ki Surayata menusukan keris sakti kyai Brongot Setan Kober.

"Sebelum beliau menghembuskan napas terakhir, beliau memerintahkan hamba untuk menyerahkan pusaka itu kepada kanjeng Sunan Kudus, serta menjaga putra Jipang, kanjeng Adipati Sepuh." ucap ki panji Rakai Welar, mengakhiri penuturannya.
Desuh napas Adipati Sepuh terasa berat.
"Kalian semuanya kini sudah mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan junjunganmu, kini apa yang akan kalian lakukan..?"
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan lainnya, darah bergejolak mencari jalan pencurahan demi membalas kematian dari pangeran Sekar Sedo ing Lepen, tapi mulut masih sungkan untuk bersuara.
"Ampun, kanjeng Adipati Sepuh. Hamba Haryo Kumara, siap bela pati demi tegaknya keadilan." kata ki tumenggung Haryo Kumara.
"Maksudmu....?"
"Bila diijinkan, hamba akan ke Demak untuk mengakhiri hidup dari sang pengutus yang tentunya anak bernama Bagus Mukmin itu, kanjeng Adipati.." jawab ki tumenggung Haryo Kumara.
Suara tegas yang dilontarkan oleh tumenggung adik seperguruan ki patih Mentahun itu, membuat semua yang hadir berkenan, kecuali seseorang.
"Ampunkan diri ini yang penuh kesalahan ini, kanjeng Adipati Sepuh." suara sareh terdengar dari kanan kanjeng Adipati Sepuh.
"Oh, anakmas patih, mengapa berucap begitu, anakmas..?"
"Perkenankan hamba yang hina dina ini, mengutarakan beberapa kalimat dalam persoalan ini." pinta ki patih Mentahun.
"Katakanlah, anakmas patih. Siapa tahu kau memiliki tanggapan yang berbeda." kanjeng Adipati sepuh mengijinkan.
Patih dari Jipang sesaat beringsut dari duduknya, dengan suara halus ia pun berucap.
"Kematian dari adimas adipati anom memang pukulan bagi kadipaten Jipang, apalagi pembunuhnya hanyalah satu orang yang dikenal merupakan orang kepercayaan anakmas raden Bagus Mukmin."
Sejenak patih itu berhenti seraya memandang semua yang hadir, lalu lanjutnya.
"Tapi apakah benar putra pangeran Trenggono yang menyuruh ki Surayata.?"
"Kakang patih, bukankah sudah jelas jikalau anak itu menyuruh Surayata.?" potong ki tumenggung Haryo Kumara.

"Tunggu dulu, adi menggung, kita harus membuktikan kebenaran itu dengan menugaskan nayaka terpercaya Jipang ke Demak, setelah terbukti, tentu orang Demak akan memberi keadilan." kata ki patih Mentahun, "Selain itu kita pun harus menanyakan pusaka kyai Setan Kober kepada sang pemilik, yaitu kanjeng Sunan Kudus. Bagaimana bisa pusaka itu sampai ditangan ki Surayata."
Tanggapan dari ki patih Mentahun ini dapat dimengerti oleh Adipati Sepuh dan sebagaian nayaka praja, namun rasa kesal juga menyelimuti hati ki tumenggung Haryo Kumara beserta orang - orangnya.
"Hemm... baiklah anakmas patih, masalah ini akan ku serahkan kepadamu. Lalu siapa yang akan kau tugaskan dalam penyelidikan ini.?"
"Ampun, kanjeng Adipati Sepuh. Tugas itu hamba serahkan kepada ki panji Tohjaya, dan nanti saat pasukan Demak sampai disini, hamba akan memperbincangkan dengan pangeran Trenggono." kata ki patih Mentahun.
Akhirnya pasewakan itu menghasilkan dua tugas kepada ki panji Tohjaya dan ki patih Mentahun untuk mengungkap kematian dari pangeran Sekar Sedo ing Lepen. Walau sebenarnya beberapa orang tak sepaham, khususnya orang - orang ki tumenggung Haryo Kumara.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 25
oleh : Marzuki
.
..
Semburat warna merah membias raut muka ki tumenggung Haryo Kumara, kemengkalan hatinya terhadap ki patih Mentahun semakin meluap, bagaikan permukaan air bengawan di musim penghujan. Rencananya dalam mempengaruhi Adipati Sepuh untuk menyerang Demak kembali dipupuskan.
"Adi menggung Sardulo, ini tak bisa dibiarkan lagi, kakang patih terlalu berpikir lunak dalapm menanggapi permasalahan..." dengus ki tumenggung Haryo Kumara sambil menggebrak meja.
"Hemm.. Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan kakang.?" tanya ki tumenggung Sardulo.
Murid ke dua Panembahan Sekar Jagat itu terlihat berpikir beberapa saat. Tumenggung itu berdiri berjalan menuju ke dekat lubang angin - angin, dan menghirup udara.
"Ki panji Jaran Tangkis, kirimlah orang untuk mencegat Tohjaya yang akan menyelidiki raden Bagus Mukmin, dan lenyapkan dia.."
"Ah... Kakang, tapi anak itu masih keluarga perguruan kita.. Apakah itu tidak berlebihan.?" ki tumenggung Sardulo mengunjukan keterkejutannya.
Namun hal itu membuat ki tumenggung Haryo Kumara tertawa hambar, membuat yang ada ditempat itu mengerutkan kening mereka.
"Memang anak itu masih saudara seperguruan dengan kita, begitu juga dengan kakang patih Mentahun dan Rakai Welar, tapi jika berseberangan dalam memperjuangkan gegayuhan, terpaksa nyawa mereka sebagai bebanten itu.!
Semua yang hadir terdiam, hanya helaan napas semata terurai tanpa adanya bantahan. Memang sebelumnya kelompok mereka sudah mengucapkan janji ikrar, demi mencapai kemuktian diperlukan pengorbanan harta dan bahkan nyawa sekalipun.
"Ki panji Jaran Tangkis, segeralah kau susul panji Tohjaya, bunuhlah di wilayah kotaraja, dan itu akan kita jadikan alat bahwasanya panji Tohjaya tewas ditangan pengawal raden Bagus Mukmin." perintah ki tumenggung Haryo Kumara, sambil terus menerangkan rencana yang ia susun untuk kembali menyebarkan fitnah keji.
Maka dengan perintah itu, ki panji Jaran Tangkis segera memanggil prajurit pilihan yang berjumlah tiga orang, kemudian dengan menunggangi kuda maka ki panji Jaran Tangkis dan ketiga prajurit pilihan itu mencongklang kuda mereka, mengejar ki panji Tohjaya menuju Demak Bintoro.
Sementara itu seorang pemuda yang mempunyai kumis tipis duduk dengan gagahnya diatas kuda berwarna hitan legam. Pemuda itu tiada lain ki panji Tohjaya, orang kepercayaan ki patih Mentahun yang akan menunaikan tugas menyelidiki kebenaran dari kematian pangetan Sekar yang tewas ditangan ki Surayata.
Kuda yang ia tunggangi berlari kecil melewati jalan - jalan luar induk kadipaten Jipang Panolan dan akhirnya dikejauhan nampak sebuah tapal batas berupa batu setinggi satu tombak. Di hari itu jalan tak terlalu ramai seperti hari - hari pasaran, oleh karena itu ki panji Tohjaya bisa memacu kudanya dengan lancar. Tapi betapa terkejutnya, manakala seorang lelaki tua berjalan yang kelihatan pelan di depannya, tak mampu dilampaui.

"Ah.. apa mataku sudah lamur.?" desis ki panji Tohjaya, sambil menyentak kekang kudanya untuk mempercepat langkah kaki kuda.
Keanehan itu semakin nyata dan membuat perwira prajurit itu penasaran, sehingga melarikan kudanya bagai angin.
Namun, hatinya bagai dilecut keterkejutan saat dikelokan sosok orang tua di depannya hilang bagai ditelan bumi. Kekang kuda ditariknya untuk menghentikan kudanya, lalu perwira itu turun dari kudanya dan meliarkan pandangnya kesekitar kelokan itu, demi mencari wujud orang tua yang diselimuti misteri dalam hatinya.
Desau angin semata yang menunjukan keberadaanya melalui bergeraknya rumpun daun bambu yang tumbuh disekitar kelokan jalan tersebut. Di langit sang elang terbang mengintai mangsa tanpa memperdulikan prajurit muda, entah apa yang sedang dicari pemuda itu.
Tiba - tiba desir udara dari arah belakang membuat ki panji Tohjaya kaget, sebuah desir yang ditimbulkan oleh meluncurnya daun bambu dengan cepat mengancam pemuda itu. Untunglah dengan gerak cepat ki panjinTohjaya mengisar kepalanya, sehingga daun itu melewatinya dan berhenti mengenai pohon bambu.
Kembali kejut meluap memenuhi rongga hati murid dari perguruan Sekar Jagat, ketika memandang daun bambu itu menusuk dalam mengenai bambu petung yang keras.
"Oh... "
"Hehehe.." kini terdengar suara bergema memekakan telinga.
"He Kisanak, siapa kau.? keluarlah..!" teriak ki panji sambil mempertebal daya tahan tubuhnya dengan menutup lubang panca inderanya.
Hening.. Tawa lenyap tak lagi terdengar, hal ini membuat ki panji Tohjaya bagai terperangkap dalam permainan orang yang belum diketahui jati dirinya dan apa maksud itu semua. Ki panji Tohjaya berusaha mempertajam panggraita, pangrungu demi mengetahui dimana temoat orang yang menyerangnya. Saat itulah dari arah utara sekelebat bayangan mengerah kepadanya, dengan sebuah tendangan dua kaki memutar meluncur dengan keras dan cepat.
"Uh.." dengus ki panji seraya mengisar kakinya menghindari serangan itu.
Tapi lawannya setelah menginjakkan kaki ke tanah, langsung menyerang kembali dengan tendangan memutar ke kepala perwira muda itu, yang mampu dihindari dengan merundukan kepala seraya menjegal kaki kiri lawan. Dan lawannya pun mampu berbuat cekatan menghindari jegalan itu, dengan gerakan indah bagai melayang langsung mengebrak batok kepala ki panji Tohjaya.
Mengetahui ancaman berbahaya itu, prajurit Jipang itu surut kebelakang melenting menerjang lawan dengan serangan balasan. Maka keduanya menunjukan tata gerak cepat dan trengginas mencari kelengahan lawan.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 26
oleh : Marzuki
.
..
Rentetan dari tata gerak keduanya semakin menggila dan terasa begitu dahsyat, udara bagaikan diamuk oleh prahara membuncah segala - galanya. Sudah lebih dari sepengunyah sirih, belum nampak adanya siapa yang terdesak maupun tertekan, keduanya masih menunjukan keseimbangan dalam segala unsur.
Semakin lama dari pergulatan aneh itu, ki panji Tohjaya merasakan adanya sesuatu yang menggelitik sanubarinya. Untuk itu maka dengan sebuah serangan cepat perwira muda dari Jipang Panolan berusaha menyelidiki lebih dalam tentang lawannya. Kepalan tangan kanan mengarah ke ulu hati, namun ketika saat lawannya mingisar tubuhnya, serangan itu dengan cepat ditariknya dan mengganti sodokan tangan kiri menjurus ke tulang rusuk lawan.
"Uh...." desuh kejut menghampiri murid termuda dari Panembahan Sekar Jagat, lantas meloncat mundur menjaga jarak.
"Tunggu kisanak... Siapa kau sebenarnya ?" Perwira Jipang menghentikan perkelahian dan mengunjuk pertanyaan.
Lawanya berdiri agak kebunggkukan sambil tertawa berat. Ternyata orang itu memakai sebuah topeng berbahan getah, tapi didengar dari suara tawanya, menunjukan bahwasanya orang itu berumur mendekati senja.
"Kenapa kau menanyakan namaku, anak muda ? Apakah bila kusebutkan namaku, kau akan berlutut memohon ampun ? hehehe.."
"Ah.. kisanak ini ternyata suka berseloroh. Bukankah sudah selayaknya aku menanyakan nama lawan yang begitu dahsyatnya mengunjukan tata gerak dari Sekar Jagat." balas ki panjinTohjaya, "Dan itu menunjukan kisanak ini satu ilmu denganku, walau sebenarnya ilmu kisanak beberapa tingkat diatasku, bila kisanak akan bersungguh - sungguh."
"Hohoho... Sekar Jagat." suara orang itu parau, "Kau murid siapa, ngger ? Kebo Salaksa ataukah Danurpati ?"
"Oh aku tak mengenal nama yang kisanak sebutkan itu, guruku mendapat sebutan Panembahan Sekar Jagat semata, kisanak."
"Hemm apakah di amempunyai bekas luka di lengan kiri ?" tanya orang itu.
Ki panji Tohjaya berusaha mengingat tubuh gurunya, tepatnya lengan kiri dimana ada sebuah luka seperti yang dikatakan oleh lawannya. Sejenak kemudian pemuda itu berhasil mengingat.
"Benar kisanak, memang dilengan kiri guru terdapat guratan memanjang."
"Sudah lama aku tak melihat Danurpati, ternyata ia mampu meneruskan peninggalan guru." sejenak orang itu terdiam, lalu kayanya, "Jadi gurumu Danurpati, murid ketiga dari Panembahan Sekar Jagat Purwo, kalau begitu terimalah ini !"
Usai berkata orang itu meloncat bagai harimau menerkam mangsa. Gerakan dahsyat dilambari ilmu Bayu Salaksa membuat tubuh orang itu tak berbobot bagai angin.
Walau sebenarnya ki panji Tohjaya tak pernah meninggalkan kewaspadaannya, namun gerakan orang itu tak mampu dihindari, sehingga tubuhnya terhenyak kebelakang beberapa tindak dan hampir roboh.

Walau sebenarnya ki panji Tohjaya tak pernah meninggalkan kewaspadaannya, namun gerakan orang itu tak mampu dihindari, sehingga tubuhnya terhenyak kebelakang beberapa tindak dan hampir roboh.
"Apakah hanya itu saja kemampuan dari murid Danurpati ?" ejek orang itu.
Jiwa muda murid termuda Panembahan Sekar Jagat yang disebut dengan Danurpati oleh lawanya, telah menimbulkan percik - percik kemarahan dihati pemuda itu. Tanpa memperdulikan siapa sebenarnya lawan yang ia hadapi, ki panji Tohjaya mengungkap tenaga cadangannya yang memiliki kesamaan dari lawannya. Udara terkoyak oleh laju setiap serangan pemuda itu, membuat lawannya mengimbangi setiap serangan menuju kearahnya.
Angin bergetar mengayunkan tenaga menjamah dedaunan rumpun bambu petung, mengangkat debu bagai ikut menari menyemarakan dua anak manusia yang sedang berkutat dengan ilmu tata gerak olah kanuragan jalur Sekar Jagat. Merambahnya ilmu ki panji Tohjaya meningkatkan kecepatan dan daya gedor pemuda tersebut, namun lawannya juga menyamai bahkan selalu dapat mengungguli kedahsyatan pemuda murid perguruan yang letaknya di lereng gunung Lawu dekat sebuah grojokan atau air terjun.
Sepakan, sodokan, gemplangan, jegalan dan berbagai cara tata gerak terungkap kepermukaan dengan satu tujuan menindih kekuatan dan kemampuan lawan. Peluh deras menyeruak laksana perasan baju basah membasahi kulit ki panji Tohjaya, tapi dirinya tak mampu mendesak lawannya yang memakai topeng berbahan getah pohon. Oleh karena itu keputusan yang diambil pemuda tersebut, tiada lain bertaruh keberuntungan nyawa melalui ilmu pungkasan jalur Sekar Jagat.


Mengetahui pemuda di depannya menjaga jarak dan melakukan tata gerak yang mendebarkan, orang bertopeng itu tersenyum dibalik topengnya.
"Biarlah ini menjadi terjadi, semoga anak itu tak mengalami keadaan yang parah." batin orang itu, sambil mempersiapkan ilmunya.
Di depan ki panji Tohjaya bersedekap dengan kaki renggang, lalu tangannya wudar atau lepas ditarik kebelakang dengan kepalan setara pinggang, kemudian tangan kanan terangkat ke atas. Suara gemeretak dari beradunya sebuah tenaga yang terkumpul dikepalan tangan memendarkan cahaya putih. Di awali dengan sebuah teriakan maka pemuda itu meloncat ke depan dengan pukulan aji Bajradaka, aji berlambarkan dari tenaga petir dan angin siap mengarah ke lawan.
Dentuman di kelokan jalan dekat rumpun bambu petung itu menggelegar membuat debu berhamburan menutupi kalangan perkelahian tingkat pamungkas. Daun - daun meranggas berguguran menambah dahsyatnya akibat yang ditimbulkan.
Sejenak kemudian debu kembali luruh ke tanah, pemuda yang tiada lain ki panji Tohjaya terlihat jatuh terduduk dengan darah merembes dari bibirnya, seraya memegangi dada. Sedangkan lawannya, orang yang sebelumnya bertopeng, berdiri dibelakang ki panji Tohjaya sambil melipat tangan di depan dada.
Wajah tanpa topeng itu sudah berkeriput menandakan usia yang mendekati senja dengan kumis dan jenggot berwarna putih kapas. Terlihat senyum menggayuti bibir tua atas apa yang baru saja terjadi. Dengan gerak cepat orang tua itu memijat urat ditubuh ki panji Tohjaya, membuat pemuda itu lemas tak berdaya, lalu setelah itu dipanggulnya tubuh itu dan dibawa pergi.
Kini kelokan itu sepi, hanya angin yang leluasa memainkan perannya dalam menjahili rumpun bambu ataupun tetumbuhan yang ada dikelokan tersebut. Ringkikan kuda tunggangan ki panji Tohjaya ikut menyumbangkan warna tersendiri, seolah menanyakan kemana perginya sang tuan.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 27
oleh : Marzuki
.
..
Sepeninggal ki panji Tohjaya yang pingsan dan dilarikan oleh lawannya, jalan berkelok itu tak berselang lama telah muncul empat orang berkuda. Orang yang paling depan dengan tangkas menarik tali kekang, sehingga kuda yang ia tunggangi meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya, begitu juga dengan ketiga kawannya
"Ada apa kakang ?" tanya kawannya, seraya mengelus leher kudanya supaya tenang.
"Lihatlah, bukankah itu kuda Tohjaya ?" jawab orang yang menghentikan kuda pertama, sambil menunjuk kuda ki panji Tohjaya yang dengan asyiknya mengunyah rumput di pinggir jalan.
Keempat orang itu lantas turun dari kuda dan menghampiri kuda tanpa adanya sang pemillik. Betapa terkejutnya mereka saat mata mereka tanpa sengaja melihat adanya bekas tanah dan rerumputan semrawut tak karuan.
"Uh... Apa yang terjadi di tempat ini ?" suara dari seorang lelaki yang pertama berhenti.
"Supala, coba kau teliti di balik rumpun bambu itu !" kembali orang yang disebut kakang bersuara, memberi perintah.
Orang yang dipanggil Supala bergegas meneliti di balik rumpun bambu petung, semakin ke dalam bekas yang ditimbulkan semakin parah dengan adanya bekas daun meranggas akibat ilmu Brajadaka.
"Kakang, sepertinya Tohjaya terlibat suatu perkelahian dahsyat dengan seseorang." ucap Supala, setelah memeriksa keadaan, "tapi wujudnya tiada nampak disekitar sini."
"Coba periksa lagi, kalian juga " perintah orang yang disebut kakang.
Sementara itu tubuh ki panji Tohjaya tak mengetahui kalau tubuhnya dipanggul oleh orang tua, yang berlari menggunakan aji Sepi Angin. Seolah - olah tapak kaki orang tua itu tak menyentuh tanah dan seperti mengambang sejarak satu ruas jari.
Sesampainya di pinggir sungai, tubuh itu diletakan dengan perlahan, lalu tangan tua itu dengan lembutnya menyentuh titik syaraf di dekat tengkuk. Seketika mata perwira muda tersebut berkerjab - kerjab menandakan kesadarannya mulai kembali.
"Uh... " desuhnya mengiringi mata yang perlahan membuka.
Saat mata itu terbuka, pandangan yang terlihat ialah batang pohon nymplung. Rasa nyeri mulai kembali terasa menggerayangi dadanya dan kepalanya terasa berputar - putar, seolah - olah bumi terayun.
"Minumlah, ngger." suara orang yang disertai angsuran air dalam pincuk daun, mengangetkan panji Tohjaya.
"Si siapa kisanak ?"
"Sudahlah, minumlah walau hanya seteguk, nanti akan aku jelaskan." ucap orang tua yang membuat panji itu mulai bisa menilai kesungguhan orang yang menolongnya.
Dengan pelan air jernih dalam pincukan terteguk sampai habis dan membuat badannya agak segar. Kemudian pemuda dari Jipang Panolan itu duduk bersila untuk mengatur pernapasannya demi memulihkan tenaga dan ketahanan raganya. Sedangkan orang tua disampingnya menanti tanpa mengganggu pemusatan oleh panji Tohjaya, seolah - olah orang tua itu menjaga pemuda itu dari marabahaya.

Selang beberapa saat ki panji Tohjaya mengakhiri pemusatan dirinya yang kemudian memandang orang tua yang duduk di sampingnya.
"Terima kasih, paman." ucapnya, tak mengetahui jika lawannya adalah orang yang ada di sampingnya.
Orang tua itu mengangguk perlahan sambil mengedarkan matanya ke hilir sungai, tangannya mengambil sebutir batu dan di lemparkan ke atas.
"Buuuk !"
"Oh.. " kejut dirasakan oleh Tohjaya, manakala seekor burung sejenis bangau jatuh tepat di depan orang yang menolongnya.
"Hari ini kita mendapat buruan cukup besar untuk kita berdua, tunggulah aku akan mencari ranting kering." kata orang tua itu, seraya bangkit berdiri.
"Oh biar aku saja paman." cepat - cepat panji Tohjaya berdiri.
"Kalau kau ingin membantu, bersihkan saja buruan itu." sahut orang tua itu sambil tersenyum.
Anggukan kepala menandakan panji Tohjaya menyanggupi apa yang dikatakan orang itu. Sedangkan orang itu mengumpulkan ranting yang ditumpuk menjadi satu dan sambil menunggu panji Tohjaya membersihkan burung bangau, orang tua itu mengambil suling yang terselip disamping ikat pinggangnya.
Alunan bunyi suling mengayun dengan kidung atau tembang Asmaradhana. Menggambarkan seorang lelaki yang menginjak usia muda terpesona dengan wanita yang berwajah ayu bagaikan dewi Ratih. Cinta bersemi bersambut merubah isi dunia seakan milik sepasang muda - mudi itu, bahagia semata yang nampak dirasa tanpa adanya seoarang yang mengganggu, bahkan dewa pun terasa sungkan untuk sekedar berlintas didekat sepasang muda - mudi yang dilanda getar asmara.
Rasa kagum ikut dirasakan oleh panji Tohjaya, akibat mendengarkan suara suling dari penolongnya, hatinya ikut gembira seakan - akan dia sendirilah pelaku dari kandungan tembang itu.
Tapi betapa trenyuh hati pemuda itu, manakala memerhatikan mata penolongnya berkaca - kaca, tak hanya itu saja, lantunan kidung itu berubah menjadi kidung keresahan dan pilu. Dan akirnya berhenti.
"Oh.. kau sudah selesai ngger ?" tanya orang itu, seraya membalikan tubuh dan menyeka air matanya. Kemudian seakan - akan tiada terjadi sesuatu, orang tua itu menyalakan titikan api ke ranting.
"Biar aku saja, paman yang membakar burung ini."


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 28
oleh : Marzuki
.
..
Gurihnya daging tercium membuat hidung kembang kempis penuh kenikmatan, ingin mencicipi dengan suka cita. Bau yang menunjukan daging bangau itu siap dilahap memenuhi selera perut siapa pun. Itulah yang terjadi di pinggir sungai dimana panji Tohjaya dan penolangnya berada.
"Silahkan paman." ucap Tohjaya sambil mengangsurkan sebagian potongan daging bangau kepada orang yang belum ia ketahui namanya.
"O ya, paman, mohon kiranya paman sudi memperkenalkan diri kepadaku." pinta Tohjaya.
Orang tua itu menggigit daging bakar yang ia terima, setelah itu barulah ia berkata.
"Angger, tahukah lawan yang kau hadapi tadi ?" orang itu balik bertanya.
"Entahlah, paman. Tapi dari tata gerak yang ia tunjukan, telah menunjukan kesamaan jalur perguruan ku." jawab Tohjaya, sambil menggelengkan kepalanya.
"Cermatilah diriku, ngger..." kata orang itu, seraya berdiri.
"Oh.. Paman... Jadi orang tadi.."
"Benar, ngger." potong orang itu, lalu lanjutnya ketika panji Tohjaya berdiri siaga, "Duduklah.."
Karena orang tua itu kembali duduk tiada berbuat yang membuat dirinya curiga, panji Tohjaya kemudian kembali duduk, meskipun tak meninggalkan kewaspadaannya.
"Akulah yang bermain - main denganmu tadi. Aku sering dipanggil Wijang Pawagal, saudara tua dari gurumu Danurpati yang kini kau kenal dengan Panembahan Sekar Jagat Anom." terang orang tua itu.
Betapa terkejutnya pemuda itu, dirinya tak menyangka akan berjumpa dengan murid tertua dari Panembahan Sekar Jagat Sepuh ditempat itu, bahkan sempat menjajal kemampuan ilmu dari orang yang menyebut dirinya Wijang Pawagal.

"Sembah sungkemku, paman guru."
"Sudahlah, kau tak usah berlebihan, ngger."
Lalu kemudian ki Wijang Pawagal menuturkan apa yang terjadi dengan panji Tohjaya pada saat dirinya keluar dari kadipaten Jipang, hingga perkelahian yang membuatnya tak berdaya dan dibuat dirinya tak sadarkan diri, sampai akhirnya ia siuman dipinggir sungai.
"Maafkan kemampuan diriku yang tak mampu mengembangkan ilmu jalur Sekar Jagat, paman." suara panji Tohjaya gemetar, menyesali keadaannya.
"Hahaha... Janganlah kau berkecil hati, dulu sewaktu aku semuda dirimu, aku hanya mampu meloncat layaknya kijang." hibur ki Wijang Pawagal, "Itulah yang membuat diriku dipanggil Wijang."
Kata - kata bernada candaan itu membuat panji Tohjaya tersenyum ringan.
"Ayo sambil dimakan, mumpung masih hangat, jika kau tak mau aku mampu menghabiskan semuanya tanpa tersisa." seloroh ki Wijang Pawagal, membuat suasana mencair.
Saat keduanya asyik melahap daging bangau, gemerisik dedaunan membuat ki Wijang Pawagal berkata.
"Bersiaplah, kita kedatangan tamu kehormatan."
"Oh.." desuh panji Tohjaya, yang tak manyadari keadaan.
Tak berselang lama dari balik semak belukar, empat orang berpakain hitam dengan sebagain wajah tertutup oleh kain berwarna merah, muncul dengan sebuah hardikan.
"Tohjaya, serahkan kepalamu dengan sukarela, agar kau tak mengalami rasa sakit tajamnya pedangku !"
"Huh.. Siapa kalian ? Berlaku lancung seperti itu !" balas panji Tohjaya, seraya berdiri menghadap orang - orang itu.
Sementara ki Wijang Pawagal tetap menyantap daging dalam genggamannya, tanpa memperdulikan pendatang itu.
"Tak usah kau berlantang kata, menunduklah segera !" bentak orang yang paling depan.
Demi mendengar perkataan yang memanaskan telinga, perwira muda itu tertawa lantang.

"Bangsat, mengapa kau menjadi gila ?" umpat pemimpin pendatang itu, lalu, "Bunuh dia !"
Perintah itu tak perlu diulang lagi, ketiga orang yang berada dibelakang bergegas mengepung panji Tohjaya dengan menghunuskan pedang mereka. Maka perkelahian yang tidak diketahui ujung pangkalnya oleh panji Tohjaya, mulai dengan serunya.
Ketiga pedang dengan cepat menghujam panji Tohjaya, tapi pemuda itu dengan tenang melenting tinggi dan mendarat diatas ketiga pedang itu, sambil melayangkan tendangan bertubi - tubi kesetiap penyerang.
"Memalukan !" bentak pemimpin mereka, saat ketiganya jatuh mencium kerasnya tanah.
Demi mendapat dampratan pemimpinnya, ketiga lantas segera melenting berdiri dan bersiap menyerang pemuda yang membuat malu didepan sang pemimpin. Ketiganya kini bersungguh - sungguh dengan menampilkan tata gerak seirama dan sehati, seolah - olah tiga tubuh digerakan satu pikiran. Bahkan ki Wijang Pawagal yang sempat memerhatikan, memuji kekompakan ketiga penyerang itu.


Panasnya Langit Demak
........jilid 4 bag 29............
........oleh : Marzuki..........
..........................................
Perlahan namun pasti ketiganya bergerak memutar dengan tangan menggenggam pedang dengan mata pedang menghujam tanah, sehingga menimbulkan goresan sepanjang putaran mereka. Di dalam kepungan panji Tohjaya, yang keheranan dengan perilaku lawan - lawannya terus mengikuti tanpa meninggalkan kewaspadaan. Dalam pemikiran perwira muda itu meyakini adanya pergerakan yang mengejutkan dari lawan - lawannya, yang terus berputar semakin cepat.
Dan apa yang diperkirakan memang terjadi, salah seorang lawan tiba - tiba meloncat menyabetkan pedangnya. Hampir saja pedang itu mengenai sasaran, jikalau panji Tohjaya tak mengisar kakinya untuk menghindari serangan tiba - tiba tersebut.
Lawannya yang hanya mengenai angin, dengan cepat kembali keputaran dan kini kawannya yang lain mengulangi serangan dengan serangan mendatar segaris dada.
"Uuh....." desuh panji Tohjaya, yang melompat tinggi dan ingin keluar dari kepungan.
"Masuk !" teriak seorang penyerang, sekaligus menghalangi melelui tendangan.
Demi menjauhi cedera, maka dengan memutar tubuh di udara, panji Tohjaya mundur kembali dalam kepungan lawan.
Tiada celah sekecil lubang semut kepungan yang diperagakan oleh penyerang - penyerang itu, dan baru kali ini panji dari tlatah Jipang Panolan mengalami peristiwa dimana lawannya menunjukan kerjasama yang apik, seolah - olah tiga tubuh senyawa dalam satu otak.
"Dari mana orang - orang ini ?" bantin pemuda itu, dengan mata tajam.
Pertanyaan tinggalah pertanyaan, karena lawannya kembali menyerang lebih dahsyat dari sebelumnya. Secara acak silih berganti ketiganya membacok, masuk kembali kedalam putaran, berganti menggores dan masuk kembali kedalam putaran, meloncat silang menyilang membingungkan lawan demi memperoleh hasil berupa kekalahan lawan.
"Bila begini terus, tentu aku akan kelelahan dan akhirnya binasa ditangan mereka." desis panji Tohjaya.

Setelah mempertimbangkan waktu yang tepat, laksana burung elang pemuda itu menggenjot tubuhnya ke udara, lalu menukik ke salah satu lawan yang dirasa paling terlemah, dengan sekuat tenaga panji Tohjaya membacokan pedangnya.
"Traang !"
Benturan senjata dengan sekuat tenaga itu membuat lawannya terhenyak dan tak mampu mempertahankan senjatanya, sehingga terlepas jauh. Mengetahui lawan tiada senjata, panji Tohjaya meneruskan dengan sambaran pedang menyilang, tapi seorang kawan penyerang dari kanan dan kiri membantu dengan melakukan tebasan.
"Wuus !" kedua pedang hanya mengenai angin, karena panji Tohjaya menarik mundur serangan demi menghindari tajamnya dua pedang.
Kini kedua orang penyeranglah yang lebih sebat dan gencar menyarangkan senjata dibarengi dengan sodokan, pukulan, maupun tendangan. Sementara kawannya yang kehilangan pedang, berlari mengambil senjatanya dan bergegas ikut kawan - kawannya untuk mengerubut musuh yang liat tubuhnya.
Saat itulah kembali orang itu kembali mengalami kesialan sekali lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Baru dirinya akan menyerang, tiba - tiba saja lawan yang sebelumnya berdiri membelakangi, telah berkisar dari tempatnya untuk menghindari tusukan, dan tusukan itu terus menghujam penyerang yang baru datang.
"Kau....." tak mampu orang itu mengakhiri katanya, dikarenakan terburu oleh sang maut.
"Oh.." desuh kawannya yang menusuk tanpa sengaja, sambil mencabut pedangnya.
Tinggalah dua orang yang tersisa, sedangkan pemimpin dari para penyerang itu masih berdiri di tempat semula, hanya suara geram semata yang terdengar.
"Bantulah anak buahmu !" seseorang tiba - tiba muncul dari belakang pemimpin penyerang itu dan memberi perintah.
Suara itu membuat orang yang memimpin penyerangan terkejut, dan segera membalikan tubuhnya.
"Paman Suro Pakisan !" seru pemimpin penyerangan, yang mengenali orany yang baru datang itu.
Begitupun dengan ki Wijang Pawagal, yang sebelumnya hanya duduk makan daging blekok, terpancing untuk memerhatikan orang yang baru tiba itu.

"Oh tak nyana kalau seorang warok dari kadipaten Ponorogo, sudi bermain ke kadipaten Jipang !" seru Ki Wijang Pawagal.
Seruan itu sesaat telah menghentikan perkelahian demi ingin tahu wujud orang yang disebut warok oleh ki Wijang Pawagal. Wujud dari orang itu, berbadan tinggi tegap layaknya raksasa, kumis dan jambang tumbuh subur dengan akar bahar melingkar di kedua lengan dan yang terakhir adanya ikat pinggang putih ciri seorang warok, melingkar di pinggang, usus - ususan.


Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 30
oleh : Marzuki
.
..
Orang yang disebut warok oleh ki Wijang Pawagal, menyeringai dan menatap tajam kepada ki Wijang Pawagal, seakan - akan ingin melumatkan jantung orang tua itu. Selangkah demi selangkah kaki itu mendekat dan berhenti dua tindak di depan ki Wijang Pawagal.
"Hemm betapa sempitnya dunia ini, akhirnya kita bertemu kembali Pawagal." seru warok Suro Pakisan.
"Hahaha benar apa yang kau katakan, ki Suro Pakisan, tapi apakah kau membawa oleh - oleh untuk ku ?"
"Tentu, bila kau mau bersabar, sebuah oleh - oleh akan kau terima setelah kemenakanku mampu menyembelih pemuda itu." jawab warok Suro Pakisan.
"Oh.. Mengapa harus seperti itu ? Kau sejak dulu tak pernah meninggalkan kebiasaan burukmu itu, sadarlah ki Suro Pakisan, kita yang semakin tua ini sudah mendekati hari senja." ujar ki Wijang Pawagal.
"Sudahlah kau tak usah sesorah di depanku, seakan - akan seorang pandito menasehati orang. Bila kau tak segera pergi dari sini, tentu kau akan melihat kebinasaan anak itu."
"Hemm, itu bertentangan dengan pendirianku, ki. Apalagi anak itu masih murid dari adik seperguruanku, tentunya aku akan melindunginya." sahut ki Wijang Pawagal, sambil melempar tusukan daging bakar ke arah sebuah pohon.
Sebuah pertunjukan kesaktian telah terjadi, tusukan itu menancap tajam kedalam pohon gayam sebesar sepelukan orang dewasa. Hal itu membuat ketiga penyerang dan panji Tohjaya, terpukau. Lain halnya dengan warok Suro Pakisan, orang itu tertawa hambar.
"Kau bermain layaknya anak kecil saja, Pawagal. Aku tak silau dengan apa yang kau tunjukan itu." kata warok Suro Pakisan, "Aku ulangi sekali lagi, pergilah dari tempat ini."
Namun murid utama dari Panembahan Sekar Jagat Sepuh itu, tak bergeser setindakpun, hanya gelengan kepala saja yang dilakukan.
"Hem, baiklah jika itu maumu." sesaat warok dari tlatah wengker itu menatap pemimpin penyerang, "Tangkis, bunuh anak itu ! Sedangkan orang tua ini aku yang mengurusnya !"

"Baik paman." Sahut pemimpin penyerang yang disebut Tangkis, yang tiada lain dari ki panji Jaran Tangkis, sambil menghambur menuju panji Tohjaya.
Sementara warok Suro Pakisan berseru kepada ki Wijang Pawagal, "Mari kita beradu liatnya daging dan kerasnya tulang !"
"Hahaha Aneh sekali kita ini, sudah memasuki usia senja masih berlaku kekerasan." desis ki Wijang Pawagal.
"Rasakan ini !" seru warok Suro Pakisan, dengan cengkraman keras ingin menangkap tubuh orang tua di depannya.
Tapi lawannya tak mau dengan mudah menyerahkan tubuhnya, dengan sedikit mengeser kakinya, tubuh agak merendah disertai kibasan keras mengarah dada warok, menunjukan perlawanan sungguh - sungguh. Demi mengetahui serangan balasan itu, warok Suro Pakisan menotol tanah meloncat melewati tubuh lawannya dibarengi tendangan gejik.
"Uuh..." desuh warok itu, saat serangannya hanya mengenai tempt kosong.
Setelah kakinya menginjak tanah dengan kewaspadaan dari serangan lawan, warok itu memutar tubuhnya. Dan perkelahian dari dua orang tua itu semakin seru meniti tingkatan demi tingkatan. Keduanya walau usia semakin menanjak usia senja, namun tata gerak kanuragan keduanya sungguh mendebarkan, itu semua didukung oleh banyaknya perbendaraan pengalaman di segala suasana dan bidang. Keduanya diibaratkan antara keperkasaan banteng yang ditunjukan oleh warok Suro Pakisan menghadapi lincahnya kijang ki Wijang Pawagal. Serudukan banteng dengan mudah selalu dapat dielakan oleh kijang, bahkan kijang itu mampu membuat banteng kebingungan tatkala tanpa diduga - duga berlari menjauh dan muncul dibelakangnya.
Di sisi yang lain ki panji Jaran Tangkis, yang masih menutupi wajahnya memimpin pengeroyokan terhadap ki panji Tohjaya. Pedang yang keluar dari warangkanya siap memakan korban sampai titik darah membasahi bumi. Serangan selang - seling dari sisi berlawanan selalu dilakukan dengan gencar dan cepat, seolah - olah tak memberi kesempatan mangsa beristirahat.

Denting senjata beradu lebih sering dengan menimbulkan percik - percik api dari gesekan besi pilihan itu. Sementara genggaman tangan kadangkala terasa linu dan panas saat mempertahankan senjata dikala sama - sama berbenturan.
Perkelahian itu sudah memakan waktu sepengunyah sirih, peluh bagai terperas membasahi tubuh, bahkan luka memar mulai mewarnai perkelahian di pinggir sungai itu. Di atas sang surya berjalan semakin rendah ke barat menunu peraduannya, diam membisu menatap perilaku yang ditunjukan oleh makhluk yang disebut, manusia.
Pergolakan demi pergolakan sudah sering diketahui oleh sang surya, di tanah ini, hanya menatap semata yang ia lakukan tanpa mampu memisahkan apa yang digarisakn.
Dalam pada itu sebuah gerakan aneh diterapkan oleh ki Wijang Pawagal saat dirinya hampir terpojok oleh sergapan lawannya, tiba - tiba tubuhnya seperti lenyap dari pandangan lawannya dan beralih dibelakang tubuh lawan, sambil memukul keras tulang punggung lawan.
"Uuh... " keluh warok Suro Pakisan, dan cepat - cepat menjaga jarak.
"Ilmu apa yang kau tunjukan itu, Pawagal ? seakan - akan dirimu lenyap dalam sekejap."
"O Itu tadi hanyalah aji Alang - Alang Kumitir." ucap Ki Wijang Pawagal, "Mengapa kau kesakitan seperti itu, ki Suro Pakisan ? bukankah ilmu kebalmu selalu kau bangga - banggakan ?"
"Huh " dengus warok itu, memang dirinya tadi meremehkan lawan sehingga ia tak menerapkan aji Tamengwesinya. Kini matanya semakin terbuka lebar dan akan bersungguh - sungguh menghadapi murid padepokan lereng Lawu.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar