Panasnya Langit Demak
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 1
oleh : Marzuki
jilid 10 bagian 1
oleh : Marzuki
Pegunungan Telomoyo sudah di depan mata. Jalan mendaki dilalui oleh sepasang kaki dengan tenangnya. Suara burung kepodang daun riuh berkicau, seakan ikut menyertai pemuda berpakaian kuning kecoklatan itu. Sekali - kali pemuda itu menengok lembah yang berada segaris datangnya sang fajar. Menambah indahnya pemandangan di pagi hari itu.
Tak terhitung hari lamanya,
Arya Dipa menyusuri kembali arah jalan dari bang wetang. Tugas mendapatkan pusaka berwujud keris ia dapatkan setelah melalui jalan berbahaya. Kyai Sangkelat yang dahulunya disimpan oleh Raden Kuda Mapanji atau Panembahan Anom, kini berada dalam perlindungannya, dan saat ini akan ia serahkan kepada Raden Buntaran atau Panembahan Ismaya.
Dalam perjalanannya mendapatkan pusaka peninggalan Wilwatikta, Arya Dipa tanpa diduga juga berjumpa dengan kakeknya, Begawan Jambul Kuning. Selain itu, tabir rahasia keluarganya terkuak yang mana dirinya masih berdarah bangsawan keraton Kadiri. Juga, patut disyukuri rupanya pembunuh kedua orang tuanya bukanlah kakeknya, melainkan seorang yang berwajah sama dengan kakeknya. Satu lagi, pemuda itu juga mendapatkan anugerah berupa rontal kitab dari Panembahan Anom, yang berisi tuntunan olah kanuragan tingkat tinggi.
Udara pegunungan di pagi hari membuat pemuda itu tidak lama - lama mendaki jalan tanjakan ke padepokan karang Tumaritis. Kaki lincah berlambarkan aji sepi angin, membawa pesat tubuhnya mendekati regol padepokan. Kedatangannya rupanya diketahui oleh seorang cantrik dan menyambutnya dengan berbagai pertanyaaan.
"Selamat datang di Karang Tumaritis, kisanak." ucap cantrik itu, sambil memperhatikan Arya Dipa.
Dengan tindak tanduk yang sopan, Arya Dipa menyahuti cantrik itu dan menjelaskan keperluan dirinya ke padepokan Karang Tumaritis. Dan pada saat yang sama itulah, seorang cantrik yang ingat akan Arya Dipa, segera mengenalinya dan mempersilahkan Arya Dipa untuk memasuki halaman padepokan.
"Silahkan, Den." sambut cantrik yang mengenalinya, "Maafkan adi Wandi, ia baru sepekan ini sebagai cantrik di padepokan ini. Sehingga tak mengenali Denmas."
Arya Dipa tersenyum sambil menepuk bahu cantrik itu, "Tak mengapa, kakang. Tindakan adi Wandi, memang sudah seharusnya."
Kedua cantrik itu merasa lega atas sikap Arya Dipa. Di kala itu, kebanyakan orang berkedudukan tinggi, sangat jarang bersikap lunak jikalau mengetahui seorang kawula mengganggu atau dirasa menyalahi pendirian orang tersebut. Karenanya sikap Arya Dipa, bagaikan titikan air di musim kemarau, menyegarkan kedua cantrik itu.
Dan Arya Dipa diantarkan menuju balai khusus untu tamu padepokan. Sebuah bangunan tertata rapi dan bersih. Sebuah amben besar dengan tikar tergelar diatasnya. Di situ sudah ada kendi tempat wadah air minum dan tiga gelas terbuat dari bumbung.
"Silahkan, Denmas. Sebentar kami akan memberitahu Panembahan." ucap cantrik yang mengenali Arya Dipa.
"Terima kasih, kakang."
Tidak menunggu lama setelah sepeninggal cantrik tadi, terdengar langkah kaki menuju balai tamu. Seorang lelaki yang sudah lanjut usia tetapi masih menunjukan tenaga yang hebat, memasuki balai tamu dan dengan ramah menyapa Arya Dipa.
"ho... Rupanya prenjak di pohon jambu air itu, mengisyaratkan kalau kau kembali, Dipa." ucap Panembahan Ismaya.
Sambil turun dari amben, Arya Dipa menyalami tangan orang tua itu, "Restu eyang Panembahan, membuat cucu selamat dan kembali ke padepokan ini, eyang."
"Hehehe... Syukur.. Syukur, duduklah dan tolong ceritakan apa yang terjadi di bang wetan." kata Panembahan Ismaya tak sabar.
Sejenak Arya Dipa mengatur napas sembari mengumpulkan ingatannya dikala menyusuri pesisir pantai kidul, telatah Ponorogo, tanah perdikan Anjuk Ladang dan berhenti di tepian kali Brantas. Tak lupa dituturkan dirinya berjumpa tokoh - tokoh hebat seperti Panembahan Anom, kakeknya Begawan Jambul Kuning, Resi Puspanaga dan Begawan Kakrasana. Juga tokoh muda Orang Bercambuk, Windujaya dan Raden Sanjaya serta Raden Sajiwo. Tentu tokoh - tokoh lainnya.
"Berkat restu dari eyang, inilah pusaka itu." kata Arya Dipa mengakhiri ceritanya, sambil memperlihatkan keris kyai Sangkelat.
Diterimanya pusaka itu oleh Panembahan Ismaya. Diteliti dan diamati secara cermat hingga lekuk - lekuk kyai Sangkelat. Anggukan kepala orang tua itu, menandakan kelegaan yang dirasakan oleh pemimpin padepokan Karang Tumaritis. Sejenak kemudian ia pun kembali bersuara.
"Angger Dipa, lengkap sudah pusaka peninggalan Majapahit. Dua keris yang sebelumnya sudah diselamatkan oleh anakmas Mahesa Jenar dan Gajah Sora, yaitu keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten, kini kyai Sangkelat telah kau dapatkan." sejenak Panembahan Ismaya berhenti untuk mengambil napas, lalu katanya, "Namun di lembah sana, tak lama lagi akan pecah perang antara laskar Banyubiru."
"Oh... " Arya Dipa kaget, "Apakah Demak kembali menyerang Banyubiru, eyang Panembahan ?"
Kepala Panembahan Ismaya menggeleng, "Tidak, ngger. Lawan kali ini datangnya dari sekumpulan tokoh - tokoh hitam. Karenanya, aku meminta bantuanmu untuk meminjamkan kyai Sangkelat kepada putra Anakmas Gajah Sora."
"Putra paman Gajah Sora.. maksud eyang ki Ageng Gajah Sora ?"
"Benar ngger. Selain itu lindungilah anak itu dari musuh yang sangat berbahaya. Tetapi aku yakin, kau mampu melawannya."
"Baiklah, eyang. Cucumu ini akan berusaha membantu."
Maka sejak saat itu, Arya Dipa menetap sementara di padepokan Karang Tumaritis. Sekali lagi ia mendapat tugas dari Panembahan Ismaya untuk ikut melindungi putra tunggal ki Ageng Gajah Sora. Di mana awan panas bergerak ke lembah Telomoyo di dekat perbatasan Banyubiru.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 2
oleh : Marzuki
jilid 10 bagian 2
oleh : Marzuki
Selama sepekan Arya Dipa berdiam di padepokan Karang Tumaritis, Panembahan Ismaya mendapat warta dari cantrik yang ia utus untuk mengamati jalan antara telatah perdikan Banyubiru dan Rawa Pening. Dari cantrik itulah, diketahui adanya segerombolan orang tak diketahui jati dirinya, beriringan dengan diam - diam menuju Banyubiru. Tentu saja hal itu mencurigakan, apalagi suasana saat - saat ini sangat mencekam di telatah Banyubiru. Karenanya, Panembahan Ismaya yang merasa mempunyai kepentingan khusus dengan penerus kepala perdikan Banyubiru di masa yang akan datang, mencoba ikut mengamankan telatah itu dari rongrongan kekuasaan tokoh - tokoh hitam.
Sebenarnya ia sendiri akan turun langsung melihat kenyataan yang bergolak di telatah Banyubiru, tetapi setelah menyadari adanya Arya Dipa disampingnya, Panembahan Ismaya menjatuhkan pilihan untuk meminta tolong terhadap pemuda itu. Dengan perkataan indah dan lunak, Panembahan Ismaya memberitahukan apa yang terjadi saat itu. Bukan hanya warta dari cantrik tadi saja, tetapi adanya perencanaan jangka panjang yang akan menempatkan seorang trah Pengging untuk memasuki kesultanan Demak.
"Maksud eyang Panembahan, adi Karebet ?" kata Arya Dipa untuk mencari kepastian.
"Benar, ngger." jawab Panembahan Ismaya, tegas.
"Maaf, eyang Panembahan. Bukannya aku tidak setuju, tetapi apakah hal itu tidak membahayakan putra paman Gajah Sora ?"
Orang tua yang sudah lanjut itu, mendesuh perlahan. Memang apa yang dicemaskan oleh Arya Dipa itu beralasan. Tetapi sudah puluhan kali Panembahan Ismaya memikirkan dan meyakinkan apa yang akan ia lakukan demi berjalannya rencana pemulihan trah Pengging. Orang tua itu pun, nantinya akan muncul saat - saat yang menentukan, karenanya ia harus meyakinkan rencananya kepada pemuda di sampingnya itu.
"Percayalah kepadaku, ngger." kata Panembahan Ismaya, lalu katanya kemudian, "Baiklah, aku akan membeberkan sedikit kepadamu."
Mata Arya Dipa tak berkedip dan daun telinganya ia buka lebar - lebar, demi mendengar apa yang akan dikatakan oleh keturunan Majapahit itu.
"Kami, orang - orang tua yang cinta kedamaian di bumi Jawa Dwipa ini, telah melakukan pertemuan untuk membahas berjalannya kemakmuran di telatah ini. Kala itu juga datang seorang wali dari Kadilangu, beberapa pemimpin tanah perdikan dan kabuyutan dan tokoh sepuh trah Wilwatikta. Seharusnya, kakekmu Begawan Bancak dan Panembahan Anom akan kami undang juga pada pertemuan itu. Tetapi kedua orang tua itu sulit diketahui rimbanya dan terlibat kejadian di bang wetan." Sejenak orang tua itu terdiam, demi melihat kesan pada wajah Arya Dipa.
Lalu lanjutnya, "Sudah menjadi kesepakatan antara kami, serta dikuatkan oleh ketajaman mata hati Sunan Kalijaga, satu - satunya jalan ialah menempatkan anakmas Karebet kembali memasuki pranatan keraton."
Jantung Arya Dipa bagai disentakan tali. Getaran yang awalnya perlahan, mendadak kencang. Karenanya demi mengurangi rasa yang tidak - tidak, ia memberanikan diri untuk bersuara.
"Sebelumnya aku minta maaf, eyang Panembahan." ucap Arya Dipa, lalu, "Apakah kelanjutan dari kesepakatan itu adalah untuk mengganti wahyu keprabon dengan paksa ?"
"Hehehe.... " tawa Panembahan Ismaya disertai gelengan kepala.
"Tidak, ngger... Tidak."
Lalu Penembahan Ismaya menuturkan secara terperinci mengenai penempatan Mas Karebet di kesultanan Demak. Di mulai dari putra ki Ageng Gajah Sora sebagai upaya kembalinya Mas Karebet di Demak, dilanjutkan permintaan oleh Panembahan Ismaya atau Raden Buntaran kepada Sultan Trenggono untuk mengangkat Mas Karebet sebagai Adipati.
"Begitulah, ngger. Nanti apabila pelungguhan Adipati sudah disandang Anakmas Karebet, jalan menuju ke dampar keraton akan terbuka tanpa adanya tindakan mbalelo atau makar." kata Panembahan Ismaya, mengakhiri penuturannya.
Legalah hati pemuda itu. Hatinya yang awalnya was - was, kini bisa bernapas seperti sediakala. Ia tak ingin bila berhadapan dengan kawannya, Mas Karebet. Bukannya ia takut atau jerih dengan ilmu murid ki Ageng Sela dan Sunan Kalijaga itu, tetapi semuanya karena adanya tali persahabatan semata.
"Baiklah, eyang Panembahan. Kini hatiku semakin mantab untuk ikut berusaha melapangkan jalan bagi adimas Karebet." kata Arya Dipa, " Kalau begitu, sekarang juga aku akan menghadang gerombolan gelap itu."
"Hati - hati, ngger." pesan Panembahan Ismaya, sambil mengangsurkan keris kyai Sangkelat orang tua itu berkata lebih lanjut, "Bawalah ini, dan pinjamkan kepada Arya Salaka."
Diterima keris kyai Sangkelat dan disisipkan keikat pinggangnya.
"Satu lagi, ngger. Sebaiknya kau menutupi jati dirimu kepada siapa pun tak terkecuali." tambah Panembahan Ismaya.
Arya Dipa mengernyitkan alis, menandakan keheranan atas pesan dari orang tua pemimpin padepokan Karang Tumaritis. Dan Panembahan Ismaya sebagai orang tua yang kesdik, tanggap akan keheranan pemuda di hadapannya itu.
"Ini demi kebaikanmu dimasa yang akan datang."
"Bila eyang Panembahan Ismaya menyarankan seperti itu, aku sebagai anak kemarin sore, patut mengikutinya, eyang Panembahan."
Di tepuknya pundak Arya Dipa. Orang tua itu merasa tepat telah memilih pemuda yang masih trah Kadiri itu. Seorang pemuda yang berjiwa besar dan tak ada secuil rasa hitam di hatinya. Maka ketebalan pengharapan di masa yang akan datang, pemuda ini akan mengiringi perjalanan wahyu keprabon sampai orang yang tepat.
"Aku setuju dengan penilaian kanjeng Sunan Kalijaga, terhadap pemuda ini." batin Panembahan Ismaya.
Disuruhnya pemuda itu untuk beristirahat dan berkemas - kemas. Karena esok hari, perjalanan yang penuh ancaman maut akan dilaluinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 3
oleh : Marzuki
jilid 10 bagian 3
oleh : Marzuki
Setelah mendapat bekal berupa ancer - ancer yang diperoleh dari cantrik yang mendapat tugas mengamati jalan menuju Banyubiru, Arya Dipa diesok harinya bergegas mengarah tempat yang ditunjuk. Sebuah jalan setapak dengan kanan kiri ditumbuhi rerumputan liar, pemuda berpakaian kuning kecoklatan itu melakukan pengamatan lebih cermat. Sebagai seorang prajurit Demak, pengetahuan didalam melakukan pengamatan sangat dipahaminya meskipun tidak sebaik prajurit khusus dalam membaca jejak.
Setelah melakukan pengamatan beberapa kali, didapatlah sebuah kesimpulan kalau iringan yang mencurigakan menuju Banyubiru, belum melewati tempat itu. Oleh karenanya, dengan cekatan Arya Dipa memanjat pohon berdaun lebat untuk menunggu sekaligus mencoba mengenali iringan mencurigakan, pada nantinya. Di pilihlah batang yang baik dengan cabang dipenuhi ranting dan daun, demi menutupi keberadaannya. Selain itu, Arya Dipa juga menutupi wajahnya menggunakan topeng tipis yang terbuat dari getah pohon.
Tidak menunggu waktu lama, dari sebuah tikungan jalan setapak, munculah sebuah iringan berjumlah sepuluh orang. Dari sepuluh orang itu, sembilan orang memakai pakaian serba hitam dengan lipatan berwarna merah. Sementara seorang di depan memakai pakaian hijau tua. Yang menyamakan dari kesepuluh orang itu, sebuah lambang kepala ular sendok dengan mulut menganga sehingga terlihat lidah bercabang menjulur keluar.
Melihat itu, Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Tiada lain ialah mencoba mengingat lambang pertanda di pakaian sebelah kiri. Sekilas kemudian pemuda itu agak terkejut setelah mengenali tanda lambang itu. Kelompok itu merupakan segerombolan pembunuh bayaran dari gunung Kendeng. Sebuah gerombolan yang sangat jarang keluar apabila tidak mendapatkan upah besar. Selain itu, biasanya gerombolan ini hanyalah menangani nayaka praja saja. Dan inilah yang membuat Arya Dipa agak heran.
"Sepertinya pekerjaanku kali ini terlalu berat." batin Arya Dipa, "Bila aku mencoba menghentikan di sini, meskipun aku berhasil mengalahkan setengahnya, mungkin harus aku bayar dengan nyawaku."
Iringan itu semakin dekat. Karenanya Arya Dipa bergegas waspada dan menyembunyikan getar pada dirinya, agar tak diketahui oleh iringan yang akan melewati jalan dibawah pohon yang ia panjat itu. Satu persatu orang - orang itu melewati jalan setapak tanpa ada yang menaruh curiga, hingga hampir orang terakhir.
Tiba - tiba saat orang terakhir lewat, sebuah benda menimpuk kepala orang itu dengan kerasnya. Tak pelak orang itu kesakitan dan membuatnya uring - uringan. Tak hanya itu saja, kawan - kawannya yang di depan langsung menoleh karena keingintahuan mereka atas apa yang terjadi pada orang terakhir.
"Ada apa, Ganter ?"
Orang yang dipanggil Ganter yang masih mengusap kepalanya mencoba menjawab, "Sepertinya ada orang yang bosan hidup !"
Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Ganter, kawan - kawannya langsung mengamati keadaan sekitar. Mereka mencoba menemukan wujud orang yang menimpuk Ganter. Belum ada sosok ditemukan, malah kembali terulang kejadian yang menimpa Ganter. Tetapi kali ini korban berbeda.
"Bangsat...... !" seru orang yang dikenai.
"Pengecut... ! Keluarlah jika kau seorang jantan !"
"Hahaha.... Aku memang bukan seorang jantan, he begundal !" sebuah seruan keras menyahuti dengan nada penuh ejekan.
"Benar. Melainkan kami seorang yang ksatria, he begundal.... !" seru seorang lelaki yang lebih muda dari orang pertama.
Kemunculan dua orang lelaki ditempat itu, telah mengejutkan gerombolan Ular Sendok dan juga Arya Dipa yang masih berada di lebatnya daun pohon. Arya Dipa tak menyangka kalau ditempat itu, dua orang tak diketahui getar keberadaannya. Itu membuktikan kalau kedua orang itu, mampu menyerap getar di sekelilingnya.
"Siapa mereka itu ?" tanya Arya Dipa pada dirinya sendiri.
"Siapa kalian, he... ?!" bentak anak buah gerombolan Ular Sendok.
Lelaki yang lebih muda akan menjawab, tetapi lelaki yang lebih tua telah mendahului, "He begundal Harya Kumara, lihatlah dengan jelas siapa lelaki di sana itu !"
Bagai terkena mantram, semuanya memandang lelaki yang ditunjuk oleh orang tua. Arya Dipa yang masih bersembunyi pun ikut melihatnya. Wajah lelaki yang ditunjuk, memperlihatkan kalau lelaki itu bukan orang awam pada umumnya. Kulit bersih ditambah kumis tipis melintang diantara hidung dan bibirnya.
"Tohjaya.... " desis orang - orang Ular Sendok.
"Paman Tohjaya.... Ah bukan, mungkin hanya namanya saja yang sama." desis Arya Dipa.
"Rupanya kalian masih mengenaliku. Memang aku Tohjaya yang dikhianati oleh orang yang membayarmu !" kata orang yang tak lain Panji Tohjaya dari Jipang.
Panji Tohjaya dari Jipang ini merupakan orang yang menjunjung kebenaran. Pada saat tewasnya Pangeran Sekar sedo ing lepen, Panji Tohjaya mendapat tugas untuk menyelidiki kematian Adipati Jipang itu, tetapi ditengah jalan ia terancam oleh orang - orang suruhan Tumenggung Harya Kumara. Untunglah ia bertemu dengan paman gurunya dan sejak saat itu ia mendapat tuntunan kembali oleh paman gurunya untuk beberapa candra.
Namun saat usai mendapat gemblengan dan Panji Tohjaya ingin melanjutkan tugasnya, kembali dirinya berbenturan dengan gerombolan Ular Sendok dan hampir tewas, jika tak sekali lagi paman gurunya menolongnya. Dan kini ia tanpa sengaja berjumpa kembali dengan gerombolan Ular Sendok, lelaki itu ingin membalaskan dendamnya.
"He, Tohjaya. Kebodohanmu telah menyeret nyawa sekaligus orang tua itu ke liang kubur !" kali ini pemimpin merekalah yang bersuara.
Seruan itu disikapi sunggingan bibir saja oleh orang tua yang mengenali pemimpin gerombolan Ular Sendok.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 4
oleh : Marzuki
Orang tua yang bernama ki Wijang Pawagal dan tidak lain paman guru Panji Tohjaya, berjalan mendekati murid adik seperguruannya. Dengan sunggingan masih diperlihatkan, ia menepuk pundak Panji Tohjaya.
"Berhati - hatilah menghadapi tata gerak andalan mereka." bisik ki Wijang Pawagal.
"Iya, paman." sahut Panji Tohjaya.
Dalam pada itu, anak buah gerombolan Ular Sendok sudah siap untuk bergerak menghabisi lelaki yang pernah menjadi sasaran tugas dari Tumenggung Haryo Kumara kepada mereka. Kali ini mereka tak akan memberi kesempatan untuk kedua kalinya bagi lelaki itu.
Sementara itu, Arya Dipa masih mencari waktu yang tepat untuk ikut terjun ke kancah pertarungan yang akan terjadi tak lama lagi. Dirinya sudah menjatuhkan pilihan untuk memanfaatkan kesempatan ini, untuk menggagalkan tindakan gerombolan Ular Sendok ke Banyubiru. Masalah dua orang yaitu lelaki bernama Panji Tohjaya dan orang tua satunya, akan ia urus kemudian. Syukur - syukur, dirinya tidak terlibat bentrok dengan keduanya.
Hembusan semilir angin di pagi hari, bersamaan bergeraknya lima orang gerombolan Ular Sendok menyerang Panji Tohjaya. Sedangkan empat lainnya mengarah ki Wijang Pawagal dengan sebat dan penuh ancaman. Tinggalah pemimpin gerombolan yang masih sendiri mengawasi pertarungan yang berlangsung.
Blego Trengganis, mengernyitkan alisnya saat mengetahui kemajuan Panji Tohjaya. Lelaki yang tempo dulu hanya bertahan ratusan tata gerak, saat ini menunjukan dapat menghadapi tata gerak Panca Margi Pralaya tingkat kawitan. Sekilan memandang, Blego Trengganis dapat menyimpulkan kalau kemajuan Panji Tohjaya didapat dari orang tua yang dihadapi empat anak buahnya.
"He, Ganter. Gunakan langkah kedua dari Panca Margi Pralaya !" seru Blego Trengganis.
Seruan itu secepat kilat langsung diperagakan oleh Ganter dan kawan - kawannya. Tingkatan kedua mulai menyeruak lebih hebat dari tata gerak pertama. Dan ini sangat berbahaya jikalau Panji Tohjaya tidak mendapat gemblengan dari ki Wijang Pawagal. Libasan Ganter dan kawan - kawannya, masih dapat dihadapi oleh Panji Tohjaya. Hal itu membuat lawannya penasaran ditambah rasa geram menyengat janrung mereka.
Apa yang dialami oleh Panji Tohjaya, tak lepas dari pengamatan ki Wijang Pawagal. Orang tua itu merasa tenang dengan kemajuan yang diperoleh murid adik seperguruannya itu. Namun ia merasa cemas kalau Blego Trengganis akan turun langsung.
Dan apa yang dicemaskan oleh ki Wijang Pawagal, menjadi kenyataan. Blego Trengganis yang sudah bosan menunggu telah bergerak meloncat sambil menggebukan tongkatnya ke arah Panji Tohjaya. Bahaya itu akan menyulitkan Panji Tohjaya yang masih berkutat menghadapi tingkatan keempat dari tata gerak Panca Margi Pralaya.
"Traaang.... !"
Sebuah benturan keras mengejutkan Blego Trengganis. Tongkat yang sedianya akan membuat celaka Panji Tohjaya, hampir saja lepas dari tangannya. Tak tahunya, seseorang telah menggagalkan serangannya.
Orang yang menggagalkan serangan Blego Trengganis ternyata Arya Dipa. Pemuda itu menggunakan ikat pinggang kyai Anta Denta untuk menghadang laju pergerakan tongkat pemimpin gerombolan Ular Sendok. Seperti halnya Blego Trengganis, Arya Dipa pin, sempat terkejut dengan akibat benturan tadi. Tangannya merasakan sengatan tajam mencengkam sampai ke urat - urat.
Kedatangan Arya Dipa merupakan sebuah kiriman gerimis di musim kemarau yang dirasakan oleh ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya. Meskipun keduanya tak mengenal pemuda itu, mereka berharap orang yang baru muncul itu dapat menghadapi atau menghambat pergerakan Blego Trengganis. Oleh karenanya, ki Wijang Pawagal telah meningkatkan tenaganya. Ilmu perguruan Sekar Jagat ia terapkan dengan sungguh - sungguh. Begitu juga dengan Panji Tohjaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 5
oleh : Marzuki
"He, siapa kau yang mencampuri urusan orang lain !" seru Blego Trengganis, yang mencuatkan alisnya demi melihat keanehan yang ditunjukan sosok bertopeng itu.
Arya Dipa mendehem untuk sesaat. Di lihatnya Panji Tohjaya dan orang tua yang masih menghadapi lawan masing - masing. Tindakan Arya Dipa ini telah menyulut kemarahan Blego Trengganis, yang merasa diremehkan.
"He... Setan alas !" bentak Blego Trengganis, "Kau rupanya belum mengenalku, setan bertopeng !'
"Hem... Lambang di dada kirimu telah menunjukan siapa kalian." kata Arya Dipa, "Kalian para pengecut dari Gunung Kendeng, bukan ?!"
"Rupanya kau bukanlah katak dalam tempurung, setan bertopeng. Tetapi kau merupakan katak yang bodoh !" ejek Blego Trengganis.
Meskipun diejek seperti itu, Arya Dipa tetap tenang. Pemuda bertopeng itu masih sempat menyaksikan bagaimana tandang Panji Tohjaya menghadapi tata gerak Panca Margi Pralaya tingkat keempat. Murid ki Ageng Sekar Jagat anom itu telah mengungkap aji Alang Alang Kumitir, sehingga mampu membuat tubuhnya bagai lenyap walau hanya sesaat - sesaat dan melakukan serangan cepat terhadap lawan.
Di sisi lain, tak kalah seru apa yang dilakukan oleh ki Wijang Pawagal. Orang tua yang sudah kenyang asam manisnya dunia olah kanuragan itu, bagai menemukan permainan yang mengasyikan. Lawan - lawannya dibuat pontang - panting tak karuan. Tangan dan kaki yang terlihat sudah menua itu, laksana besi gligen disetiap menumbuk tubuh lawannya.
"Kisanak, lihatlah para anak buahmu. Mereka jika tidak kau hentikan, tubuh mereka akan lunak layaknya gedebog pisang yang ditumbuk batang besi." kata Arya Dipa.
"Janganlah kau mengkwatirkan anak buahku, setan bertopeng. Lebih baik kau urus dirimu !"
Selesai berkata, Blego Trengganis melancarkan serangan mematikan. Orang satu ini bila bergerak tak setengah - setengah. Siapa yang menghalangi atau mencampuri urusannya, kematianlah yang akan ia berikan. Maka tak heran jika kepala gerombolan Ular Sendok ini terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin.
Sambaran tongkatnya mengandung deru angin tajam dan ganas. Arya Dipa tak memandang serangan hebat itu. Dari awal ia sudah waspada dalam menyikapi lawan kali ini. Karenanya, saat tongkat itu bergerak aji Niscala Praba sudah manjing menyelimuti Arya Dipa.
Seru dan sengit mewarnai tandang dari Arya Dipa dan Blego Trengganis. Tata gerak berbeda jalur saling tindih ingin memenangi disetiap saat. Rerumputan dan tanah terinjak - injak menjadi lumat bak terkena bajakan saja. Daun - daun menguning luruh tersambar deru angin dari mereka yang bertarung.
Dari kejauhan ki Wijang Pawagal merasa heran dengan apa yang disaksikan oleh pandulunya. Baru kali ini ia menyaksikan tata gerak yang padat berbobot seperti yang digerakan oleh orang bertopeng.
"Sebuah tata gerak tingkat tinggi. Tetapi sepertinya orang bertopeng itu belum bersungguh - sungguh." batin ki Wijang Pawagal, seraya menghindari tendangan lawannya.
Sembari menghindar itulah ki Wijang Pawagal menggerakan telapak tangannya. Begitu cepat dan penuh tenaga dari telapak tangan ki Wijang Pawagal, membuat lawannya mental sejauh tiga tindak. Tak sampai disitu saja, pewaris tertua perguruan Sekar Jagat di lereng gunung Lawu itu memutar tubuhnya bagai kitiran. Tangan dan kakinya menghajar ketiga lawannya dan mengakibatkan lawannya mencelat semua.
Meskipun rasa sakit menjangkiti tubuh mereka, ketiga lawan ki Wijang Pawagal kembali bangkit dan memasang tata gerak yang sama. Siasat mereka tiada lain dan bukan untuk menerapkan tata gerak Nagadahana. Di mana tangan mereka membara dari telapak sampai pergelangan tangan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 6
oleh : Marzuki
Sikap dari lawan - lawannya itu telah memantabkan hati ki Wijang Pawagal untuk mengungkap ilmu yang bersumber sama dengan lawannya, yaitu inti api dari aji Brajadaka. Selain itu, Sepi Angin melambari setiap gerakan kaki dan tubuhnya dalam mementahkan kecepatan lawannya. Tak ayal tindakan dari murid pertama ki Ageng Sekar Jagat sepuh itu membuat tiga anak buah gerombolan Ular Sendok kalang kabut.
Tak jauh dari kalangan ki Wijang Pawagal, telah berlangsung keseruan yang menggila. Ganter dan keempat kawannya berlomba - lomba menundukan lawan yang pernah mereka kalahkan. Namun kali ini kejadian seperti dahulu tidak lagi dengan mudah mereka ulang. Tata gerak Panca Margi Pralaya sudah mencapai tingkat empat tidak mampu menekan lawannya itu. Tentu saja hal itu membuat kelima orang itu gusar bukan kepalang. Apalagi jika menyadari betapa keempat kawan mereka yang melawan orang tua itu, kewalahan.
Keputusan terakhir yang diambil kemudian ialah mengikutsertakan senjata mereka untuk menundukan lawan yang hanya satu orang saja. Maka selanjutnya dari balik baju mereka tersembul rantai sepanjang dua jengkal berujung pisau kecil. Sungguh hebat juga kerjasama yang mereka tunjukan. Sebuah aba - aba telah menggerakan kelima orang itu menghujamkan pisau kecil diujung rantai.
Lima serangan dari lima penjuru memang hebat. Tetapi Panji Tohjaya dalam pusat sasaran cepat bertindak dalam menangani serangan bersama itu. Tubuhnya membal ke atas setelah kakinya menggenjot tanah. Selanjutnya tubuh itu mengapung tepat diatas kelima pisau kecil itu. Sungguh mengagumkan yang mana waktu bagai terhenti, dan itu semua terjadi dari penerapan aji Alang Alang Kumitir.
Di waktu itulah tubuh Panji Tohjaya menggempur lawan - lawanya dengan hebatnya. Kelima lawannya terdorong sejengkal dengan keluhan tergambar dari bibir mereka. Meskipun begitu, kelima orang itu cepat meredakan rasa sakit pada tubuh mereka dan kembali berulah lebih dahsyat.
Kerepotan yang diderita oleh anak buah gerombalan Ular Sendok dari gunung Kendeng, memanaskan jantung Blego Trengganis. Lelaki berpakaian hijau tua dan bersenjata tongkat berkepala ular itu telah mengamuk melibas lelaki bertopeng. Kemarahannya ia luapkan kepada lawan yang sebelumnya tidak ia duga itu.
Tongkatnya berkelebat hebat menggemplang, menyodok dan menghujam dengan dahsyatnya. Ini membuktikan betapa trengginas dan ngedab - ngedabi tandang Blego Trengganis.
Untunglah orang bertopeng yang tak lain Arya Dipa adalah seorang pemuda pilih tanding. Berbekal ilmu Cakra Paksi Jatayu dan ikat pinggang kyai Anta Denta, pemuda ini mampu mengikuti gerakan lawannya. Dan apalagi sesudah mempelajari sebuah rontal dari Panembahan Anom, tandang Arya Dipa semakin hebat.
Keberuntungan Arya Dipa semakin mendekati kenyataan setelah kakinya berhasil menyapu tubuh lawan. Sehingga tubuh Blego Trengganis bergulingan di tanah, tetapi kegesitannya membawanya untuk melentingkan tubuhnya untuk bangkit lagi.
Saat kaki sudah berdiri kokoh, tangan Blego Trengganis telah bergerak bagai kilat. Rupanya ia mengambil senjata rahasia dari balik pakaiannya dan menyaplokan ke arah Arya Dipa. Dan ini tidak diwaspadai oleh Arya Dipa yang mengendorkan aji Niscala Praba. Sehingga senjata rahasia itu mengenai pundak Arya Dipa.
"Uh..... " keluh Arya Dipa sembari meraba pundaknya.
Sebuah jarum menancap di pundaknya. Secepatnya ia mencabut jarum itu dan ia perhatikan. Ujung dari jarum itu berwarna kuning menandakan ketidakwajaran dari jarum itu. Kesimpulan yang ia dapat ialah kalau jarum itu beracun.
"Tamat riwayatmu, setan bertopeng !" seru Blego Trengganis penuh kemenangan.
Seruan itu memancing rasa cemas ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya. Keduanya merasa kurang cepat dalam menangani lawan masing - masing dan mengakibatkan sang penolongnya celaka.
Tubuh Arya Dipa agak membungkuk seperti orang kesakitan. Tetapi tidaklah seperti apa yang dicemaskan oleh ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya, atau rasa bangga yang dirasakan oleh Blego Trengganis. Wajah di balik topeng tipis itu menyunggingkan senyum rasa bersyukur, karena ia mendapat karunia berupa tubuh yang kebal dengan racun setelah menghadapi ular naga Anta Denta di lereng Penanggungan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 7
oleh : Marzuki
Pemimpin gerombalan Ular Sendok berkacak pinggang dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan masih membekal tongkat andalannya. Tawa sinisnya mulai terdengar seiring tubuh Arya Dipa yang membungkuk. Orang itu sudah merasa menang atas keberhasilannya mendaratkan jarum beracunnya ke tubuh lawannya.
"Lebih baik jika kau angsurkan lehermu kehadapanmu. Meskipun aku tak membekal leher, tanganku ini sanggup memenggal lehermu, Setan Bertopeng !" teriak Blego Trengganis.
Teriakan yang merendahkan diri Arya Dipa, tak terlalu dipikirkan oleh pemuda itu. Pemuda bertopeng itu meraba bekas luka di pundaknya dan ia perhatikan. Rupanya darah yang awalnya mengalir hitam legam, mulai berubah menjadi merah seperti pada luka umumnya. Ini menandakan kalau lukanya bebas dari sergapan racun Blego Trengganis. Kembali ia panjatkan syukur kepada Sang Pencipta.
"Mari kita lanjutkan permainan kita, kisanak... !" seru Arya Dipa, dan langsung membabatkan ikat pinggangnya.
"Byaaar...... !"
Suara ledakan menggema saat ikat pinggang kyai Anta Denta menumbuk batu di belakang Blego Trengganis. Batu sebesar kepala kerbau hancur berkeping - keping, menyisakan rasa sengatan kejut di dada Blego Trengganis. Ternyata Orang Bertopeng bersenjata ikat pinggang itu mempunyai simpanan ilmu yang hebat dan tenaga dalam berluap - luap.
"Jangan angkuh kau, Setan Bertopeng !" seru Blego Trengganis sembari menyilangkan tongkat dan menyodokan tongkat ke tubuh lawan yang berada di sampingnya.
Terulanglah adu olah senjata berbeda jenis. Serang dan tangkis ikut serta sesuai tata gerak disetiap keadaan yang sedang terjadi. Adu olah siasat sudah diatur dalam benak mereka untuk menghadang gerak lawan masing - masing. Daya untuk membaca langkah lawan ini sangat diperlukan untuk mematikan langkah lawan selanjutnya, meskipun lawan pun mampu melakukan tipuan.
Mendapati lawannya yang tak terpengaruh oleh racin dari jarumnya, menumbuhkan kegelisahan tersendiri bagi Blego Trengganis. Apalagi waktu semakin memanjang tak menentu. Serta bila dilihat keadaan anak buahnya, keadaan mereka mulai tak membuatnya tenang. Di mana lawan Panji Tohjaya menyisakan tiga orang saja dan lawan ki Wijang Pawagal tinggal dua orang.
Untuk itulah Blego Trengganis mencoba mengakhiri kekalahan pihaknya agar tidak semakin parah. Sebuah suitan nyaring terdengar dari mulutnya. Isyarat itu membuat dua tanggapan yang berbeda dari pihak Blego Trengganis sendiri dan lawannya.
Bagi ki Wijang Pawagal dan orang dipihaknya, isyarat itu membuat mereka waspada dan mencoba mencari apa yang nanti dilakukan oleh gerombalan Ular Sendok. Tetapi sebaliknya bagi anak buah Blego Trengganis, isyarat itu sudah dipahami dan dimengerti, oleh karenanya gerakan rapi dan cepat telah mengiring ketiga lawan dalam satu titik. Keberhasilan mereka dilanjutkan dengan ilmu aneh yang membuat pinggiran jalan setapak itu. Tiba - tiba ratusan ular muncul dan menyerang ketiga lawan mereka.
Tentu saja kemunculan ular itu mengejutkan ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya serta Orang Bertopeng. Ketiganya bergegas menghalau puluhan ular besar maupin kecil yang ganas tersebut. Dan kesempatan itu telah digunakan dengan baik oleh gerombolan Ular Sendok untuk menjauhi tempat itu. Sehingga tindakan gerombolan itu beralan sesuai rencana Blego Trengganis.
Sementara itu, ki Wijang Pawagal serta lainnya masih mengusir ular - ular. Setiap ular satunya mati, munculah ular baru. Kejadian itu terulang beberapa kali tak henti - henti. Tentu ini membuat gusar mereka. Bila ini terus berlanjut, tenaga ketiganya tentu terkuras dan lemah.
Dalam keadaan genting itulah, Arya Dipa ayau orang bertopeng, mengalungkan ikat pinggangnya. Lalu pemuda itu mundur dua jengkal dan memasang kuda - kuda kokoh. Kedua tangan terangkat layaknya sepasang sayap garuda mengepak. Aji Sepi Angin dan Gelap Ngampar ia ungkap serentak sembari mengucapkan mantram dari rontal Panembahan Anom.
"Kisanak berdua, mohon mundur di belakangku !" seru Arya Dipa.
Seruan yang sebenarnya masih membuat kedua orang itu bertanya - tanya dengan apa yang dilakukan oleh Orang Bertopeng, tetap mereka patuhi. Kedua orang itu bergegas ke belakang tubuh Arya Dipa.
"Mohon tingkatkan daya tahan tubuh kalian !" sekali lagi Arya Dipa meminta kesediaan ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka.
Tak lama berlangsung sebuah kejadian luar biasa. Begitu cepat tubuh Arya Dipa berubah burung Garuda raksasa. Burung itu mengibaskan sayapnya dan membuahkan angin prahara yang mana mampu membumbungkan ular - ular. Tak hanya itu saja, burung Garuda itu membuka paruhnya lebar - lebar, akibatnya suara menderu dan menggema dahsyat menimbulkan gelombang besar menggulung ular - ular dan menjadikan ular lumat tak karuan.
Luruhnya bangkai ular berbarengan dengan kembalinya wujud Arya Dipa seperti sediakala. Tubuh pemuda itu membalik menghadap dua orang dibelakangnya. Sejenak kemudian pemuda bertopeng itu mengangguk hormat.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 8
oleh : Marzuki
Baru seumur hidupnya dalam mengarungi luasnya ilmu jaya kawijayan, baru kali ini ki Wijang Pawagal dapat menyaksikan ilmu Garuda Yaksa yang diterapkan oleh orang bertopeng di depannya. Ki Wijang Pawagal mencoba mengulik siapa orang dibalik topeng kulit tersebut. Oleh karenanya ia berharap dapat menyaksikan wajah penolongnya.
"Kisanak, bolehkan kami melihat wajah kisanak agar supaya kami dapat mengucapkan terima kasih kami lebih dalam ?" pinta ki Wijang Pawagal.
Orang Bertopeng itu menggelengkan kepala perlahan. Hal itu membuat ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya agak kecewa, itu terbaca manakala keduanya mendesuh perlahan. Namun bagaimana lagi, Orang Bertopeng sudah memutuskan seperti itu.
"Maafkan aku tuan semuanya, ini sudah menjadi sumpah setiaku kepada orang yang aku hormati." kata Orang Bertopeng.
Ki Wijang Pawagal mengangguk dan memahami sikap penolongnya. Karenanya ia tidak memaksa seseorang mengingkari sumpah yang terucap. Dirinya tidak ingin menjadi seorang yang kurang tata.
"Bila dilihat dari nada suara kisanak, mungkin kisanak seorang pemuda yang berusia dua puluhan, karenanya aku ingin mengetahui gelar angger ini ?"
Arya Dipa agak binggung dan ragu - ragu. Bilakah ia menyebut namanya atau mengarang sebuah nama ? Namun setelah direnungkan untuk beberapa saat, ia pun berkata.
"Panggil saja aku Kilatmaya, tuan."
"Hm... Baiklah angger Kilatmaya, meskipun aku yakin nama itu hanyalah rekaan saja, tapi aku senang mendengarnya." ucap ki Wijang Pawagal, lalu lanjutnya, "Panggillah aku Wijang Pawagal dan lelaki disampingku ini, Tohjaya."
"Tohjaya... " desis Kilatmaya atau Arya Dipa.
"Sepertinya kau mengenal keponakanku ini, ngger ?'
"Oh... Tidak ki Pawagal, baru kali ini aku bertemu dengan ki Tohjaya. Hanya saja nama itu mengingatkanku dengan seorang Rangga dari Demak." kata Kilatmaya.
Demi didengar seorang Rangga dari Demak, Panji Tohjaya dapat menerka orang yang dimaksud oleh Kilatmaya. Tentu yang dinaksud tidak lain seorang perwira prajurit Demak yang terkenal kehebatannya dalam olah yuda. Dan bahkan menurut cerita kalau Rangga Tohjaya, saudara seperguruan ki Ageng Pengging Anom dan sahabat ki Ageng Nis di Sela.
"Bila benar apa yang aku terka, orang yang angger maksud mungkin ki Rangga Tohjaya yang kini berada di Banyubiru." ucap Panji Tohjaya.
"Oh... Benarkah itu, ki Tohjaya ?"
Panji Tohjaya mengangguk, "Begitulah yang aku dengar, ngger. Dia telah mengganti namanya menjadi Mahesa Jenar. Menurut pendengaranku ia menjadi guru putra ki Ageng Gajah Sora."
Tak menyangka ternyata Kilatmaya atau Arya Dipa dapat mengetahui keberadaan dari Rangga Tohjaya, yang pernah mendidiknya di dunia keprajuritan. Siapa menyangka disetiap langkahnya selalu terdapat dua tujuan, berupa tugas dan bertemunya dirinya dengan orang - orang yang dekat dengannya.
Cukup lama ketiga orang itu berbincang ke sana ke mari yang kadang kala menyangkut keadaan tanah jawa. Rupanya Panji Tohjaya mengukap kebenaran dirinya dihadapan Kilatmaya. Yaitu bahwa lelaki itu seorang prajurit Jipang yang mendapat tugas untuk mengungkap kebenaran dari kematian Pangeran Kinkin atau Pangeran Sekar seda ing lepen. Dan sebenarnya lelaki itu dapat mengetahui kalau Raden Mukmin tidak bersalah.
"Lalu bagaimana sikap ki Panji Selanjutnya ?" tanya Kilatmaya.
"Sia - sia saja apa yang aku lakukan sampai saat ini. Jipang sudah tertipu oleh orang - orang dibalik kabut. Laporanku tidak digubris oleh mereka. Bahkan atasan sekaligus saudara seperguruanku, tewas ditangan mereka." kata Panji Tohjaya, sedikit geram karena kematian Senopati Rakai Welar.
Pembicaaran itu berlanjut sampai matahari sudah naik pada puncaknya. Dan pada akhirnya mereka berpisah jua. Ki Wijang Pawagal dan Panji Tohjaya akan pergi ke timur untuk menyambangi ki Ageng Sekar Jagat, sementara Kilatmaya atau Arya Dipa menuju Banyubiru.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 9
oleh : Marzuki
Dalam pada itu di jalan yang berbeda, nampak tujuh orang berpakaian hitam kecuali orang terdepan yang berpakaian hijau tua. Wajah dari orang terdepan mengunjukan kegeraman dengan apa yang terjadi sebelumnya. Di mana anak buahnya telah tewas sebanyak tiga orang.
"Gangsir, berjalanlah ke selatan. Temukanlah kakang Blandong Kraksaan, untuk bergambung dengan kita di tegalan selatan Banyubiru." perintah Blego Trengganis kepada salah seorang anak buahnya.
"Baik, lurahe." sahut Gangsir dan selanjutnya mendahului iringan kawannya.
Rupanya rombongan ini adalah gerombolan Ular Sendok yang berhasil lolos dari sergapan Arya Dipa. Dan ternyata, kekalahan tadi merupakan sebuah tamparan keras yang membuat Blego Trengganis tak mampu meredakan gejolak dadanya. Oleh karena itulah ia memerintahkan anak buahnya untuk meminta bantuan kakaknya yang memisahkan diri.
Blego Trengginas yakin jika saudaranya mau membantu dirinya, tak bakal lawannya tadi bisa menghirup udara segar. Bagi Blego Trengganis, Blandong Kraksaan merupakan seorang yang tuntas dalam dunia jaya kawijayan. Di mana ia pernah menyaksikan sebuah kejadian dari ilmu saudaranya itu, yaitu perubahan wujud kakaknya.
"Sebagai penganut dewa Anta Boga, kakang mampu menjadikan dirinya ular naga raksasa." batin Blego Trengganis.
Dahulu, Blego Trengganis dan Blandong Kraksaan merupakan anak yatim yang beruntung setelah bertemu seorang nenek sakti. Oleh nenek sakti itulah keduanya dididik siang dan malam. Tenpaan keras sudah menjadi makanan sehari - hari bagi dua saudara itu. Hingga akhirnya mereka mendapat ilmu pamungkas dari nenek itu, yaitu aji Nagarupa. Sebuah aji yang membuat wujudnya layaknya ular naga berjampang. Tetapi ternyata yang berhasil dengan sempurna hanyalah Blandong Kraksaan, sedangkan Blego Trengganis tak memenuhi syarat.
Agar kedua saudara itu tidak merasa iri satu lain, nenek sakti pemuja dewa Anta Boga memberikan tongkat sekaligus mantram penanggil ular kepada Blego Trengganis. Dari itulah kedua saudara itu hidup saling menghargai satu sama lain dan terlihat rukun.
Di depan, Gangsir dengan cepat mencoba menemukan saudara pemimpinnya. Tak memerlukan waktu lama, Gangsir melihat seorang berdiri memunggunginya. Lelaki dengan rambut panjang terurai sambil bersedekap. Mata tajam memandang kejauhan, seakan mampu menembus pusat padukuhan Banyubiru.
"Hm.. Sepertinya adi Blego Trengganis mengalami kekalahan.." tiba - tiba orang itu berucap.
Gangsir mendekat dan mengangguk hormat, kemudian menyampaikan apa yang ditugaskan padanya. Mendapat laporan dari anak buah adiknya, Blandong Kraksaan hanya menghela napas.
"Seperti apa musuh kalian ?" tanya Blandong Kraksaan.
Dengan urut Gangsir menuturkan apa yang terjadi dan menggambarkan perawakan sekaligus ciri - ciri lawan mereka. Dari penuturan Gangsir yang membuat Blandong Kraksaan berkesan, ialah adanya orang bertopeng.
"Apakah orang itu membekal cambuk ?"
"Tidak, ki Blandong Kraksaan. Melainkan hanya ikat pinggang yang mampu membuat tanah bermuncratan dan batu pecaj berkeping - keping." terang Gangsir.
Anggukan kepala dan mencuatnya alis terlihat jelas dalam ungkapan hati Blandong Kraksaan. Tadinya ia mengira kalau lawan yang bertopeng adalah orang betcambuk, ternyata bukan. Blandong Kraksaan penasaran dan ingin menjajal lawan adiknya. Tiba - tiba orang itu duduk bersila dan memejamkan matanya. Dan tak berselang lama, mata itu kembali terbuka.
"Hm... Searah jalan kami." ucapnya perlahan, lalu katanya kepada Gangsir, 'Bila lurahmu tak segera datang, aku akan meninggalkan tempat ini."
"Iya, ki Blandong Kraksaan."
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 10
oleh : Marzuki
Sinar terik sang surya membawa Arya Dipa yang masih menutupi wajahnya dengan menggunakan topeng, sampai di ujung pategalan penghuni pinggiran telatah Banyubiru. Pranggaitanya yang tajam merasakan adanya sesuatu yang mengganjal di relung hatinya. Pemuda sekaligus cucu Begawan Jambul Kuning itu mencoba menenangkan hatinya dengan memejamkan mata seraya memanjatkan do'a kepada Yang Maha Agung.
Dan mata itu perlahan terbuka berbarengan perasaan sejuk di hatinya. Arya Dipa yang menyamarkan namanya dengan Kilatmaya, yakin jalan yang ia tempuh akan selalu dalam naungan Gusti Hang Karya Jagat. Maka dari itu, kakinya dengan ringan melangkah terus melewati pategalan itu.
Belum berjalan terlalu jauh, ketajaman telinganya telah mengetahui suara gesekan sebuah benda yang mirip dua orang berkelahi. Untuk memastikan apa yang terjadi, Kilatmaya bergegas menghampiri sumber suara tersebut, pastinya dengan tidak meninggalkan kewaspadaan dan hati - hati. Dan apa yang diduga benar jua.
Dua orang dan salah seorangnya sangat ia kenal walau baru ia jumpai di hari itu. Yaitu pemimpin gerombolan Ular Sendok, Blego Trengganis. Orang itu berhadapan dengan seorang remaja berusia delapan belas tahun.
"He... Tata gerak itu mirip dengan paman Tohjaya... " desis Kilatmaya, dan saat mengikuti lebih jauh, kembali Kilatmaya tercekat, "Oh.. Itu.. "
Rupanya remaja yang disaksikan oleh Kilatmaya, telah menerapkan tata gerak dari perguruan Pengging dan sesaat kemudian mampu menerapkan tata gerak yang sangat mirip dengan ilmu ki Ageng Gajah Sora. Dan itulah yang menjadikan Kilatmaya bagai menjumpai bayangan Rangga Tohjaya dan ki Ageng Gajah Sora. Sungguh sangat mengagumkan dua unsur ilmu dari sumber berbeda dapat diramu dalam wadag seorang remaja bertubuh kekar itu.
Hanya saja, yang membuat Kilatmaya kawatir ialah selalu terburu - burunya remaja itu, sehingga lawan dapat menipu daya dan berhasil menjebak remaja itu. Bila dicermati, ini menunjukan kalau remaja itu masih belum mampu mengendalikan perasaannya dan kurangnya pengalaman. Tentu bagi Kilatmaya yang sudah berpengalaman dapat membaca akhir dari perkelahian itu.
"Bila dilanjutkan, anak itu akan celaka." batin Kilatmaya, tetapi pemuda itu belum bergerak.
Rupanya Kilatmaya tidak hanya memusatkan perhatiannya terhadap pertempuran itu saja. Matanya yang awas berhasil menemukan seseorang di balik pohon nangka. Dan orang di balik pohon nangka itu telah membuat desir halus merambati relung hati Kilatmaya. Itu menandakan kalau orang di balik pohon nangka, seorang yang patut ia waspadai.
"Siapa orang itu ? Sepertinya ia sengaja mengujukan keberadaannya.." desis Kilatmaya.
Belum sempat Kilatmaya mengambil kesimpulan, apa yang ia duga telah melanda remaja yang menghadapi Blego Trengginas. Remaja itu mencelat setelah terkena tendangan keras Blego Trengganis. Baru tubuh remaja itu akan bangkit, lawannya telah menggenjot kakinya berupaya melanjutkan gempurannya.
"Mati aku !" keluh remaja itu dalam hati, sambil memejamkan mata.
Remaja itu sudah yakin kalau sebentar lagi nyawanya akan terenggut lantaran gempuran lawannya. Tetapi keherananlah yang muncul kemudian. Tubuhnya tak merasakan sebuah tangan menumbuknya. Padahal ia tahu betul kalau lawannya akan mendaratkan tangan ke tubuhnya. Barulah ia terkejut dan membuka mata manakala terdengar lawannya mengumpat dengan kasarnya.
Saat mata remaja terbuka, yang dilihat adanya dua tubuh tegap tepat di depannya. Satu orang sangat ia hormati, yaitu guru sekaligus kawan ayahnya, paman Mahesa Jenar. Dan satu lagi seorang bertopeng yang tak ia kenal.
Dalam pada itu, ki Mahesa Jenar yang menatap Blego Trengganis dengan tajam, telah berucap, "Kau tak apa -apa Bagus Salaka ?"
"Tidak apa - apa, paman Mahesa." jawab remaja yang bernama Bagus Salaka.
"Syukurlah." ucap ki Mahesa Jenar, yang kemudian menyapa orang disebelahnya, "Terima kasih, kisanak."
Kilatmaya mencoba menyahut namun suaranya ia samarkan, "Ah, nanti saja, tuan. Lawan masih mampu bangkit kembali dan lihatlah, kawannya sudah keluar dari kepura - puraannya."
Seperti perkataan orang bertopeng, Blego Trengganis sudah bersiaga dan orang yang berada di balik pohon nangka juga menghampiri Blego Trengganis. Orang itu adalah Blandong Kraksaan yang menunggu kedatangan orang bertopeng yang mampu membuat adiknya kewalahan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 11
oleh : Marzuki
Ki Mahesa Jenar bergegas mempersiapkan diri untuk menghadapi salah seorang saudara gerombolan Ular Sendok dari gunung Kendeng itu. Namun, belum lagi ia beranjak dari tempatnya berdiri, lelaki tua menghardik dengan kerasnya.
"Ketemu juga kau, Mahesa Jenar !"
Kedatangan lelaki tua itu membuat Mahesa Jenar tercekat, begitu juga dengan Blego Trengganis dan Blandong Kraksaan. Ketiga orang itu tahu betul orang yang baru datang dengan perawakan layaknya raksasa. Dialah penguasa pulau Sempu yang berjuluk ki Dibyo Manggala. Seorang yang menganut ilmu sesat untuk menyempurnakan ilmunya.
"Kau Dibyo Manggala ?!" seru ki Mahesa Jenar.
Orang itu tertawa angker dan memperlihatkan gigi besar dan runcing layaknya taring. Matanya liar menatap ki Mahesa Jenar, orang bertopeng dan dua saudara dari gunung Kendeng. Dari kesemuanya itu ia menatap lebih tajam ke arah orang bertopeng di sebelah ki Mahesa Jenar. Seakan ingin menguliti wajah dibalik topeng.
"Herr... He, kaukah orang bercambuk yang menggetarkan telatah Jawa ini, he ?!" Tanya ki Dibyo Manggala keras.
Orang bertopeng menggelengkan kepalanya, "Bukan kisanak. Aku tidak sehebat kawanku itu. Aku hanyalah Kilatmaya dari lereng Penanggungan."
"Ho... Sombong sekali gelar yang kau pakai, Kilatmaya. Ingin rasanya aku menjajal kemampuanmu !" ucap ki Dibyo Manggala.
Tiba - tiba Blandong Kraksaan menyela dengan keras disertai ilmu yang mengagumkan, "He, orang Sempu ! Dia sudah menjadi incaranku !"
Ki Dibyo Manggala melirik Blandong Kraksaan dan sejenak kemudian meludah, "Cih... Cecunguk pemuja Anta Boga namun berkelakuan bejat berani mengumbar adat !"
"Cobalah kau kalahkan orang bertopeng itu dengan cepat sebelum aku mengalahkan murid Handaningrat, Blandong Kraksaan. Tetapi bila aku yang dulu mengalahkan lawanku, aku akan merebut incaranmu itu." lanjut ki Dibyo Manggala, dengan angkuhnya.
Kilatmaya yang dijadikan barang rebutan, tertawa renyah. Sehingga orang - orang merasa aneh dengan tawa orang bertopeng itu.
"Siapapun yang menghadapi diriku, boleh saja. Tetapi orang disebelahku bukanlah seorang yang diam saja menyaksikan sikap kalian. Bukan begitu tuan ?" kata Kilatmaya dan mengajukan kata kepada ki Mahesa Jenar.
Ki Mahesa Jenar yang seorang tidak pandai berolah kata, hanya mengangguk saja. Baginya Dibya Manggala atau dua saudara Ular Sendok, harus mendapat perhatian yang sungguh - sungguh. Karena ki Mahesa Jenar sudah mengenal secara langsung maupun tidak langsung, kemampuan tiga orang itu setara dan bahkan lebih tinggi dari tokoh Sima Rodra dan dua saudara Uling dari Rawa Pening.
"Herrr..... " gigi ki Dibyo bergemelutakan dengan kerasnya.
Orang dari pulau Sempu seketika meloncat menyerang ki Mahesa Jenar. Tangannya mengembang bagai harimau menerkam mangsanya. Meskipun gerakan ki Dibyo sangat cepat, nyatanya murid ki Ageng Pengging Sepuh dapat lolos dengan merendahkan dirinya dan menggeser kakinya.
Sementara itu, Kilatmaya menotolkan kakinya ke tanah, untuk memindahkan tubuhnya mendekati putra ki Ageng Gajah Sora. Gerakannya begitu indah hingga membuat cucu ki Ageng Sora Dipayana terkagum - kagum. Dalam keadaan terpana itulah, orang bertopeng mengangsurkan keris kepadanya.
"Gunakan keris ini untuk beberapa hari kedepan."
Tentu saja putra ki Ageng Gajah Sora tertegun karena rasa heran dan bingung bercampur menjadi satu. Meskipun begitu tangannya tetap menerima keris itu.
"Bila tubuhmu tak mengalami luka, lawanlah Blego Trengganis sekali lagi. Gunakan kyai Sangkelat untuk melawannya. Tapi ingat, jangan kau terburu - buru." kata Kilatmaya.
Tanpa menunggu jawaban, Kilatmaya sudah menggenjot tubuhnya untuk menghadang pergerakan dua bersaudara dari gunung Kendeng.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 12
oleh : Marzuki
Tangan Kilatmaya mengembang bak burung garuda saat menghadang langkah dua bersaudara dari gunung Kendeng. Bersamaan dengan tubuh memutar, dua serangan ia lancarkan memukul dada lawan - lawannya. Meskipun pada akhirnya, lawan mampu menangkis dan satunya lagi menghindar. Namun itu semua sudah dapat diduga oleh Kilatmaya. Oleh karenanya dengan gesit saat kaki sudah kembali menginjak tanah, tendangan memutar ia layangkan kepada Blego Trengganis dan putaran lanjutnya menghajar pundak Blandong Kraksaan.
Datangnya serangan cepat itu tak membuat Blandong Kraksaan dan Blego Trengganis, gentar. Dua orang itu dapat menangkis dengan baik dan bahkan membalas serangan ganda. Yaitu dua pukulan dari Blego Trengganis, lalu sodokan disertai tendangan dilancarkan oleh Blandong Kraksaan. Sungguh kerjasama yang bagus diterapkan oleh dua saudara itu.
Keadaan itu memang menguras tenaga bagi Kilatmaya, terutama serangan - serangan dari Blandong Kraksaan. Kemampuan lawannya itu jauh lebih hebat daripada Blego Trengganis. Dan apa ia duga sejak awal memang benar adanya kalau kemampuan dan tenaga Blandong Kraksaan memang mendebarkan.
Dalam pada itu, Arya Salaka yang tidak lain putra ki Ageng Gajah Sora, mulai berdiri dan meloncat mengambil lawan Blego Trengganis. Namun kali ini remaja belum genap dua puluh tahun itu telah mengingat pesan orang bertopeng. Untuk menghadapi lawannya, ia harus mengendapkan hatinya dan tak berlaku grusa - grusu. Maka terlihatlah betapa tata gerak perpaduan Pengging dan Banyubiru luluh menimbulkan daya gedor lebih berbobot dan hebat.
Apa yang dilakukan Arya Salaka kali ini menimbulkan keterkejutan bagi Blego Trengganis. Dia merasakan perbedaan mencolok dari apa yang ia saksikan saat ini. Seolah lawan yang masih pupuk bawang itu mendapat limpahan tenaga kasat mata.
"Aneh, kenapa tenaganya begitu berbobot seperti ini ?" ucap Blego Trengganis dalam hati, lalu ia ingat ketika orang bertopeng mengangsurkan benda sekaligus membisiki remaja itu.
Dicobanya meningkatkan tatarannya selapis lebih tinggi. Tetapi lawan dapat mengimbangi dengan baiknya. Karenanya kembali pemimpin gerombolan Ular Sendok meningkatkan kemampuannya, dan lagi - lagi Arya Dipa bisa menandinginya. Maka terjadila susul menyusul adu keprigelan tata gerak dari masing - masing jalur olah kanuragan yang mereka sadap dari guru masing - masing.
Di sisi lain perkelahian juga semakin seru, dimana ki Mahesa Jenar menghadapi si raksasa Dibyo Manggala. Sepak terjang ki Mahesa Jenar sangat menakjubkan manakala menerapkan ilmu Pengging serta satu dua ilmu dari Sela. Tangannya yang kuat menggebuk dada lawan yang berdada bidang dengan kerasnya. Serangan itu membuat tubuh lawannya tergeser dua langkah ke belakang.
"Hehehe.... Kuat juga ilmumu, Mahesa Jenar !" seru ki Dibyo Manggala, diiringi tawanya.
Raksasa dari pulau Sempu itu menggenjot kakinya untuk melambungkan tubuhnya. Gerakan kaku menjulur lurus ke depan ia lakukan untuk menggedor pertahanan lawan. Dan rupanya lawan tidak menghindar sama sekali. Tak pelak, adu kerasnya tulang terjadi di pinggiran pategal Banyubiru.
Kaki ki Mahesa Jenar tergeser empat langkah dengan tangan masih menyilang di depan dada. Sedangkan ki Dibyo Manggala membal tapi dengan memutar tubuh dua kali di udara dan selanjutnya dapat mendarat dengan sempurna. Keduanya menggambarkan dua harimau yang sama - sama tanggon.
Tidak mengulur waktu lama, keduanya kembali bergerak sekaligus meningkatkan kemampuan mereka. Tandang keduanya semakin lama bertambah ngedab - ngedabi. Debu di sekitar mereka ikut bergolak mengudara. Dan tanah pun tak luput menderita terinjak - injak tak karuan.
Air yang terkandung dalam lapisan daging menyeruak lewat sela - sela lapisan kulit dan menimbulkan keringat yang merembes membasahi pakaian. Menandakan tenaga yang diungkap sangat menyita tubuh mereka. Namun bagi seorang olah yuda, hal itu tak menyusutkan langkah mereka dalam mengungguli lawan.
Tiga kalangan manusia jauh dari kemampuan wajar seseorang, berlomba - lomba dapat menekan lawan masing - masing. Tetapi yang hakiki ialah adanya perbedaan tujuan utama mereka dalam mengakhiri perkelahian itu. Bagi Orang bertopeng, ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tujuan mereka ialah mengalahkan niat lawannya saja bila memungkinan tanpa melenyapkan nyawa yang terkandung dalam raga kasar itu. Tetapi sangat berbeda dengan lawannya, ketiga orang itu memang sengaja ingin melenyapkan jiwa raga ki Mahesa Jenar dan yang lainnya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 13
oleh : Marzuki
Seiring berjalannya sang waktu, ketiga kalangan semakin seru dalam olah yuda. Kesabatan tata gerak dilambari tenaga dahsyat serta siasat berdasarkan pengalaman dan waktu yang berlangsung, membuat tanah berhamburan tak menentu. Udara pun bergolak terkena kedahsyatan tenaga mereka.
Kilatmaya benar - benar menemukan lawan yang hebat kali ini. Blandong Kraksaan menunjukan betapa murid nenek sakti dari gunung Kendeng tersebut, seorang yang tuntas dalam kaweruh ing kanuragan. Tandangnya lebih berbobot ketimbang adik seperguruannya.
Suatu kali orang itu meluncur dengan tubuh berputaran dengan tangan mematuk Kilatmaya. Kecepatan serangan itu sangatlah mengagumkan bagi orang bertopeng. Apalagi serangan yang masih berada jauh dari wadah lawan telah mendahului terlebih dahulu. Namun kali ini Blandong Kraksaan harus menunda dahulu tambur kemenangannya, ini dikarenakan lawan mampu menghindar dengan meloncat ke samping.
Kini giliran Kilatmaya yang membalas menggunakan tangannya untuk meraih dan mencengkeram kaki lawan. Siasat yang semestinya dapat berhasil, ternyata tak berjalan dengan baik. Entah mengapa tangan yang semestinya dapat menangkap dengan mudah, bagaikan menemukan daging lunak yang dilolosi minyak. Hal itu menyebabkan daging itu lolos dari cengkeraman tangan Kilatmaya.
"Welut putih..... " desis Kilatmaya, sembari mengejar lawan.
Rupanya Blandong Kraksaan mengerti dirinya terus dikejar, ia mencoba menjatuhkan dirinya ke tanah. Tepat lawannya akan meraih dan memukulnya, tubuh Blandong Kraksaan bergerak merambat layaknya ular saja. Tentu saja kejadian itu mengejutkan lawannya, dan kesempatan itu digunakan untuk mendlupak dengan kerasnya.
Rupanya Blandong Kraksaan mengerti dirinya terus dikejar, ia mencoba menjatuhkan dirinya ke tanah. Tepat lawannya akan meraih dan memukulnya, tubuh Blandong Kraksaan bergerak merambat layaknya ular saja. Tentu saja kejadian itu mengejutkan lawannya, dan kesempatan itu digunakan untuk mendlupak dengan kerasnya.
"Ough.... " keluh Kilatmaya yang terdorong dua tindak.
Kelengahan itu membuat Kilatmaya meningkatkan seluruh kemampuan pranggaitanya. Pun dengan tenaga cadangannya telah menyeruak kepermukaan. Desir angin dari setiap tangan pemuda itu membuat udara menyibak seketika. Kakinya menotol tanah untuk melambungkan tubuhnya dan saat di udara, kakinya dengan keras mengarah kepala lawan. Meskipun lawan dapat menangkis menggunakan tangan membentuk siku, Kilatmaya melancarkan serangan susulan yang tak diduga oleh Blandong Kraksaan. Sehingga tubuh orang Kendeng itu mencelat tiga langkah.
"Huh... Setan alas !" umpat Blandong Kraksaan, sambil mengelus dada dan bersiaga.
Kilatmaya meluangkan waktu bagi lawan untuk menghirup napas. Waktu luang itu memang memberikan Blandong Kraksaan dapat memulihkan tenaganya dan kembali meloncat menyerang. Maka keduanya berlanjut menuntaskan perkelahian diantara mereka.
Perkelahian di sisi lain juga tak kalah mencengangkan. Ki Dibyo Manggala benar - benar bernapsu untuk menjatuhkan lawannya yang tak lain ki Mahesa Jenar. Tandang keras ciri pulau Sempu menimbulkan cara tersendiri bagi ki Mahesa Jenar untuk menanggulanginya. Jalur Pengging diramu perguruan Sela membuat bekas senopati Demak itu dapat menandingi raksasa pulau Sempu.
Bila lawan melakukan tendangan memutar, ki Mahesa Jenar merendahkan tubuhnya sembari menyapu kaki lawan. Namun lawan pun cukup cekatan melakukan pengindaran sembari membalas gaplokan ke kepala ki Mahesa Jenar. Untungnya murid ki Ageng Pengging sepuh bergegas menyurutkan tubuhnya yang masih dalam keadaan berjongkok.
Tapi ki Dibyo Manggala tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Selekas lawan menghindar, kakinya bergegas menotolkan tanah dan menjulurkan tangannya ke dada lawannya. Ia yakin kalau pukulannya ini dapat menjebolkan dada bidang lawannya.
Tapi ki Dibyo Manggala tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Selekas lawan menghindar, kakinya bergegas menotolkan tanah dan menjulurkan tangannya ke dada lawannya. Ia yakin kalau pukulannya ini dapat menjebolkan dada bidang lawannya.
Saat bersamaan kala itu ki Mahesa Jenar dengan cepat bertindak, yaitu menyilangkan tangan di depan dadanya. Tindakan ini tentunya dilambari tenaga tak kasat mata demi menjaga dadanya dari ancaman pukulan lawan. Dan tak pelak akhirnya dua hentakan keras mengguncang kedua orang itu.
Apa yang dirasakan oleh ki Mahesa Jenar sangat membuat dadanya sesak bagai tertumbuk batu karang, hingga kakinya menggerus tanah sebatas mata kaki dan sepanjang tiga langkah mundur. Sebaliknya dengan apa yang dirasakan oleh ki Dibyo Manggala hampir sama seperti lawannya, dimana tangan orang Sempu itu bagai mengenai benteng besi logam yang keras dan membuat tangannya sakit bukan kepalang.
Keduanya sama - sama mengagumi tenaga dan kemampuan lawan. Tangguh tanggon bagai harimau perkasa dan kuat tebalnya banteng liar, cocok menjadi gambaran kedua orang tersebut.
Sementara itu, Arya Salaka yang mendapat anjuran dari orang bertopeng, telah dapat menguraikan segala keserba grusa - grusunya gejolak remaja, sehingga lebih mapan dalam menerapkan ilmunya untuk menghadapi pemimpin gerombolan Ular Sendok. Perpaduan ilmu Banyubiru dan Pengging luluh menjadikan remaja ini cekatan dan trengginas. Tandang yang ia tunjukan benar - benar membuat lawannya geram dan kesal.
Blego Trengganis tak menyangka dalam sekejap remaja yang dapat ia robohkan mampu berubah dengan cepat. Tata geraknya dapat dibaca dengan mudah oleh lawan yang usianya terpaut sangat jauh darinya. Hal itu sungguh merupakan sebuah tamparan yang memalukan, apalagi dalam beberapa gerakan dirinya dapat dikenai sentuhan oleh tangan remaja itu.
Timbulah kemarahan dalam jiwanya membuncah melahap semua yang ada. Ilmu tingkat atas mulai diterapkan dengan harapan dapat menelan lawan yang akan membuatnya disegani oleh tokoh - tokoh hitam. Kehebatan ilmu itu mulai menyeruak bersamaan dengan hawa berbau anyir melingkupi sekitar tempat itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 14
oleh : Marzuki
Blego Trengganis mengungkap aji Gandha Pralaya, ilmu bau kematian yang membuat lawannya akan merasakan aroma anyir dan busuk yang tajam, dan akan menyebabkan pemusatan lawan akan buntu serta merusak indra prangasa lawan. Aji Gandha Pralaya ini diperolehnya setelah mengadakan lelaku pati geni selama empat puluh hari ditengah ratusan mayat perawan.
Perubahan hawa anyir dan busuj yang menyengat itu membuat kepala Arya Salaka pening bukan main. Terlihat cucu ki Ageng Sora Dipayana menggeleng - gelengkan kepala serta memijit pelipisnya. Namun tetap saja rasa pusing tidak mau pergi. Malah kini bertambah mengganggu saluran pernapasannya dan membuat tenggorokannya bagai tercekik tangan kokoh.
Wajah remaja itu semakin lama memutih pucat. Rasa sakit sudah membuat nyawa hampir membumbung keluar dari ubun - ubun. Harapan untuk hidup sangat tipis dalam pikiran remaja itu. Namun bila Sang Pencipta bertindak lain, nyawa yang hampir lenyap itu bakal kembali mengisi raga putra ki Ageng Gajah Sora. Melalui perantara berupa pusaka yang terselip dalam ikat pinggang, telah mengalirkan hawa hangat mengusir hawa jahat aji Gandha Pralaya.
Tanpa sadar tangan Arya Salaka meraih keris kyai Sangkelat dan meloloskan dari warangkanya. Secepatnya ia menebaskan tajamnya kyai Sangkelat ke udara di depannya. Terjadilah kibasan pusaka itu dan menyibak gelombang ilmu lawan dan buyar berantakan.
"He.... Tidak mungkin... !" mata Blego Trengganis terbeliak tak percaya dengan keampuhan pusaka ditangan lawan.
Keterkejutan kepala gerombolan Ular Sendok tak berlangsung lama. Tokoh hitam ini cepat menyadari keadaan dan bergegas mengaburkan rasa kagum terhadap pusaka lawan. Tongkat kepala ular mulai ia putar di depan dada. Menimbulkan deru angin keras saling bercuitan.
"Hiiiiat..... !" seru Blego Trengganis sembari menyarangkan tongkat ke tubuh lawan.
Arya Salaka tak tinggal diam. Keris kyai Sangkelat bergerak menyongsong gempuran tongkat lawannya. Maka terjadilah olah senjata dari keduanya. Denting gesekan senjata menghasilkan percikan bunga api.
Kyai Sangkelat membuktikan betapa pusaka itu terbuat dari besi pilihan. Tajamnya bilah dapat menghadapi kerasnya tongkat yang terbuat dari besi gligen. Dan lambaran tenaga si pemegangnya dapat menyatu dengan pusaka itu sendiri, menambah daya gedor menghalau pertahanan lawan.
Sebenarnya kehebatan perguruan Pengging dan Banyubiru mampu menggetarkan tanah jawa. Ditambah kali ini Arya Salaka menggunakan kyai Sangkelat ditangannya. Maka tak heran kalau lawan setangguh Blego Trengganis jadi kelabakan. Tangan orang gunung Kendeng itu mulai tersengat panas dan hampir tak dapat menahan genggaman senjata ditangannya.
"Setan mana yang manjing dalam tubuh anak ini ?!" geramnya, sembari mundur.
"Menyerahlah, kisanak. Kami tak akan membuarmu celaka." Arya Salaka mencoba membujuk
"Cih... Jangan besar kepala, anak bengal. Aku masih menyimpan segudang ilmu !"
Tiba - tiba tongkat berkepala ular ditancapkan di tanah samping tubuh Blego Trengganis. Selanjutnya orang itu memusatkan nalar dan budinya. Tangan yang menguncup di depan dahi turun ke dada dan saling digesekan. Timbulah asap tipis menyeruak dari sela tangannya. Tindakan itu masih berlanjut dengan adanya warna membara menyelubungi tubuh Blego Trengganis.
Inilah aji Nagadahana tingkat tinggi yang dapat ia pelajari dan disempurnakan. Tidak sembarang orang yang mampu melakukan lelaku ini, bahkan kakaknya yang bisa menggunakan aji Nagarupa. Tapi bila dibandingkan dengan aji Nagarupa, Nagadahana kalah selapis.
Awalnya Arya Salaka tercekat mendapati lawannya seperti itu. Tetapi petuah - petuah dari orang yang ia hormati, membuatnya tenang. Segera remaja itu memusatkan nalar dan budinya untuk mengungkap ilmu yang ia warisi dari paman sekaligus gurunya ki Mahesa Jenar. Aji Sasra Birawa, ya inilah yang kemudian dilakukan remaja putra tunggal ki Ageng Gajah Sora.
Sasra Birawa tersalurkan ke dalam kyai Sangkelat. Membuat senjata itu memancarkan warna hijau cemerlang meskipun hari masih terang.
"Hiiiaat.... " dua teriakan dari sumber berbeda mengawali dua hentakan ilmu mendebarkan.
Suara layaknya langit rubuh menggema memenuhi pategalan Banyubiru. Tubuh Arya Salaka terpental dan bergulingan sejauh sepuluh langkah. Sedangkan ki Blego Trengganis berdiri tegak seperti patung. Hanya saja yang lain ialah adanya ganggang keris tersembul di dadanya.
"Edaaaan... !" umpatnya dengan kasar.
Tubuh itu tak lama lunglai ke tanah. Nyawanya amblas termakan aji Sasra Birawa dan kyai Sangkelat. Pupus sudah salah seorang kepala Ular Sendok. Menyisakan tatapan layu dari mata Arya Salaka yang berusaha duduk dan mengatur pernapasannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 15
oleh : Marzuki
Dalam upaya mengembalikan serta meredam sakit yang dirasakan melanda tubunya, Arya Salaka memusatkan segala pikirannya untuk merendahkan diri dan meminta pertolongan Gusti Allah dengan cara menerapkan ilmu Prana. Perlahan namun pasti remaja itu merasakan kekuatannya kembali. Dadanya yang bagai diselomoti bara api sudah sirna bergantikan hawa sejuk.
Berdirilah remaja putra ki Ageng Gajah Sora dan berjalan menghampiri lawannya yang tumbang. Sekilas dilihat ternyata tubuh Blego Trengganis menghitam dengan luka di dada akibat tusukan kyai Sangkelat dan aji Sasra Birawa milik Arya Salaka. Desuhan dari mulut remaja itu menunjukan rasa kecewa atas kematian pemimpin Ular Sendok.
"Hmmm... Terpaksa kematian ini terjadi padanya. Bila aku tak berbuat begitu, mungkin akulah yang terbujur kaku. Dan... Ah, tak mampu aku membayangkan kelanjutan tanah perdikan Banyuburu." desis Arya Salaka.
Tangannya kemudian meraih tangkai keris dan mencabut keris pusaka dari tubuh lawan. Anehnya bilah keris tiada noda darah walau hanya setetes. Menunjukan betapa aji Sasra Birawa dan keris itu mampu mengeringkan darah dalam tubub Blego Trengganis. Sejenak kemudian keris itu dimasukan ke warangka.
Pada saat terjadinya adu ilmu kawijayan terjadi tadi, Blandong Kraksaan sempat melihat tatkala adiknya tumbang secara mengenaskan. Tersulutlah amarah dalam dadanya. Saudara yang ia sayangi kini tergeletak diam membeku untuk selama - lamanya. Akibatnya Blandong Kraksaan bagai banteng yang lepas dari ikatan tali. Mengamuk penuh tenaga menyeruduk dan menyeplak mangsanya.
Ilmi tata gerak Panca Margi Pralaya yang biasanya dilakukan orang lebih dari satu, ditangan Blandong Kraksaan dapat ia lakukan sendiri. Tubuh orang ini berkelebat cepat bagai bayangan saja. Malah seolah - olah tubug itu berjumlah banyak, sehingga membuat lawan yang menghadapi kerepotan.
Lawan yang tiada lain Kilatmaya memang bingung mengetahui kehebatan tata gerak rumit dan cepat ini. Tubuhnya dapat dikenai beberapa kali, meskipun tak berarti apa - apa, karena tubub orang bertopeng diselimuti aji Niscala Praba.
"Untunglah aku sudah waspada sejak awal dan menerapkan aji Niscala Praba. Jika tidak, tubuhku akan lumat." batin Kilatmaya atau Arya Dipa.
Dalam pada itu, Blandong Kraksaan sempat heran melihat lawan yang ia hadapi tak mengalami apa - apa. Padahal ia yakin dapat melakukan sentuhan - sentuhan keras melanda tubuh lawannya. Karenanya ia meloncat mundur sekaligus menajamkan pandulunya untuk memperhatikan lawan.
"He... Warna kuning kemilau itulah yang melindungi tubuh orang ini. Ilmu macam apa itu ?" geremeng Blandong Kraksaan, lirih.
Murid tertua nenek pemuja naga Anta Boga itu menyimpulkan akan mencoba ilmu Hasta Naga. Maka dengan cepat ia memusatkan mengumpulkan tenaga dan dipusatkan di sepasang tangannya. Aji ini karang yang keras saja akan tercabik - cabik tak karuan, apalagi hanya manusia yang terdiri dari darah dan daging.
"Rasakan ini manusia bertopeng !" seru Blandong Kraksaan, sambil meloncat menerkam lawan.
"Wuuuuuus... Sreet... Sreeet..."
Kilatmaya dan Blandong Kraksaan sendiri, sama - sama kaget. Kilatmaya merasakan cakaran lawan telah mengoyak lapisan Niscala Praba hingga kain pakaiannya tercabik. Sedangkan Blandong Kraksaan merasakan lapisan selapis dapat ia robek, tetapi tiba - tiba tenaganya hilang.
"Siapa sebenarnya orang ini ? Ilmunya sungguh aneh." Blandong Kraksaan heran, tetapi kembali menyerang.
Terjadilah perkelagian hebat dengan menggunakan tata gerak rumit penuh kembangan serta dilambari tenaga cadangan. Keduanya bergerak sebat mencari titik lemah lawan agar lawan cepat tumbang. Meskipun sangatlah sulit hal itu.
Hingga akhirnya Bkandong Kraksaan memutuskan untuk mengakhiri perkelahian tersebut. Orang itu mundur menjaga jarak demi mempersiapkan aji pamungkas yang hanya ia sendiri yang dapat menerapkan. Ilmu sangat jarang dimiliki oleh ahli kawijayan di masa itu.
Udara berubah gelap dan angin berderak di pategalan itu. Tubuh Blandong Kraksaan mendadak digulung angin yang disertai kabut tipis. Dan ketika kabut itu mereda dan angin lenyap, tampilah sesosok naga mengerikan dan besar.
"Oh... " desuh Kilatmaya manakala menyaksikan lawannya berubah menjadi seekor naga raksasa.
Dahulu sebenarnya Kilatmaya pernah menghadapi ular naga dan dapat membunuhnya. Tetapi kali ini orang bertopeng ini tercengang adanya. Naga di depannya lebih besar dan sangatlah menyeramkan.
Belum lagi dirinya dapat menenangkan hatinya, naga jelmaan dari ilmu Nagarupa telah menyabetkan ekornya dengan kerasnya.
" Awas kisanak !" seru Arya Salaka.
Kilatmaya terlambat menyadarinya dan tubuhnya mencelat terkena kibasan ekor naga. Tak pelak tubuh itu menghantam pohon jati sebesar paha, hingga membuat pohon itu tumbang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 16
oleh : Marzuki
Belum lagi Kilatmaya bergerak, Nagarupa sudah menjulurkan tubuhnya untuk mencaplok orang bertopeng itu. Namun rupanya Arya Salaka tak tinggal diam. Remaja itu memusatkan tenaga di tangannya dan dengan keras menghantam tubuh ular naga tersebut. Tapi pukulan keras yang dilancarkan Arya Salaka tak berpengaruh banyak. Ular Nagarupa hanya meliuk saja sambil mengibaskan ekornya ke tubuh Arya Salaka dan terus meluncur.
Mendapati pukulannya tak digubris oleh Nagarupa, Arya Salaka yang juga bergelar Bagus Handoko mengingsarkan kaki demi menghindari sabetan ekor, sekaligus menangkapnya. Dengan sekuat tenaga ekor itu dicekal untuk menahan gerakan ular Nagarupa. Hal itu juga mengulur waktu agar supaya orang bertopeng cepat bertindak.
Adu kekuatan terjadi antara Arya Salaka dan Nagarupa jelmaan Blandong Kraksaan. Tangan remaja yang mendapat gemblengan ki Mahesa Jenar dan sedikit tuntunan ayahnya ki Ageng Gajah Sora, menjadikan remaja Banyubiru itu perkasa layaknya kekuatan sepuluh banteng liar. Sedikitpun tangan itu tak mau membiarkan bagian ekor naga lepas dari cengkeramannya. Padahal Nagarupa dengan menggila mencoba mengibas - ibaskan ekornya.
Apa yang dilakukan oleh Arya Salaka itu sempat mendapat perhatian khusus dari guru sekaligus pamannya, ki Mahesa Jenar. Rasa bangga mengalir dalam jiwa Rangga Tohjaya yang telah ikut andil mendidik anak sahabatnya. Tetapi ia harus mengakhiri rasa kagumnya karena harus merendahkan tubuh disaat lawannya hampir menyarangkan pukulan ke kepalanya.
"Awas Mahesa Jenar ! Berkelahilah tanpa membagi perhatian, jika kau tak ingin cepat mampus !" ucap Dibya Manggala, mengingatkan sembari mengayunkan kakinya.
"Uh... " desuh ki Mahesa Jenar sembari beringsut ke belakang dan memutar tubuhnya.
Dalam memutar tubuhnya itulah ki Mahesa Jenar melayangkan tendangan memutar dengan keras. Meskipun lawan tak dikenai, bekas perwira Demak ini bergegas memburu lawan dengan gencarnya. Adu siasat tata gerak terus diupayakan dengan sengitnya oleh ki Mahesa Jenar dan raksasa pulau Sempu.
Dalam pada itu, Kilatmaya yang sudah menguasai dirinya melenting berdiri dan bergegas membantu Arya Salaka, yang terlihat tak mampu lagi menahan kekuatan Nagarupa. Layaknya burung garuda, tangan Kilatmaya mengembang lebar, serta kakinya bak cakar sangat cepat mengarah kepala Nagarupa. Hebat hasilnya, dimana kepala ular tersebut terbanting keras mengenai tanah. Tapi yang merugikan ialah gerakan ekor yang dapat mengibaskan Arya Salaka hingga jauh.
Syukurnya Kilatmaya yang mengetahui adanya tubuh yang terhempas, langsung menotolkan kaki beberapa kali untuk melambungkan tubuhnya mengejar dan menangkap tubuh Arya Salaka. Maka selamatlah remaja putra ki Ageng Gajah Sora tanpa luka.
"Terima kasih, tuan." ucap Arya Salaka.
"Ah.. Itu tak seberapa, adi. Dan janganlah memanggilku tuan, lebih enak panggilah kakang Kilatmaya." sahut Kilatmaya.
"Baik, kakang Kilatmaya."
Kilatmaya maju setindak di depan Arya Salaka, lalu katanya, "Istirahatlah, adi. Biarlah jelmaan naga itu aku yang urus."
Tanpa menunggu jawaban, Kilatmaya yang juga Arya Dipa terlihat bersungguh - sungguh. Sikapnya terkesan mantab dengan kuda - kuda kokoh. Pemusatan nalar budi mengembang berlambarkan do'a kepada Gusti Agung dengan perantara mengungkap ilmu Cakra Paksi Jatayu serta ilmu dari rontal Panembahan Anom. Perpaduan dua ilmu ini dengan kekuasaan Sang Pencipta dapat menjadikan Kilatmaya berubah menjadi Garuda raksasa.
Ilmu Garuda Yaksa membuat semua orang terpana. Bagaimana tidak ? Wujud burung ini benar - benar mendebarkan melebihi wujud Nagarupa. Kibasan sayapnya menjadikan prahara dahsyat. Suara yang ditimbulkan dari paruh, layaknya gema ilmu Gelap Ngampar tingkat teratas.
Ki Dibya Manggala merasakan tubuhnya bergidik mendapati lawan Blandong Kraksaan mampu malih rupa layaknya ilmu dalam pewayangan. Tanpa malu orang dari pulau Sempu itu meninggalkan pategalan dan hilang dibalik semak belukar.
Sementara itu, Nagarupa jelmaan Blandong Kraksaan menjadi beringas. Tubuh naga meliuk - liuk mendebarkan dengan moncong kepala menjulurkan lidah bercabang dari mulutnya. Desisan keras seakan ingin menandingi suara Garuda Yaksa.
Pategalan Banyubiru dan juga dua insan menjadi saksi atas apa yang terjadi. Perkelahian layaknya di alam mimpi benar - benar terjadi di depan mata tajam ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Keduanya hanya dapat memperhatikan saja tanpa dapat ikut campur.
Juluran tubuh panjang Nagarupa berusaha menangkap gesit dan lincahnya Garuda Yaksa, namun sangatlah sulit hal itu diwujudkan karena Garuda Yaksa benar - benar luar biasa. Kepakan sayapnya membuat burung itu mengangkasa tinggi dan dengan cepat meluncur menggapai mata Nagarupa menggunakan paruh serta mencakar tubub bagian leher Nagarupa. Dan rupanya Nagarupa tak ingin mengalami celaka dari lawannya, oleh karenanya ekornyalah yang berbicara lebih tajam dan mengancam.
Adanya perlawanan Nagarupa hanyalah menunda serangan mematikan yang dilancarkan Garuda Yaksa. Sesaat Garuda Yaksa kembali mengangkasa lagi dan mencari titik buta lawan.
"Craaak... Craak.. Craak.."
Tiga kali cakaran tak mampu dihindari oleh Nagarupa. Keluhan menyayat membuat naga raksasa itu menggelepar tak karuan. Sekejap kemudian ular naga kembali ke wujud aslinya, yaitu ki Blandong Kraksaan. Orang itu sesaat masih berusaha akan bangun, tetapi tubuhnya tak memungkinkan lagi, dimana luka parah menghiasi dada, lambung dan kakinya.
Di angkasa Garuda Yaksa masih berputar dan saat menukik turun mendekati tubuh Blandong Kraksaan, garuda itu berubah menjadi Kilatmaya kembali.
Kedatangan lawannya yang dapat menumbangkan dirinya, membuat Blandong Kraksaan tersenyum. Watak yang biasanya keras itu mendadak lunak. Malah tangan Blandong Kraksaan menggapai tangan Kilatmaya yang sudah berjongkok disampingnya. Dengan suara bergetar ia berkata.
"Kisanak, tolong bakarlah mayatku dan adiku layaknya yadnya hindu...."
Ucapan itu terputus bersamaan melayangnya jiwa Blandong Kraksaan. Arya Dipa atau Kilatmaya menghela napas. Dan pemuda bertopeng itu meminta bantuan ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menyelenggarakan yadnya dua mayat kakak beradik di pategalan itu juga.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 17
oleh : Marzuki
Asap membumbung tinggi bersamaan berhembusnya angin. Asap yang berasal dari sisa pembakaran jasad Blandong Kraksaan dan Blego Trengganis. Sementara tiga jasad anak buah Ular Sendok dikuburkan di pinggiran pategalan. Sedangkan tiga orang menjadi tawanan pengawal kabuyutan Banyubiru, sudah digiring ke pusat padukuhan.
Dengan penuh hormat Arya Salaka meminta penolongnya untuk singgah ke padukuhan Induk. Dan orang bertopeng itu tidak menolaknya dengan syarat tak mau melepaskan topengnya. Maka mereka semua menuju padukuhan induk Banyubiru.
Meskipun banyak orang menatap penuh curiga, tetapi berkat penjelasan dari Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar, kecurigaan itu lambat laun sirna dari dada para bebahu kabuyutan Banyubiru. Bahkan salah seorang dengan ramah bertutur sapa mengenai kehebatan orang bertopeng tersebut.
"Angger mungkin di sini seorang yang paling hebat dan sakti. Bahkan Anakmas Mahesa Jenar dan wayah Arya Salaka mempercakapkan apa yang angger perbuat di pategalan sana." ucap salah seorang tetua.
"Oh... Kakek terlalu membesarkan saja. Siapa yang tak tahu kehebatan jalur ilmu adi Arya Salaka dari kakeknya ki Ageng Sora Dipayana ? Juga ilmu paman Mahesa Jenar yang merupakan warisan dari telatah Pengging ?" kata Kilatmaya, merendah.
Demi dirinya dibicarakan, ki Mahesa Jenar terbatuk kecil. Sejenak tangannya meraih kendi dan meneguk air dalam kendi.
"Aku tak menyangka jika nama melambung sampai mana - mana." kata ki Mahesa Jenar, "Padahal aku tidak berbuat apa - apa."
"Memang kakang Mahesa Jenar tidak berbuat apapun, itu setelah di telatah Banyubiru." kali ini Penjawi yang berucap, "Tapi kakang tak bisa mengelak saat berhadapan dengan Lawa Ijo demi menyelamatkan bidadarinya."
Candaan yang dilontarkan oleh Penjawi itu membuat gelora tawa memenuhi rumah kabuyutan Banyubiru. Candaan dan guyonan mewarnai kehidupan di kabuyutan yang sering mendapat gangguan dari beberapa pihak. Bahkan kabuyutan Banyubiru pernah terjadi perang saudara yang mengakibatkan tumbal dan bebanten dari penghuninya.
Suatu kali, di sebuah ruangan tinggalah tiga orang saja. Yaitu Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar yang berhadapan dengan Kilatmaya. Ketiganya sepertinya melakukan pembicaraan singguh - sungguh. Apalagi kala itu keris kyai Sangkelat nampak ditengah - tengah ketiganya.
"Kakang Kilatmaya, mengapa kakang tak ingin melibatkan diri secara langsung saat akan terjadinya penyerbuan nanti ?" tanya Arya Salaka.
Sebelum menjawab, Kilatmaya yang memakai topeng tipis menatap ki Mahesa Jenar dan Arya Salaka bergantian. Lalu katanya, "Adi dan Paman, dengan hadirnya kyai Sangkelat ditengah - tengah pertempuran puncak nanti, akan menggiring seseorang yang harus aku hadapi."
"Tunggu dulu, Kilatmaya. Bukankah yang ingin kau hadapi sudah dapat kau lumpuhkan, yaitu orang - orang Ular Sendok ?"
"Hm.. Awalnya hanya mereka, paman. Tapi yang lebih menguatirkan adalah seseorang yang secara langsung menjadikan telatah ini sebagai batu loncatan dalam menggempur Demak."
"He... Apakah apa yang aku dengar tidak salaj, Kilatmaya ?" nada ki Mahesa Jenar bergetar.
Sekilas Kilatmaya menggeser letak duduknya. Ia ingat ketika seorang cantrik yang menemuinya di padukuhan Banyubiru. Cantrik sekaligus penghubung itu melaporkan perintah yang ia emban dari Panembahan Ismaya. Yang mana terdapat tiga pesan untuk Arya Dipa atau Kilatmaya.
Pesan pertama ialah adanya gerakan serentak dari gerombolan tokoh hitam yang akan melurug Banyubiru. Pesan kedua adanya warta gembira akan munculnya ki Ageng Gajah Sora beserta pasukan dari Demak. Dan yang terakhir ialah pasukan aneh dari selatan Banyubiru. Dan dibeberkan pesan itu kecuali darimana sumbernya.
"Oh.. Benarkah ayah akan datang, kakang ?" Arya Salaka tak dapat menahan gejolak hatinya.
"Begitulah, adi. Paman Gajah Sora terbukti tidak bersalah dalam permasalahan hilangnya dua keris Demak."
Dalam pada itu ki Mahesa Jenar agak heran dengan apa yang dikatakan oleh Kilatmaya. Mengapa orang bertopeng ini dapat berkata seperti itu ? Apakah orang ini seorang prajurit telik sandi Demak ? Ataukah seorang pangeran yang menyamar ?
Tanda tanya besar menggantung dalam benak bekas senopati Demak itu. Orang dihadapannya bagai dilingkari kabut tebal sehingga sulit untuk disingkapkan jatidirinya. Sebagai seorang yang pernah menjadi nayaka praja Demak, sebagian besar ki Mahesa Jenar kenal dengan orang - orang di kotaraja. Tapi tiada yang mirip dengan perawakan dan suara orang yang mengaku sebagai Kilatmaya ini.
"Ilmunya sangatlah tinggi. Mungkin Adipati Anom atau Mas Karebet bukan tandingan orang ini. Hm... Siapa sesungguhnya dia ?" batin ki Mahesa Jenar.
Kesan yang menggurat dalam wajah ki Mahesa Jenar, sebenarnya dapat dibaca oleh Kilatmaya. Karenanya Kilatmaya mencoba berkata lebih lanjut.
"Dan pada nantinya aku yang akan mencoba menahan pasukan dari selatan itu dengan bantuan prajurit khusus dari Demak." Kilatmaya berhenti sesaat, dan katanya lebih lanjut, "Paman percayalah padaku."
"Hm... Maafkan keraguanku tadi, Kilatmaya. Itu semua karena keingintahuanku mengenai jatidirimu." kata ki Mahesa Jenar.
Kilatmaya mengangguk perlahan. Sebenarnya dia pun ingin membuka jatidirinya, tetapi semua sudah terikat dengan janji kepada Panembahan Ismaya. Pantang baginya untuk mengingkari sebuah janji.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 18
oleh : Marzuki
Karenanya pemuda bertopeng itu hanya menghela nafas saja. Untung saja tindakan itu tak terlihat oleh ki Mahesa Jenar maupun Arya Salaka. Sehingga tidak semakin menambah perhatian dari kedua orang tersebut.
Pembicaraan itu terhenti sesaat manakala dua wanita memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman. Dua wanita yang satu memang pembantu rumah ki Ageng Gajah Sora, sedangkan satunya lagi seorang gadis remaja yang selisih beberapa tahun dari Arya Salaka.
Dalam pada itu, wajah dibalik topeng tipis dengan bagian bibir berlubang, menunjukan wajah dibalik topeng telah tercekat. Tiada lain dan bukan karena menatap wajah gadis remaja yang pernah ia jumpai di kotaraja Demak. Yaitu putri ki Sembada atau ki Kebo Kanigara uwa Mas Karebet.
"Bukankah dia putri ki Kanigara ?" batin Kilatmaya dalam hati, sambil memperhatikan dengan seksama.
Pemuda itu sedikit terkejut ketika ki Mahesa Jenar mempersilahkannya mencicipi hidangan.
"Oh... Terima kasih, paman." ucap Kilatmaya, agak bergetar.
Diraihlah ketela rebus itu dan melahapnya. Tak lupa wedang sere dari dalam gelas diteguk perlahan. Meskipun masih mempertanyakan keberadaan gadis putri ki Kebo Kanigara, Kilatmaya berusaha mencari jawabannya sendiri.
Untuk sementara disingkirkan pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya. Saat ini yang lebih penting ialah melakukan pembicaraan dalam menyongsong datangnya perusuh dan pengganggu di telatah Banyubiru. Dan yang paling penting ialah tugas untuk melayani pasukan dari selatan agar tak dapat memanfaatkan ontran - ontran yang bakal terjadi.
Pembicaraan itu berlangsung hingga tengah malam bersamaan terdengarnya kentongan dara muluk. Kilatmaya atau Arya Dipa mendapatkan tempat istirahat di gandok kanan. Sebuah gandok yang tertata dan bersih. Sebuah amben kecil cukup bagi Arya Dipa untuk memejamkan mata dimalam itu. Meskipun begitu, sebagai seorang pengembara dan prajurit, sudah menjadi kewajibannya untuk selalu waspada.
Malam itu rupanya tiada sesuatu yang mencurigakan. Kejadian di pategalan telah membuat pengawal laskar Banyubiru memperketat penjagaan. Gardu - gardu terisi penuh dengan giliran masing - masing. Lorong - lorong pun tak ketinggalan mendapat pengawasan yang lebih teliti dan sering dilewati. Dan hal itulah yang membuat penghuni merasa tentram dan tenang.
Sejak berakhirnya perang saudara antara Arya Salaka dan pamannya ki Ageng Lembu Sora, keadaan Banyubiru mulai bangkit kembali. Kerusakan berupa jalan, sawah, pategalan dan rumah sudah teratasi dengan baik. Ini semua berkat kesetian para sesepuh yang ikut membimbing Arya Salaka sebagai pemimpin sementara kabuyutan Banyubiru.
Diambang fajar menyingsing, suara ayam berkokok nyaring telah memulai hari yang baru. Penghuni padukuhan induk dan sekitarnya mulai bekerja sesuai bidang masing - masing.
Para petani membekal cangkul dan arit pergi ke sawah maupun pategalan. Pedagan kecil mulai mewarnai pasar - pasar. Para saudagar dengan diiringi pengawal meniti bulak - bulak demi menjual dagangan mereka diluar telatah yang jauh. Pun dengan bebahu, mereka ikut membenahi dan mengerjakan tugas masing - masing.
Udara segar membuat seorang pemuda menghirupnya dengan penuh syukur. Di tangannya nampak topeng tipis terjeluntai. Pemuda berpakaian kuning kecoklatan itu kemudian menaruh topeng di padasan dan tangannya menadahi air dari pancuran untuk membasuh wajahnya.
Sungguh segar air yang nembasuh wajahnya. Menambah semangat di pagi hari itu. Entah mengapa tangannya membelai pipinya sendiri dan bibirnya tersenyum simpul.
Rupanya Arya Dipa teringat kejadian di lereng gunung Penanggungan. Dimana ia berjumpa dengan gadis yang membuat jantungnya berdegub kencang. Gadis yang telah menampar pipinya hingga panas menyengat tiada terkira. Tetapi panas itu berubah menjadi rasa cinta sampai saat ini.
Lamunan indah itu luluh lantah manakala terdengar bunyi seseorang mendekati pakiwan. Belum sempat Arya Dipa memakai topengnya, seorang gadis menjerit lirig seraya menutup mulut mungilnya.
"Kau, kakang... ?!" seru gadis itu.
Arya Dipa begegas memakai topengnya dan memberi isyarat kepada gadis itu, dengan menyilangkan telunjuknya di depan bibir.
"Sttt.... Aku mohon nimas untuk tak membicarakan hal ini kepada siapa pun." pinta Arya Dipa.
"Tapi... "
"Aku mohon, nimas. Ini semua demi adi Mas Karebet." potong Arya Dipa.
Gadis itu mengerutkan alisnya. Ia tak mengerti dengan perkataan teman kakangnya, Mas Karebet atau Jaka Tingkir.
Dalam pada itu Arya Dipa mencoba melihat kanan kiri sekitar pakiwan. Untungnya tempat itu masih sepi. Dicobanya untuk meyakinkan gadis putri ki Kebo Kanigara tersebut. Hanya beberapa hal saja yang ia katakan kepada gadis itu tanpa harus membeberkan semuanya.
Anggukan kepala Endang Widuri membuat Arya Dipa tenang.
"Ingat nimas Widuri, ini harus kau simpan dari siapa pun. Meskipun disuatu hari ayah dan kakangmu berkunjung kemari."
"Iya, kakang Di..."
"Kilaymaya saja." sela Arya Dipa.
"Iya, kakang Kilatmaya." ucap Endang Widuri.
"Hm... Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Mumpung belum ada orang yang melihat dan berpikir macam - macam."
Kilatmaya pun meninggalkan pakiwan dengan diiringi gelengan kepala Endang Widuri. Gadis kesayangan ki Kebo Kanigara itu kemudian teringat dengan kakaknya.
"Keanehan kakang Kilatmaya serupa dengan kakang Karebet." desisnya lirih, sambil melangkahkan kaki masuk ke pakiwan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 19
oleh : Marzuki
Baru saja Arya Dipa atau Kilatmaya duduk di pringgitan, terdengar derap dua ekor kuda memasuki regol rumah ki Buyut Banyubiru. Dengan tangkas kedua penunggang menghentikan kuda dan turun seketika sambil menyerahkan tali kekang kepada pembantu kabuyutan. Bergegas keduanya berlari menaiki tlundak pendopo.
Rupanya derap kuda tadi telah memancing para penghuni rumah ki Buyut Banyubiru. Arya Salaka ditemani ki Mahesa Jenar dan ki Wanamerta nampak keluar dari ruang dalam menuju pendopo.
"Ada apa Sawungrana dan kau Pandan Kuning ?" tanya ki Wanamerta, dengan cepatnya.
Kedua orang itu mencoba mengatur napas demi untuk menyusun kata dengan sebaiknya. Lalu Pandan Kuning memberi isyarat kepada Sawungrana untuk melapor terlebih dahulu.
"Ki Wanamerta, pengawal perbatasan yang menjorok ke Rawa Pening telah melihat adanya iringan lengkap dengan perlengkapan perang." lapor Sawungrana.
Tentu saja laporan itu mengejutkan semua orang, bahkan Kilatmaya yang awalnya duduk di pringgitan langsung mendekat. Demikian cepatnya pergerakan gerombolan itu dari apa yang Kilatmaya dengar sebelimnya lewat cantrik penghubung. Dan seketika Kilatmaya dapat menduga laporan yang akan dikatakan oleh Pandan Kuning.
"Lalu bagaimana denganmu, kakang Pandan Kuning ?" kali ini Arya Salaka yang bertanya.
"Saat kami pergi ke hutan sebelah selatan, tanpa sengaja kami melihat adanya pasukan segelar sepapan, adi Salaka." kata Pandan Kuning, "Saat ini Penjawi masih mengamati pasukan itu bersama tiga kawannya."
Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar secara bersamaan menatap Kilatmaya. Rupanya apa yang disampaikan orang bertopeng itu benar adanya. Ki Mahesa Jenar yang mempunyai pengalaman dalam dunia keprajuritan dengan cekatan memberi nasehat kepada murid sekaligus putra sahabatnya untuk mengumpulkan laskar Banyubiru.
Dalam pada itu Kilatmaya meminta ijin untuk mendahului melihat siapa saja lawan yang berada di perbatasan arah ke Rawa Pening. Diantar oleh Sawungrana keduanya melesat menggunakan kuda meninjau lawan.
"Hm... Semua golongan hitam hampir ada." desis Kilatmaya, setibanya di atas tebing.
"Kakang Sawungrana, aku rasa adi Arya Salaka dan laskarnya dapat menghadapi mereka." kembali Kilatmaya berkata.
Sawungrana terlihat murung. Karenanya dengan heran Kilatmaya bertanya, "Mengapa kau terlihat murung, kakang ?"
"Lihatlah remaja yang paling depan itu, adi." sahut Sawungrana seraya menunjuk seorang remaja yang menunggang kuda hitam.
Kilatmaya pun bergegas mengikuti arahan itu. Di lihatnya seorang remaja yang perawakannya kokoh. Dan, oh... remaja itu sangat mirip dengan Arya Salaka.
"Siapa dia kakang ?"
"Putra ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit, adi. Dialah adi Sawung Sriti."
"Oh... " kejut Arya Dipa.
Sedikit banyak pemuda bertopeng itu sudah mendengar kalau ki Ageng Lembu Sora menginginkan palungguhan yang sebenarnya adalah hak kakaknya. Rupanya kekalahan yang terdahulu tidak diikuti oleh putranya. Malah saat ini putranya berdiri di depan bersama tokoh - tokoh golongan hitam. Dan inilah yang dikwatirkan oleh Sawungrana, yaitu apakah Arya Salaka akan tega berhadapan dengan sepupunya itu.
"Jangan kwatir, kakang. Aku yakin adi Salaka akan mampu berpikir dengan bijak. Walau seandainya keduanya berhadapan." kata Kilatmaya.
Sawungrana mengangguk perlahan.
Dirasa cukup, Kilatmaya kembali ke induk padukuhan. Dirinya mengatakan kepada ki Mahesa Jenar, ki Wanamerta dan Arya Salaka untuk saat ini akan mengunjungi pasukan di dekat hutan sebelah selatan. Dan ketiga orang itu menyetujuinya.
Pergilah Kilatmaya ke hutan selatan. Tetapi ia harus memutar sesuai pesan cantrik penghubung yang datang kala itu. Dalam pesan itu, pasukan Demak yang datang dipimpin oleh seorang Senopati dan ki Ageng Gajah Sora, akan menunggunya. Tepat memasuki tempat dalam pesan, Kilatmaya membunyikan isyarat.
Terdengarlah suara burung bence melengking dengan kerasnya. Tak berselang lama terdengar sahutan serupa sebanyak dua kali. Di susul seorang prajurit dari Wira Manggala menghampiri Kilatmaya.
"Tuan bertopeng sudah ditunggu oleh tuan Senopati." kata prajurit itu.
Kilatmaya bergegas mengikuti prajurit itu menuju tempat berkumpulnya pasukan Demak. Ternyata di situ sudah menunggu pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh senopati pilihan. Dan sebagian dari mereka dikenal oleh Kilatmaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 20
oleh : Marzuki
Kilatmaya langsung dipertemukan dengan senopati pasukan Demak. Ki Panji Gajah Sora lah yang menjadi pucuk pimpinan dengan di bantu ki Lurah Lembu Sura, Lurah Wiratsemi dan Lurah Bangau Lamatan. Di situ juga terdapat seorang yang ditunggu - tunggu oleh penghuni tanah perdikan Banyubiru, yaitu ki Ageng Gajah Sora.
"Selamat datang di telatah Banyubiru, ki Panji." ucap Kilatmaya terhadap ki Panji Gajah Sora.
Senopati pilihan Demak mengangguk seraya tersenyum, "Iya, tuan Bertopeng. Bantuan tuan terhadap telatah Banyubiru ini sudah kami dengar dari sesepuh Demak. Karenanya kami meminta kembali agar tuan Bertopeng sudi membantu kami."
"Benar apa yang diucapkan oleh, ki Panji Gajah Sora ini. Dan akulah yang paling banyak mengucapkan terima kasih terhadap tuan Bertopeng." imbuh ki Ageng Gajah Sora.
Dengan kata lembut Kilarmaya mencoba mengenyamping atas apa yang ia perbuat di Banyubiru. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah keharusan sebagai titah dari Sang Pencipta. Karena sebagai manusia sudah sewajarnya saling membantu terhadap sesama.
Meskipun sudah mendengarkan perkataan orang Bertopeng yang merendahkan diri, justru membuat ki Panji Gajah Sora dan ki Ageng Gajah Sora semakin menyukai sosok bertopeng tersebut. Keduanya semakin menghargai jiwa rendah hati yang melambari tubuh penuh perbendaharaan ilmu sosok yang bergelar Kilatmaya.
"Baiklah. Saatnya marilah kita memulai pergerakan yang akan membuat orang - orang perusuh itu terkejut." akhirnya ki Panji Gajah Sora berkata setelah mendengarkan perkembangan akhir di Banyubiru dari prajurit teliksandi dan Kilatmaya.
Lalu kata Senopati Demak berlanjut, "Ki Ageng, silahkan ki Ageng bergabung dengan laskar Banyubiru yang akan menghadapi gerombolan tokoh hitam. Ki Lurah Bangau Lamatan dan Jaka Ungaran disertai pasukan Pangatus akan menyertai ki Ageng."
"Terima kasih, ki Panji. Sekarang juga kami berangkat." sahut ki Ageng Gajah Sora.
Orang Banyubiru itu bergegas keluar daei tenda disertai ki Lurah Bangau Lamatan dan Jaka Ungaran. Ketiganya menaiki kuda bersama prajurit pangatus terlihat menuju ujung padukuhan dalam lingkup kabuyutan Banyubiru. Iringan itu terlihat gagah dengan adanya umbul dan rontek pertanda kesultanan Demak.
Sepeninggal ki Ageng Gajah Sora, ki Panji Gajah Sora memerintahkan pasukannya mulai mempersiapkan diri. Tugas pasukan ini ialah serang sergap yang mengarah terhadap pasukan dari selatan. Pakain pasukan disesuaikan dengan medan berupa semak belukar hutan. Pasukan ini dipencar menjadi tiga bagian yang setiap bagian terdiri lebih dari seratus prajurit.
Pasukan utama langsung dibawah ki Panji Gajah Sora dan Kilatmaya sendiri. Sayap kanan dipimpin oleh ki Lurah Lembu Suro bersama Wasis dan Sambi Wulung. Sedangkan sayap kiri diserahkan kepada lurah muda, ki Lurah Wiratsemi disertai prajurit srikandi yaitu Rara Asih putri ki Panji Reksotani.
Di suasana sang surya semakin menanjak, dari arah Rawa Pening sudah terdengar sangkakala yang menandakan perang mulai berkecamuk. Awalnya pasukan golongan hitam layaknya air bah menggulung laskar Banyubiru. Dalam keadaan terdesak itulah tiba - tiba muncul debu membumbung tinggi mengejutkan Laskar Banyubiru dan juga pasukan gerombolan hitam. Namun semakin mendekatnya debu yang terlontar dari kaki kuda menimbulkan rasa suka cita laskar Banyubiru. Terutama saat salah satu penunggang kuda ditunggangi oleh ki Ageng Gajah Sora.
"Ki Ageng Banyubiru tiba... !'
"Ki Ageng Banyubiru tiba... !"
Seruan berulang tersebut memancing perhatian semua pihak. Khususnya bagi Arya Salaka dan ki Mahesa Jenar.
"Oh, syukurlah.. Ayah datang dengan selamat." ucap Arya Salaka disela - srla menghadapi Sawung Sriti.
"Apa yang dikabarkan Kilatmaya, benar adanya." batin ki Mahesa Jenar.
Sementara itu, di dalam hutan juga sudah terjadi perang yang membuat pasukan dari selatan terkejut. Pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Arya Singasari itu tidak menyangka kalau pasukannya yang sudah melakukan gerakan senyap, dapat dikelabuhi pasukan bercorak hijau.
Rupanya pasukan Demak langsung memasang gelar Cupit Urang demi melumpuhkan pasukan Bang Wetan yang hampir saja lolos dari pengamatan pasukan Demak di Purbaya. Ini semua berkat kesigapan telik sandi di bawah pimpinan ki Panji Mahesa Anabrang tatkala mencurigai adanya perahu - perahu nelayan di pesisir kidul.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 21
oleh : Marzuki
Mendapatkan pasukannya terhimpit dari sisi kanan dan kiri, Pangeran Arya Singasari memerintahkan senopatinya untuk bergerak cepat demi membangun kembali semangat tempur prajuritnya. Perintah itu pun secara beranting mengalir ke seluruh prajurit pasukan Bang Wetan dan membangkitkan tekad prajurit tersebut.
Denting senjata dan teriakan serta keluh jerit mulai membuat hutan sebelah selatan Banyubiru riuh. Darah segar mengucur membasahi setiap tubuh yang lengah sehingga tergores maupun tertusuk tajamnya senjata. Bahkan ada yang mengalami lebih buruk beruba kepala remuk dan tubuh arang keranjang. Sungguh miris terjadi tatkala perang menguasai tanah pertiwi ini.
Di ramainya perang, sosok berpakaian hitam telah melumpuhkan dua tiga orang sekaligus. Padahal orang itu hanya menggunakan tangan kosong saja. Namun lawan - lawannya dapat dibuat kalang kabut oleh tandang orang tersebut.
Suatu kali dua prajurit Demak meluncurkan tombak mereka mengarah orang berpakaian hitam. Sebuah kenyataan telah mengakibatkan kedua prajurit terheran - heran. Tiada lain karena tombak keduanya yang berhasil mengenai tubuh lawan tak dapat menembus gumpalan daging dibalik baju. Malah orang yang dikenai terlihat tersenyum sembari menggerakan kedua tangan memapas kedua tombak.
"Kraaak... Kraaak... "
Tombak terpotong dari landeannya.
Belum lagi rasa kaget hilang, dua prajurit itu melotot sekaligus mulut menganga seraya tangan keduanya menyentuh pundak mereka yang berdarah tertusuk tajamnya potongan tombak. Rupanya orang berpakaian hitam itu setelah memapas tombak, langsung meraih potongan tombak dan bergerak cepat menancapkan potongan tombak. Maka tak heran jikalau dua prajurit Demak tak berdaya jatuh memeluk bumi.
Mendapati lawannya sudah tak bernyawa, orang tersebut melompat mengarah prajurit Demak lainnya. Tetapi tiba - tiba dari samping telah meloncat seorang yang menghadangnya. Seorang berpakaian kuning kecoklatan yang juga memakai topeng tipis terbuat dari getah pohon.
"Ho.. Minggirlah kisanak, jika kau tak ingin melihat indahnya sang surya diesok hari." tegur orang berpakaian hitam.
"Kau aneh, kisanak. Tadi saat menghadapi prajurit Demak, kau tidak menegur sedikitpun. Tapi kali ini kau mau memberi aku peringata." sahut Kilatmaya.
"Justru itu aku memperingatkanmu, kisanak. Karena kau bukanlah prajurit, maka aku sudi mengingatkanmu untuk minggir dari medan ini."
Kilatmaya tertawa lirih, "Kau salah, kisanak. Meskipun pakaianku tak melambangkan seorang prajurit, sejatinya Demak adalah tempatku menyumbangkan tenaga yang sedikit ini. Karenanya marilah kita mulai saja, kisanak."
Orang berpakaian hitam itu sudah muak terhadap orang bertopeng yang tidak menghiraukan peringatan darinya. Tanpa basa - basi lagi, orang tersebut meloncat menyerang Kilatmaya. Kaki orang itu menyambar kepala Kilatmaya, namun serangannya tak menghasilkan apa - apa.
Kali ini Kilatmaya merendahkan kepala sambil mengisarkan kakinya. Tak hanya itu saja, tangannya langsup menyusup ke tubuh lawan yang terlihat terbuka. Hampir saja tangan pemuda bertopeng itu mengenai sasaran jikalau lawannya tidak mampu melentingkan tubuhnya.
Terjadilah perang seru diantara keduanya. Kegesitan kaki dan liukan tubuh disertai kerasnya pukulan tindih menindih tak terelakan. Dua jalur ilmu keduanya menggambarkan ketinggian pencapaian ilmu tingkat tinggi. Itu terlihat dari deru dan desir angin yang mereka timbulkan.
Adanya perkelahian antara orang bertopeng dan orang berpakaian hitam, tak lepas dari pengamatan Pangeran Arya Singasari. Entah mengapa bangsawan dari tanah Tumapel ini merasakan kalau dirinya pernah merasakan dan melihat tata gerak dari orang bertopeng.
"Ilmu tata gerak itu.... Ah sepertinya aku pernah menyaksikan ilmu orang bertopeng itu." desis Pangeran Arya Singasari.
Dalam pada itu, perkelahian seru juga terlihat disemua titik medan. Di capit kanan, ki Lurah Lembu Sura menghadapi senopati pilihan pasukan Bang Wetan. Sehingga bantuan Wasis dan Sambi Wulung sangat diperlukan untuk melayani keganasan senopati lawan.
Begitu juga di capit kiri, seorang kakek berpakaian layaknya pendeta harus dijaga ketat oleh ki Lurah Wiratsemi dan Rara Asih.
"Babo.. Babo... " ucap kakek itu, "Cah ayu, istirahatlah supaya kau tidak cepat letih."
Rara Asih tak menyahuti dengan kata - kata. Putri Panji Reksotani ini malah menggunakan pedang tipisnya membacok mulutkakek itu.
"Tobat - tobat... Galaknya minta ampun ini bocah !" celotehnya sambil menepis pedang itu menggunakan pakaian lengan panjangnya.
Pedang Rara Asih terlihat mental dan hampir saja lepas dari pegangan. Untunglah gadis ini masih dapat mempertahankannya. Dan kembali berwaspada.
Tatkala Rara Asih mengalami kerepotan yang ditimbulkan oleh kakek berpakaian pendeta, Lurah Wiratsemi masuk menggantikan tempat Rara Asih. Membekan nanggala, perwira muda ini melancarkan serangan gencar hingga membuat kakek tua itu mundur sampai lima tindak
"Hebat juga kau, cah bagus." puji kakek itu, lalu katanya kemudian, "Tapi janganlah kau membusungkan dada terlebih dahulu."
Habis berkata, kakek pendeta menotolkan kaki sehingga membuat tubuhnya melayang meloncati tubuh Lurah Wiratsemi.
"Deeess... !"
Pundak perwira muda Demak dapat dikenai dengan kerasnya. Membuat Lurah Wiratmaya terdorong bergulingan ke tanah. Untungnya pemuda itu dapat menempatkan tubuhnya sehingga tak mengalami celaka yang lebih parah dan segera melenting berdiri.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 22
oleh Marzuki
Menyadari jika menghadapi seorang yang sulit dihadapi, Lurah Wiratsemi dan Rara Asih bergerak berbarengan. Keduanya menjalin kerjasama dengan baiknya. Pedang tipis Rara Asih selalu bergerak sangat lentur mengejar tubuh kakek pendeta. Sementara nanggala Lurah Wiratsemi menjulur layaknya lidah ular mematuk mangsanya.
Tak urung kerjasama dari keduanya membuat kakek pendeta tersebut tak olah - olah menghadapi. Jika lengah yang dipertaruhkan ialah nyawa yang bersarang dalam raga tua itu. Oleh karenanya, kakek itu mulai meningkatkan ilmunya. Deru angin dari hasil peningkatan ilmunya membuat lawannya semakin berhati - hati.
Suatu kali tangan pendeta itu menjulur mengarah Rara Asih yang masih berada dalam keraguan. Akibatnya pundak Rara Asih terkena hantaman telapak tangan pendeta tua tersebut. Membuat tubuh gadis itu terhempas.
Untungnya Lurah Wiratsemi bertindak cepat dengan menolong gadis putri Senopati Reksotani. Sehingga tubuh gadis tersebut tak mengalami luka yang lebih parah.
"Terima kasih, ki Lurah." ucap Rara Asih, yang masih merasakan pundaknya bagai terhantam besi gligen.
Lurah Wiratsemu hanya mengangguk saja. Perwira muda itu lebih memusatkan perhatiannya kepada lawan mereka yang tangguh, meskipun usia lawannya sudah terbilang lanjut.
Orang tua berpakaian pendeta itu adalah salah seorang yang sangar dihormati di kalangan pasukan Bang Wetan. Dialah Pendeta Padutapa, pendeta sekaligus penasehat Raden Seganggeng adik ipar Panembahan Bhre Wiraraja. Karenanya tak heran jika tandangnya sangat ngedab - ngedabi.
Kembali ke arah Kilatmaya, di mana pemuda bertopeng ini sedang melayani lawannya yang juga memakai topeng dengan pakaian serba hitam. Keduanya bagai membuat kalangan tersendiri yang cukup lebar. Dan terlihat betapa seru perkelahian mereka.
Cepat dan cekatan diperagakan mendekati kesempernuaan dunia kanuragan. Serta lambaran ilmu dari dua sumber berbeda mencari keunggulan dalam menekan ilmu lainnya, terlihat jelas dari dua orang bertopeng berbeda warna pakaian.
"Rasakan ini... !" seru orang bertopeng satunya, seraya melayangkan pukulan ganda.
"Oh... Mengagumkan kisanak... !" sahut Kilatmaya, sembari beringsut sekaligus membalas serangan.
Kembali keduanya memamerkan tata gerak - tata gerak penuh tenaga dan tipuan yang mengagumkan bagi siapapun yang menyaksikan.
Kaki bergerak ke depan, tangan kanan menangkis sergapan terus kaki beringsut, demi melingkari tubuh lawan dan desss... Satu sentuhan dapat membuat orang bertopeng berpakaian hitam bergeser satu tindak. Meskipun begitu rupanya orang itu sempat menyarangkan tangannya ke pundak Kilatmaya, yang mampu membuat Kilatmaya harus merasakan pedih di pundaknya.
Sentuhan demi sentuhan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Demikian juga ilmu keduanya terus menanjak semakin tinggi menggetarkan udara disekitar mereka. Terlihat tubuh masing - masing terlapisi cahaya samar berbeda warna. Dimana warna merah menyelimuti orang berpakaian hitam, sedangkan Kilatmaya menyeruak adanya cahaya kuning keemasan.
Itulah dua ilmu yang menyerupai ilmu kebal dengan sebutan berbeda. Niscala Praba diperuntukan untuk ilmu Kilatmaya yang bersumber dari kitab Cakra Paksi Jatayu, peninggalan raja Bedahulu di Bali Dwipa dan Prabu Airlangga. Lain halnya sebutan ilmu lawannya yang berwarna merah, yaitu ilmu Prahara Geni tingkat tertinggi yang dapat dikendalikan untuk mengamankan tubuh penggunannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 23
oleh : Marzuki
Bunyi letupan kecil semakin terus terdengar tatkala ilmu Niscala Praba bergesekan dengan ilmu Prahara Geni. Asap samar pun juga terlihat dari akibat yang ditimbulkan oleh dua ilmu mendebarkan tersebut. Tak pelak membuat kagum bagi masing - masing hati.
"Inikah orang yang diceritakan oleh Panji Menak Sengguruh dari Puger itu ?" batin orang bertopeng hitam yang ternyata Lintang Kemukus.
Rupanya Kilatmaya pun mengagumi ilmu lawannya, sehingga disela menghadapi lawannya, ia pun membatin, "Hm... Orang ini berilmu tinggi."
Keduanya terus berusaha mengungguli lawan satu dengan lainnya. Adu siasat melalui gerekan - gerakan dahsyat terus bergulir semakin hebat. Tata gerak rumit penuh kembangan dan tenaga menyeruak mengakibatkan gelombang mendeeu - deru penuh ancaman. Hingga debu dan dedaunan kering berhamburan terkena getahnya.
Suatu kali sembari meloncat, Lintang Kemukus menggerakan tangannya yang menyebabkan munculnya gelembung merah menyala melabrak lawannya. Gelembung itu hampir saja mengenai sasaran jikalau, orang bertopeng berbaju kuning kecoklatan terlambat menghindarinya. Sehingga hanya mengenai tanah dan menjadikan tanah berlubang dengan asap mengepul dari lubang tersebut.
Mengetahui ilmunya dapat dihindari lawan, Lintang Kemukus merasa penasaran. Oleh karenanya, kecepatan geraknya semakin ia tingkatkan selapis lebih tinggi. Tak heran jika tubuhnya seperti bayangan saja, saking cepatnya.
Kilatmaya tak tinggal diam. Meskipun tubuhnya berada dalam lindungan aji Niscala Praba, pemuda ini tak mau membiarkan lawannya dengab mudah mengenainya. Oleh sebab itulah segala daya upaya ia kerahkan untuk mengikuti permainan dari lawannya. Cepat dan tangkas kaki Kilatmaya bak tak menginjak tanah.
"Benar - benar lawan yang tangguh yang dimiliki oleh Demak.. " ucap Lintang Kemukus.
"Andai saja ia berada dipihak Panembahan Bhre Wiraraja, tentu kami semakin mudah menggulung orang - orang Demak." kembali Lintang Kemukus berucap dalam hati.
Dalam pada itu, Kilatmaya sekaligus Arya Dipa, mencoba meraba apa yang dipikirkan lawannya. Gerakan lawan yang agak melambat tentu ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh lawannya. Dengan ucapan yang bersahabat, Kilatmaya mencoba mencari tahu jati diri lawannya yang juga memakai topeng seperti dirinya.
" Kisanak..!" tegur Kilatmaya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan madih melayani lawannya, "Mengapa kisanak ini berusaha melawan pranatan yang berhak melanjutkan kebesaran Wilwatikta ini ?"
"Huh... Kau tahu apa dengan trah yang malah merusak apa yang telah didirikan oleh Raden Wijaya ?" bantah Lintang Kemukus, "Dengan alasan palsu mereka mengobrak - abrik keraton Wilwatikta dan mengusir serta memburu Prabu Brawijaya Pamungkas !"
"Itukah yang kau maksud sebagai penerus sah Wilwatikta, kisanak !?" seru Lintang Kemukus.
Kilatmaya sedikit banyak mengetahui apa yang terjadi di tanah Jawa Dwipa ini di saat - saat akhir tenggelamnya sang surya langit Majapahit. Tentu sangat keliru apa yang diucapkan oleh lawannya yang menuduh Demak sebagai biang kehancuran Majapahit. Malah Demak-lah yang masih menjadi kadipaten Glagahwangi dapat mengamankan beberapa pemberontakan kadipaten - kadipaten yang mbalelo terhadap Majapahit.
Tetapi adanya pergerakan pasukan Demak ke Wilwatikta yang mengusir prabu Giriwardhana dari Kadiri, menjadikan hal itu sebagai fitnah yang merusak citra Raden Patah dan Demak. Banyak orang - orang yang membenci Demak menyebarkan warta palsu berupa fitnah terhadap putra Prabu Brawijaya tersebut.
"Rupanya kisanak ini salah seorang yang mengikuti pemikiran pihak yang tidak suka terhadap trah Demak. Tentu saja sangat sulit pemahaman kita untuk bertemu dalam satu titik."
"Huh.. Memang kenyataannya kamilah yang berada dalam perjuangan yang lurus dan benar, kisanak !"
"Kebenaran macam apa yang kisanak maksud ?" tanya Kilatmaya.
"Kebenaran nyata berupa wahyu keraton yang seharusnya milik Panembahan Bhre Wiraraja. Karena dialah yang pantas duduk di dampar kencana Wilwatikta, dan hanya sang Panembahan saja yang nyata dari garis Amurwabumi serta Kertarajasa !" ungkap Lintang Kemukus.
Kilatmaya mencoba meloncat menjauh menjaga jarak. Tindakan ini bukanlah karena ia jerih, melainkan sebuah tindakan untuk menanggapi perkataan terakhir Lintang Pamungkas yang dirasakan sangat janggal.
" Bila itu hak orang yang kau sebut sebagai Panembahan Bhre Wiraraja, mengapa kalian tidak pergi ke Wilwatikta yang kini menjadi kadipaten Japanan ? Dan menjadikan tempat itu sebagai pusat kerajaan yang kau agung - agungkan itu, kisanak ?!"
Ucapan Arya Dipa memang tepat mengenai dada Lintang Kemukus dan membuat tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja mengatupkan mulutnya. Orang itu tak mengira jika lawannya dapat berucap seperti itu. Hampir saja Lintang Kemukus mengiyakan ucapan lawannya, jika saja gelora nafsu dalam merengkuh kamukten tak mengusiknya.
"Cukup.... !" teriak Lintang Kemukus, "Lebih baik kita tuntaskan permainan kita dengan menggunakan jaya kawijayan !"
Kilatmaya hanya menghela nafas saja.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 24
oleh Marzuki
Perubahan mulai terjadi manakala Lintang Kemukus mulai menerapkan ilmunya. Dua sosok menyerupai diri Lintang Kemukus muncul dari balik tubuh orang bertopeng berbaju hitam tersebut. Rupanya ilmu langka dari jenis aji Kakang Pambarep Adi Wuragil dimiliki oleh tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja.
Sosok asli dari Lintang Kemukus berdiri bersedekap berada di tengah sosok lainnya. Namun kemudian saat kedua tangan Lintang Kemukus terurai, dua sosok lainnya langsung bergerak menyilang menyerang Kilatmaya. Dua sosok itu menyerang gencar tanpa ampun yang membuat lawannya terus menggeser kaki surut kebelakang, demi menghindari ganasnya serangan.
Dimana tangan sosok satunya melakukan sodokan ke tubuh lawan dan lawan menghindar, maka sosok lainnya sudah menanti dengan ancaman nyata yang tak olah - olah akibatnya. Hal itulah yang menjadikan Kilatmaya berhati - hati sekaligus meningkatkan ilmu meringankan tubuh lebih tinggi lagi. Bila kurang cepat, tak pelak tubuhnya akan lumat tertumbuk tenaga lawannya. Sehingga semakin serulah perkelahian yang melibatkan Kilatmaya dan dua sosok Lintang Kemukus.
Selapis demi selapis segala ilmu meningkat untuk melayani tandang lawan yang ngedab - ngedabi. Lapisan Niscala Praba dalam menyelimuti tubuh Kilatmaya semakin terang dan menyilaukan. Belum lagi ditambah kegesitan kakinya yang bergerak kian kemari layaknya bilalang saja. Ini menunjukan betapa pemuda bertopeng tersebut bersungguh - sungguh dalam menghadapi lawan yang tangguh itu.
Hentakan demi hentakan berlangsung seru dan mendebarkan. Perkelahian di tengah antara Kilatmaya dan Lintang Kemukus yang sama - sama memakai topeng, menjadikan pertarungan tersendiri dari sebuah kalangan. Bahkan pasukan kedua belah pihak, seakan - akan menyingkir dari arena.
Tengah berlangsungnya pertempuran, dua sosok yang menyerupai Lintang Kemukus merangsek ke depan secara bersamaan. Tata gerak yang diperagakan sangatlah mirip satu dengan lainnya yang menimbulkan gelombang dahsyat melanda Kilatmaya. Dan bukan hanya itu saja, gelembung merah dari ilmu Prahara Geni ikut bergolak mencari mangsa.
Kejadian itu sangatlah mengerikan jika yang dihadapi hanyalah orang biasa yang tak dibekali ilmu kanuragan dan kajiwan. Sekali gelembung merah tersebut menyentuh kulit, akibat yang ditimbulkan bisa menjadikan kulit lumer.
Untung saja Kilatmaya adalah seorang pemuda yang mendapat karunia berupa tubuh dan tulang bagus, serta mendapat pembelajaran dari kitab Cakra Paksi Jatayu dan kitab dari Panembahan Anom. Sehingga walau mendapat serangan berupa aji hebat serta menghadapi dua sosok dari ilmu Kakang Pambarep Adi Wuragil, kemampuan Kilatmaya masih dapat melayaninya dengan baik. Tak heran jika lawannya kagum dan penasaran atas kemampuan pemuda berbaju kuning kecoklatan itu.
Karenanya, sosok asli dari Lintang Kemukus tak mau menunggu lagi. Terjadilah kini seorang dikerubut tiga sosok Lintang Kemukus sekaligus. Seru dan sengitlah apa yang terjadi. Serangan bertubi - tubi dari segala arah terus mencerca pemuda unggulan dari Demak. Serangan dari sosok satu, dilanjut sosok kedua dan disambung oleh sosok ketiga.
"Sehebat - hebatnya manusia, jika terus bergerak, tentu ia akan kelelahan sendiri." barin Lintang Kemukus.
Tapi apa yang diperkirakan oleh Lintang Kemukus berbeda jauh. Kilatmaya tidak menampakan kalau tubuhnya semakin melemah, malah tubuh itu bertambah srbat dan cekatan dalam melakukan penghindaran serta serangan balasan yang dapat mengejutkan Lintang Kemukus.
" Gila orang ini !" seru Lintang Kemukus dallam hati.
Belum lagi rasa geramnya tersapu, Lintang Kemukus dikejutkan oleh gerakan lawannya yang srkali gerak dapat melenyapkan ilmunya. Dua sosok dari ilmunya lenyap tak terbekas.
" Bangsat.... !" umpat Lintang Kemukus dengan kasarnya.
"Jagalah ucapanmu yang kasar itu, Lintang Kemukus." ucap Kilatmaya, dengan sareh.
"Selain itu, lihatlah sekitarmu. Pasukan yang kau bawa dalam kesulitan jika perang ini dilanjutkan." Kilatmaya mencoba memberikan waktu agar lawannya memperhatikan sekitar.
Tanpa sadar Lintang Kemukus memperhatikan sekitarnya. Memang apa yang diucapkan oleh lawannya, benar adanya. Hanya satu dua orang saja yang masih berkelahi dengan hebatnya, salah satunya Pangeran Arya Singasari yang menghadapi seorang kakek dan Pendeta Padutapa yang dihadapi seorang lelaki.
"Hm... Lebih baik kami menyingkir dan mencari waktu yang tepat." batin Lintang Kemukus.
Usai berpikir dan memantapkan untung ruginya, tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja membunyikan isyarat. Sebuah isyarat menjalar kesemua pasukan Bang Wetan itu langsung dapat dimengerti dan segera dilakukan. Maka terjadilah perubahan cepat yang mampu membingungkan pasukan Demak. Saat seperti itulah, dimanfaatkan bagi pasukan Bang Wetan untuk menarik pasukan dengan tertib dan lenyap dibalik semak belukar hutan.
" Jangan dikejar !" seru Panji Gajah Sora, senopati Demak, "Rawatlah kawan kalian dan kumpulkan yang telah mengorbankan nyawanya."
Perintah itu cepat dikerjakan oleh prajurit Demak. Satu persatu tubuh yang terluka entah itu kawan maupun lawan segera mendapat pertolongan dari tabib yang diikutkan. Serta tubuh prajurit yang tak bernyawa pun, tak ketinggalan untuk dirawat semestinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 10 bagian 25
oleh : Marzuki
Seekor kuda dari prajurit penghubung terdengar memasuki perkemahan pasukan Demak di bawah senopati Panji Gajah Sora. Prajurit itu mewartakan kalau pasukan Demak yang ikut membantu laskar Banyubiru berhasil melumpuhkan gerombolan golongan hitam. Selain itu, sebuah pesan khusus diperuntukan bagi orang bertopeng untuk bergegas ke padukuhan induk Banyubiru.
Demi mendapati pesan khusus yang diperuntukan bagi dirinya, orang bertopeng yang tiada lain Kilatmaya atau Arya Dipa, bergegas meninggalkan perkemahan setelah mendapat ijin dari ki Panji Gajah Sora. Kilatmaya langsung menuju rumah ki Buyut yang terlihat sibuk setelah menyelesaikan para pengganggu telatahnya. Namun, terlihat duka mendalam ketika kaki Kilatmaya melewati regol.
"Oh, kau adi Kilatmaya." tegur Sawungrana.
Kilatmaya mencoba bertanya kepada salah seorang pemimpin laskar Banyubiru itu, "Apa yang sebenarnya terjadi, kakang ?"
Sawungrana menghela napas dan nada suaranya mengandung rasa sedih yang mendalam, "Putra ki Ageng Lembu Sora tewas dalam pertempuran."
"Oh... Adi Arya Salaka-kah yang membunuhnya ?"
Kepala Sawungrana menggeleng, "Bukan. Ia mendapat luka parah dari Bugel Kaliki."
Tentu saja Kilatmaya terkejut. Bukankah putra ki Ageng Lembu Sora datang bersama Bugel Kaliki dan lainnya ? Bagaimana hal itu bisa menimpa sepupu Arya Salaka ?
"Mari kita menaiki pendopo, adi. Sekalian akan aku ceritakan apa yang terjadi." ajak Sawingrana.
Agar semakin jelas apa yang terjadi, Kilatmaya mengiyakan dan mengikuti langkah Sawungrana yang berjalan membelah halaman menuju pendopo kabuyutan.
Helaan napas terlihat dilakukan Kilatmaya setelah mengerti apa yang terjadi. Tetapi sebuah rasa syukur sempat hadir saat mengetahui kalau Sawung Sriti yang sadar akan kekeliruannya dan membantu Arya Salaka menghadapi Bugel Kaliki. Meskipun pada akhirnya Yang Kuasa menentukan pati anak tunggal ki Ageng Lembu Sora ditangan Bugel Kaliki.
Selain itu dari Sawungrana , Kilatmaya mengetahui keberadaan beberapa orang golongan putih yang hadir ke telatah Perdikan Banyubiru. Tak tanggung - tanggung, ki Ageng Sora Dipayana dan ki Ageng Pandan Alas hadir. Juga nama seorang pemuda yang tak asing ditelinganya, Mas Karebet atau Joko Tingkir yang disertai oleh ki Sembada atau ki Kebo Kanigara.
"Apa yang diucap oleh eyang Panembahan Ismaya, terwujud. Seseorang yang berjodoh dengan kyai Sangkelat telah hadir." batin Kilatmaya.
Suasana semakin menyayat kalbu saat kaki menginjak pendopo. Di tengah pendopo terbujur sosok tubuh yang ditutup kain jarit. Disampingnya seorang lelaki yang rambutnya mulai beruban, menangis sambil terus menyesali nasib putranya. Sedangkan di ruang dalam terdengar suara wanita yang menjerit - jerit ditenangkan oleh beberapa wanita lainnya.
"Inilah maut. Sebuah pelajaran bagi yang menyaksikan. Saat ini tubuh pemuda itu yang terbujur kaku. Dan entah besok atau kapan ? Giliran kita yang akan mengalaminya." desis seorang kakek yang duduk didekat Kilatmaya.
Pemuda bertopeng itu mengiyakan apa yang diucapkan kakek itu. Dan tanpa sadar Kilatmaya memandang wajah kakek yang duduk di dekatnya. Oh.. Kejut melanda hati Kilatmaya.
"Kanjeng Sunan..."
"Hohoho... Bukan ngger, aku hanya kakek dari Kali Progo." desis kakek itu perlahan, "Kau pasti mengertikan apa yang aku maksud ?"
Tubuh Kilatmaya bergetar, tetapi ia berusaha menenangkan perasaannya supaya tidak memancing perhatian banyak orang. Pemuda itu tak mengira akan menjumpai seorang suci yang pernah memberikan pelajaran baginya berupa petuah kehidupan, saat di Kadilangu.
Saat itulah ditelinga Kilatmaya terdengar jelas sebuah suara merdu mengajaknya berbincang. Dan ia yakin kalau suara itu beradal dari kakek yang mengaku dari kali Progo, meskipun tak nampak gerak dari bibirnya.
"Panembahan Ismaya sudah memberitahukan mengenai tugas yang kau emban, ngger. Kedatanganku saat ini ialah yang akan melanjutkan dalam menyimpan kyai Sangkelat sampai waktu pusaka itu berada dalam pegangan angger Karebet." kata kakek dalam pendengaran Kilatmaya.
"Kembalilah ke Karang Tumaritis. Suatu waktu kau bersama Panembahan Ismaya akan kembali bersua dengan Mas Karebet juga Sultan Demak."
Kilatmaya mengangguk hormat. Sejenak setelah pamit, pemuda itu bangkit berdiri dan meninggalkan pendopo.
Akhirnya ada tiga arena pertarungan yaitu arena Mahesa Jenar melawan Dibya Manggala, lalu arena Arya Dipa melawan Blandong Kraksaan, dan arena Arya Salaka melawan Blego Trengganis … Siapakah tokoh yang pertama kali akan menghembuskan nafas terakhirnya? … Laannjjjuut Ndoro …
BalasHapusBegitulah ki Soele Hasan Soelaeman... 🙏
BalasHapuskereeeeeen
BalasHapusmantap kang
BalasHapus