Panasnya Langit Demak jilid 8
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 1
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
NAFAS terhenti sesaat dengan adanya sebuah pergerakan kaki Windujaya. Pemuda itu sudah lepas dari kekangan tembok tebal berupa kesabaran dalam penantian. Dikarenakan waku terbuang lama dan lawan tak menunjukan adanya sebuah niatan mengawali adu ilmu itu, maka ialah yang termakan keinginan mendahului.
.
Walau begitu, murid kinasih Begawan Bancak atau Begawan Jambul kuning masih melakukan penjajagan terlebih dahulu, yaitu mengetahui sebatas mana kemampuan pemuda di depannya. Karenanya pukulan seper-empat sajalah yang ia luncurkan melalui tangan kanan, mengarah dada lawan. Sementara untuk memberikan serangan susulan, Windujaya sudah mempersiapkan berupa tendangan yang ia arahkan jikalau lawan menghindarinya, atau pukulan tangan kiri seraya menarik tangan kanan andai lawan mencoba menahan.
.
Dan ternyata yang terjadi ialah lompatan kecil Arya Dipa ke kiri sesuai perkiraan Windujaya. Tak pelak rencana yang sudah terbayang ia lakukan untuk melakukan tendangan kaki kokohnya. Tetapi Arya Dipa juga mampu membaca serangan itu, dan Arya Dipa tak menghindar melainkan ia tekuk kakinya sebagai landasan penyangga tubuhnya, seraya menghadang laju tendangan menggunakan tangannya yang menyiku.
.
Saat tendangan itu hampir mengenai lengan Arya Dipa, tiba - tiba saja Windujaya secepat kilat menarik tendangannya dan kemudian mengganti sodokan ke lambung. Tarik kaki, berganti tumpuan dengan menekuk kaki, tangan bergerak, sodokan ke lambung tujuan berikutnya.
.
Bila Windujaya bergerak secepat kilat, tak kalah hebat yang ditunjukan oleh Arya Dipa. Tekukan penyangga tetap, tangan kanan bergerak sebat, dan hap.. Jemari terbuka bagai jala menangkap ikan dengan erat, lalu tangan kiri mencaplok pundak erat - erat.
.
Kali ini terlihat tubuh Windujaya tak menginjak tanah dikarenakan adanya tenaga besar menari dan mengangkat tubuh pemuda itu.
.
Memang kenyataannya seperti itu. Arya Dipa mengerahkan tenaga ke-kedua tangan untuk mengangkat tubuh lawan dengan tujuan menunjukan kalau dasar dari bimbingan Resi Puspanaga tak pantas dijadikan cemohan oleh Begawan Bancak atau orang lain. Dan tiada rasa menyakiti tubuh Windujaya, karena nantinya bila tubuh itu sudah melewati kepala, tubuh itu akan ia taruh seperti sediakala.
.
Beda orang beda pemikiran, dan ini dialami oleh Windujaya. Walau pada awalnya ia menyayangkan sikap gurunya dalam memulai penjajagan ini, namun apa yang diperlakukan oleh Arya Dipa menggelitik rasa ke-aku-annya. Inilah yang mengawali adanya keinginan mementahkan tindakan lawan kepadanya. Yaitu melalui adu ilmu jaya kawijayan.
Perubahan mulai terjadi diantara kedua pemuda itu. Yang paling merasakan ialah Arya Dipa, yang menunjukan perubahan rona merah dikarenakan kekuatan menghimpit tangan dan tubuhnya.
.
"Liman satubondo... " desis Arya Dipa.
.
"Maafkan aku kakang, aku terpaksa menerapkan aji ini, karena aku tak ingin tubuhku engkau jadikan gedebok yang lumat setelah kau lemparkan." seru Windujaya, kemudian lanjutnya, "Lebih baik kakang berseru kepada guru mengaku kalah.."
.
Suara Windujaya terdengar pelan saja, tetapi kata kalah yang terucap tadi bagai tajamnya mata pisau. Walau begitu sebanarnya Arya Dipa tak terlalu memasukan dalam hati, jikalau teringat adanya cemohan dari Begawan Bancak diawal tadi, mengenai ilmu Resi Puspanaga.
.
"Cepatlah kakang... " ulang Windujaya, "Lihat, kakimu sudah tenggelam sampai lutut.."
.
Betapa menakjubkan kekuatan Windujaya berupa ilmu Liman Satubondo, yang membuat kaki Arya Dipa ambles dalam tanah sebatas lutut.
.
Di bawah, Arya Dipa yang awalnya merasa dalam kesulitan, kini ia mengerahkan ilmu sesungguhnya. Ilmu dasar dari pertapaan Pucangan ia poles dengan ilmu kitab Cakra Paksi Jatayu. Tenaga dalam tubuhnya mulai kembali seperti sediakala dan siap merubah keadaan.
.
Tarikan nafas dalam mengawali sebuah tenaga disalurkan di telapak kaki yang masih dalam tanah. Tubuh Arya Dipa merendah sedikit dan.....
.
"Wuuuss.... "
.
Tubuh dengan masih menyangga beban Windujaya bagai terbang mengangkasa menembus gelapnya malam. Hanya seleret warna putih meluncur sesaat dan kemudian berpindah tempat dengan keadaan berubah.
.
"Edan.... !" seru Begawan Kakrasana dan Begawan Bancak, bersamaan.
.
"Adi, masihkah kau menganggap aku akan berlaku diluar batas ?" tanya Arya Dipa, pelan.
Windujaya membisu. Pemuda itu masih takjub dengan apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin seorang yang sudah dibawah himpitan tenaga gajah, bisa lepas dan bahkan membawa beban ratusan gajah mengudara setinggi pohon Bramasta ?
.
"Bila aku ingin, ketika masih di udara tadi aku tentu mampu melakukan apa yang kau tuduhkan tadi, membuat tubuhmu bagai batang pisang yang lumat." kata Arya Dipa, "Tetapi itu akan penyesalan tiada akhir, adi.
.
Tepuk tangan terdengar keras dari Begawan Kakrasana. Orang tua itu tersenyum sambil melirik kakak sepeeguruannya. Hatinya setuju dengan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Arya Dipa.
.
"Kau dengar, kakang. Anak muda ini mirip dengan mendiang putramu." kata Begawan Kakrasana, "Apakah kau masih ingin melanjutkan keinginanmu tadi ? Mengapa kau selalu marah jika mendengar nama Resi Puspanaga ?"
.
Keadaan masih belum menunjukan titik terang. Masih samar tertutup awan tebal sehingga sinar gemintang tak mampu menembus secara langsung. Begitupun dengan Begawan Bancak. Orang tua itu masih berdiri menatap tajam ke arah Arya Dipa dan Windujaya.
.
Dalam pikiran orang tua itu terdapat dua lorong yang berbeda. Lorong pertama ia masih ingin melanjutkan penjajagan itu sampai tingkat selanjutnya, karena muridnya belum mengeluarkan segenap ilmu yang ia wariskan. Sedangkan lorong satunya, ialah menuntaskan sampi disini saja.
.
Pertimbangan dari lorong terakhir dikarenakan adanya beberapa hal. Yaitu, kata Arya Dipa sangat mirip dengan mendiang putranya. Selain itu perkataan tadi juga mengingatkan dirinya dengan putra Patih Udara, yaitu Raden Kuda Mapanji. Selanjutnya mengenai Resi Puspanaga, sebenarnya keduanya adalah kawan seperti dirinya dengan Adipati Handaningrat, perbedaannya hanyalah dikarenakan adanya kesalahpahaman semata.
.
Sepercik ingatannya kembali menyusur ke masa yang lalu. Ketika dirinya kembali dari Tingkir, ia dikejutkan adanya suara erangan dari anak menantunya. Erangan putri seorang Banteng Demak, dikarenakan sayatan mengerikan di tubuhnya. Tak hanya itu saja, tubuh mengerikan juga terlihat jelas dimatanya, manakala ia menyaksikan putra semata wayangnya tak berkepala lagi.
.
Begawan yang suka berbuat urakan itu marah bagai singa yang kehilangan anaknya. Dengan tubuh gemetaran ia berlari ke arah anak menantunya yang masih bernapas walau darah membasahi tanah dibawahnya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 2
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
KEDATANGAN Begawan Jambul Kuning bukannya membuat menantunya senang, melainkan perempuan itu dalam kesakitannya memohon belas kasihan kepada ayah mertuanya itu.
.
"Ayah Begawan, cukup kami berdua saja yang mengalami penderitaan ini. Aku mohon, biarkan bayi itu tetap hidup..." ucap perempuan dengan terbata - bata.
.
"Apa maksudmu, Dyah ? Siapa yang melakukan ini ?" Begawan Jambul Kuning tak mengerti.
.
Putri menantunya tak menjawab. Perrmpuan itu hanya menunjuk buntalan kain di sisi kanannya. Dan kemudian nyawa perempuan itu lepas dari raganya.
.
"Dyah.. Dyah.. Dyah.. !" panggil Begawan Jambul Kuning sambil mengguncang tubuh putri menantunya.
.
"Oh Bathara Yang Agung..... " teriak Begawan Bancak.
.
Sekali lagi orang tua itu melihat menantunya itu. Wajah cantik perempuan istri anaknya, perlahan mulai memucat. Tubuh dalam dekapan semakin dingin. Diletakan tubuh itu perlahan ke tanah seraya merapikan kedua tangan di atas perut. Kemudian ia alihkan pandangan di sisi kanan tubuh yang mulai membeku, dimana sebuah bungkusan kain membalut tubuh mungil.
.
Perlahan diraih bungkusan itu. Di dalamnya, bayi mungil terlelap dalam mimpi. Wajah si jabang bayi bersinar cerah berpadu antara sang ayah dan sang ibu.
.
"Cucuku, kau tampan seperti Arya Wila dan putih mirip ibumu Dyah Ratna." desis Begawan Jambul Kuning sembari mengelus pipi mungil cucunya.
.
Saat itulah berkelebat bayangan putih berdiri tegap menghadap Begawan Jambul Kuning.
.
"Jambul Kuning, Janganlah kau sakiti bayi yang tak berdosa itu." tegur sosok yang baru datang.
.
Mendengar teguran itu, Begawan Jambul Kuning mengerutkan alisnya dalam - dalam. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh orang itu.
.
"Kau gila apa, Puspanaga ?!" seru Begawan Jambul Kuning, "Dia cucuku... !"
Orang yang berada di depan itu menghela nafas. Mencari peluang waktu yang tepat menyelamatkan anak yang berada dalam ancaman kakeknya. Lantas tubuh itu perlahan beringsut melangkahkan kaki ke depan dan berhenti satu tombak dari tubuh Begawan Jambul Kuning.
.
"Lihatlah putramu Arya Wila, betapa menyedihkan ini. Tataplah Dyah Wulan, perempuan yang tak mengerti apa - apa walau ia putri Nayaka Praja Demak. Dan sekarang kau tega membunuh cucumu sendiri, Jambul Kuning ?"
.
"He.. Kau bicara apa, Puspanaga ? Janganlah kau berbicara tanpa ujung pangkalnya !"
.
"Jambul Kuning, kini kau berubah lagi tak seperti tadi saat membabat putramu sendiri dengan pedang yang menggeletak itu. Tak segarang saat kau menyayat menantumu."
.
"Diam... !" seru Begawan Jambul Kuning seraya meloncat menyerang orang di depannya.
.
Loncatan dengan pukulan walau tak mendebarkan dari Begawan Jambul Kuning, tak membuat orang berpakaian resi lengah sedikitpun. Kakinya mengisar surut ke belakang dan selanjutnya ujung kaki menotol tanah demi melambungkan tubuhnya. Tak berhenti disitu saja, tubuh resi sembari melambung berhasil merebut bayi dalam gendongan Begawan Jambul Kuning.
.
Dirasa cucunya berhasil direbut oleh resi itu, tak pelak membuat Begawan Jambul Kuning melakukan tebasan tangan mengarah tubuh resi yang masih berdiri membelakang. Tubuh itu membalik dan tak menyangka tebasan begitu cepatnya, dan tak mampu lagi dirinya menghindar.
.
Tetapi yang membuat resi itu takut bukanlah karena tebasan itu mengenai dirinya, melainkan tebasan Begawan Jambul Kuning segaris lurus dengan tubuh bayi dalam gendongannya.
.
"Whuutss.. Byaaar.. "
.
Sebuah kejadian aneh terjadi di atas gunung Bancak. Begawan Jambul Kuning terpental deras dan jatuh ke semak belukar dengan tanah gembur. Maka tubuh Begawan Bancak menggelinding jatuh ke bawah.
.
"Oh.. " desis Begawan Bancak yang sadar dirinya berada di depan gubuk milik Begawan Kakrasana.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 3
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
KEMBALINYA kesadaran dari Begawan Bancak dari lamunan masa lampau, menempatkan diri pribadi yang sesungguhnya. Orang itu berjalan mendekati kedua pemuda yang masih dalam sikap Arya Dipa berdiri dibelakang tubuh Windujaya yang duduk di tanah.
.
Selangkah demi selangkah kaki Begawan Bancak terus bergerak mendekati kedua pemuda itu. Tepat lima langkah, orang tua itu menoleh ke arah adik seperguruannya sembari melambaikan tangannya dan kemudian ia kembali berjalan.
.
Isyarat itu dapat dipahami sepenuhnya oleh Begawan Kakrasana. Ia yakin apa yang akan terjadi sudah lepas dari permasalahan kecil layaknya permainan kanak - kanak. Maka dari itulah, Begawan Kakrasana ikut melangkahkan kaki menyusul Begawan Bancak.
.
Selanhkah di depan Windujaya inilah, Begawan Bancak bertepuk tangan sembari mengangguk tulus. Hal itu cukup membuat Arya Dipa dan Windujaya mengendorkan otot dari ketegangan.
.
"Kau mampu mengungguli muridku, anak muda." desis Begawan Bancak, "Tetapi ada sesuatu yang membuatku bertanya - tanya."
.
Suara Begawan Bancak awalnya terkesan bersahabat, tetapi diakhrinya dapat diartikan adanya sesuatu yang mengganjal dan bahkan berujung kembalinya ketegangan. Dan orang pertama yang cepat merasakan ialah Begawan Kakrasana. Tak dapat dipungkiri bagi Begawan dari alas Parang itu dapat menyikapi jalan pikiran kakak seperguruannya, yang terkesan ugalan disetiap tindakannya. Ini merupakan watak dari masa remaja dan sangat sulit dirubah, karena sudah mendarah daging berpadu dengan jiwa raga.
.
"Semuanya sudah selesai kakang, marilah kita kembali ke gubuk. Lihatlah lintang panjerino semakin menjauh." Begawan Kakrasana mencoba mengalihkan.
.
"Hehehe... Kakrasana, ah bukan. Brajang Mas, kau sejak dahulu memang menjadi begawan tak seperti aku ini. Sebenarnya kau memang mempunyai hati bersih dan lurus, tetapi kau meniru tindak tandukku yang urakan dan usilan. Bahkan kau belajar berkata kasar dengan umpatan atau makian..."
.
Nada suara Begawan Bancak sarat dan bersungguh - sungguh. Sehingga Begawan Kakrasana yang biasanya akan membalas dengan perkataan, kali ini dibuat terdiam.
"Adi Branjang Mas, luangkanlah aku waktu untuk sekedar bertanya terhadap anak muda yang kau katakan mirip kakang Kuda Mapanji ini." kata Begawan Bancak, sambil menatap sungguh - sungguh adik seperguruannya.
.
"Hm.. Silahkan kalau kakang Arya Bancak berkeinginan seperti itu." sahut Begawan Kakrasana.
.
"Terima kasih, adi." ucap Begawan Bancak.
.
Orang tua itu duduk di batu tak jauh dari kedua pemuda perkasa. Lambain tangan mengayun mengajak ketiga orang untuk duduk juga di dekatnya. Kemudian barulah Begawan Bancak kembali bersuara kepada Arya Dipa.
.
"He, Bocah. Tolong katakanlah dengan sebenarnya, siapa kau ini dan apa hubunganmu dengan Puspanaga ? Karena aku yakin kau bukanlah benar - benar muridnya."
.
"Baiklah, eyang Begawan. Aku akan mengatakan dengan sebenarnya, tetapi setelah aku mengatakan jati diriku, aku harap eyang tak lagi mencemoh eyang Puspanaga." kata Arya Dipa, "Maukah eyang berjanji tak akan mencemoh eyang Puspanaga lagi ?"
.
Windujaya dan Begawan Kakrasana tersenyum dengan permainan kata Arya Dipa itu. Sedangkan Begawan Bancak bagai mati kutu, karena ia ingin mengetahui siapa pemuda itu, sehingga kalau ia tak mau berjanji akan sulit mengorek jatidiri pemuda itu. Tetapi jika berjanji ia pun merasa malu jika dibelakang hari diungkit kejadian malam ini.
.
"Bagaimana, eyang ?" kembali Arya Dipa mencari ketegasan sikap Begawan Bancak.
.
"Setan kecil.. !" batin Begawan Bancak.
.
Dan akhirnya sambil mengeraskan genggaman tangan, mulut itu berucap, "Aku berjanji.. "
.
"Berjanji untuk apa eyang ?"
.
"Kau... " desis orang tua itu, dengan mengkalnya, "Berjanji tak mencemoh Puspanaga !"
.
Suara tawa tertahan terdengar dari Windujaya dan Begawan Kakrasana.
.
"He.. Teruskan tawa kalian jika mau hidup tanpa mulut... !" bentak Begawan Bancak.
.
Seketika Windujaya dan Begawan Kakrasana menahan sekuat tenaga tawa mereka.
.
"Cepat kau katakan, setan kecil !"
Tak memperpanjang waktu, Arya Dipa mulai mengungkap jatidirinya sesungguhnya. Kata demi kata keluar dengan terang dan jelas tak terkesan ditutupi sama sekali. Mulai dirinya diasuh ayah angkatnya ki Panji Mahesa Anabrang di padukuhan pudak di kadipaten Ponorogo. Kemudian diusianya semakin remaja ayahnya menjelaskan siapa sebenarnya dirinya.
.
"Oh.. " desuh Begawan Kakrasana, yang mulai mengetahui kebenaran jatidiri pemuda itu.
.
"Menurut eyang Puspanaga, ayah Wila dan ibu Dyah Ratna dibunuh oleh kakekku sendiri." lanjut Arya Dipa.
.
Ada getar kepedihan menusuk sanubari Begawan Bancak tatkala mendengar kata itu.
.
"Tahukah kau siapa nama kakekmu, ngger ?"
.
Arya Dipa menunduk, air mata berlinang di sudut matanya, "Kakekku seorang Begawan yang mirip dengan eyang Begawan, ia seorang yang angin - anginan."
.
"Maksudku, apakah kau tahu wajah kakekmu itu ?" kembali Begawan Bancak bertanya.
.
Kepala yang ditanya menggeleng, namun sebuah senyum menyeruak menghiasi bibir pemuda tampan itu. Dan ini membuat getar dalam dada Begawan Bancak semakin menggelora. Apalagi ketika terdengar suara anak muda itu.
.
"Aku hanya berharap eyang masih hidup dan mendapat kesehatan jiwa dan raganya..."
.
Suara itu bagai kekuatan besar pada diri Begawan Bancak. Dimana kekuatan suara itu meresap ke seluruh jiwa raga dan menggerakan tubuhnya untu menubruk Arya Dipa. Rangkulan kedua tangan Begawan Bancak memeluk Arya Dipa, dan sesenggukan bagai anak kecil mewarnainya.
Di sisi yang lain, Arya Dipa dibuat kaget dan bingung dengan apa yang diperbuat oleh Begawan satu ini. Mengapa orang tua ini menangis tersedu seperti itu ?
.
Tak kalah bingung juga dirasakan oleh Windujaya. Pemuda ini merasakan ada keanehan pada gurunya. Padahal dihari - hari yang lalu, gurunya selalu berbuat aneh, tetapi kali ini anehnya terlalu.
.
"Mengapa eyang menangis.. ?" tanya Arya Dipa bingung.
.
"Dipa.. Dipa.. kau begitu malang.. " kata Begawan Bancak disela tangisnya.
.
"Sudahlah, eyang. Aku sudah mengikhlaskan hidupku yang lalu itu.." ucap Arya Dipa.
.
Tak lama tangis Begawan Bancak reda. Pelukan sudah longgar dan terlepas menyisakan jarak satu langkah. Dengan kain kumalnya, disekanya air mata yang membasahi pipinya.
.
"Dipa, apakah kau tak mendendam dengan kakekmu itu ?"
.
"Tidak, eyang."
.
"Apa alasanmu .. "
.
Arya Dipa menghela nafas, "Eyang, jika aku mendendam kepada eyangku sendiri dan katakanlah jikalau mampu membunuhnya, apakah ayah dan ibu bisa hidup kembali ?.... Tidak, malah aku semakin memburamkan garis nasibku.."
.
"Oh Batara Agung, welas asihMU begitu besar." ucap Begawan Bancak.
.
Selanjutnya orang tua itu menatap lekat Arya Dipa, "Cucuku, inilah orang yang disebut Jambul Kuning."
.
Tiada angin dan tiada hujan, tetapi sebuah guntur menggelegar menghentakan alam jiwa Arya Dipa. Suara pelan dari orang tua didekatnya itu bagai palu godam menghentak jiwa raganya.
.
"Be.. benarkah ucapan eyang ini.... ?"
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 4
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
AWAN hitam tebal berarak menggulung tubuh Arya Dipa. Sang bayu ikut mendukung perbuatan awan hitam tebal menghempaskan tubuh Arya Dipa jauh ke alam yang sangat aneh. Alam itu hanya ada dua warna saja dan begitu ketara perbedaannya, yaitu hitam dan putih. Anehnya lagi tubuh Arya Dipa tepat diantara batas warna tersebut dan tak dapat berkisar walau hanya seruas saja.
.
Pemuda itu memandang ke dua arah warna alam dengan cermat. Alam hitam yang gelap itu dapat dilihat dengan jelas oleh Arya Dipa, dan pemuda itu kaget manakala dari tanah menyeruak sesosok kepala berikut tubuh yang lengkap. Tak sampai di situ saja, sosok itu bermata, hidung, dan mulut lebar, selain itu dari sela bibirnya nampak gigi panjang sebatas dagu. Taring, itulah adanya.
.
Sosok itu berbadan besar dan tingginya mencapai tinggi pohon kelapa. Kedua lengan tangan dihiasi gelang akar bahar. Lehernya berkalung tengkorak mengerikan. Tangannya yang kanan menggenggam kapak bermata dua dengan tangkai terbuat dari tulang, lalu tangan satunya menggenggam gada. Seluruh kulitnya berwarna merah darah dan mata hitam menakutkan.
.
"Heeeeeeer... "
.
Gerungan dahsyat keluar dari mulut sosok mengerikan itu, gerungan itu juga menimbulkan angin prahara dahsyat.
.
Saat itulah di alam putih, dari angkasa cahaya bersinar turun dan mendarat di permukaan alam putih. Dalam naungan cahaya, sesosok tubuh sebesar raksasa merah berdiri dengan bibir tersenyum. Sosok ini bernampilan layaknya Resi suci penuh wibawa dalam auranya.
.
"Bala Kala, pergilah kau dari usahamu untuk memperdaya anak manusia ini..!" tegur sosok putih.
.
Raksasa menyeramkan itu tertawa terbahak - bahak, "Hahaha.. Nara Maya, kaulah yang usilan. Sudah menjadi tugasku untuk memberikan keberanian kepada anak manusia ini, oleh karena itu sebelum aku berlaku kasar, enyahlah dari alam ini.. !"
Pembicaraan kedua raksasa itu membuat Arya Dipa heran dan ada sedikit rasa jerih. Jika kedua raksasa itu bertengkar, maka ialah sasaran empuk dari kedua raksasa hitam atau pun raksasa putih yang mungkin tak sengaja menginjaknya.
.
Selanjutnya Arya Dipa masih mendengarkan kedua raksasa yang mempunyai tujuan berbeda dalam sesuatu menyangkut dirinya. Padahal ia sendiri tak mengerti apa yang sudah terjadi di alam itu, karena ia sadar bahwa sebelumnya ia mendengar kalau Begawan Bancak mengaku sebagai Begawan Jambul Kuning, yang berarti kakeknya.
.
"Minggir kau Nara Maya !" bentak Raksasa Bala Kala dengan marahnya.
.
"Bala Kala, Batara Agung begitu welas asihnya. Mengapa kau memungkiri itu dengan perbuatanmu ini ?"
.
"Cukup mahkluk penjilat... !" umpat Bala Kala, seraya mengayunkan gadanya.
.
"Wuuuus...."
.
Gada raksasa ditangan Bala Kala hanya mengayun dan tak menjangkau tubuh Nara Maya yang berdiri sepuluh langkah, tetapi serangkum angin-lah yang membuat Arya Dipa kebat - kebit. Serangkum angin itu laksana lesus menghujam tubuh dalam naungan cahaya.
.
"Byaaar..."
.
Ledakan dahsyat disertai alam berguncang hebat.
.
"Bala Kala, inikah yang kau andalakan dalam setiap tindakanmu ?"
.
Raksasa Bala Kala menggerung keras disertai gerakan meloncat melakukan serangan beruntun. Serangan berupa hantaman gada dan bacokan kapak bermata dua. Sungguh mengerikan jika itu mengenai tubuh manusia. Jangankan manusia, batu sepuluh kali lipat dari besar gajah pun pasti hancur jika terkena gada raksasa itu. Dan mungkin andai kapak bermata dua itu mengenai gunung wilis, tentu gunung itu terbelah jadinya.
.
Itu jika manusia yang membayangkan. Tidak halnya dengan sosok dalam lindungan cahaya. Sosok itu tersenyum dengan bibir bergerak layaknya sedang membaca rapalan. Berhenti merapal, dikedua tangan sudah ada dua benda melingkar bergerigi, cakra.
" Triiiing... Triiing.. "
.
Kapak maupun gada dapat tertangkis saat jarak kurang dari sekilan. Dan akibatnya bunga api berpijar dari gesekan senjata keduanya dan menimbulakan pemandangan menakjubkan bagi Arya Dipa.
.
"Oh.. Batara Agung.. !" sebut Arya Dipa.
.
Pertarungan masih berlanjut antara kedua raksasa itu. Semakin lama keduanya semakin seru dan sengit. Gada dan Kapak bergerak cepat dan sebat mengarah tubuh raksasa Nara Maya, yang berjumpalitan menghindari dan sesekali melakukan serangan balik dengan cakra dikedua tangannya.
.
Raksasa Bala Kala terkejut manakala serangan balasan hampir mengenai lehernya. Karena saat itu cakra ditangan kanan raksasa Nara Maya dilempar dengan tiba - tiba menyasar leher Bala Kala.
.
"Heeeer... " gerung Bala Kala.
.
Pertempuran itu berlangsung sangat lama, tetapi sepertinya keduanya berimbang.. Oh tidak, melainkan raksasa Nara Maya sepertinya hanya melayani saja, walau kadangkala seperti membahayakan dirinya.
.
"Berhenti.... !" teriak Bala Kala seraya menggerakan tangan sebagai isyarat untuk berhenti.
.
Nara Maya mengangguk dan tersenyum, "Kau mengaku kalah, Bala Kala ?"
.
"Heeer... Kata itu pantangan bagi pengikut Batara Kala, he Resi Suci !" seru Bala Kala.
.
"Lalu... ?"
.
Bala Kala menatap ke arah Arya Dipa dan selanjutnya raksasa itu kembali menatap Nara Maya seraya berucap, "Aku tak akan mengganggu anak muda ini, jika ia mampu mengatasi Suara Panglulutku."
.
Nara Maya menghela nafas, sudah sekian lama ia mengalami kejadian seperti ini dengan pengikut Batara Kala. Dan bila seorang pengikut Batara Kala mengucapkan permintaan ini, maka hanya manusia itu sendirilah yang akan menentukan akhir dari semuanya.
.
"Mengapa kau diam, Nara Maya ? Takutkah kau... ?"
.
Nara Maya masih dalam kebingungan. Jika ia melanjutkan dengan kekerasan, ia akan jatuh ke dalam alam tak berwujud, ini karena sudah ada aturan jikalau dalam alam hitam dan putih bila pihak hitam mengutarakan adanya perjanjian berupa Suara Panglulut, pihak alam putih tak dapat menolak.
Ketika itulah terdengar sayup - sayup suara halus membisiki Nara Maya, "Biarkan anak muda itu menerima Suara Panglulut. Percayalah, anak ini dapat melaluinya."
.
"Hm.. Baik Resi Suci." sahut Nara Maya dalam hati.
.
Kemudian Nara Maya berkata kepada Bala Kala, "Baiklah, aku mengikuti apa yang kau inginkan. Tapi ingat, jika anak manusia ini mampu mementahkan, kau tak akan mengganggunya lagi."
.
"Hohoho... Tentu aku tak akan memungkiri janjiku." sahut Bala Maya, tetapi dihatinya raksasa itu berkata, "Dia tentu termakan Suara Panglulut.. hehehe..."
.
Pembicaraan dari dua raksasa tak dimengerti oleh Arya Dipa. Siapa mereka ini dan mengapa ia berada di alam ini ? Lalu apa Suara Panglulut itu ? Semuanya masih gelap dalam bayangannya.
.
Diri pemuda itu terhenyak ketika suara raksasa Bala Kala menegurnya.
.
"He, anak manusia. Pejamkan matamu !"
.
Seketika mata Arya Dipa terpejam dengan sendirinya. Sebuah kekuatan sangat besar mempengaruhi inderanya sehingga menuruti perkataan atau lebih tepatnya sebuah perintah. Dan Suara Panglulut-pun mulai menyeruak keluar dari mulut Bala Kala.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 5
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
GETARAN halus menusuk seluruh urat nadi Arya Dipa tatkala Suara Panglulut mulai menguasai tubuhnya. Tenaga yang kasat itu semakin dalam memasuki jiwanya dan membuat pemuda itu tak mampu menghentikannya walau hanya sekejap.
.
Dengan terkenanya tenaga Suara Panglulut ini, Arya Dipa mengalami sesuatu yang sulit diterangkan. Dirinya bagai dilempar ke suatu kejadian yang mana di situ telah terjadi kejadian berujung mengerikan.
.
Awalnya Arya Dipa melihat seorang begawan yang berdiri membelakanginya. Begawan itu memegang pedang panjang bermata tajam dan kemudian mengayunkan ke leher seorang lelaki muda. Seketika kepala lelaki itu lepas dari tubuhnya, dengan darah memancar deras dari leher dan tubuh lelaki itu ambruk tak bernyawa.
.
Bersamaan ambruknya lelaki muda itu, jeritan mengerikan menggetarkan dari seorang perempuan muda yang memondong bayi. Sialnya, jeritan itu jelas didengar oleh begawan yang menggenggam pedang tadi, yang tertarik mendekati perempuan muda dengan langkah perlahan.
.
"Jangan.. Jangan.. Kasihani dia.. " tanpa sadar Arya Dipa memohon agar begawan itu tak menyakiti perempuan itu.
.
Tetapi Begawan itu tak menghiraukan suara Arya Dipa. Begawan itu terus melangkah mendekati perempuan muda dengan mata bagai ingin melahap nya tanpa tersisa. Dan sekali lagi sebuah tebasan mengerikan mengarah ke tubuh perempuan muda tanpa ampun.
.
Tebasan itu awalnya mengarah tubuh depan perempuan yang memondong bayi, tetapi perempuan itu bergerak memutar tubuh demi menghindari tajamnya pedang mengenai bayi dalam pondongan. Sehingga punggung perempuan muda-lah terkena sabetan pedang tajam menyilang panjang. Darah seketika terpancar dari tubuh kecil langsing tak terbendung.
.
Walau begitu si perempuan di dalam rasa kesakitan masih terus memeluk bayi dalam gendongannya. Melihat keuletan perempuan itu dalam mempertahankan anak bayinya, Begawan tadi kembali menghujamkan pedangnya berulang - ulang.
.
"Tidaaaaak.... !" teriak Arya Dipa demi melihat kekejaman Begawan.
"Hahaha... Itulah orang yang membunuh kedua putramu, anak muda. Apakah kau membiarkan kekejaman yang ia lakukan ?" sebuah suara tiba - tiba terdengar di telinga Arya Dipa.
.
"Siapa kau ?" desis Arya Dipa, tertuju ke suara tadi.
.
"Aku hatimu yang mencari keadilan, anak muda."
.
"Bohong...!" bantah Arya Dipa.
.
"Hehehe... " suara itu tertawa, lalu lanjutnya, "Bukalah matamu, anak muda. Lihatlah yang dilakukan oleh Begawan itu...!"
.
Bersamaan usainya perkataan suara itu, di depan kembali terlihat kejadian seperti apa yang dilihat Arya Dipa sejak awal. Kejadian mengerikan terulang dan terulang sampai berkali - kali.
.
"Apa kau tega melihat orang tuamu diperlakukan seperti itu, anak muda ?" kata suara tak nampak wujudnya, "Bila kau tak membalaskan dendam kematian orang tuamu, kau memang binatang yang tak mempunyai hati nurani..."
.
"Diam.. Diam.. Diam.. " teriak Arya Dipa seraya menyumbat kedua telinga dengan kedua telapak tangannya.
.
Namun hal itu sia - sia belaka, suara itu tetap terdengar dan terus menyudutkan Arya Dipa untuk membunuh Begawan itu.
.
"Pakailah ini... "
.
Tiba - tiba sebuah pedang sudah berada dalam genggaman Arya Dipa.
.
"Cepat bunuhlah dia. Cincang tubuhnya arang kranjang.. !" kembali suara itu terdengar, "Bunuh.. Bunuh.. Bunuh.."
.
Suara yang terus membujuk Arya Dipa bagai mengandung kekuatan sihir. Tubuh pemuda itu tak terkendali lagi oleh kesadarannya. matanya merah membara dan tangannya semakin erat memegang pedang dan siap mengayunkan ke tubuh Begawan.
.
Saat itulah, letupan cahaya bersinar terang dari hati kecil pemuda itu. Cahaya welas asih dari kekuatan dirinya menyeruak membangkitkan kekuatan suci. Tangan yang masih menggenggam pedang terayun deras, bukan ke begawan tadi tetapi diayunkan ke samping kiri.
"Craaaas.... "
.
"Bangsat kau manusia.... !"
.
Umpatan mengerikan disusul dengan terbelahnya tubuh raksasa Bala Kala terjadi setelah ayunan pedang ditangan Arya Dipa.
.
Kejadian itu membuat Nara Maya tersenyum dan mengangguk. Tanpa berkata, raksasa alam putih itu terbang meninggalkan tempat itu, membubung ke angkasa.
.
Sementara raksasa Bala Kala yang tubuhnya terbelah mulai memudar wujudnya, disusul bergulungnya kedua alam menjadi satu dan menghempaskan tubuh Arya Dipa ke alam kesadaran.
..............
"Akulah orang yang disebut Jambul Kuning, ngger."
.
Suara Begawan Bancak itu masih terngiang dengan jelasnya.
.
"Eyang... " desis Arya Dipa, "Oh Eyang... "
.
Arya Dipa menubruk tubuh kakeknya dengan eratnya, "Eyang, benarkah eyang yang membunuh ayah dan ibu."
.
Pemuda itu menagis mencurahkan air mata bagai bendungan yang tak mampu menahan lajunya air sungai, sehingga bendungan itu jebol. Dan itulah luapan perasaan Arya Dipa berupa tangisan disertai pelukan kepada eyangnya, satu - satunya keluarga yang tersisa.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 6
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
MALAM anggara manis, malam pertemuan kedua eyang dan cucu di luar padukuhan Bungkul. Dua hati yang mengalami persamaan rasa cinta kasih terpisah oleh masa, akhirnya Sang Batara menyambungkan dengan lancarnya walau bayangan kelam menyelimutinya.
.
Awalnya secarik kertas tiada noda tinta terpercik walau setitik, tetapi kelanjutannya secarik kertas itu dalam kodratnya harus menerima tetesan tinta. Tinta beraksarakan perjalanan sang insan sesuai garis tangannya, akan tetapi manusia itu sendirilah yang sebenarnya bisa merubah arahnya garis itu. Tentunya garis itu ialah garis yang tak mutlak dari ketentuan Sang Nata.
.
Begitu juga halnya dengan Arya Dipa. Hidupnya sebatangkara karena sang ayah dan ibu telah tiada akibat ulah eyangnya. Itu menurut cerita dari Resi Puspanaga, seorang pertapa dari gunung Penanggungan. Apakah itu benar atau Resi itu berbohong.. ?
.
Demi meyakinkan itu semua, kini saatnya Arya Dipa bisa bertanya kepada eyangnya sendiri, yang mengalami kejadian masa lampau di puncak gunung Bancak.
.
"Eyang, benarkah apa yang dituduhkan eyang Puspanaga terhadap diri eyang ?" tanya Arya Dipa, setelah mampu menguasai kesedihannya.
.
Angin malam berhembus sesuka hatinya, seolah tak menghiraukan orang - orang itu. Dengan riangnya angin itu bermain - main menggerakan apa pun yang ada dalam cakupannya. Sementara di langit sang bulan berbentuk sabit acuh tak acuh dengan kejadian di buana, ia lebih senang bercengkrama dengan bintang gemintang.
.
Helaan nafas mengawali Begawan Bancak atau Begawan Jambul Kuning dalam menentukan apa yang akan ia sampaikan. Katanya dengan sareh, "Angger, Dipa. Apa tanggapanmu dengan Resi Puspanaga ?"
.
Pertanyaan dari Begawan Jambul Kuning tak terduga sebelumnya oleh pemuda itu. Sekilas raut wajah Arya Dipa bergelombang dengan alis mengernyit.
.
"Maksud, eyang ?"
.
"Tidak, aku hanya ingin mendengar darimu. Menurut pengenalanmu, seperti apa Resi Puspanaga ?"
Sejenak Arya Dipa terdiam demi mencerna maksud yang terkandung dari kata eyangnya itu. Dalam ingatannya dan pengenalannya, Resi Puspanaga seorang Resi yang bijaksana dan cermat
.
"Eyang, Resi Puspanaga bagiku sudah aku anggap eyang sendiri dan merupakan seoranga yang mendidik cucumu ini dalam menempatkan letak sesungguhnya di buana ini."
.
"Buana manakah itu, ngger ?"
.
"Buana sesungguhnya, eyang. Buana sebagai ladang dalam menanam padi sebanyak - banyaknya dan menjaga tanaman itu dari hama berupa nafsu yang berlebihan."
.
Begawan Jambul Kuning menghela nafas lega. Kakek itu bersyukur dengan perbuatan yang dilakukan oleh sahabat mudanya itu, terhadap cucunya. Tak jauh dari kedua eyang dan cucu, Begawan Kakrasana ikut senang mendapati kejadian yang tak ia sangka - sangka itu. Begitu juga dengan Windujaya.
.
"Apakah itu saja, ngger ?" kembali Begawan Jambul Kuning bertanya.
.
Arya Dipa mendongak menatap bulan sabit di langit, bibirnya tersenyum, "Bila aku ucapkan, malam ini tak akan selesai, eyang. Eyang Puspanaga banyak sekali memberikan aku petuah - petuah disetiap waktunya. Dan saat pertama aku mendapatkan dasar ilmu darinya, ia menanyakan apakah aku akan menggunakan ilmuku untuk membunuh eyangku sendiri ?"
.
Sejenak pemuda itu berhenti untuk mencari kesan dari raut wajah eyangnya, lalu katanya dengan tegas, "Tidak... Begitulah yang aku jawab, eyang. Tetapi eyang Puspanaga tak diam sampai disitu saja. Ia memintaku untuk menguraikan alasan dari jawabanku itu."
.
Dengan sungguh - sungguh Begawan Jambul kuning serta Begawan Kakrasana dan Windujaya mendengarkan perkataan dari Arya Dipa.
"Seperti aku katakan kepada eyang tadi. Aku tak akan membunuh eyangku meskipun eyang telah membunuh ayah Wila dan ibu Dyah Ratna. Kerana apa ? Pertama, ayah dan ibu tak akan hidup lagi dan kedua, hal itu semakin memburamkan garis keluarga eyang."
.
"Kau memang seorang ksatria, Dipa !" seru sosok yang muncul dari balik pohon disertai dua orang lelaki.
.
"Kau Puspanaga.. !" seru Begawan Jambul Kuning.
.
Sosok itu memanglah Resi Puspanaga dan kedua muridnya, Palon dan Sabdho. Dan kemunculan ketiganya membuat orang - orang kaget, karena mereka tak menyadari keberadaan mereka.
.
"Sehatkah kau Arya Bancak dan adi Brajang Mas ?" tegur Resi Puspanaga, sambil tersenyum ke arah Arya Dipa dan Windujaya.
.
"Apakah kau masih menuduhku melakukan tindakan keji terhadap kedua anak dan menantuku itu, Puspanaga ?!"
.
Resi Puspanaga tak langsung menanggapi. Orang tua itu berusaha mendekat dengan santainya, diiringi Palon dan Sabdho.
.
"Sebaiknya adi Brajang Mas mempersilahkan kami singgah di gubuknya." kata Resi Puspanaga sembari menoleh ke Begawan Kakrasana.
.
"Tunggu dulu... " kata Begawan Jambul Kuning, tetapi tak dilanjutkan karena adanya isyarat dari adik seperguruannya.
.
"Masuklah, kakang Resi. Begitu juga dengan kakang Bancak dan yang lainnya. Malam sudah menggelincir semakin mendekati dini hari." ajak Begawan Kakrasana.
.
Resi Puspanaga mengikuti langkah Begawan Kakrasana. Sementara Begawan Jambul Kuning masih ragu - ragu, tetapi segera digamit oleh Arya Dipa, "Mari, eyang.."
Di dalam gubuk semua orang duduk di amben besar. Suasana dalam gubuk masih terasa ketegangan. Dan Begawan Kakrasana sebagai tuan rumah berusaha mencairkan dengan melempar guraun.
.
"Aku tak mengira jika macan ompong berkumpul disini seperti ini... hehehe.. "
.
"Benar adi Brajang Mas, tetapi macan itu ada perbedaannya. Yaitu dua macan dari istana keraton, dan satunya lagi macan yang benar - benar dari pucuk gunung." sahut Resi Puspanaga, "Tetapi untungnya kita sudah menyiapkan macan - macan perkasa di masa mendatang."
.
"Kau salah, kakang Resi. Aku belum menemukan macan itu, padahal dahulunya ia mampu kuhandalkan." kata Begawan Kakrasana, suaranya mengandung kegetiran.
.
"Ah sudahlah, adi. Anakmu sudah tenang di alam kelanggengan, aku yakin ia selalu menatap bangga terhadapmu." Resi Puspanaga.
.
Sementara itu Begawan Jambul Kuning masih terdiam membisu.
.
"Arya Bancak, apakah kau masih membenciku ?" tanya Resi Puspanaga.
.
"Huh.. " desuh Begawan Jambul Kuning.
.
Resi Puspanaga menghela nafas, ia mengerti keadaan sahabatnya itu. Untuk itulah ia berkata, "Maafkan atas ketidak percayaanku kepadamu waktu itu. Sekarang aku akan menerangkan dengan jelas kepadamu dan kepada Arya Dipa, mengenai peristiwa di puncak gunung Bancak."
.
"He... " seru sekalian orang.
.
Kemudian Resi Penanggungan itu menceritakan semua yang ia ketahui. Peristiwa yang membuat suramnya gunung Bancak, sedikit demi sedikit terkuak semakin terang
"Begitulah. Sehingga pertamanya aku menuduh dirimu yang melakukannya, karena kau dan orang itu serupa." kata Resi Puspanaga mengakhiri ceritanya.
.
"Apakah kakang Bancak tak mengetahui orang itu ?" tanya Begawan Kakrasana.
.
Begawan Jambul Kuning menggeleng, "Tidak.. Ayah Pangeran tak pernah berkata, begitu juga ibu."
.
Disebutnya ayah Pangeran oleh Begawan Jambul Kuning, membuat Arya Dipa bertanya - tanya. Siapa sebenarnya eyangnya ini ? Tetapi iti semua masih ia simpan sampai urusan yang disampaikan oleh eyang Puspanaga bisa sedikit terang.
.
"Orang itu berada di antara pasukan Bang Wetan. Dan dialah otak dari semua serangan pasukan wetan." kembali Resi Puspanaga.
.
Begawan Jambul Kuning menatap Arya Dipa, "Sekarang kau mendengarnya Arya Dipa. Aku Jambul Kuning tak melakukan tindakan keji itu, melainkan yang melakukan itu ialah orang yang mirip denganku. Entah benarkah ia kembaranku, aku sendiri tak banyak mengetahui. Karena yang aku tahu, ayahku Pangeran Banyak Paguhan hanya memiliki anak tunggal saja."
.
"Jadi eyang juga bangsawan Kadiri.. "
.
"Hm.. Tetapi aku menolak saat Prabu Giriwardhana menggempur Wilatikta, sehingga ia mengasingkan keluargaku ke sekitar gunung Bancak yang masih hutan belantara itu."
.
"Hm.. Terima kasih atas kemunculanmu kali ini, Puspanaga. Sehingga aku dan cucuku ini tak ada lagi mengandung rasa syah wasangka." ucap Begawan Jambul Kuning atau raden Arya Bancak.
"Ah sudahlah, Arya Bancak. Peemasalahan itu sekarang sudah usai. sekarang sebaiknya kita menitik beratkan masalah yang akhir - akhir ini menyerabak."
.
"He.. Apa itu ?" Begawan Jambul Kuning heran.
.
"Pusaka dan harta di aliran sungai Brantas.. "
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 7
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
TERNYATA desas - desus mengenai pusaka dan harta peninggalan seorang bangsawan Wilatikta, sudah menyerebak ke berbagai lapisan negeri. Mulai dari bangsawan, golongan kanuragan dan kawula biasa. Semuanya selalu menyinggungnya dan tak sedikit ingin mendapatkan benda itu.
.
"Kebanyakan dari mereka golongan kanuragan dari bang wetan, sementara dari bang tengah hanya tiga empat orang saja." kata Resi Puspanaga, menjelaskan.
.
"Hm.. Kau juga tertarik, Puspanaga ? sampai - sampai kau turun gunung ?" sindir Begawan Jambul Kuning.
.
"Ah.. Bagiku semuanya itu sudah bukan urusanku pagi, Arya Bancak. Kepergianku dari pertapaan sebenarnya hanya menyelidiki dirimu dan orang yang berwajah sama denganmu itu." kata Resi Puspanaga, "Tetapi, semakin aku ke barat telingaku tanpa sengaja mendengarkan setiap orang membicarakan pusaka dan benda itu."
.
"Apakah kakang Resi mengetahui siapa sebenarnya yang menyimpan pusaka dan benda itu ?" tanya Begawan Kakrasana, "Tadi angger Arya Dipa menyebutkan kalau orang itu masih mempunyai sangkut paut dengan bangsawan Wilatikta."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning menggeser tempat duduknya, demi mendengar apa yang diutarakan oleh Begawan Kakrasana dari Arya Dipa.
.
"Kau mengetahui dengan pasti, angger Dipa ?" tanya Resi Puspanaga.
.
Arya Dipa mengangguk perlahan, "Demikianlah, eyang. Waktu aku bermalam di pesisir Gunung Kidul, di sebuah gua ada sebuah lambang lencana Surya Kencana."
.
Resi Puspanaga dan Begawan Jambul Kuning saling berpandangan. Seingat keduanya di masa Demak ini yang mereka ketahui mempunyai lencana Surya Kencana hanya segelintir orang saja. Yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga, Raden Buntaran dan Pangeran Windujati.
.
Bila dipikir secara cermat, tak mungkin itu tindakan dari Kanjeng Sunan Kalijaga, karena putra Tuban itu lebih memusatkan dengan penyebaran agama baru di tanah jawa. Lalu selanjutnya Raden Buntaran, tokoh ini sudah lama tinggal di bang tengah dengan mendirikan padepokan di Karang Tumaritis dengan gelar Panembahan Ismaya. Terakhir ialah Pangeran Windujati, seorang bangsawan yang menjauhi dunia pemerintahan dan menetap di sebuah tempat yang sulit dijangkau, Dan menurut warta ia telah kembali ke alam kelanggengan dengan meninggalkan seorang murid yang dikenal sebagai orang bercambuk.
Semuanya masih gelap adanya. Resi Puspanaga, Begawan Jambul Kuning dan Begawan Kakrasana tak dapat membuka tabir tebal itu. Dan malam semakin larut, maka mereka pun beristirahat membaringkan tubuh mereka.
..........................
Kokok ayam hutan bersahutan mengawali pagi yang cerah. Sinar mentari memancar ke segala penjuru memberikan penerengan. Alam pun mulai bersemarak meramaikan buana raya sesuai kodratnya.
.
"Biarkan mereka saling berebut harta dan pusaka itu." desia seorang pemuda berwajah lancip dengan jenggot tipis menghiasi dagunya.
.
"Sebenarnya apa dari maksudmu ini, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
Kau nantinya akan mengerti, Bango Banaran. Kita akan melihat permainan mengasyikan di pinggir kali Brantas.. Hahaha." kata Sanjaya diiringi tawa gemuruh.
.
"Hm.. Pasti yang ia harapkan akan terjadinya kerusuhan yang melibatkan banyak orang. Pinggiran kali Brantas akan tercemar oleh puluhan darah." batin Bango Banaran.
.
Mereka adalah Sanjaya dan kedua kawannya, Duaji dan Bango Banaran. Ketiganya sebelumnya bersama dengan Ki Widarba, Ganggang Keling dan ki Pandak Wengker. Namun setelah di timur Gunung Kidul, mereka berpisah menjadi dua bagian dengan jalur perjalanan yang berbeda.
.
Ki Widarba dan kedua kawannya berjalan melewati kadipaten Ponorogo, sementara Sanjaya bersama yang lainnya terus melewati pesisir dan nantinya akan ke Kadiri.Dan pagi itu mereka sampai di lereng gunung Kelud, sebuah gunung yang menyimpan kekuatan dahsyat di dalamnya.
.
"Dia tidak ada, denmas." kata Duaji yang baru tiba.
.
"Kau mencari siapa, Sanjaya ?" tanya Bango Banaran.
.
"Resi Gangsiran. Aku mengharap ia mau membantu kita." jawab Sanjaya.
.
Bango Banaran tak mengerti jalan pikiran dari pemuda ini. Bukankah kelompok ini sudah tergolong besar dengan bergabungnya ki Widarba dari Jipang, Gonggang Keling dari pulau Karimun, dan ki Pandak Wengker dari Ponorogo. Kini malah mau mengajak seorang Resi dari gunung Kidul.
.
"Sanjaya, bukankah kelompok kita sudah besar ? Mengapa kau masih ingin menambah lagi ?"
Sanjaya tersenyum sejuta arti. Pemuda satu ini memang sulit dimengerti jalan pemikirannya. Tetapi setiap langkahnya mengandung pertimbangan yang mapan. Dan karena kelihaiannya inilah, ia mampu memperdaya gurunya untuk mau mendidiknya.
.
Pemuda itu merenung sesaat, lalu, "Apa boleh buat, ia tak ada ditempat. Kita langsung ke kali Brantas."
.
Ketiganya meloncat menaiki kuda dan melecut kuda supaya segera berjalan. Kuda itu pun berjalan menyusuri jalan setapak di lereng gunung Kidul.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 8
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DEBU dari bekas pijakan kaki kuda menyisakan jejak yang diteliti oleh seorang lelaki berjambang. Lelaki itu memperhatikan dengan cermat jejak yang baru saja ditinggalkan kurang dari sepengunyah sirih. Ternyata lelaki ini ahli dalam meneliti jejak dan mampu memperkirakan waktu dari bekas jejak tersebut.
.
"Apa yang kau temukan, Widura ?" seorang lelaki paruh baya bertanya kepada lelaki berjambang.
.
Masih dengan menyentuh tanah, lelaki berjambang itu menjawab, "Tiga kuda baru saja melewati jalan setapak ini, ki Lurah."
.
"Mungkinkah itu mereka ?"
.
"Pemuda licik itukah yang ki Lurah maksudkan ?" Widura bertanya balik.
.
"Hm.. Iya, Widura. Pasti itu dia dan kedua pengikutnya." jawab lelaki paruh baya sambil bersedekap.
.
"Lalu apa yang akan ki Lurah lakukan untuk selanjutnya ?"
.
"Kita hanya ditugaskan untuk mengikutinya dan memberi laporan kepada Pangeran Singasari." lelaki itu berhenti bicara seraya mengernyitkan alisnya.
.
"He.. Widura, lihat itu mereka !" kembali lelaki paruh baya itu berkata dengan menunjuk ke arah bawah lembah.
.
"Kita susul mereka." serunya.
.
"Mari ki Lurah."
.
Keduanya bergegas menaiki kuda yang sebelumnya telah mereka sembunyikan di balik semak - semak, dan segera menyusul ketiga orang berkuda di bawah lembah.
.
Widura dan lelaki paruh baya itu selalu menjaga jarak dengan ketiga orang berkuda di depan. Semakin lama mereka memasuki padukuhan yang cukup ramai, dan hal itu memudahkan Widura dan lelaki paruh baya dalam melakukan pengawasan.
.
"Mereka sepertinya akan memasuki kedai, ki Lurah." kata Widura manakala memperhatikan ketiga penunggang kuda di depan membelokan kuda ke dalam halaman kedai.
"Hm.. kita tunggu di tempat orang jualan dawet itu saja."
.
"Ah, mengapa kita tidak masuk saja, ki Lurah ?" Widura mencoba mengajak masuk ke kedai, "Siapa tahu kita dapat mendengarkan mereka membicarakan pusaka dan harta itu ?"
.
Lelaki paruh baya yang dipanggil ki Lurah itu tetap menolak, "Dia tak akan membicarakan pusaka dan harta karun itu. Kita ke tempat orang jualan dawet."
.
Meskipun mengikuti langkah kuda yang ditunggangi oleh lelaki paruh baya, tetapi dalam hati Widura masih mengeluh dengan sikap atasannya itu.
.
"Ki Lurah Sempono terlalu takut dikenali oleh mereka." gerutunya.
.
Sementara ketiga orang yang masuk ke dalam kedai ialah, Sanjaya dan kedua kawannya. Karena perut sudah kluruk meminta makan, maka ketiganya memutuskan mencari warung atau kedai di padukuhan tersebut.
.
"Selamat datang di kedai kami, denmas dan tuan sekalian." sambut seorang pelayan sambil mengambil alih ketiga tali kendali kuda.
.
Sanjaya dan kedua kawannya menyerahkan tali kendali kuda ke pelayan itu, untuk diikatkan ke tonggak yang sudah tersedia.
.
"Beri makanan dan minuman terbaik untuk kuda - kuda kami." Sanjaya meminta perawatan untuk kuda tersebut.
.
"Baik denmas."
.
Ketika pelayan kedai membawa ketiga kuda, seorang pelayan lainnya berlari dari dalam kedai dan menyongsong kedatangan Sanjaya.
.
"Mari - mari silahkan masuk tuan." sambut pelayan kedai itu.
.
"Siapkan makanan paling enak di kedai ini." kali ini Bango Banaran yang memesan.
.
"Baik, tuan. mohon tunggu sejenak." sahut si pelayan kedai dan berlari menuju ruang dalam.
Setelah kepergian pelayan itu, Sanjaya dan kedua kawannya mengambil tempat duduk di bangku agak besar, berada di tengah ruangan, karena bangku itulah yang tersisa. Ternyata kedai di pagi menjelang siang itu ramai penuh pelanggan. Entah dari penghuni padukuhan maupun orang - orang yang berlalu lalang melewati padukuhan itu.
.
Di bangku pojok, seorang bermata tajam selalu memperhatikan ke arah bangku Sanjaya. Orang itu molotot tajam saat memperhatikan telapak luar Sanjaya.
.
"Bandu, orang yang kita cari ada disini." desis orang bermata tajam.
.
"He, mana kakang ?"
.
"Di bangku tengah, orang termuda dengan pakaian hijau pupus itu." kata orang bermata tajam, lalu lanjutnya, "Cepat kau lapor guru."
.
Orang bernama Bandu itu lekas berdiri dan keluar dari kedai tanpa membuat Sanjaya dan kawannya curiga.
.
Sementara orang bernama Bandu meninggalkan kedai, pelayan kedai sudah menghidangkan makanan paling enak yang tersedia di kedai tersebut.
.
"Silahkan, tuan. Jika perlu sesuatu panggil kami."
.
"Hm.. " desuh Bango Banaran sambil menggerakan tangan tanda menyuruh pelayan itu pergi.
.
Ketiganya lantas menikmati hidangan tanpa mengawatirkan kejadian yang akan terjadi di kedai tersebut. Sedangkan di bangku pojok, orang bermata tajam terus mengawasi Sanjaya dan kawan - kawannya.
.
"Mimpi apa aku tadi malam, tak ku sangka aku akan mendapat hadiah dari guru." batin orang itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 9
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ORANG bermata tajam yang masih mengawasi Sanjaya, terbuai oleh angan - angannya. Sudah terbayang akan hadiah yang dijanjikan oleh gurunya. Tanpa disadari orang yang harus ia awasi telah meninggalkan tempat tanpa ia ketahui.
.
"He, mana dia ?" orang itu berdiri kebingungan.
.
"Ki Werdi !" panggilnya kepada pemilik kedai.
.
Pemilik kedai bergegas mendekati orang bermata tajam, "Ada yang bisa saya bantu, anakmas Putut Pinuluh ?"
.
"Kemana ketiga orang yang berada di bangku tengah tadi ?!"
.
"O.. Ia sudah keluar mengarah jalan utama, anakmas."
.
"Hm.. " desuhnya sambil merogoh uang dan meletakan di meja. Lalu bergegas keluar seraya berkata, "Ambil kembaliannya.."
.
"Terima kasih, anakmas." ucap pemilik kedai sambil menatap kepergian orang bermata tajam.
.
Di luar kedai, orang bermata tajam atau Putut Pinuluh bergegas menaiki kuda dan melarikan kudanya bagai angin. Debu yang ditinggalkan membuat orang yang lalu lalang memaki walau hanya dalam hati. Kudanya terus ia larikan hingga akhirnya sampai di persimpangan jalan.
.
"Setan alas... !" umpat seseorang dengan kasarnya, "Matamu sudah lamur he, Pineluh ?!"
.
"Maaf, kakang Jenggala." ucap Putut Pineluh yang menarik kekang kudanya.
.
Hampir saja kuda yang ditunggangi oleh Putut Pineluh melanggar iringan kuda yang muncul dari arah kanan persimpangan, jikalau semua penunggangnya tak mampu mengendalikan kuda - kuda mereka.
.
"Mau kemana kau ?"
.
"Sanjaya meninggalkan kedai, kakang."
.
"He, kemana ?"
.
"Entahlah, tapi kemungkinan terbesar ia menghindari padepokan kita."
.
Orang yang disebut Jenggala itu terlihat berpikir sejenak, lalu katanya, "Ayo kita kejar lewat jalan utama saja !"
Maka mereka segera melarikan kuda mereka ke jalan utama demi mengejar orang yang diinginkan oleh guru mereka. Dengan memacu kuda secepat - cepatnya, iringan itu akhirnya melihat titik - titik kuda di dapannya.
.
"Itu mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Dan kuda mereka pun dapat menyusul dua kuda di depannya.
.
"Berhenti.. !" seru PututJenggala.
.
Kedua penunggang itu heran dengan teriakan dari belakang mereka. Walau begitu kedua penunggang kuda itu tetap memacu kudanya dengan pelan.
.
"He, berhenti... !" sekali lagi Putut Jenggala berteriak lebih keras dari sebelumnya.
.
"Kita ikuti permintaan mereka, Widura." desis penunggang kuda hitam legam.
.
Orang yang dipanggil Widura menganggung dan menarik tali kekang kudanya perlahan.
.
"Selamat siang, kisanak semua. Adakah sesuatu yang barang kali bisa saya bantu ?" kata penunggang kuda hitam legam, ki Lurah Sempono.
.
"Oh.. " desuh Putut Pineluh, lalu melangkahkan kuda mendekati kuda Putut Jenggala, "Bukan mereka kakang."
.
Putut Jenggala menatap lekat - lekat mencari ketegasan dari adik seperguruannya, dan setelah yakin ia mulai berkata kepada ki Lurah Sempono dan Widura, "Oh.. Maafkan kami, kisanak. Kami salah orang, silahkan teruskan perjalanan kalian."
.
Hampir saja Widura akan berbicara andai tidak segera didahului oleh ki Lurah Sempono, "Baiklah, kisanak. Tak mengapa."
.
Maka iringan Putut Jenggala kembali membedal meninggalkan ki Lurah Sempono dan Widura, untuk kembali mengejar orang yang dituju.
.
"Ki Lurah membiarkan kelima orang padukuhan itu ?" gerutu Widura.
.
"Sudahlah, sepertinya mereka juga berurusan dengan pemuda licik itu." desis ki Lurah Sempono, lalu lanjutnya, "Kita lihat apa yang akan terjadi."
.
Widura hanya menghela nafas. Sebenarnya ia sudah bosan mengikuti langkah pemuda yang menyimpan seribu rahasia itu. Widura merasakan lebih tenang jika berada di Purbaya ikut berperang melawan pasukan Demak saja daripada berurusan dengan pemuda itu. Tetapi semuanya sudah perintah dari kepala kesatuannya dan tak bisa diganggu gugat, kalau ia tak ingin kepalanya digantung.
Kemudian ia pun mengikuti perbuatan ki Lurah Sempono, yaitu memacu kudanya. Jalan - jalan yang awalnya lebar menjadi semakin kecil dan menciut sebatas satu gerobak saja. Di kanan kiri jalan sawah membentang dengan tanaman jagung di akhir musim penghujan.
.
Dan saat itulah terdengar adanya ribut - ribut di balik kelokan jalan.
.
"Berhenti.. " desis ki Lurah Sempono, "Sembunyikan kuda dan kita lihat apa yang sedang terjadi."
.
Widura dengan cekatan mengambil alih kuda ki Lurah Sempono dan segera membawanya memasuki lebatnya pohon jagung setinggi orang itu. Di sembunyikanlah kedua kuda di tengah pohon jagung, kemudian lekas kembali ke tempat dimana ki Lurah Sempono berada.
.
"Hati - hati dan jangan berbuat apa pun."
.
Widura mengangguk dan kemudian mengikuti langkah ki Lurah Sempono, yang sangat hati - hati menyibak lebatnya pohon jagung. Dan ternyata dari balik pohon jagung, mereka melihat orang - orang yang menghentikan tadi sedang berselisih paham dengan Sanjaya.
.
"Aku tak mempunyai waktu untuk mengunjungi gurumu, Jenggala." kata Sanjaya.
.
"Kau akan memutus hubungan yang akan disambungkan oleh guru, Sanjaya ?" Putut Jenggala bertanya dengan kerasnya.
.
"Huh, itu hanya sepihak saja. Dan belum tentu Sri Tanjung setuju."
.
"Kau.. " tapi suara Putut Jenggala belum selesai..
.
"Hahaha.. Bukankah kau juga menginginkan gadis putri gurumu itu, Jenggala ?" potong Sanjaya, "Aku rela jika kau akan menikahinya, dan sudi kiranya jika kau mau menjadikan jabang bayi dalam kandungannya itu layaknya anakmu sendiri."
.
Muka Jenggala memerah penuh kemarahan. Begitu halnya dengan Putut Pineluh dan kawan - kawannya.
.
"Serigala kau Sanjaya !" teriak Putut Jenggala.
.
Sanjaya menoleh kepada Duaji dan Bango Banaran dengan senyum mengembang, "Kalian dengar bukan, mereka menyebutku serigala.. hahaha, keliru aku adalah naga perkasa... hahaha... "
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 10
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
PERNYATAAN dari Sanjaya berupa penyombongan diri sendiri, tak dapat lagi Putut Jenggala menahan diri. Isyarat tangan sudah ditunjukan sebagai perintah kepada saudara seperguruannya untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
.
"Usahakan tangkap mereka hidup - hidup !" seru Putut Jenggala.
.
Kelima saudaranya langsung mengepung tiga orang yang dipimpin oleh Sanjaya yang masih duduk di punggung kuda dengan tenangnya. Sanjaya dan kedua kawannya tiada menunjukan ketegangan dalam raut mukanya, seakan mereka hanya berjumpa kawan bermain saja.
.
"Lihatlah ketenangan pemuda itu dalam menyikapi keadaan." desis ki Lurah Sempono di balik lebatnya pohon jagung.
.
Widura yang berjongkok di sebelah ki Lurah Sempono hanya terdiam saja tanpa menyahuti. Lelaki berjambang itu berharap pemuda Sanjaya mendapat hajaran dari orang - orang yang mengejarnya.
.
Di tengah jalan ketegangan makin memuncak. saudara seperguruan Putut Jenggala mulai mencabut senjata mereka dari sarungnya. Senjata itu kemudian bergerak penuh ancaman, walau masih di depan tubuh masing - masing.
.
"Bango Banaran dan Duaji, terpaksa perjalanan kita terhambat dengan adanya kelinci - kelinci ini. Mari kita turun supaya kuda kita tak mengalami masalah." kata Sanjaya dan langsung turun dari kuda diikuti oleh Bango Banaran dan Duaji.
.
"Tangkap mereka !" seru Putut Jenggala.
.
Selanjutnya perkelahian tak dapat dihindari lima orang melawan tiga orang dalam kepungan. Namun ternyata ketiga orang dalam kepungan memiliki kemampuan yang mumpuni, sehingga berhasil menerobos kepungan seraya dapat membuat tiga orang pengepung terjungkal.
.
Putut Jenggala melihat saudara seperguruannya dapat dengan mudah dihempaskan lawan, lantas ikut menerjunkan diri menghadapi Sanjaya. Pemuda yang harus ia tangkap untuk mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap putri gurunya, seorang gadis yang sebenarnya membuat hatinya terpikat juga.
.
"Jenggala, kau sudah bosan hidup ?" tanya Sanjaya, "Pergilah sebelum aku berubah pikiran !"
.
Muka Putut Jenggala bagai kepiting rebus, dirinya seorang lelaki penuh harga diri dan kini lawannya meremehkan kemampuan kanuragannya. Tangannya langsung ia gerakan mengarah lambung lawan, saat itu juga lawan dapat mengetahui serangannya dan akan mementahkan, tetapi itu sudah diperkirakan oleh Putut Jenggala. Tangannya ia tarik dengan cepat berganti dengan sodokan siku kaki kiri. Sekali lagi lawan dapat membaca serangannya dengan menempatkan kedua tangan melindungi tubuh yang akan terkena sodokan.
.
Secepat kilat serangan Putut Jenggala berubah lagi bersamaan dengan kaki kanan mengisar ke samping, terus langsung memutar memukul tengkuk lawan. Tiga kali serangan selalu mengarah titik mematikan tubuh Sanjaya, ini menunjukan kemampuan Putut Jenggala tak buruk, malah dengan dukungan kesebatan gerak dan pola pikirnya cepat menandakan Putut Jenggala seorang pemuda yang tekun dalam mempelajari tata kanuragan.
Serangan Putut Jenggala kurang seruas tangan lagi mengenai tengkuk Sanajaya, dan entah bagaimana tengkuk itu lenyap bagai angin.
.
"He.. " kejut Putut Jenggala.
.
Tetapi pemuda itu tak sempat terus menunjukan keterkejutannya, karena ia merasakan desir angin mengancam batok kepalanya.
.
"Haaiit.. ! seru Putut Jenggala sambil menggulingkan tubuhnya menghindari serangan lawan.
.
Apa yang sebenarnya terjadi ?
.
Sewaktu tangan Putut Jenggala hampir mengenai tengkuk Sanjaya, pemuda penuh seribu rahasia itu menotolkan kaki untuk melenting ke depan sekali, lalu masih menggunakan tenaga tumpuan di kaki dengan cepat kembali melenting berputar diudara sambil membuka telapak tangan. Dan telapak tangan yang dilambari tenaga dahsyat inilah mengancam batok kepala Putut Jenggala.
.
"Byaaar... !"
.
Tanah di bawah tempat Putut Jenggala berdiri sebelumnya, amblong seukuran tangan menyisakan asap mengepul.
.
Semua orang yang melihat kedahsyatan akibat telapak tangan Sanjaya, bagai terpana dan detak jantung mereka seakan berhenti sesaat.
.
Di balik pohon Jagung Widura menganga tanpa sadarnya, "Ki Lurah, ilmu apa itu tadi ?"
.
Ki Lurah Sempono yang ditanya menggelengkan kepala, "Aku kurang mengenalinya, Widura. Telapak tangan itu tak ada perubahan sama sekali layaknya aji Hasta Dahana atau Tapak Geni."
.
Sementara itu Sanjaya membiarkan lawannya mempertimbangkan langkah selanjutnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum penuh kemenangan. Dalam hatinya ia memastikan lawannya itu pasti tertekan dengan ilmu yang baru saja ia terapkan tadi.
.
Kenyataan yang dihadapi oleh Putut Jenggala tak berbeda jauh dengan apa yang mampu dibaca oleh lawannya. Ia tak mengira jika lawan yang sebaya dengannya mampu mengungkap aji mendebarkan dan ganas seperti itu. Tidak seperti Sanjaya yang ia kenal setahun terakhir, dimana pemuda itu sangat lemah dan tak menunjukan adanya ilmu dalam tubuhnya. Tetapi sekarang pemuda itu benar - benar macan gembong yang mempermainkan mangsanya.
.
Sejenak Putut Jenggala memperhatikan keadaan sekitarnya, dimana saudaranya pun juga tak mampu memberi tekanan terhadap lawan. Satu dua orang terlihat sudah rebah tak berkutik, entah mereka masih hidup ataukah sudah mati.
.
"Jenggala, ingatlah. Seorang gadis menunggu seorang ayah untuk memberi perlindungan bagi calon buah hatinya. Kau sangat cocok menggantikan diriku sebagai ayah calon bayi itu. Dan bukankah kau sudah memimpikan sejak dahulu untuk menjadi pendamping gadis itu ?" kata Sanjaya, tetapi nada suaranya mengandung sesutu yang sangat menyakitkan bagi Putut Jenggala.
Diungkitnya perasaan terhadap gadis putri gurunya, membuat hati Putut Jenggala bagai tergores tajamnya pisau belati. Bagaimana tidak, gadis yang ia cintai telah direnggut kehormatannya oleh pemuda di depannya . Awalnya Putut Jenggala merelakan andai Sanjaya mau bertanggung jawab atas tindakannya terhadap Sri Tanjung, karena gadis itu pun mencintai Sanjaya. Namun seiring berjalannya waktu, kebusukan Sanjaya mulai terlihat dengan jelas dan apalagi saat ini semakin nyata sikap yang ditunjukan oleh Sanjaya.
.
Kepedihan rasa kini berganti menjadi luapan amarah menggelayuti hati Putut Jenggala. Cintanya memang bertepuk sebelah tangan. Tetapi bila sang pujaan hidup bahagia, ia tentu juga mengharapkan dan merelakan. Tetapi itu semua bagai mimpi saja, karena orang yang ia kira dapat membahagiakan sang pujaan, ternyata tak lebih serigala berbulu domba.
.
"Kau keterlaluan, Sanjaya !"
.
Putut Jenggala siap mengungkap ilmunya untuk menghadapi manusia busuk itu. Loncatan panjang Mengawali serangan pamungkasnya.
.
"Wuuuuss..... !"
.
Sesosok tubuh menyambar tubuh Putut Jenggala dan meletakan tubuh itu dipinggir jalan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 11
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ORANG yang menyambar tubuh Putut Jenggala perlahan melepaskan tangannya dari tubuh Putut itu. Di tatapnya Putut Jenggala di sampingnya dengan tajamnya, seolah mengatakan kalau ia tak menyukai tindakan yang dilakukan oleh pemuda itu.
.
"Gu..ru." desis Putut Jenggala dengan nada bergetar dan menundukan kepala.
.
"Hm, mengapa kau bertindak sendiri tanpa melaporkan kepadaku, Jenggala ?" tanya orang itu.
.
Putut Jenggala bingung harus bicara apa kepada gurunya itu. Maka ia hanya menunduk saja tak berani memandang wajah orang yang ia hormati itu.
.
Sejak kemunculan orang tua itu, perkelahian langsung terhenti dan para saudara Putut Jenggala mundur semua. Sementara Sanjaya dan kawannya hanya membiarkan saja menunggu perkembangan selanjutnya.
.
"Oh.. Paman Trunalaya, semakin hari semakin gagah perkasa...!" seru Sanjaya kepada orang yang baru datang itu.
.
Teguran dari Sanjaya sejenak tak dihiraukan oleh ki Trunalaya. Orang tua itu masih sibuk memberi teguran kepada murid - muridnya yang bertindak tanpa ia ketahui. Setelah itu barulah orang tua itu memandang Sanjaya yang berdiri bersedekap.
.
"Anakmas Sanjaya, maafkan penyambutan murid - muridku ini. Tetapi semuanya hanyalah salah paham semata." ucap ki Trunalaya, "Mari singgah ke padepokan, di sana kita bisa berbicara panjang lebar. Bukankah anakmas sudah rindu dengan anak bengal itu ?"
.
Sanjaya menghela nafas, "Terima kasih, paman Trunalaya. Sedikit pun aku tidak merasa sakit hati dengan apa yang ditunjukan oleh Jenggala. Malah permainan tadi membuat urat - uratku agak mengendor, setelah sekian lama tak bergerak."
.
"Tetapi untuk saat ini aku tidak bisa mengunjungi padepokan paman." lanjut Sanjaya.
.
"Ah, anakmas janganlah bercanda berlebihan dengan orang tua sepertiku. Bukankah perjalanan dari Tumapel sangatlah menguras tenaga ? Dan tentu kedatangan anakmas menjadi obat rindu untuk putriku."
.
Dari sini jantung Putut Jenggala sudah berdebar dengar keras. Pemuda itu yakin adanya jawaban yang akan terucap dari Sanjaya, menimbulkan ketegangan. Dan terbukti jua, manakala yang ia perkirakan terlontar dengan tepat.
"Hehehe, Paman Trunalaya. Bukankah paman tahu siapa aku dan siapa paman ? Perbedaan itu sudah jelas adanya walau pada akhirnya paman mengetahuinya sudah terlambat." kata Sanjaya, "Memang aku akui kalau nimas Sri Tanjung seorang gadis yanh cantik, tetapi kalau Rama tidak menyetujuinya, apa yang harus aku buat, paman ?"
.
"Anakmas... !" seru ki Trunalaya, katanya dengan kerasnya, "Sri Tanjung memang berdarah kawula biasa dan anakmas putra bangsawan, tetapi anakmas sudah menanam benih terkandung dalam putriku. Dan anakmas berjanji akan mengambilnya menjadi istri sah, anakmas !"
.
Saat ki Trunalaya menyebut pemuda itu anak bangsawan, ki Lurah Sempono dan Widura terhenyak dalam keterkejutan. Keduanya tak mengira jika pemuda iti putra seorang bangsawan. Bangsawan dari mana ? Oh tadi juga disebutkan dengan Tumapel, telatah asal Pangeran Singasari.
.
"He, tidak mungkin jika ia putra Pangeran Singasari. Setahuku Pangeran hanya memiliki seorang putri saja." batin ki Lurah Sempono.
.
"Apakah ki Lurah merasakan kejanggalan dari peristiwa ini ?" tiba - tiba Widura berbisik kepada ki Lurah Sempono.
.
Langsung ki Lurah Sempono menatap Widura, "Aku kurang jelas dengan perkataanmu itu, Widura."
.
"Pemuda itu, lalu perintah dari gusti Pangeran Singasari yang hanya memerintahkan kita untuk mengawasi anak muda itu. Bukankah ini membuat kita bertanya - tanya, ki Lurah ?" desis Widura, "Bila dilihat dengan seksama, anak muda itu memiliki pancaran dari seorang bangsawan. Kemungkinan ia ada hubungan darah dengan gusti Pangeran Singasari."
.
"He.. " desuh ki Lurah Sempono, "Jaga bicaramu, Widura. Gusti Pangeran hanya mempunyai putri tunggal saja."
.
"Mungkin pemuda itu anak dari istri yang..."
.
"Tutup mulutmu !" potong ki Lurah Sempono sambil mencengkeram pakaian dekat leher Widura.
.
"Maaf.. maaf, ki Lurah." keluh Widura yang merasakan sesak nafas, karena cekikan di lehernya.
.
"Sekali lagi jaga ucapanmu !" kata ki Lurah Sempono dan melepaskan cekikan tangannya.
Sementara itu ki Trunalaya tak habis pikir dengan ucapan - ucapan yang terlontar dari mulut Sanjaya. Semakin lama pemuda itu semakin kurang tata dengan mengagungkan dirinya sebagai anak bangsawan. Sama dengan Putut Jenggala pemuda ini sebenarnya sudah siap berbaku hantam demi menjaga kehormatan gurunya yang diinjak - injak oleh Sanjaya.
.
Rasa senang dengan ditutupi raut wajah tegang dapat dilakukan dengan apik oleh Putut Pineluh. Pemuda ini mengharapkan adanya pertikaian yang melibatkan guru dan kakak seperguruannya dengan Sanjaya, terus berlanjut sampai keduanya tumbang dengan meninggalkan korban jiwa.
.
"Cepat, bertindaklah guru dan kakang.. "batin Putut Pineluh, "Kepergian kalian ke alam kelanggengan akan menempatkan aku di tingkat tertinggi di padepokan, dan aku berjanji akan mengawini Sri Tanjung."
.
Itulah niat awal Putut Pineluh dalam membaca keadaan di akhir - akhir ini. Kedudukan dan wanita telah mendorongnya untuk ikut mengail ikan di air yang keruh. Maka untuk itu ia mencoba mengungkit kemarahan.
.
"Guru, anak itu sudah berani menodai padepokan kita. Apakah guru berdiam saja setelah mendengar mulut busuknya ?!"
.
Ucapan itu membuat ki Trunalaya menoleh ke arahnya, dan untung saja saat itu ki Trunalaya sudah tidak berfikir jernih lagi. Jika ki Trunalayaa tidak sedang dalam kemarahan, tentu orang itu akan menimbang maksud dari kata muridnya yang ia tahu sifat dan perilakunya.
.
"Biarlah aku saja yang menyelesaikan permasalahan ini." desis ki Trunalaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 12
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
ADA yang mengatakan kalau sabar ada batasnya. Begitulah yang dirasakan oleh ki Trunalaya pada saat itu. Walau putrinya saat ini tengah mengandung akibat ulah pemuda Sanjaya, ki Trunalaya masih bersikap lunak untuk memberikan maaf kepada pemuda itu.
.
Beberapa pekan yang lalu, saat Sanjaya singgah di padepokannya untuk ke-dua kalinya, ki Trunalaya dan segenap isi padepokan menyambut baik dan menganggap pemuda itu bagai keluarga sendiri. Hingga satu hari terjadilah peristiwa antara Sanjaya dan Sri Tanjung berhubungan badan layaknya suami istri.
.
Kejadian itu tentu mengejutkan seisi padepokan. Tetapi dengan bijaknya, ki Trunalaya mempertemukan ke-duanya untuk duduk bersama demi menggali lebih dalam, bagaimana hal itu terjadi. Setelah diteliti ternyata antara si pemuda dan si gadis melakukan itu karena suka satu dengan lainnya, oleh karenanya ki Trunalaya yang mengharapkan adanya tanggung jawab dari si pemuda.
.
Kala itu Sanjaya berjanji akan mengawini Sri Tanjung secara sah. Tetapi karena orang tuanya tinggal di Tumapel, maka Sanjaya minta waktu untuk kembali pulang dan memberitahukan kepada orang tuanya. Sekaligus meminta orang tuanya untuk melamar Sri Tanjung.
.
Kepergian Sanjaya dari padepokan sudah lewat dari waktu yang ditentukan. Resah melanda hati ki Trunalaya. Apalagi perut putrinya semakin hari bertambah besar bersamaan usia jabang bayi dalam kandungan.
.
Hingga suatu hari tersiar warta sepak terjang dari Sanjaya. Namun ki Trunalaya mencoba menyingkirkan dan menganggap warta itu tidak benar.
.
Dan hari inilah tanpa diduga pemuda yang ia harapkan muncul disekitar padepokannya. Awalnya saat melihat pemuda itu berseteru dengan murid tertuanya, ki Trunalaya menyesali perbuatan muridnya. Ini dikarenakan ki Trunalaya sebagai orang tua yang sudah kenyang manis asamnya kehidupan, melihat dan mengetahui kalau murid tertuanya juga mempunyai rasa yang sama terhadap putrinya. Sudah lumrah jika antara pemuda berkelahi memperebutkan cinta terhadap wanita, bila antara pemuda itu tak mampu mengekang amarahnya.
.
Tetapi semuanya bagai karang yang dihempaskan ombak samudera selatan. Di depan matanya sendiri si pemuda yang dahulu berjanji akan menjadi bapak dari calon cucunya, menolak dan ingkar dengan janjinya.
.
Orang tua mana yang tak akan marah bila gadis yang ia sayangi satu - satunya telah dipermainkan oleh lelaki tak bertanggungjawab ? Begitu juga yang dirasakan oleh ki Trunalaya. Darah sudah mulai bergolak bagai debur ombak dahsyat dipesisir laut. Luapan amarah membuncah tak terbendung siap melahap mayapada dan seisinya.
.
Ki Trunalaya seorang pemimpin padepokan Karang Tunggal mengamuk bak banteng ketaton. Kaki kokohnya melenting ke udara secepat angin. Di udara kedua kaki ditekuk dan kedua tangan mengembang siap meremukan tulang lawan.
"Breeeet..."
.
Sanjaya terhenyak mengetahui kesebatan ki Trunalaya. Dirinya terlambat menghindari serangan dan membuat pakaian di pundaknya sobek terkena terkaman ki Trunalaya. Selanjutnya pemuda itu bersikap lebih hati - hati.
.
Perkelahian semakin sengit diantara keduanya. Sergapan demi sergapan susul menyusul tiada henti. Tendangan dan pukulan ikut mewarnai jalannya perkelahian itu.
.
Di balik pohon jagung, ki Lurah Sempono dan Widura terus memperhatikan dengan cermat setiap tata gerak dari Sanjaya dan ki Trunalaya. Rasa kagum sempat terlintas dibenak keduanya terhadap pemuda yang sudah satu candra ini, mereka ikuti.
.
Sementara itu Putut Pineluh yang berdiri agak jauh dari saudara seperguruannya, terlihat gelisah seperti menunggu kedatangan seseorang. Tanpa diketahui oleh orang, ia menyelinap memasuki pohon jagung sisi lain dan terus memasuki lebih dalam.
.
"Kakang, kami disini.." sebuah suara menegur Putut Pineluh.
.
Seketika Putut Pineluh melengos ke arah suara. Di situ lebih dari sepuluh orang dengan pundak memanggul wadah panah dan busur.
.
"Bagus.. " kata Putut Pineluh, "Mangsa di jalan, hancurkan tanpa tersisa.."
.
Mereka dengan dipimpin oleh Putut Pineluh mendekati tepian pohon jagung yang berbatasan dengan jalan dimana perkelahian anatara ki Trunalaya dan Sanjaya terjadi.
.
"Serang... "
.
Belasan anak panah terlontar dari tali busur dengan cepatnya. Tentu saja itu mengagetkan semua orang yang berada di jalan. Empat murid ki Trunalaya yang berada di jalan tumbang dengan punggung tertancap tajamnya mata panah. Untunglah Putut Jenggala berhasil menghindari meskipun lengannya saja yang terkena.
Nasib tak baik dialami oleh ki Trunalaya, saat serangan anak panah terjadi, dirinya sedang menghindari pukulan Sanjaya. Sehingga orang tua itu gagal mengetahui adanya serangan panah. Hingga tubuhnya terkena dua anak panah dan menghempaskan tubuhnya ke tanah tanpa mengetahui apa yang terjadi.
.
"Guru...... !" teriak Putut Jenggala sambil menangkis serangan anak panah dengan menggunakan pedangnya.
.
"Seraaaang...... !"
.
Dari balik pohon jagung puluhan orang keluar dengan berbagai senjata. Hal itu mengejutkan berbagai pihak yang tak tahu adanya kekuatan tersembunyi.
.
"Tinggalkan tempat ini... " seru Sanjaya dan bergegas berlari ke kudanya dan segera memacunya kencang - kencang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 13
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
"Biarkan mereka, yang paling penting tangkap kakang Putut Jenggala !" perintah Putut Pineluh.
.
Orang - orang yang berada dibawah perintah Putut Pineluh segera mengerjakan perintah menangkap Putut Jenggala yang terlihat memeluk tubuh ki Trunalaya. Dan mengangkat membawanya ke hadapan Putut Pineluh. Tetapi betapa marahnya Putut Pineluh kepada anak buahnya itu.
"He, buka mata kalian !" bentak Putut Pineluh, sambil menampar salah satu anak buahnya.
.
Ternyata orang yang disangka sebagai Putut Jenggala, bukanlah dia. Melainkan murid ki Trunalaya yang lain. Sedangkan Putut Jenggala diwaktu riuhnya penyerangan gelap tadi, berhasil meloloskan diri.
.
"Cepat cari dia !" teriak Putut Pineluh, lalu lanjutnya, "Dan ikat anak ini !"
.
"Baik, tuan."
.
Sehabis memberi perintah Putut Pineluh menaiki kudanya dan memacu ke sebuah tempat rahasia. Yaitu sebuah gua buatan dan disamarkan dengan tetumbuhan merambat dimulut gua. Sampai di mulut gua, ia disambut oleh seorang lelaki lebih tua setingkat darinya.
.
"Kerja bagus, Putut Pineluh. Raden Sanjaya menunggumu." ucap lelaki itu.
.
"Terima kasih, kakang." kata Putut Pineluh, sesudah turun dari kudanya.
.
Keduanya lantas memasuki gua buatan tersebut. Mereka menyusuri gua melalui lorong kecil seukuran dua kali tubuh manusia dewasa, dengan pelita menempel didinding sebagai penerangan. Semakin ke dalam, ruangan dalam gua cukup lebar dan luas. Dan seperti yang dikatakan oleh lelaki yang menyambut Putut Pineluh, di dalam dua orang sudah menunggunya.
.
"Kau bekerja dengan baik, Pineluh. Tidak percuma aku memberi kepercayaan kepadamu." kata salah seorang yang duduk.
.
Putut Pineluh mengangguk hormat kepada orang itu, dan barulah ia menjawab, "Ini semua karena kemurahan dan petunjuk dari Raden Sanjaya. Yang memberikan jalan kepada hamba untuk memimpin padepokan Karang Tunggal sekaligus mendapat garwà triman."
"Hm, lalu sudahkah kau membunuh Jenggala dan saudara seperguruanmu yang ikut pengejaran tadi ?"
.
Pertanyaan itu membuat Putut Pineluh gelisah, walau begitu ia harus melaporkan sesuai kenyataan yang terjadi, "Maafkan hamba, Raden. Anak buah hamba telah melakukan kesalahan, yaitu adanya lubang penjagaan sehingga ia lolos."
.
"Braaak...!"
.
Orang yang dipanggil Raden itu menggebrak bangku di depannya. Wajahnya memerah menandakan kalau ia tak senang dengan kesalahan yang dibuat oleh Putut Pineluh dan orang - orangnya.
.
"Ampuni, hamba Raden. Hamba siap dihukum... " pinta Putut Pineluh sambil menelungkup ke tanah meminta ampun.
.
Seorang yang berdiri menyandar tembok terdengar mendesuh sambil membatin, "Hm... Tak ku sangka, anak muda ini memiliki kekuatan bayangan. Siapa sebenarnya pemuda ini ?"
.
"Beruntung kau Pineluh, aku mengampunimu untuk saat ini, karena aku masih ada kepentingan lain yang jauh penting dari masalah di telatah ini." nada suara orang itu masih menunjukan kemarahannya, dan lanjutnya, "Namun saat aku kembali, Jenggala harus tewas."
.
"Baik, Raden. Hamba akan mencari dan menyerahkan kepalanya."
.
"Hm.. Kalau begitu aku akan pergi. Semua yang disini aku titipkan kepadamu."
.
Dan orang itu memberi isyarat kepada kedua orang kawannya beranjak pergi dari gua itu. Tidak lewat jalan yang tadi dilewati oleh Putut Pineluh, melainkan lewat sebuah pintu rahasia di sisi lain.
.
Di waktu bersamaan seorang pemuda dengan luka akibat anak panah, berhasil lolos dari sergapan orang - orang Putut Pineluh. Pemuda itu ialah Putut Jenggala. Sewaktu tadi masih riuh adanya serangan gelap, pemuda itu diyakinkan oleh Saudara seperguruannya untuk lolos dari tempat itu.
"Pergilah, kakang. Guru sudah tak bernyawa lagi." pinta saudara seperguruan Putut Jenggala.
.
"Aku tidak bisa membiarkan pembunuh itu tertawa atas kemenangan mereka."
.
"Cepatlah, kakang. Jika kau ingin balaa dendam, kau harus tetap hidup. Dan juga kakang jangan lupa dengan nini Sri Tanjung."
.
Demi disebutnya nama Sri Tanjung, kesadaran membuka mata dan hati pemuda itu. Kini dialah yang harus menjaga putri gurunya.
.
"Tetapi, kau sendiri... " Putut Jenggala mengawatirkan saudaranya.
.
"Sudahlah, kakang. Aku akan mencoba menahan mereka mereka."
.
Dan begitulah yang terjadi, Putut Jenggala mau meninggalkan saudara - saudara dan mayat gurunya, tiada lain ingin memberikan perlindungan bagi putri gurunya, Sri Tanjung. Walau tangannya terluka, ia kuatkan untuk menerobos lebatnya pohon jagung. Dan pemuda itu memiliki keberuntungan lagi, yaitu tanpa sengaja ia melihat dua kuda tertambat di balik semak - semak. Tanpa pikir panjang, ia lepas ikatan tali kekang kuda dan ia gunakan kuda itu ke padepokan.
.
Mendekati padepokan kuda, Putut Jenggala tak langsung masuk lewat regol utama. Melainkan ia memutar dan lewat pintu butulan. Kemudian mencari bangunan dimana putri gurunya berada.
.
Dengan langkah hati - hati Putut Jenggala memasuki bangunan itu. Saat membuka pintu seorang wanita dalam perut membesar, kaget dan hampir menjerit kalau tidak segera menyekap mulutnya oleh Putut Jenggala menggunakan tangannya.
"Emh.. Emh.. Emh.. " wanita itu mencoba meronta, tetapi tangan kokoh Putut Jenggala terlalu kuat ia lawan.
.
"Nini, ini aku Jenggala." bisik Putut Jenggala.
.
Dirasa tak ada lagi perlawanan dan wanita itu sudah tenang, maka Putut Jenggala melepas sekapan pada mulut wanita itu. Wanita itu heran sekaligus tak menyangka atas perbuatan yang dilakukan oleh murid tertua ayahnya. Apalagi terlihat darah merembes dari balik pakaian Putut Jenggala.
.
"Jangan salah paham dahulu, nini. Ini semua aku lakukan karena situasi sangat gawat." Putut Jenggala mendahului berkata manakala wanita muda itu akan bersuara.
.
"A.. apa yang kakang katakan ini ?"
.
Kemudian Putut itu menceritakan keadaan yang terjadi di luar padepokan, meskipun tak sepenuhnya ia katakan. Seperti tewasnya ki Trunalaya.
.
"Sebaiknya kita menyingkir dahulu dari padepokan. Ayah nini saat ini menunggu di suatu tempat. Bawalah pakaian seperlunya saja." kata Putut Jenggala setelah usai menerangkan apa yang terjadi.
.
Untunglah Sri Tanjung menerima alasan yang dituturkan oleh murid tertua ayahnya. Ia kemudian merapikan barang atau pun pakaian ia bawa, tentunya yang perlu - perlu saja. Setelah semuanya sudah, Putut Jenggala membimbing Sri Tanjung keluar dari bangunan dan padepokan melalui pintu butulan kembali.
.
Tidak berselang lama setelah kepergian dari Putut Jenggala dan Sri Tanjung, dari jalan mendekati regol padepokan terdengar derap kaki kuda lebih dari sepuluh ekor.
.
"Buka regol... !" seru salah seorang penunggang kuda.
.
Teriakan itu tak perlu diulang. Penjaga regol bergegas membuka pintu regol dan membiarkan semua penunggang kuda memasuki halaman padepokan. Pemimpinnya bergegas turun dari kuda dan menyerahkan tali kuda kepada cantrik padepokan. Selanjutnya ia berlari menaiki tlundak dan terus memasuki ruang dalam bangunan tersebut.
.
Tak berselang lama, orang itu keluar lagi. Wajahnya memerah dan membentak penjaga padepokan dengan kerasnya.
"Apa tugasmu hanya tidur saja, he !"
.
Orang itu kebingungan dengan sikap dari pemimpin penunggang kuda, "A.. ada apa, kakang Pineluh ?"
.
"Kau masih berani bertanya, Waju ? Sri Tanjung tak ada ditempatnya. Apa yang akan kau katakan, he ?!"
.
"Ta.. tapi tak ada orang yang memasuki bangunan ini, kakang."
.
"Bandu..!" seru Putut Pineluh, "Ikat Waju dan cambuk ia seratus kali.. !"
.
"Oh.. Ampun, kakang..."
.
Sia - sia saja bagi Waju, dua orang telah menangkapnya dan membawanya ke ruang lain untuk mendapatkan hukuman cambuk. Sementara Putut Pineluh memerintahkan orang - orangnya untuk mencari jejak kepergian Sri Tanjung.
.
"Hm.. Tak salah lagi, ini tindakan kakang Jenggala." desisnya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 14
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
SEKIAN lamanya kaki melangkah dan peluh mulai membasahi tubuh, tiada juga tanda - tanda keberadaan orang yang dihormati dan disayanginya. Apalagi sejak tadi, orang yang menemaninya selalu mengatakan kalau keberadaan orang itu ada di depan dan di depan. Tetapi tak kunjung jua bertemu.
.
"Kakang Jenggala, katakanlah yang sebenarnya. Di mana ayah berada ?" akhirnya karena tak tahan lagi, Sri Tanjung menanyakan keberadaan ayahnya.
.
"Sebentar lagi, nini." ujar Putut Jenggala.
.
Jawaban itu tidak memuaskan hati Sri Tanjung. Wanita muda itu berhenti tidak mau berjalan lagi, bahkan ia meletakan dirinya di rerumputan sambil menyandarkan kepala ke pohon keluwih. Nafasnya berkejaran walau tak terlalu cepat, dikarenakan tubuh yang mulai membesar itu membuat tenaganya cepat terkuras.
.
Dan Putut Jenggala menyadari keadaan wanita muda itu. Hatinya trenyuh mengingat lelaki yang seharusnya bertanggungjawab, malah mencampakannya. Malah sekarang nasibnya sangat malang dengan tewasnya ki Trunalaya, ayah si wanita muda.
.
"Maafkan aku, nini." pinta Putut Jenggala seraya menyodorkan bumbung air, "Minumlah, nanti aku akan menjelaskan dengan sebenarnya."
.
Dahi Sri Tanjung mengernyit. Walau begitu ia tetap menerima bumbung air dan meneguknya perlahan. Air dalam bumbung terasa segar memberikan tenaga baru baginya. Air menetes membasahi bibirnya yang tipis aduhai membuat semua lelaki akan terpesona melihatnya.
.
"Kakang Jenggala, lukamu.... " seru Sri Tanjung, seusai meneguk air tanpa sadar ia melihat lengan Putut Jenggala masih tertancap anak panah, yang sudah dipotong dengan menyisakan batang panah seukuran tiga ruas.
.
Kini setelah wanita muda itu mampu menguasai keadaan, barulah ia menyadari kalau murid tertua ayahnya itu menderita luka. Dengan tatagnya tangannya meraih titikan batu dan menyalakannya diserabut. Untuk menjaga agar api bertahan nyalanya, dikumpulkanlah ranting kering.
.
Di bukanya buntalannya dan dari dalamnya diambil pisau kecil. Pisau kecil itu ia panaskan dengan api dari ranting.
"Kakang, gigitlah kayu ini untuk mengurangi rasa sakit." kata Sri Tanjung sambil menyodorkan potongan kayu.
.
Entah heran atau terpesona, Putut Jenggala terdiam mematung. Matanya bak terkena sihir dari wanita di depannya. Sehingga Sri Tanjung mengulangi perkataannya supaya Putut Jenggala melakukan apa yang ia katakan.
.
"Bertahanlah..." desis Sri Tanjung.
.
Tangan mungil wanita itu segera meraih potongan anak panah dan ditarik sekuat - kuatnya. Bersamaan dengan rasa sakit yang sangat menyengat Putut Jenggala, Sri Tanjung meraih pisau kecil dari dalam api dan ditempelkan ke kulit bekas luka anak panah.
.
"Eeergh... " keluh Putut Jenggala dan ambruk tak sadarkan diri.
.
Sebuah keberanian luar biasa ditampilkan oleh wanita putri ki Trunalaya. Dalam menghadapi kegawatan itu, ia tidak gopoh. Dengan sebatnya disobeknya kain jaritnya untuk dibelitkan ke lengan Putut Jenggala. Sehabis itu Sri Tanjung mengambil kain kecil yang dibasahi air untuk kemudian diletakan di dahi Putut Jenggala.
.
Kini tinggalah ia menunggu pemuda itu untuk siuman. Dalam waktu penantian itulah, Sri Tanjung memperhatikan wajah pemuda yang terlelap tak sadarkan diri. Barulah ia menyadari raut wajah yang selama ini di dekatnya, menampakan pesonanya.
.
"Ah.. " desuhnya sambil memalingkan wajahnya.
.
Rona wajah wanita muda itu, bersemu merah. Entah mengapa walau tiada orang melihat, dirinya merasa jengah jika memperhatikan wajah di depannya.
.
"Tidak, aku dan bayi dalam kandungan ini milik kangmas Sanjaya seorang.." desisnya lirih.
.
Teringatlah dimana dahulu saat - saat seekor kumbang berterbangan disekitar taman. Taman yang berada di padukuhan kecil menyimpan bunga mekar mempesona. Dan sang kumbang pun dengan daya upaya yang dimilikinya, mampu menakhlukan bunga mekar tersebut. Sang kumbang berjanji selalu menyambanginya walau hujan badai melanda, akan hadir andai tanah di taman retak dan membawa sang bunga ke taman yang lebih besar dan luas.
Jika teringat itu semuanya, wanita mana hatinya tak tersentuh ? Wanita mana yang termakan dengan janji - janji walau akhirnya janji itu tinggal janji ?
.
Sentuhan jemari saja yang mengembalikan kesadaran Sri Tanjung dari lamunan penuh cinta nirwana. Ternyata jemari Putut Jenggala yang berada dalam pangkuan Sri Tanjung, telah mencekal tangan si wanita dan meremasnya.
.
Darah terasa berhenti mengalir. Jantung berdetak dengan cepat dan keras. Keringat mengembun di dahi Sri Tanjung. Wajah merona memerah seketika.
.
"Tanjung.. Tanjung.. "
.
Bibir si pemuda dalam terlelapnya mata, bergerak mengigau.
.
"I..ya kakang, aku di sampingmu.." bisik Sri Tanjung.
.
Pegangan tangan Putut Jenggala semakin erat, "Jangan tinggalkan aku.. "
.
"Tidak kakang.."
.
Usai perkataan terakhir dari bibir Sri Tanjung, Putut Jenggala tidak lagi mengigau. Wajah pemuda yang sebelumnya memucat, perlahan kembali memerah. Menandakan darah sudah kembali beredar semestinya.
.
Hari mulai malam. Jauh dari permukiman, Sri Tanjung menunggui pemuda murid ayahnya. Wanita itu melupakan keadaan dirinya yang saat ini sedang mengandung, mengandung anak seorang lelaki yang dirinya tidak tahu kalau si lelaki seorang yang culas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 15
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
SYUKURLAH malam itu dilalui tanpa adanya gangguan melanda kedua insan yang bermalam di pategalan. Sri Tanjung yang awalnya berjaga di samping tubuh Putut Jenggala berbaring, tak tahan ketika kelopak matanya bagai diganduli bola timah. Ia pun tertidur menyandarkan punggungnya di pohon keluwih.
.
Kicau burung menandakan pergantian hari baru, membuat tubuh wanita muda itu menggeliat terbangun. Pertama kali membuka mata, niat hati ingin melihat keadaan Putut Jenggala. Namun wanita muda itu kaget, karena tubuh lemah yang terbaring di depannya, tak terlihat.
.
"Kau sudah bangun, nini ?" sapaan halus terdengar dari balik pohon.
.
"Kakang jangan banyak bergerak dulu, luka kakang belum sepenuhnya tertutup." wanita itu berdiri dan mencoba menghampiri pemuda itu.
.
Putut Jenggala yang merasa diperlakukan sangat baik itu, tersenyum simpul. Ditunjukanlah rentengan ikan kepada Sri Tanjung.
.
"Lenganku sudah dapat aku gerakan, nini. Lihatlah apa yang aku dapat." kata pemuda itu.
.
"Baiklah biarlah aku yang membakar ikan itu, kakang. Sebaiknya kakang istirahat saja." Sri Tanjung meminta rentengan ikan dari tangan Putut Jenggala.
.
Diserahkanlah ikan itu kepada putri gurunya. Sedangkan Putut Jenggala mengumpulkan ranting dan membakarnya. Keduanya bekerja sangat serasi tanpa adanya perasaan lain, kecuali hanyalah saling bahu membahu semata.
.
Tak menunggu terlalu lama, ikan itu matang dan siap dimakan. Walau tanpa bumbu karena keadaan yang dialami, ikan bakar tangkapan Putut Jenggala terasa sedap oleh lidah. Rasa syukur kehadapan Hyang Agung, terucap dengan tulus hati, atas karunia yang diberikan pada hari ini.
.
Luka yang diderita oleh Putut Jenggala sudah teratasi. Sarapan ikan bakar memenuhi selera perut. Seiring waktu, Sri Tanjung ingat dengan janji dari Putut Jenggala yang akan menerangkan sebenarnya terjadi.
"Kakang." desis Sri Tanjung dengan perlahan, "Ingatkah kakang dengan apa yang kakang ucapkan kemarin ?"
.
Pemuda itu menghela nafas. Waktu yang mendebarkan dan ia sulit mengatakan, akhirnya ditagih juga. Sejenak ia memantapkan hati dan memilah kata sebaik - baiknya agar wanita muda itu dapat menerima kenyataan yang telah terjadi.
.
Kemudian katanya, "Nini Sri Tanjung, berat mulutku dalam berucap."
.
Kembali Putut Jenggala terdiam.
.
"Kita manusia, awalnya tiada dan hanya kemurahan Hyang Agung semata kita ada. Tetapi pada akhirnya kita akan kembali kepadaNYA dengan pertanggungjawaban selama kita hidup." sambung Putut Jenggala.
.
Desir halus terasa dalam sanubari Sri Tanjung, walau begitu wanita muda itu dengan senyum berkata, "Aku mengerti kakang, petuah itu seringkali diucapkan oleh ayah. Dan aku ingat ketika ibu menutup mata, kakang pernah menghiburku waktu itu."
.
"Janganlah kakang berbelak - belok dalam berucap. Katakanlah kakang."
.
"Oh Batara Agung..." seru Putut Jenggala dalam hati, "Kuatkan hamba yang hina ini menyampaikan kenyataan ini.."
.
Do'a terucap dengan kesungguhan itulah, sumber keberanian Putut Jenggala dalam menyampaikan warta layon yang menimpa ki Trunalaya kepada putri tunggalnya, Sri Tanjung.
.
"Nini Sri Tanjung, tabahkanlah hatimu. Guru dan juga ayahmu, ki Trunalaya telah tiada.."
.
Kata pelan dan terbata - bata dari Putut Jenggala, bagai halilintar menyambar nyawa Sri Tanjung. Wanita yang sebenarnya mempunyai keberanian yang diwarisi oleh ayahnya, sama seperti anak manusia pada umumnya. Hatinya tersentuh merambat dalam pikiran, sehingga membuat tubuh itu gemetar tak bertenaga. Bumi yang ia pijak bergolak dan bergetar membuat tubuh berbadan dua itu, limbung.
Kesigapan Putut Jenggala dalam membaca keadaan dan hati, mampu menopang tubub itu. Tak hanya itu saja, Putut Jenggala juga membesarkan dan menenangkan hati Sri Tanjung.
.
"Ti..dak a..yah ti..dak .."
.
"Tenangkan hatimu, nini."
.
"Ka..takan kalau kau ha..nya mempermainkan aku sa..ja, kakang.." Sri Tanjung masih tak percaya di dalam tangisnya.
.
"Menangislah, nini. Bila itu membuatmu tenang." ucap Putut Jenggala, "Dan segeralah relakan kepergian ayah nini menghadap Hyang Agung.."
.
Tangis pilu terdengar menyayat kalbu. Angin pagi pun terasa ikut berduka atas kemalangan wanita muda dalam pelukan Putut Jenggala. Sinar mentari yang awalnya bersinar entah sengaja atau tidak, meredup menahan sinarnya.
.
Dan itu semua adalah kodrat yang sudah tertulis oleh tinta emas Sang Pencipta. Senang - sedih, lahir - mati, kaya - miskin mengiringi kehidupan sampai hari akhir nanti.
.
Namun, sebanyaknya air mata akan terhenti jua adanya. Sedih yang sangat suatu saat akan perlahan sirna menjadi kenangan jua. Begitu pun dengan Sri Tanjung, seiring dengan berjalannya waktu, tangis itu mulai reda.
.
"Kalau begitu, dimanakah kakang mengubur jasad ayah ?"
.
"Maafkan aku, nini. Karena keadaan dan keselamatan nini-lah, terpaksa aku meninggalkan jasad guru." sesal Putut Jenggala, "Mudah - mudahan orang - orang itu masih mempunyai hagi nurani dan mau menguburkan dengan layak."
.
"Oh... " desuh Sri Tanjung, "Andai kakang Sanjaya disini.."
.
Jantung Putut Jenggala berdesir ketika nama itu terucap dari mulut Sri Tanjung. Meskipun begitu, ia tak bersuara.
"Nini, karena saat ini keadaan tak menentu, untuk sementara kita tinggal disini."
.
"Tapi kakang, sebaiknya kakang mencari warta mengenai kakang Sanjaya."
.
Putut Jenggala terdiam. Saat itu dalam benak Sri Tanjung, terdiamnya murid tertua ayahnya itu sedang berpikir dan menimbang usul yang ia berikan. Tetapi lain kenyataannya, terdiamnya Putut Jenggala disebabkan untuk mencoba menenangkan hatinya.
.
"Bagaimana kakang.. ?"
.
Belum lagi Putut Jenggala bersuara, semak di depan mereka bergerak layaknya terkena gesekan sesuatu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 16
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DUA orang lelaki paruh baya dan remaja keluar dari balik semak. Semuanya berseru memanggil satu dengan lainnya, menunjukan kalau Putut Jenggala dan Sri Tanjung mengenali dua orang itu. Begitu pun sebaliknya dengan dua orang yang baru muncul itu.
.
Sri Tanjung nampak berseri dengan kedatangan dua orang itu, lalu sapanya, "Uwa Barda dan adi Panca.."
.
"Oh.. Kalian berdua.." seru orang tua itu, dengan perasaan lega, "Syukurlah kalian belum tertangkap.."
.
"Oh, ki Barda sudah mengetahui apa yang terjadi dengan padepokan ?"
.
"Hm.. " desuh ki Barda, "Hampir saja aku dan Panca masuk dalam sarang serigala."
.
Putut Jenggala dan Sri Tanjung saling berpandangan.
.
"Sepertinya kalian berdua kurang memahami dengan pasti, apa yang aku maksud dengan sarang serigala itu ?" tanya ki Barda, yang mampu menyelami perasaan keduanya.
.
" Begitulah, ki Barda."
.
Ki Barda mengangguk sesaat, kemudian orang tua itu duduk di bawah pohon keluwih dan menghela nafas. Panca, anak remaja yang tadi berdiri di belakang ki Barda, mengikutinya dengan duduk disamping orang tua itu. Anak remaja itu membuka bungkusan dan mengambil kotak kecil, dan dari kotak dijumutnya selembar daun sirih, cairan kapur atau yang disebut enjet, gambir. Semuanya dimasukan dalam lipatan daun sirih dan diserahkan kepada ki Barda.
.
"Terima kasih, ngger." ucap ki Barda dan mengunyah lipatan daun sirih itu.
.
Memang sudah kebiasaan bagi ki Barda dalam kesehariannya tak lepas dari mengunyah daun sirih, atau dalam sebutan orang jawa, nginang.
.
"Adi-mu, Pineluh. Bekerja sama dengan Sanjaya." kata ki Barda kepada Putut Jenggala.
Perkataan dari ki Barda telah diartikan berbeda oleh Putut Jenggala dan Sri Tanjung. Kalau dalam pengertian Putut Jenggala, sudah mengerti kalau adik seperguruannya berkhianat dan.. Ah, akhirnya bayang - bayang makin jelas terlihat oleh Putut Jenggala. Penyerangan gelap itu adalah ulah adiknya sendiri, dan ialah yang membuat gurunya tewas.
.
Berbeda dengan Sri Tanjung, wanita muda ini mengira kalau murid kedua ayahnya berhasil bertemu dengan Sanjaya, lelaki pujaannya.
.
"Jadi, uwa ke sini untuk menjemputku ?" tanya Sri Tanjung dengan girangnya.
.
Hal itu membuat ki Barda mengernyitkan alisnya, ia juga memandang ke arah Putut Jenggala. Dan anak muda yang ia tatap dengan tajam itu, menggelengkan kepalanya. Sehingga ki Barda menghela nafas.
.
"Ada apa, uwa ?" tanya Sri Tanjung, heran.
.
"Hm.. Tanjung, putriku. Tahukah kau, mengapa aku keluar meninggalkan padepokan satu candra yang lalu ?"
.
Wanita itu menggeleng pelan. Memang putri ki Trunalaya itu tidak tahu mengapa pamannya itu pergi dari padepokan Karang Tunggal. Saat ia bertanya kepada ayahnya, jawaban ayahnya hanya mengatakan kalau pamannya itu sedang jalan - jalan saja.
.
Ki Barda kembali menghela nafas dan membatin, "Hm, adi Trunalaya. Kau terlalu tertutup dengan putrimu."
"Nduk, kepergianku kala itu tiada lain untuk mencari keberadaan anakmas Sanjaya dan mengetahui siapa dia sebenarnya." kata ki Barda, "Bukankah ayahmu sudah mengatakan semuanya dan mungkin kau lupa ?"
.
"Menurut ayah, kakang Sanjaya putra seorang bangsawan. Tetapi ayahnya tidak menyetujui kebersamaan kami, walau begitu kakang berjanji akan hidup bersama denganku di padepokan."
.
"Oh, Batara Agung.. " desis ki Barda perlahan.
.
Kemudian ia berkata kepada Sri Tanjung, "Nduk, cah ayu. Maafkan uwa-mu ini, akan aku katakan kebenaran yang menyangkut diri anakmas Sanjaya."
.
Lalu dituturkan-lah dengan sejelas - jelasnnya jati diri Sanjaya serta tingkah lakunya. Ternyata ki Barda dalam pengembaraannya bersama Panca menemui titik terang dari pemuda rupawan itu. Sanjaya merupakan anak seorang bangsawan dari Tumapel dari garwo selir. Sejak kecil ia diasuh oleh kakeknya di sebuah pulau selatan jawa. Dan kakeknya ini merupakan seorang sakti, tetapi juga bertabiat buruk, terutama mengenai nafsu terhadap wanita. Sayang sungguh disayang, perilaku itu menurun kepada Sanjaya.
.
Tangis sesenggukan disertai jerit kecil melanda Sri Tanjung. Jika yang memberitahu perilaki Sanjaya orang lain, Sri Tanjung tak bakal percaya. Tetapi uwanya-lah yang berkata. Seorang yang ia kenal sejak kecil, dimana orang tua itu sangat baik dan jujur dalam bertindak dan berucap.
.
Di-usap rambut hitam arang wanita itu, oleh ki Barda. Ia bisa merasakan betapa hati kemenakannya hancur berkeping - keping. Ki Barda tak mengira dengan keadaan kemenakannya saat ini. Dalam usia lima tahun, ibunya meninggal karena penyakit yang dideritanya. Lalu, kemarin ayahnya tewas ditangan muridnya sendiri. Kemalangan masih berlanjut dengan tindakan tercela oleh Sanjaya, lelaki yang dicintai kemenakannya itu.
"Tabahkanlah hati-mu, nduk. Semuanya sudah suratan Dewata."
.
"Angger Jenggala, sebaiknya kita menyingkir dari telatah Karang Tunggal. Di sini kita dalam bahaya, waktu aku ke sini tadi, aku mendengarkan kalau kau dalam incaran orang - orang Pineluh. Tidak hanya itu saja, Pineluh selain ingin menguasai padepokan Karang Tunggal, ia juga inggin mendapatkan Sri Tanjung."
.
"He.. " seru Putut Jenggala.
.
"Endapkanlah perasaan kalian berdua, kuasai amarah dan kendalikan dengan sebaik - baiknya. Supaya tidak menyeretmu dalam bahaya sebenarnya." ki Barda mencoba menenangkan Putut Jenggala dan Sri Tanjung.
.
"Bagaimana aku akan tenang, ki Barda ?" kata Putut Jenggala, "Padepokan itu sudah dikuasai oleh seorang murid durhaka, dan sekarang ia ingin merampas nini Sri Tanjung."
.
"Lalu apa yang akan kau lakukan ? Menyerbu sendiri ke sarang serigala itu ?" kata ki Barda dengan kerasnya, "Sungguh ksatria tindakan-mu, Jenggala. Tetapi setelah itu kau bagai macan yang dipermainkan di alun - alun. Tubuhmu arang kranjang dan kau rela jika Sri Tanjung berada dalam kekuasaan Pineluh ?"
.
"He.. " Putut Jenggala lemas, "Lalu apa yang harus aku lakukan, ki Barda ?"
.
"Jika kau mau, ikutlah bersamaku menuju Perdikan Anjuk Ladang." kata ki Barda, "Kau juga Sri tanjung."
.
Tak ada pilihan bagi Putut Jenggala dan Sri Tanjung. Maka keduanya mengikuti ki Barda, ke Perdikan Anjuk Ladang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 17
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
SEJAK sebagian rahasia yang menyelimuti teka - teki jati diri Arya Dipa dan kakeknya Bagawan Jambul Kuning, kehidupan mereka pun semakin cerah untuk hubungan darah keduanya.
.
Kepada cucunya itulah, Begawan Jambul Kuning mengatakan asal - usulnya sesungguhnya. Semuanya tak terkecuali disisakan sedikit pun.
.
Riwayat hidupnya berawal dari trah keraton Kadiri, yaitu dari Pangeran Banyak Paguhan, yang masih kerabat dari Prabu Giriwardhana. Sudah menjadi rahasia umum nama Prabu Giriwardhana merupakan seorang penguasa Kadiri yang menentang dan menggulingkan Prabu Brawijaya Pamungkas, raja kerajaan Majapahit atau Wilatikta.
.
Walau ayahnya dan ia masih kerabat dari Prabu Giriwardhana, Pangeran Banyak Paguhan dan Raden Arya Bancak tidak setuju dengan tindakan yang akan dilakukan Prabu Giriwardhana. Karenanya, ayahnya dan dirinya dijatuhi hukuman buang di timur gunung Lawu. Tak hanya Raden Arya Bancak saja, sahabat dan saudara seperguruannya yaitu Raden Branjang Mas juga mendapat hukuman sama.
.
Di tempat hukumannya, keluarga Pangeran Banyak Paguhan selalu mendapat pengawalan ketat dari orang - orang Prabu Giriwardhana. Sehingga untuk mencari hubungan keluar sangat sulit. Bahkan saat terdengar adanya warta mengenai pelarian Prabu Brawijaya Pamungkas ke gunung Lawu, tiada celah sedikit pun untuk menggabungkan diri.
.
Hingga akhirnya Pangeran Banyak Paguhan mendengar kalau raja yang ia cintai, telah moksa di puncak gunung Lawu, setelah memberi wejangan kepada abdi setianya Sabdo Palon dan Naya Genggong. Tangis sedih melanda hati Pangeran Banyak Paguhan, untuk itu kemudian Pangeran itu menyepi hingga akhir hayatnya.
.
Sementara itu jaman bagai rado pedati yang terus berputar. Prabu Giriwardhana yang sempat merasakan dampar keraton Wilatikta terlena dan mendapat karmanya. Putra mendiang Prabu Brawijaya, Raden Patah yang sebelumnya menjadi adipati di Glagahwangi mengobarkan semangat juang setelah mendapat restu dari Kanjeng Sunan Giri. Dan perjuangan Raden Patah membuahkan hasil dengan melengserkan Prabu Giriwardhana.
.
Kemudian keraton Wilatikta dipindahkan ke Glagahwangi serta merubah keraton menjadi Demak Bintoro, dengan Raden Patah sebagai raja dan ki Wanasalam sebagai patih Demak.
.
Semenjak tanah Jawa Dwipa dibawah naungan Demak, Gunung Bancak tidak lagi dalam pengawasan. Dan Raden Arya Bancak telah bebas tidak lagi mendapat tekanan. Di gunung Bancak, Raden Arya Bancak menanggalkan gelar kebangsawanannya dan memilih sebagai seorang Begawan dengan sebutan Begawan Jambul Kuning. Mengapa memilih nama Jambul Kuning ?
Nama Jambul Kuning diambil setelah Raden Arya Bancak melakukan semedi di puncak gunung. Dalam keheningan bersemedinya, ia selalu menjumpai seorang Resi Suci yang selalu ditemani se-ekor burung cantik dan sakti. Burung itu mempunyai jambul di kepalanya berwarna kuning keemasan, sangat indah bila dipandang. Masih di dalam keheningan semedinya, burung itu setiap kali ikut dengan Resi Suci melakukan tapa ngrame dalam memberantas keangkaramurkaan.
.
Di malam terkhirnya, saat lelaki semedi mendekati akhir, Resi Suci itu tersenyum kepada Raden Bancak, "Angger, semenjak kecil kau berperilaku angin - anginan. Itu merupakan sifat yang membuatku sedih. Tetapi ada yang membuat hatiku merasa bangga terhadapmu, yaitu saat ada seekor burung yang hampir mati."
.
Resi Suci itu terdiam sesaat. Sedangkan Raden Arya Bancak hanya mendengarkan tak berani menyela.
.
"Dan inilah burung itu. Ia tumbuh menjadi burung Suci mendampingiku." kata Resi Suci itu.
.
Raden Arya Bancak terperanjat. Ingatan masa lampaunya kembali terlintas dalam benaknya. Memang dirinya pernah menyelamatkan seekor burung, tapi burung itu sangat jelek dan tak mempunyai jambul indah seperti itu.
.
Rupanya sang Resi dapat membaca hati Raden Arya Bancak, maka Resi Suci berkata, "Burung jelek adalah sebuah tindakan manusia yang terkekang dalam nafsu duniawi. Nafsu sesungguhnya karunia dari Sang Pencipta untuk manusia, karena adanya nafsu kita mampu merasakan apa itu rasa. Tetapi jika nafsu tak terkendali dan berlebihan, maka nafsu akan menjadi malapetaka bagi kita."
.
Sejenak sang Resi berhenti untuk mencari kesan.
.
"Bila manusia itu mampu mengendalikan nafsu dan menggunakan dalam kebajikan, maka akan tumbuh sebuah benih kebaikan, yang digambarkan oleh jambul si burung. Lalu apa makna warna kuning keemasan ?"
.
Raden Arya Bancak terlihat berpikir, tetapi tak keluar jawaban dari mulutnya.
.
"Kebaikan kalau hanya ditujukan kepada Sang Pencipta, kebaikan itu hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kita menolong dan membantu sesama insan, maka kebaikan itu akan memancar sinar kuning keemasan layaknya sinar mentari. Cahaya sinar mentari di pagi hari, menyehatkan bagi tubuh dan terasa ikhlas adanya." kata Resi Suci, "Suatu saat kau akan mengerti, angger."
.
Seusai semedi itulah nama Jambul Kuning selalu melekat menjadi satu dengan Raden Bancak. Ia berharap hidupnya seperti burung sakti dan seperti mentari pagi.
.
Lalu ia pun mendapat jodoh seorang wanita ayu, dan mempunyai anak tunggal yang dinamai, Arya Wila. Dan Arya Wila ini mampu membuat seorang Tumenggung Demak senang, oleh karenanya sang Tumenggung mwnjodohkan Arya Wila dengan putrinya, Dyah Ratna.
.
Dari perjodohan Arya Wila dan Dyah Ratna, lahirlah seorang bayi mungil dan tampan. Sang ayah yang saat itu mengagumi kisah Mahapatih Gajah Mada, lalu mengambil nama muda sang patih untuk dijadikan nama anaknya, yaitu ARYA DIPA.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 18
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
KINI perputaran kehidupan berlanjut disetiap goresan langkah yang akan ditempuh oleh Arya Dipa. Arya Dipa berbahagia dan bersyukur manakala dirinya tahu jikalau sang kakek bukanlah seorang berhati keji yang tega membunuh putra dan menantunya sendiri. Meskipun begitu, ada sebuah sisa yang harus dikuak secara terang mengenai siapa sosok yang menyerupai wajah kakeknya itu.
.
"Aku akan berusaha mengungkapnya, tetapi setelah aku melanjutkan tugas yang diembankan oleh Panembahan Ismaya." batin Arya Dipa.
.
"Adakah yang kau pikirkan, kakang ?" tanya Windujaya, saat memperhatikan Arya Dipa melamun.
.
Kala itu Arya Dipa berdua saja bersama Windujaya dalam perjalanan ke kali Brantas. Ini semua sudah disepakati oleh orang - orang tua yang juga mengikuti pergerakan dalam perebutan pusaka dan harta benda peninggalan bangsawan Wilatikta. Untuk menuju ke kali Brantas, supaya tak mendapat perhatian banyak orang, rombongan dari padukuhan Bungkul telah dibagi menjadi tiga kelompok. .
.
Kelompok pertama terdiri dari tiga orang sepuh, yaitu Resi Puspanaga, Begawan Jambul kuning dan Begawan Kakrasana. kelompok kedua ditempati oleh dua saudara elang dari Penanggungan, yaitu Palon dan Sabdho. Dan terakhir sepasang anak muda, Arya Dipa dan Windujaya.
.
Atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Windujaya, Arya Dipa hanya menjawab seperlunya saja, "Aku memikirkan orang yang menyerupai eyang Bancak, adi."
.
"Hm.. Bila kakang tak keberatan, ijinkan aku membantu mencarinya."
.
"Terima kasih, adi. Tetapi sebaiknya adi harus mendapat persetujuan dari eyang. Bukankah adi masih dalam bimbingan eyang Bancak ?"
.
Windujaya mengangguk pelan, "Guru pernah berkata kalau ilmu yang ia turunkan semuanya sudah tuntas. Kini tergantung kepada saja untuk mengembangkan ilmu itu, kakang."
.
"Aku yakin dengan kemampuan adi akan cepat berkembang. Mungkin dalam penjajakan waktu itu, jika adi mengungkap ilmu dari Cakra Ningrat dengan sungguh - sungguh, aku pasti kelabakan."
.
"Ah, kakang jangan membuatku malu." kata Windujaya, "Waktu itu aku benar - benar mati kutu."
.
Arya Dipa tertawa lepas, "Hahaha... Kau pintar bergurau, adi. Jika adi melepas aji Liman satu bandha dan gempuran bayu, musuh akan sulit menghindarinya."
Keduanya terlihat saling menghormati satu dengan lainnya dan juga mengagumi kemampuan masing - masing. Tanpa terasa matahari begitu teriknya, hingga kulit terasa panas menyengat.
.
"Sebaiknya perjalanan ini kita tunda dahulu, kakang." Windujaya menyampaikan pendapatnya.
.
"Baiklah. Kita berteduh di gubuk di pategalan itu saja." sahut Arya Dipa sembari membelokan langkahnya menuju gubuk.
.
Gubuk di tengah pategalan itu terbuat dari bambu dengan dinding dari jerami. Di sisi gubuk ternyata mengalir parit kecil dengan air jernih, meskipun airnya agak surut.
.
"Hm.. Airnya sungguh menyegarkan.. " desis Windujaya, seusai meminum air dari dalam parit.
.
"Apakah kakang sudah pernah melewati telatah ini ?" tanya Windujaya, kemudian.
.
"Iya. Waktu itu aku bersama ayah dan kakang Palon." jawab Arya Dipa.
.
"He.. " Windujaya keheranan.
.
Hal itu menyadarkan Arya Dipa dan menjelaskan, "Maksudku, ayah angkatku. Ayah Mahesa Anabrang, saudara seperguruan eyang Puspanaga."
.
"O... Bersyukurlah kakang masih mendapat seseorang sebagai ayah angkat." kata Windujaya, "Lalu, dimanakah sekarang ayah kakang ?"
.
Pertanyaan itu membuat Arya Dipa rindu dengan keadaan ayah angkatnya. Sejak berpisah di selatan kademangan Prambanan, ki Panji Mahesa Anabrang tiada wartanya. Sebagai perwira di pasukan Telik Sandi, mengharuskan ki Panji Mahesa Anabrang berpindah - pindah tugas.
.
"Mungkin ayah berada di sekitar Purbaya." bathin Arya Dipa.
.
Tetapi kepada Windujaya, Arya Dipa berkata lain, "Entahlah adi, ayah Anabrang gemar melakukan pengembaraan."
"Ah.. Benarkah itu ?" tanya Windujaya yang kemudian katanya, "Pasti beliau mempunyai beragam ilmu dalam dirinya."
.
"Mengapa adi bisa menyimpulkan seperti itu ?"
.
"Kakang, pernahkah kakang mendengar seorang pemuda dari Pengging ?"
.
"He.. ?!" seru Arya Dipa.
.
"Ada apa, kakang ? Sepertinya kakang mengetahuinya ?"
.
Bagaimana tidak tahu. Bila disebut telatah Pengging, sebuah nama langsung terlintas dibenak Arya Dipa. Seorang pemuda dengan kemampuan tinggi dengan beragam ilmu terpendam dalam tubuh anak muda itu. Terakhir kali, Arya Dipa menyaksikan sebuah ilmu langka telah diterapkan oleh pemuda itu. Ilmu yang konon dimiliki oleh Mahapatih Gajah Mada, yaitu Lembu Sekilan.
.
"Yang kau maksud adi Mas Karebet, adi ?"
.
"Oh.. Kakang juga mengenalnya ?"
.
"Begitulah, kami pernah satu tujuan." jawab Arya Dipa, "Lalu, apa hubungannya dengan ayah Anabrang yang gemar mengembara ?"
.
Windujaya tidak langsung menjawab. Seekor nyamuk telah menggigit lehernya, sehingga membuatnya mengeluh kesakitan.
.
"Hahaha.. Ternyata, murid Cakra Ningrat bisa dikalahkan oleh seekor semut." gurau Arya Dipa.
.
"Ah, kakang." desuh Windujaya, lalu katanya dengan sungguh - sungguh, "Seperti paman Anabrang yang gemar mengembara, kakang Mas Karebet juga gemar mengembara dari ujung wetan sampai bang kulon, kakang."
.
"Menurut guru, kakang Mas Karebet yang juga sering memakai Jaka Tingkir, disetiap langkahnya selalu mendapat ilmu dari berbagai orang - orang linuwih. Ia merupakan penerus jalur Pengging, tentu ia mampu mengungkap aji Sasra Birawa. Ia juga berguru dengan ki Ageng Sela, ki Ageng Butuh, seorang pertapa di gunung kelud, Panembahan Ismaya, ki Ageng Serang dan bahkan Kanjeng Sunan Kalijaga serta Kanjeng Sunan Kudus." sambung Windujaya.
.
Ternyata pengetahuan Windujaya dalam pengenalan diri Mas Karebet dalam olah kanuragan, lebih banyak dibandingkan dengan Arya Dipa. Walau begitu Arya Dipa lebih beruntung bila dibandingkan dengan Windujaya, karena Arya Dipa sudah bertemu dengan kedua orang yang disebutkan oleh Windujaya. Yaitu, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Panembahan Ismaya. Bahkan dari keduanya, Arya Dipa mendapat wejangan dan permintaan dalam beberapa macam.
.
Dari Kanjeng Sunan Kalijaga, Arya Dipa dalam masa yang akan datang supaya berada di dekat garis keturunan Pengging. Sementara dari Panembahan Ismaya, Arya Dipa mendapat kepercayaan untuk menemukan pusaka yang akan membuat Demak semakin jaya."
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 19
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
DUA pemuda itu masih membicarakan Mas Karebet atau Jaka Tinggkir. Windujaya, yang pernah melakukan penjajagan secara langsung terhadap Mas Karebet, merasakan betapa tinggi ilmu kanuragan dan keberagaman tata gerak putra ki Ageng Pengging anom. Begitu juga dengan Arya Dipa, meskipun belum membenturkan ilmunya dengan putra ki Ageng Pengging Anom, namun dirinya walau sekilas dapat memastikan adanya segudang ilmu dalam tubuh kokoh Mas Karebet.
.
"Begitulah, kakang Dipa. Mengapa aku menyamakan paman Anabrang dengan kakang Jaka Tingkir." kata Windujaya.
.
Arya Dipa tersenyum. Sejauh ini ia belum melihat kemampuan sesungguhnya dari ayah angkatnya. Meskipun waktu kecil ia pernah ditunjukan pangeram - eram oleh ayah angkatnya, tetapi hanya ilmu dasarnya saja. Karena waktu itu, ketika ia ingin dilatih oleh ayahnya, Arya Dipa kecil jatuh pingsan.
.
Dan semenjak itu ayah angkatnya tidak mau mendidiknya dalam olah kanuragan. Barulah setelah dirinya dipertemukan kembali dengan Resi Puspanaga di gunung Penanggungan, semuanya itu dikarenakan adanya larangan ilmu lain yang mengisi diri Arya Dipa kecil, kecuali ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu.
.
"Mungkin yang kau katakan mengenai ayah Anabrang, benar adanya adi."
.
"He... ?" Windujaya mengernyitkan alisnya, "Jangan katakan kalau kakang tidak mengetahuinya."
.
Sambil mengangkat bahunya, Arya Dipa berkata, "Sebenarnya memang begitu. Aku gelap dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Anabrang."
.
"Aneh - aneh." desis Windujaya sambil menggelengkan kepala, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Hehehe.. Pening kepalaku, kakang. Kau kembali mempermainkan aku."
.
"Hehehe... Bila suatu hari adi berjumpa dengan ayah Anabrang, cocokanlah perkataanku ini. Aku berbohong atau tidak."
Kata - kata Arya Dipa yang berkesan biasa itu, dalam pendengaran Windujaya terasa adanya kebenaran. Sehingga pemuda murid Begawan Jambul Kuning itu menhangguk.
.
"Aku percaya kakang, tentu semuanya benar. Tetapi dirimu menyimpan beribu rahasia keanehan yang sulit terpecahkan."
.
"He... " kini giliran Arya Dipa terhenyak, "Beribu rahasia keanehan ?"
.
"Benar." tegas Windujaya, "Suatu kali, guru pernah membicarakan seorang yang aku yakin itu kakang."
.
Pernyataan itu memancing keingin tahuan Arya Dipa. Duduknya bergeser semakin tepat menghadap Windujaya.
.
"Maukah adi mengatakannya ?" pinta Arya Dipa.
.
Demi merasakan adanya hasrat begitu besar dalam diri cucu gurunya, Windujaya berusaha mengulur - ulur waktu dengan niatan menggoda sahabat barunya itu. Dahi Windujaya mengerut lebih dalam, seolah mencoba mengingat - ingat dan mengumpulkan kata demi kata yang terucap dari mulut gurunya.
.
Sungguh menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan dan menguras kesabaran. Pemuda Arya Dipa sebenarnya seorang berhati teguh jika menghadapi persoalan yang sangat penting, tetapi kali ini entah mengapa dinding kesabarannya terdobrak dan hancur berkeping - keping, karena pokal Windujaya.
.
"Adi, jangan membuatku mati menunggu. Matahari sudah menggelincir ke barat, tetapi kau masih membisu saja." gerutu Arya Dipa.
.
Kekesalan Arya Dipa membuat Windujaya tak kuat menahan tawanya. Tawanya bagai batu rubuh dan membuat tubuhnya tergoncang.
.
"Oh.. Kau rupanya membalas gurauanku tadi, adi ?" Arya Dipa menyadari kekalahannya, selanjutnya ia pun tersenyum.
.
Tak terasa sang surya sudah menggelincir, karenanya kedua pemuda itu pun kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda barang sejenak.
"Kita lewat jalan ke kanan, adi." ucap Arya Dipa, yang mengenali arah.
.
"Di depan kita akan menjumpai padukuhan pertama telatah Anjuk Ladang." sambung Arya Dipa.
.
"Kupercayakan langkah kaki ini kepadamu, kakang."
.
"Bagus. Itu lebih baik. Jika kau tidak mempercayakan langkah kepadaku, bisa - bisa kau akan terjerumus ke lumpur hisap." Arya Dipa memcoba mempermainkan sahabatnya itu.
.
"He.. Benarkah itu, kakang ?" Windujaya setengah percaya.
.
"Coba saja kalau kau tidak percaya. Di jalan sebelah kiri itu, meskipun nampaknya ditumbuhi rumput hijau, tetapi sebenarnya dibawahnya adalah pasir hisap." Kata Arya Dipa, tetapi dalam hati tertawa penuh kemenangan.
.
Diamati apa yang ditunjuk oleh Arya Dipa tadi. Yang terlihat memang suburnya rumput hijau saja.
.
"Ah.. Masakah di tempat seperti ini ada tanah hisap ?" Windujaya bertanya dalam hati, "Tanah di jalan ini saja keras seperti ini."
.
Timbulah rasa penasaran dalam hati pemuda itu. Entah mengapa kakinya bergerak mendekati rimbunnya rumput, dan.....
.
"Byuuuuuuur......!"
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 20
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::
"Kau hampir saja berhasil mengelabuiku, kakang." seru Windujaya sambil melotot, sesaat setelah adanya suara benda yang jatuh ke bawah rumpun tanaman liar.
.
Ternyata saat Windujaya hampir mendekati rimbunnya tanaman liar, tak sengaja mata pemuda itu melihat adanya genangan air tertutup daun. Oleh karena Windujaya menendang batu sebesar kepala bayi itu. Tentunya tendangan itu dilambari ilmu cadangan.
.
Meskipun tipuan berujung gurauan itu terbongkar, Arya Dipa mencoba berkilah, "A..ku benar tidak tahu, adi. Dahulu, tempat ini banyak lumpur hisapnya."
.
"Tidak kakek tidak cucu, sama saja. Senang mempermainkan orang." gerutu Windujaya dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
.
Arya Dipa tertawa lepas dan mengikuti langkah Windujaya dengan berlari kecil.
.
Sampailah keduanya di padukuhan paling ujung telatah tanah perdikan Anjuk Ladang. Di regol padukuhan terkesan sepi, padahal sang surya baru gemelincir dari titik tengah cakrawala. Bahkan rumah - rumah yang dilewati oleh keduanya, tiada yang membuka pintunya.
.
"Suasana perang terasa sampai di padukuhan ini, kakang." desis Windujaya.
.
"Sepertinya penghuni padukuhan ini mengungsi meninggalkan rumah mereka." sahut Arya Dipa.
.
Padukuhan itu benar - benar tak berpenghuni. Semenjak pasukan bang wetan yang dipimpin langsung oleh Panembahan Bhree Wiraraja, ki Bekel padukuhan itu menganjurkan kawulanya untuk sementara waktu menyingkir dari padukuhan Wilangan. Dan segenap kawula yang menganggap perang adalah hantu yang menakutkan, bergegas menyingkir ke rumah kerabatnya yang jauh dari garis medan perang atau menuju ke pusat tanah perdikan.
.
Harta berupa benda tak banyak terbawa, hanya pakaian sekedarnya dan ternak saja yang di bawa mengungsi. Bila mereka kembali dari pengungsian, mereka berharap rumah mereka tak mengalami kerusakan akibat perang. Entah itu dari pasukan yang kalah atau pasukan yang menang.
Padahal mereka tahu, semenjak dahulu pasukan yang kalah dari perang selalu bertindak semaunya sendiri. Tidak lagi menggunakan nalar, sehingga selalu melakukan penjarahan berupa harta dan benda. Bahkan bila melewati padukuhan yang ada wanita atau gadis, tindakan mereka lebih berbahaya, khususnya tindakan ini dilakukan oleh prajurit bekas begal atau perampok.
.
Langkah kaki pun tiba di jalan depan banjar padukuhan. Banjar dengan pelataran luas dan adanya sebatang pohon bramasta atau beringin, membuat suasana terasa segar. Pagar dari pelataran banjar itu berbeda dari banjar - banjar yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya. Tanaman beluntas semata yang dijadikan pagar hidup, sehingga semuanya terkesan alami.
.
Kemungkinan jikalau tiada perang di Purbaya, padukuhan ini lebih hidup dan semarak. Sayanglah perang terjadi dengan hebatnya di garis Purbaya dan Kurawan.
.
"Kau ingin istirahat lagi, adi ?" tanya Arya Dipa saat memperhatikan Windujaya terus melihat ke tengah pelataran banjar.
.
Tetapi gerakan kepala Windujaya mengisyaratkan penyanggahan, "Tidak, kakang. Langkah kaki kita baru puluhan tombak. Jika kita sering istirahat, rahasia di kali Brantas sudah didahului orang."
.
"Hm.. Baguslah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan ini."
.
Seiring dengan langkah kaki Windujaya dan Arya Dipa, sang surya yang seharian memberikan sinarnya dibelahan buana, kini tergantikan kegelapan menyelimuti langit. Untunglah Sang Pencipta memberikan kemurahanNYA berupa kerlip bintang gemintang. Cahaya kerlip itu mampu membantu menerangi jalan yang dilalui oleh Arya Dipa dan Windujaya, apalagi kedua pemuda itu dikaruniai mata setajam burung hantu di malam hari.
.
Kala itu keduanya menyusuri bulak ombo yang memisahkan padukuhan Wilangan dengan Sela. Semenjak keduanya memasuki bulak itu, mereka merasakan adanya seseorang yang selalu mengawasi dan mengikuti.
.
"Kau merasakan adanya keganjilan ini, adi ?" desis Arya Dipa.
.
"Iya, kakang. Mungkinkah mereka sebangsa begal dan kecu ?"
.
"Siapa pun mereka, sebaiknya kita selalu waspada." kata Arya Dipa, lirih.
.
"Wuuuss..... Claap.. "
.
Dua anak panah lepas dari busurnya, menyambar sangat deras dan cepat mengarah Arya Dipa dan Windujaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 21
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
DUA anak panah lewat setipis rambut dari tubuh Windujaya dan Arya Dipa. Kesebatan keduanyalah yang mampu membuat anak panah lewat dan menancap di pohon randu.
.
Meskipun serangan gelap itu tak menemui hasil, para penyerang gelap tiada menampakan batang hidungnya. Suasana kembali mencekam oleh kesunyian bulak ombo. Windujaya dan Arya Dipa penasaran dengan sikap para penyerang yang belum juga melakukan tindakan lanjutan.
.
Oleh karenanya Windujaya berseru, "He.. Kemarilah, kisanak. Janganlah bermain petak umpet !"
.
"Wuuuusss... Wuuuuusss.. Wuuusss.. Wuuusss... !"
.
Seruan Windujaya terbalas oleh luncuran empat batang anak panah dari balik gerumbul sisi utara. Ancaman penuh kematian itu bukan masalah bagi kedua pemuda pilih tanding yang berpengalaman dalam melakukan penghindaran. Selekas bunyi kesiur angin, gerak cepat meliuknya tubuh dapat melepas ancaman anak panah.
.
Dua kali serangan gelap tak mendapatkan mangsa, akhirnya para penyerang gelap menyibak gerumbul dan meloncat menerjang kedua pemuda. Empat orang memakai cadar dengan senjata dalam genggaman, mautlah tindakan pamungkas.
.
Dua orang bercadar bersenjata pedang dan trisula, menyergap Arya Dipa. Sisanya yang bersenjatakan sepasang pisau panjang dan rantai berbandul, mengancam Windujaya.
.
Dari senjata dan tata gerak dari penyerang, sudah menunjukan keahlian yang sangat mumpuni. Gerakan setiap langkah mereka mampu bekerja sama satu dengan lainnya. Sehingga setiap langkah Arya Dipa dan Windujaya selalu mendapat tekanan hebat dari orang - orang bercadar.
.
"Tata gerak mereka melebur menjadi satu. Seolah dua tubuh ini, diperintah oleh satu pikiran saja." batin Arya Dipa, yang masih menghindari serangan lawan.
.
Sementara itu, Windujaya mengisar langkahnya ketika tajamnya pisau panjang hampir menusuk lambungnya. Tetapi berhasilnya ia menghindar, kesiur angin dari luncuran rantai besi, sudah mengancam punggungnya.
.
"Tring... !"
Panggraita Windujaya yang tajam telah menggerakan tangannya untuk mencabut keris panjang, pusakanya. Keris kyai Samber Geni menangkis luncuran rantai besi berbandul, dan membuat suara berdenting serta percikan bunga api.
.
Saat bersamaan apa yang dialami oleh Arya Dipa, juga membuat pemuda itu melepas pedang kyai Jatayu. Pedang tipis itu bergerak ringan membabat setiap serangan senjata lawan. Sehingga kedua lawannya tercengan dengan wujud senjata pemuda itu, yang sangat tipis tapi dapat menahan pedang dan trisula lawan.
.
Apalagi rasa kejut dirasakan oleh salah satu orang bercadar. Lengannya bagai disengat api dan pedangnya hampir lepas dari tangannya, manakala pedang kyai Jatayu menyabet dengan sisi daunnya.
.
"Setan tetekan... !" umpat orang bercadar bersenjatakan pedang.
.
Untunglah kawannya yang mengetahui adanya ancaman, segera membantunya dengan melancarkan tusukan trisula ke punggung Arya Dipa. Namun orang itu terkejut bukan main dan sempat terkilas sebuah kekaguman dalam benak orang itu.
.
Serangan di titik buta dapat dihindari Arya Dipa dengan melakukan gerakan indah. Tubuh pemuda itu melenting melewati tubuh orang bercadar bersenjata trisula, dengan badan memunggungi orang itu. Dan akibatnya, orang itu hampir mendapatkan sabetan di pundaknya, jikalau ia tidak bergegas menjatuhkan tubuhnya.
.
Mereka tak mengira atas kemampuan kedua orang itu. Biasanya, orang - orang yang dicurigai saat melewati bulak ombo antara padukuhan Wilangan dan Sela, mampu ditumbangkan dengan cepatnya. Terakhir korban mereka adalah Sepasang Ular dari Lembah Lawu, yaitu ki Sawer Gambuh dan nyi Wilatsih.
.
Sepasang Ular itu meskipun seorang ahli kanuragan yang menggemparkan, berkat kerjasama dari keempatnya, tumbang bersimbah darah.
.
"Siapa kalian ini, anak muda ?!" seru salah seorang bercadar.
.
"Bila kami menjawab, apakah kalian akan meminta maaf kepada kami ?" Windujayalah yang membalas.
.
"Tutup mulutmu, anak muda !" bentak orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, " di sini, kamilah yang berkuasa !"
"Hehehe.. Sepertinya kalian bukanlah sebangsa begal ataupun kecu. Apa sebenarnya maksud kalian ?"
.
"Banyak bicara kau, anak setan !" kembali orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul membentak seraya menyabetkan senjatanya.
.
Sabetan penuh tenaga itu berhasil dihindari Windujaya. Tapi akibatnya sabetan yang masih berlanjut itu, menghantam tanah dan membuat tanah bermuncratan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 22
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
TANAH tergores sepanjang hantaman rantai besi orang bercadar. Dan selamatlah orang bercadar bersenjatakan sepasang pisau panjang dari amukan Windujaya.
.
Selanjutnya di bulak ombo itu semakin seru dan sengit. Tata gerak mulai menunjukan perubahan yang lebih trengginas dan mantab dalam setiap melakukan penekanan terhadap dalam. Setingkat demi setingkat kemampuan orang - orang bercadar dan kedua pemuda, bagai pergerakan hantu di malam hari. Kaki seringan kapas bergerak mengisar atau pun mendlupak penuh tenaga.
.
Kenyataan itu membuka mata orang - orang bercadar untuk semakin berbuat lebih dalam menghadapi lawan mereka yang masih muda. Sepertinya malam ini keempat orang bercadar harus bekerja lebih lama bila dibandingkan malam - malam yang lalu.
.
Semenjak mereka berada di bulak ombo dalam melakukan tugas kali ini, barulah kali ini lawan yang mereka hadapi, mampu bertahan samapi sebegitu lamanya. Bahkan keempat orang itu sulit melakukan penekan dalam segalanya. Dari ancaman penyerangan gelap, gertakan dan lepasnya senjata, lawan tak gentar sedikit pun. Malah lawan yang termuda selalu berkata lantang dan terkesan mempermainkan mereka.
.
Selain itu adanya kedua senjata berupa pedang tipis dan keris panjang membara, mengejutkan orang bercadar itu. Pedang berdaun tipis setebal daun pisang mampu menghalau besi bahan trisula dan pedang orang bercadar. Juga keris ditangan pemuda yang termuda, sangat aneh dan menyeramkan. Keris itu sepanjang juluran tangan orang dewasa dan memancar warna merah menyala.
.
"He.. Anak setan !" seru orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, "Bukankah kerismu itu, kyai Samber Geni ?"
.
Windujaya mengernyitkan alisnya ketika lawannya dapat mengenali senjatanya. Maka setelah mencoba mengaitkan dengan masa yang lalu, menyangkut senjata dan pemiliknya terdahulu, lantas Windujaya berkata.
.
"Kau mengenali senjata ini, kisanak. Adakah kau mengenal pamanku yang menjadi Demang di Lasem ataukah kau teman Tumenggung Plangkrongan ?"
.
"He... " hati orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, tercekat.
Sambil mundur menjaga jarak, orang itu berpikir dengan apa yang ditanyakan oleh pemuda itu. Di sebutnya Tumenggung Plangkrongan dan ki Demang dari Lasem, membuat hati orang itu bimbang.
.
"Kawan atau lawan, sebenarnya anak muda ini ?" batinnya dalam hati.
.
Keraguan orang bercadar itu sangat merugikan kawannya. Orang bercadar bersenjata sepasang pisau panjang, terdesak hebat dalam kurungan keris Windujaya.
.
"He... Mengapa kau mematung seperti itu ?!" seru kawannya kepada orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, "Jangan termakan perkataan anak kecil ini. Tentu ia mencuri senjata itu dari pemiliknya !"
.
"Oh.. " desuh orang bercadar bersenjata rantai besi berbandul, yang sadar dengan kecerobohannya.
.
Kembali orang bercadar bersenjata rantai besi meloncat membantu kawannya. Meskipun begitu ia masih mencoba mencari kepastian pada diri lawannya.
.
"Apakah kau mencuri senjata itu dari Tumenggung Plangkrongan ?"
.
Akhirnya umpan yang dilontarkan Windujaya termakan oleh lawannya. Dengan menuduhnya mencuri pusaka itu dari tangan Tumenggung Plangkrongan, menandakan kalau lawan hanya mengenal Tumenggung dari Tuban, dan itu berarti orang - orang ini ada sangkut pautnya dengan pasukan Bang Wetan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 8 bagian 23
oleh : Marzuki
###########
###########
Semuanya semakin terbuka adanya. Windujaya dapat memastikan siapa para penyerangnya itu. Oleh sebab itulah tanpa menunda lagi, Windujaya berseru kepada sahabatnya.
.
"Kakang Dipa, lawan kita tidak lain dan tidak bukan adalah prajurit Bang Wetan !"
.
Seruan dari anak termuda itu sebenarnya tidak hanya untuk pemberitahuan kepada Arya Dipa semata, melainkan itu merupakan tanda bagi lawan yang sudah gagal dalam penyamaran jati dirinya.
.
Dan orang yang paling terkejut ialah orang bercadar bersenjata trisula. Orang itu sangat kesal kepada salah seorang kawannya yang bersenjata rantai besi berbandul, yang sudah tanpa sadar membuka jati diri mereka. Dengan begitu sudah tidak ada lagi untuk hanya bermain loncatan saja.
.
Sebuah isyarat dari mulut orang bercadar bersenjata trisula, sebuah lengkingan keras menggema sebagai tanda perubahan penyerangan. Tata gerak dari keempatnya serentak berpadu satu dengan lainnya, menjadikan bentuk rumit bagi lawan mereka. Sebuah bentuk yang mereka namakan Panca Kiblat Marga Pralaya.
.
Di mana mereka mengawali dengan menggiring lawan dalam satu titik saja. Kemudian menahan merekan dengan rapat tanpa adanya sela yang dapat membuat lawan lolos dari kurungan. Lalu bila lawan sudah tepat di titik tengah, serentak mereka meloncat mundur dalam jarak tiga langkah.
.
Tetapi meskipun jarak itu akan dimanfaatkan bagi lawan untuk mencoba keluar, kegagalan bagi lawanlah yang terjadi. Karena keempat orang bercadar akan menghalau kembali lawan itu. Sehingga akan sulit menerobos kepungan yang terlihat longgar.
.
Demi mengetahui kemampuan orang - orang bercadar dalam menyusun kerjasama yang apik dan teratur itu, keyakinan Arya Dipa dan Windujaya semakin mantab kalau yang mereka hadapi benar - benar prajurit terlatih. Dan kini yang menjadi perhatian adalah apa tujuan dari penghadangan di bulak ombo itu ? Inilah yang membuat tanda tanya dibenak Arya Dipa dan Windujaya.
.
Tanda tanya itu untuk sementara harus mereka lupakan sejenak. Karena lawan mulai bergerak serentak dalam badai serangan. Kesiur angin dari setiap penjuru bagai jalur maut meminta tumbal. Tajamnya tiga pucuk trisula, kerasnya bulatan rantai berbandul, ganasnya sepasang pisau panjang dan mengerikan sebilah pedang pandan eri, mengarah serentak ke pusat kepungan.
Hembusan maut mulai menyeruak di jalan bulak ombo antara padukuhan Wilangan dan Sela, yang berada dalam telatah tanah perdikan Anjuk Ladang. Setiap senjata yang diluncurkan tanpa adanya rasa kasihan langsung menggebrak penuh kebengisan kepada dua manusia yang terdiri dari segumpal daging dan darah.
.
Bila kedua pemuda dalam kepungan bukanlah orang mumpuni, sudah pasti malaikat maut mengakhiri keduanya dengan perantara serangan Panca Kiblat Marga Pralaya. Nyawa kedua pemuda pilih tanding itu masih dalam lindungan Sang Pencipta. Ilmu Niscala Praba dan Serat Bayu menyeruak dari dua tubuh dan menghempaskan terjangan senjata penyerang.
.
"Byaar.. Deesss.. Deesss.. Deesss.. Deeesss... !"
.
Empat orang bercadar terhempas bagai layangan putus dengan darah membasahi bibir mereka. Tubuh mereka masih menggeliat dan berusaha untuk bangkit kembali. Namun kedua pemuda tidak membiarkan mereka berlaku bebas, dengan loncatan cepat mereka mencengkeram tubuh satu dan menangkap tubuh lainnya untuk dikumpulkan menjadi satu tempat.
.
"Wuuuss.. Wuuusss.. Wuuss.. Wuuss.. !"
.
Entah dari mana datangnya kesiur angi telah menunmbangkan keempat orang bercadar. Nyawa orang - orang bercadar terenggut oleh seorang yang tidak diketahui itu.
.
Dan kenyataan itu mengagetkan Arya Dipa dan Windujaya, yang tak mengira atau pun mengetahui adanya keberadaan seseorang selain mereka.
.
"Untuk saat ini kalian beruntung anak muda !" sebuah seruan menggema memantul dari segala penjuru.
.
"Keluarlah, kisanak !" balas Windujaya, "Apa maksud dari semua ini ?!"
.
"Hahaha... Janganlah kau berlaku seakan - akan ini tempatmu !" kembali seruan terdengar, "Urungkan niatmu dalam pencarian pusaka yang saat ini menjadi rebutan orang - orang linuweh.. !"
.
"Ho.. Jadi kau juga menginginkan pusaka itu, kisanak ?!" tanya Windujaya.
Hening dan sunyi. Tiada balasan dari orang yang belum tahu wujudnya itu. Sehingga Windujaya kembali melantangkan suara. Tapi sia - sia saja, tak ada balasan sedikit pun.
.
"Sudahlah, adi. Sepertinya orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa.
.
"Sebaiknya kita mengurus mayat - mayat ini. Kasihan raga yang semakin dingin ini jika tida kita urus." sambung Arya Dipa.
.
"Mari, kakang."
.
Dengan alat seadanya, keduanya mengubur empat orang bercadar agar tidak dimangsa binatang liar dan buas. Lubang yang tidak terlalu dalam sebagai peristirahatan terakhir dari keempatnya, ditimbuni lagi dengan bebatuan yang akan menyulitkan binatang buas untuk menggalinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 8 bagian 24
oleh : Marzuki
##########
##########
SELESAI mengubur empat penyerangnya, Arya Dipa dan Windujaya menuju padukuhan Sela. Mereka berharap bertemu dengan penghuni padukuhan itu.
.
Masih ditengah jalan penghubung jalur Purbaya dan telatah perdikan Anjuk Ladang, kedua pemuda itu masih membicarakan orang yang membunuh empat orang bercadar.
.
"Siapapun dia, yang jelas dia mempunyai kepentingan yang sama dengan kita, adi." kata Arya Dipa.
.
"Hm.. Dia dengan mudahnya membuat orang - orang bercadar tumbang. Dan jika itu diarahkan kepada kita, keadaan yang paling buruk tak dapat aku bayangkan." suara Windujaya agak bergetar.
.
Arya Dipa pun juga menyadarinya. Keberadaan dan bidikan orang tadi tidak diketahui sama sekali. Ini merupakan teka - teki yang menyulitkan bagi pemuda itu. Mengapa orang itu membiarkan keduanya hidup, jika orang itu kawan empat orang bercadar ? Dan jika bukan kawan orang bercadar, tetapi dia pun menginginkan pusaka yang direbutkan. Sehingga apabila orang itu mencelakai Arya Dipa dan Windujaya, bukankah ia dapat mengurangi jumlah saingan ?
.
"Semuanya bagai kabut di lembah pegunungan. Kepekatannya menghalangi pandangan mata. Bahkan kalau melangkah dengan meraba - raba, seseorang masih bisa terperosok dalam jurang yang curam." desis Arya Dipa, perlahan.
.
Sementara itu orang yang tadi membidik empat orang bercadar, berjalan dengan tenangnya sambil tersenyum cerah. Dia lelaki tampan dengan pakaian bersih dan bahkan terkesan mewah. Ikat kepala hijau pupus merupakan ciri khusus yang selalu dikenakan lelaki tampan tersebut.
.
Tepat langkah kaki menuruni tanggul sungai, sebuah teguran halus membuatnya memalingkan wajah ke arah suara teguran itu.
.
"Raden, mengapa kau bunuh kawan sendiri ?"
.
"Maksud paman, empat Serigala itu ?" lelaki dengan ikat kepala hijau pupus, balik bertanya.
.
"Benar, Raden. Ki Dampit dan kawan - kawannya adalah prajurut di bawah pimpinan ki Rangga Rawes. Apabila suatu hari nanti ki Panji Sengganggeng mengetahui hal ini, kita akan mengalami kesulitan, Raden."
Lelaki tampan yang dipanggil Raden itu, tertawa hambar, "Hehehe.. Mengapa paman Walang Yuda berdebar dengan ki Panji Sengganggeng ? Meskipun ia saudara Panembahan Bhre Wiraraja, tetapi sejak pasukannya kalah di kademangan Kanduruan ia tidak mempunyai kekuatan."
.
"He.. Mana mungkin itu, Raden Sajiwo ?" ki Walang Yuda terlihat terperanjat.
.
Raden Sajiwo duduk diatas batu, "Saat pertempuran seru di Kanduruan, ia mendapat lawan yang tangguh dari pihak Demak. Seorang pemuda dari kadipaten Jipang."
.
"Ah.. Janganlah Raden bergurau. Ilmu ki Panji Sengganggeng sundul langit dan bahkan dua tingkat dibawah gusti Panembahan sendiri." ki Walang Yuda menganggap keponakannya itu bergurau.
.
Meskipun perkataannya tidak meyakinkan pamannya, Raden Sajiwo tidak marah. Ki Walang Yuda merupakan paman dari pihak ibunya, yaitu tepatnya adik ibunya dari kalangan kawula biasa, selalu berada disampingnya sejak Raden itu masih kecil. Sehingga pamannya inilah orang yang ia percayai dan selalu diajaknya.
.
"Paman, perlu paman ketahui siapa sebenarnya lawan ki Panji Sengganggeng itu. Pemuda itu masih trah Demak dan seandainya Pangeran Kinkin menjadi sultan Demak, pemuda itulah yang akan menjadi adipati anom."
.
"He... Oh Raden, janganlah kau membuatku pening. siapakah pemuda itu sehingga Raden berani mengandaikan Pangeran Kinkin ?"
.
"Dialah putra sulung Pangeran Sekar sedo ing Lepen. Kalau tidak salah nama pemuda itu, Bagus Aryo Penangsang... Ya Aryo Penangsang, murid kinasih Kanjeng Sunan Kudus." jawab Raden Sajiwo.
.
Bagai terdengar suara guntur, ki Walang Yuda terhenyak sesaat dalam keheranan atas pemuda itu. Tetapi jika pemuda itu benar dalam asuhan bekas Senopati Demak, semuanya pasti benar jiam pemuda itu mampu menandingi kemampuan ki Panji Sengganggeng.
.
"Demak sepertinya semakin kuat saja, Raden. Calon - calon senopati bagai tumbuh subur dalam naungan kesultanan itu."
.
"Karena itulah, aku akan memanfaatkan keadaan bagaimana pun juga. Ingatkah kau dengan peristiwa di pinggir bengawan saat tewasnya Raden Kinkin, paman ?"
Ki Walang Yuda sejenak mengernyitkan kening. Dirinya mencoba mengenang kejadian itu. Bayangan itu muncul dengan dua prajurit dari Wira Manggala yang membawa keris pusakan Brongot Setan Kober. Lalu kedua prajurit itu tewas setelah memasuki sebuah gubuk dan gubuk itu dibakar oleh seorang bangsawan dengan ciri ikat kepala hijau pupus.
.
"Oh.. Radenlah yang menyusun rencana itu. Lalu apakah Raden masih mempunyai siasat dengan memanfaatkan pemuda itu ?" tanya ki Walang Yuda, berapi - api.
.
Raden Sajiwo tersenyum simpul. Matanya yang tajam seolah menerawang kekejauhan, menembus gelapnya malam.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 25
OLEH : MARZUKI
#############
.
GEMERICIK air sungai terdengar jelas ditelinga kedua paman dan keponakan itu. Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda masih melakukan pembicaran dipinggir sungai. Hingga datanglah seseorang yang dikenal oleh keduanya.
.
Orang yang baru muncul itu seorang lelaki dengan perawakan tegap, dada bidang dengan sedikit bulu dari pakaian yang sedikit terbuka. Kumis sekepal menambah kesangaran orang itu.
.
"Apa yang akan kau laporkan, Wara Lintang ?"
.
Orang itu mencangkupkan telapak tangannya dekat dahi, "Gusti Raden, Putra Pangeran Singasari ingin bertemu dengan gusti Raden."
.
Sebelum Raden Sajiwo menjawab, ki Walang Yuda mendahului, "Di mana dia sekarang, Wara Lintang ?"
.
"Ia menunggu di barat kali Brantas, ki Wialang Yuda."
.
Sejenak ki Walang Yuda memandang keponakannya. Tetapi yang dipandang tiada kesan tertentu. Wajahnya datar saja seperti tak acuh.
.
"Akankah Raden mau menemuinya ?" tanya Walang Yuda.
.
"Wara Lintang, siapkan pengamanan yang cukup di seberang kali Brantas, aku akan menemuinya. Dan perintahkan Gajah Tangen mengawasi dua pemuda yang saat ini memasuki padukuhan Sela." akhirnya Raden Sajiwo memberikan perintah.
.
"Sendiko, Raden."
.
Kemudian Wara Lintang bergegas menaiki tanggul dan hilang dikegelapan malam. Tinggalah Raden Sajiwo dan ki Walang Yuda lagi yang masih di pinggiran sungai untuk beberapa lama.
..........
Dari Sungai berjarak ratusan tombak Wara Lintang menyusuri kelokan jalan setapak menggunakan kuda hitam legam. Kuda itu berhenti di gubuk yang khusus dibangun oleh orang - orang Raden Sajiwo. Dari gubuk inilah yang dijadikan sarang untuk melakukan pergerakan mereka.
.
Belum kaki menginjak di tanah, dua orang lelaki berbadan tinggi tegap telah keluar dari persembunyiannya. Keduanya menyongsongkan tombak pendek mereka terhadap Wara Lintang.
.
"Hm.. Bagus, kesiagaan kalian sangat tinggi." puji Wara Lintang.
.
"Oh.. ki Lurah !" seru keduanya dan segera menunduk hormat.
.
"Di mana Gajah Tangen ?" tanya Wara Lintang setelah turun dari kuda dan menyerahkan tali ke salah seorang.
.
"Kakang Gajah Tangen di dalam, ki Lurah." jawab salah seorang.
.
"Hm.. Baiklah. Kembalilah berjaga - jaga." perintah Wara Lintang dan seterusnya memasuki gubuk.
.
Gubuk itu cukup luas dan bersih. Di empat pojok ada dian sebagai penerangan dari gelapnya malam. Di dalam lima orang sedang duduk - duduk sambil berbicara ringan. Dan saat pintu terbuka, kelima orang itu serempak menatap pintu.
.
"Ki Lurah... " seru semuanya.
.
Wara Lintang masih tak berbicara. Ia meraih kendi dan meneguk air dalam kendi. Rasa haus dari tadi barulah terobati setelah melewati ratusan tombak dari seberang kali Brantas, mencari keberadaan Raden Sajiwo dan selanjutnya bergegas ke gubuk yang berada di gumuk.
"Gajah Tangen."
.
"Iya, ki Lurah."
.
"Pergilah ke padukuhan Sela. Di sana ada dua pemuda yang harus kau awasi gerak - geriknya." perintah Wara Lintang.
.
"Hanya mengawasi saja, ki Lurah ?"
.
"Begitulah yang diperintahkan oleh junjungan kita. Bawalah tiga atau empat orang, supaya jika kalian bertemu kelompok ki Panji Seganggeng tidak mengalami apa - apa."
.
"Baik, ki Lurah." dan Gajah Tangen bersama tiga kawannya keluar menuju padukuhan Sela.
.
Sepeninggal Gajah Tangen dan ketiga kawannya, Wara Lintang mewantin - wanti kepada anak buahnya yang tersisa, supaya berhati - hati di gubuk itu. Bila ada sesuatu yang mencurigakan, selekasnya harus melaporkan ke gubuk utama di seberang kali Brantas. Setelah memberikan pesan, Wara Lintang pergi dari gubuk di gumuk dan bergegas ke seberang kali Brantas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 26
OLEH : MARZUKI
############
.
LEBIH dari dua puluh orang bersiaga di seberang kali Brantas, terutama di bangunan yang baru dibangun sekitar dua pekan yang lalu. Wara Lintang yang sudah berada di tempat itu, sudah mempersiapkan segalanya dan mengawasi jalur masuk ke tempat itu. Itu semua dipersiapkan untuk menjaga kemungkinan buruk apabila terjadi dikemudian.
.
Nantinya di tempat ini, selain kedatangan seorang pemuda yang mengaku putra Pangeran Singasari, masih ada tiga tamu khusus. Tentunya mereka akan membicarakan pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta.
.
Orang yang pertama datang ke bangunan itu, sepasang lelaki perempuan dengan penampilan layaknya orang - orang ahli kanuragan. Si lelaki berbadan kurus tinggi menggunakan pakaian berwarna merah tua, di balik punggungnya menggantung pedang bertangkai kepala naga. Si perempuan berbadan langsing dengan kulit kuning langsat, di bawah bibir agak di pojok dihiasi tahi lalat, menambah kecantikan wanita ini, di tangannya membekal kipas putih bergambar naga hijau.
.
Sepasang tokoh kanuragan ini dikenal dengan sebutan sepasang naga dari gunung Welirang. Jayakusuma dan Nila Gandasari, murid Kyai Nagarata. Sepak terjang keduanya dalam dunia kanuragan, tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai murid Kyai Nagarata, keduanya mendapatkan gemblengan secara khusus sehingga hampir menguasai seluruh ilmu gurunya.
.
Tidak berselang lama, muncul lelaki tambun berpakaian agak kumal dengan tongkat dari galih pohon asem. Dialah Ra Srimpang, tokoh kanuragan dari Paciran yang selalu membawa kekonyolan disetiap langkahnya. Meskipun begitu, orang ini mampu menggetarkan hati banyak orang.
.
Selanjutnya lelaki tua berpakaian loreng dari kulit harimau. Wajahnya meskipun sudah keriput namun sisa - sisa ketampanannya masih terlihat. Dia tidak lain ki Sardulo Liwung, tokoh kanuragan dari pantai Prigi.
.
Yang paling terakhir adalah rombongan dari putra Pangeran Singasari. Mereka berjumlah enam orang dari kalangan bangsawan dan tokoh kanuragan. Pemimpinnya seorang pemuda tampan dengan dagu ditumbuhi rambut tipis lancip, yaitu Raden Sanjaya dengan pendamping setianya Duaji. Lalu Bango Banaran, ki Widarba dari Jipang, Gonggang Keling dari pulau Karimun dan ki Pandak Wengker dari Ponorogo.
"Silahkan tuan - tuan. Sebentar lagi Raden Sajiwo akan datang." sambut Wara Lintang.
.
"Jadi kami harus menunggunya ?" seru Ra Srmpang, agak mendongkol, "Huh.. Jauh - jauh aku datang, tapi tuan rumah enak keluyuran."
.
Semua orang tak mengacuhkan lelaki tambun itu. Mereka sudah paham betul dengan perangai orang satu ini. Jika diladeni akan menimbulkan permasalan yang panjang dan melelahkan.
.
Hanya ki Sardulo Liwung saja yang tidak segan - segan. Orang tua itu melototkan matanya ke arah Ra Srimpang sambil menggerutu.
.
"He.. Anak gendut, apa kau tidak lelah dengan mulutmu yang mengoceh itu ?"
.
Di tegur seperti itu, Ra Srimping menggebrak meja pelan. Anehnya meja yang bergetar keras itu tidak membuat gelas - gelas air minum diatasnya bergoyang dan tumpah.
.
"Wah - wah... Belum ada sepenginang kau sudah melakukan pangeram - eram, bocah gemblung." kata ki Sardulo Liwung, "Lihatlah... "
.
Orang dari pantai Prigi itu meniup salah satu gelas yang ada di hadapan Ra Srimpang. Apa yang terjadi sungguh mengagumkan. Gelas itu tidak mengapa, melainkan isinyalah yang membeku bagai terkena bedinding sewindu di puncak Mahameru. Dan gelas itu oleh Ra Srimpang di pegang.
.
"Nyeees.... "
.
Gelas terasa dingin hingga Ra Srimpit menggigil kedinginan, dan mendesuh kejut, "Oh... Serat Tirta.."
.
"Hehehe... itu baru seperempat tenaga yang aku terapkan, tapi kau sudah kelimpungan macam curut terendam di parit..." ucap ki Sardulo Liwung dengan angkuhnya.
.
"Deesss..... "
Kaki Ra Srimpang menghujam bumi. Tetapi dari kakinya tersalur tenaga kasat mata dan menyusup tanah mengarah dingklik yang ditempati oleh ki Sardulo Liwung. bumi di bawah orang pantai Prigi bergetar hebat dan selanjutnya dingklik yang diduduki terlontar ke langit - langit bersama si empunya.
.
"Braaak... !"
.
Dingklik lumat berkeping - keping. Sedangkan ki Sardulo Liwung walau mampu dilontarkan tinggi - tinggi, tapi masih bisa menguasai tubuhnya dengan berjungkir balik di udara seraya melepas kain panjang menyilang dan hinggap di atasnya. Dan tubuh itu berdiri diatas kain bagai tiada beban.
.
"Plok.. Plok.. Plok.. "
.
Sebuah tepukan tangan menyita perhatian semua orang, tak terkecuali.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 27
OLEH : MARZUKI
############
.
RADEN Sajiwo yang didampingi ki Walang Yuda melangkah menghampiri ki Sardulo Liwung yang sudah menginjakan kakinya ke lantai bangunan. Dan mengajak orang dari pesirir pantai Prigi kembali duduk bersama.
.
"Maafkan kami yang datang terlambat, sehingga kami tidak bisa menyambut tuan - tuan dengan selayaknya." ucap Raden Sajiwo.
.
Ucapan itu bagi Ra Srimpang mampu menenangkan perasaannya. Kekesalannya terhadap ki Sardulo Liwung bagai terkena angin dan lenyaplah seketik. Dia lebih mengutamakan apa yang akan dikatakan oleh Raden Sajiwo selanjutnya.
.
"Tuan - tuan sekalian. Semakin hari, tepian kali Brantas bertambah ramai atas kedatangan tokoh - tokoh kanuragan atau pun para bangsawan." sejenak Raden Sajiwo berhenti demi melihat kesan dari para tamu undangannya, "Dua tiga kejadian akhir - akhir ini mulai mewarnai tepian kali Brantas. Mungkin kisanak semua sudah mengetahuinya ?"
.
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan lainnya. Kejadian di tepian kali Brantas yang disebutkan oleh bangsawan Kadiri itu, kurang dipahami. Kecuali pencarian pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta. Oleh karenanya, Jayakusuma memberanikan diri untuk bertanya.
.
"Raden, mohon kiranya hamba yang cubluk ini meminta kesediaan tuan untuk menerangkannya."
.
Tutur kata yang diucapkan oleh Jayakusuma terkesan halus dan tulus. Inilah ciri khusus pembawaan dari murid tertua kya Nagarata. Seorang lelaki berbadan jangkung dengan penampilan rapi dan wajah manis, ditambah tutur kata yang indah, merupakan bekal baginya dalam menaklukan orang yang dihadapi. Khususnya dalam memikat wanita.
.
"Hahaha... Bagaimana seorang yang terkenal dengan sebutan Sepasang Naga dari gunung Welirang, seorang yang cubluk ?" Raden Sajiwo tertawa senang dengan permainan kata dari Jayakusuma.
.
"Jayakusuma dan kisanak sekalian, baiklah akan aku uraikan kejadian akhir - akhir ini kepada kisanak sekalian, meskipun aku yakin jika kisanak satu dua sudah mengetahuinya." kata Raden Sajiwo.
.
Semuanya menunggu dengan seksama apa yang akan disampaikan oleh tuan rumah.
"Partama.." Raden Sajiwo mulai mengawali, "Di dekat tambatan satang, pernah ada perkelahian antara dua lelaki bertopeng. Seorang bersenjata tombak panjang dan satunya membekal cambuk."
.
"Oh.. Orang bercambukah...?" desis beberapa orang.
.
Raden Sajiwo memperhatikan wajah - wajah mereka. Sepertinya mereka terlihat heran dan terkejut. Itu menandakan kalau mereka belum tahu dengan kejadian di dekat tambatan satang.
.
"Kejadian kedua tak kalah mengejutkan." Raden Sajiwo melanjutkan, "Ki Demang Nukilan tewas dengan tubuh bagian dalam dan tulang lumat, sehingga saat tubuhnya diangakat terasa lemas dan ringan."
.
"He...!" kembali ruangan itu dilanda keterkejutan.
.
Ilmu apa yang membuat tubuh ki Demang Nukilan seperti itu ? Menurut warta yang tersebar, Demang dari Wanasaba itu memiliki aji Trenggiling Wesi dan aji Gelap Sayuta.
.
Tentulah itu mengherankan mereka, kecuali Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya. Keduanya paham betul dengan akibat yang diderita oleh tubuh ki Demang Nukilan. Keduanya yakin ilmu yang mampu membuat tubuh ki Demang Nukilan lemas dan ringan. Kumayan Jati-lah yang bisa meninggalkan akibat seperti itu.
.
Kini tinggalah siapa orang yang memiliki aji nggegirisi tersebut ?
.
Dalam benak Raden Sajiwo, ilmu itu terkhir diketahui milik seorang Pangeran yang lenyap pada saat terakhir Prabu Giriwardhana menggempur Wilwatikta. Sementara lain lagi bagi Raden Sanjaya, Ia tahu betul jika gurunya memiliki ilmu itu, ilmu yang tak sempat ia warisi.
.
"Dan yang terakhir adalah adanya dua pemuda yang harus kita waspadai. dua pemuda aneh ini memiliki kemampuan yang tidak bisa kita remehkan." kembali Raden Sajiwo berkata.
.
"Siapakah mereka itu, Raden ?" tanya ki Widarba.
"Aku kurang tahu nama mereka. Mereka berdua bisa mempermainkan orang - orang padepokan Krendha Seba."
.
"Empat diantaranya sudah tewas di bulk ombo barat padukuhan Sela." sambung Raden Sajiwo.
.
Ruangan itu terasa penuh gejolak. Kemunculan orang bercambuk, lalu kematian ki Demang Nukilan yang aneh, dan dua pemuda yang membuat orang - orang padepokan Krendha Seba tak berdaya. Itu semua harus mendapat perhatian besar bagi mereka.
.
Saat suasana masih berada dalam menyingkap orang - orang aneh itu, seorang pengawal Raden Sajiwo datang dan membisiki dekat telinga bangsawan itu. Sejenak wajah bangsawan itu mengalami perubahan. Sepertinya sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi, apalagi dari tangannya yang menggenggam bagai meremas terlihat jelas.
.
"Tikus sialan, Gajah Tangen..!" geram Raden Sajiwo dalam hati.
.
"Ada apa, paman Sajiwo..?" Raden Sanjaya bertanya setelah mengetahui kegelisahan Raden Sajiwo.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAG 28
OLEH : MARZUKI
#############
.
KEGELISAHAN dan kemarahan Raden Sajiwo tak terbendung. Pertanyaan dari Raden Sanjaya terasa seperti terkena angin sebelum sampai di telinga Raden Sajiwo. Hal itu menjadikan Raden Sanjaya untuk kembali mengulang mempertanyakan apa sebenarnya yang dihadapi oleh bangsawan Kadiri itu.
.
"Paman Sajiwo, apa yang sebenarnya terjadi ?" ulang Raden Sanjaya.
.
Barulah Raden Sajiwo menyadari kalau ia tidak sendiri. Kemudian ia mengambil sikap seperti tiada masalah.
.
"Ah.. Maaf, ini hanya masalah kecil saja, tidak apa - apa. Mari kita lanjutkan pembicaraan kita." Raden Sajiwo mencoba tidak membicarakan sesuatu yang membuatnya marah.
.
Sebenarnya yang terjadi ialah kegagalan Gajah Tangen dalam mengawasi dua pemuda di padukuhan Sela. Tiba - tiba saja kedua pemuda itu lenyap saat memasuki rumah penghuni padukuhan. Padahal Gajah Tangen dan kawan - kawannya selalu mengawasi rumah itu dari segala arah dan setiap saat. Dan mereka tidak mengetahui kalau dua pemuda yang memasuki rumah penghuni padukuhan, terlihat keluar.
.
"Hari sudah sesiang ini mereka tidak kunjung keluar, kakang " desis salah seorang kawan Gajah Tangen.
.
"Kita tunggu barang sejenak. Perketat dan awasi seluruh jalan." perintah Gajah Tangen kepada kawannya.
.
Sang surya sudah menanjak naik ke cakrawala. Tetapi dua pemuda yang diduga masih di dalam rumah, tak juga keluar. Hal itu membuat Gajah Tangen dan kawan - kawannya gelisah. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali memastikan keberadaan kedua pemuda di rumah tersebut.
.
Maka diambil keputusan salah seorang berpura - pura berkunjung ke rumah itu, dengan alasan dibuat - buat. Dan orang itu jatuh kepada kawan Gajah Tangen yang berperawakan pendek namun mempunyai dada bidang. Dengan jalan agak terseok - seok orang itu menghampiri rumah penghuni padukuhan Sela.
Setelah memasuki regol yang terbuka, kawan Gajah Tangen disambut oleh pemilik rumah dengan agak curiga. Seperti saat pertama menerima dua pemuda kemarin malam. Tetapi setelah dirasa kalau tamunya tidak menunjukan sesuatu yang membuatnya curiga, maka pemilik rumah menerimanya dan bahkan dibawa ke pringgitan.
.
Entah apa yang dibicarakan kawan Gajah Tangen. Tetapi dari wajah pemilik rumah ataupun kawan Gajah Tangen, tiada menunjukan silang pendapat. Hingga akhirnya kawan Gajah Tangen mohon pamit dengan alasan ingin mencari dua pemuda yang ia aku sebagai sanak kadangnya.
.
"O.. Jadi kisanak ini, sanak kadang dari angger - angger tadi malam ?" kata pemilik rumah.
.
"He.. apakah mereka tadi malam singgah disini, ki?"
.
"Benar, ngger. Mereka hanya singgah sepengunyah sirih saja. Dan bergegas pamit." jawab pemilik rumah.
.
Kawan Gajah Tangen mengerutkan keningnya. Mustahil apa yang diucapkan oleh pemilik rumah itu. Semenjak kedua pemuda memasuki rumah, tak ada seorang pun yang keluar dari regol atau pun pintu butulan di kebun belakang.
.
Ternyata tuan rumah itu mengerti kalau tamunya itu tak mempercayai ucapannya. Oleh karenanya pemilik rumah kembali berkata.
.
"Dua pemuda itu sangat aneh, ngger. Tengah malam sebelum mereka meminta diri, salah seorang menyibakan tangan ke arah dian. Seketika dian - dian mati dan membuat rumah gelap gulita." kata pemilik rumah, "Kami mereka golongan perampok yang berpura - pura sebagai tamu. Dan melancarkan serangan saat keduanya berada di dalam rumah.Ternyata tidak, salah seorang mengatakan minta maaf atas perilaku mereka. Tidak lain karena adanya sesuatu perihal yang membuat mereka berlaku seperti itu."
.
Demi mendapatkan penjelas seperti itu, kawan Gajah Tangen mencoba mengingat apa yang terjadi di malam itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh pemilik rumah. Malam tadi lampu dian rumah itu sejenak padam.
"Hm.. Kami lengah." aku kawan Gajah Tangen sembari mengangguk.
.
"Apakah mereka tidak mengatakan sesuatu kepada kisanak ? maksudku tujuan mereka selanjutnya ?"
.
Pemilik rumah terlihat mengingat. Tetapi kemudian ia menggeleng.
.
Sudah cukup bagi kawan Gajah Tangen untuk memastikan keberadaan dua pemuda itu. Maka ia mohon diri dan mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah. Beranjaklah ia meninggalkan rumah itu dan kembali dimana Gajah Tangen dan kedua kawannya menunggu.
.
"Bagaiman ?" tanya Gajah Tangen yang sudah tidak sabar lagi.
.
Kawannya hanya menggeleng, "Kita kehilangan jejak mereka."
.
"He... "
.
Selanjutnya kawan Gajah Tangen yang berbadan pendek dengan dada bidang itu mengatakan apa yang ia ketahui, menurut penuturan pemilik rumah.
.
"Sial..!" geram Gajah Tangen sembari memukul udara.
.
"Guna, kau kembalilah ke gubuk dan laporkan ke kakang Wara Lintang. Kita kehilangan dua pemuda itu. Aku akan mencoba mencarinya di padukuhan induk." perintah Gajah Tangen kepada kawannya yang berbadan pendek tadi.
.
Apakah benar dua pemuda itu sudah pergi ?
.
Tidak. Arya Dipa dan Windujaya masih berada di rumah penghuni padukuhan Sela. Keduanya mengerti adanya beberapa orang yang mengikutinya secara sembunyi - sembunyi. Karenanya keduanya saat memutuskan bermalam di rumah penghuni padukuhan, keduanya sudah merencanakan untuk lepas dari pengamatan orang - orang itu. Maka Arya Dipa meminta bantuan kepada pemilik rumah supaya mau mengarang cerita. Tentunya setelah Arya Dipa meyakinkan sang pemilik rumah.
.
Setelah kepergian kawan Gajah Tangen, pemilik rumah bergegas menemui tamunya tadi malam dengan tangan masih bergetar.
.
"Oh.. Hampir saja aku mati ketakutan, ngger." ucapnya dengan suara bergetar.
.
"Terima kasih, ki. Bantuan ki Danu tak akan aku lupakan." ucap Arya Dipa.
.
"Ah.. Sudahlah, ngger. Memang benar yang angger berdua katakan tadi malam. Meskipun aku melihat orang tadi hanya sekilas saja, aku dapat menilainya kalau ia suka kekerasan. Karenanya jika aku dapat menjauhkan ia dari angger berdua, itu sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku." kata ki Danu, dengan senyum mengembang.
"Sebaiknya, angger berdua tinggal digubuk ini saja untuk beberapa hari kedepan." kata ki Danu kemudian, "Hal itu supaya membuat langkah mereka semakin jauh, sehingga angger berdua tidak bertemu dengan mereka."
.
"Maaf, ki Danu. Kami harus segera sampai ke tempat tujuan. Meskipun begitu, kami akan tinggal sampai datangnya malam." Arya Dipa mencoba menolak tawaran dari si pemilik rumah.
.
"Baiklah jika itu sudah menjadi tekad kalian." kata ki Danu agak kecewa.
.
Seperti yang dikatakan oleh Arya Dipa, saat wayah sepi uwong keduanya keluar dari regol rumah ki Danu. Dan selanjutnya pergi menuju kali Brantas melalui jalan memutar demi menghindari padukuhan induk telatah Anjuk Ladang. Jalur yang dilalui memang tidak sebagus dan serata jalur utama, tetapi itu semua supaya tiada halangan dari orang - orang yang tidak diinginkan.
.
Gelap malam tidak mengurangi ketajaman penglihatan mereka. Mata keduanya tajam bagai mata burung hantu di malam hari. Setiap langkah terasa cepat dan tangkas. Tepat di tengah malam keduanya sudah mendengarkan aliran sungai yang bergemuruh. Menandakan aliran kali Brantas sudah di sekitar mereka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 8 BAGIAN 29
OLEH : MARZUKI
############
.
Arya Dipa dan Windujaya menyusuri aliran kali Brantas sampai puluhan patok dan berhenti di bawah pohon gayam. Dari bawah pohon gayam itu, keduanya memperhatikan arah diseberang kali. Di mana diseberang kali terlihat adanya penerangan dari obor menyala dengan terangnya.
.
Selain itu juga terlihat orang berlalu lalang membawa karung cukup besar di pundak mereka. Kegiatan yang tidak sewajarnya itu menimbulkan rasa penasaran bagi keduanya. Ingin keduanya mencoba melihat lebih dekat, tetapi lebarnya kali tidak memungkinkan bagi keduanya.
.
Sedangkan piranti penyeberangan tidak ada sama sekali. Mungkin jika satang ada, namun letak penambatannya mereka belum mengetahuinya. Maka keduanya memutuskan menyusuri kali ke hulu, siapa tahu di hulu terdapat tambatan satang dan tukang satangnya.
.
Langkah kaki agak terhambat oleh akar tetumbuhan yang tumbuh subur di tepian kali Brantas. Kadangkala keduanya harus naik ke tanggul dan menyusuri lewat petak - petak sawah atau pun pategalan.
.
Sekian lama berjalan tibalah mereka ditepian berpasir. Agak di atas tepian, sebuah gubuk sederhana berdiri. Sepertinya gubuk itu sebagai tempat berteduh bagi tukang satang. Oleh karenanya Arya Dipa dan Windujaya mencoba mendekati gubuk itu.
.
Tetapi keduanya segera menghentikan langkah, manakala dari dalam gubuk seorang membuka pintu yang terbuat dari bilah bambu. Dari cahaya pelita, terlihat wajah orang yang baru keluar dari gubuk tersebut. Lelaki dengan wajah agak bulat, bibir tebal dengan hidung pesek, serta dahinya berkeriput.
.
Lelaki itu terbatuk - batuk, kemudian ia menyapa Arya Dipa dan Windujaya, "Selamat malam, angger berdua. Sepertinya kalian mau menyeberang, ya"
.
Batuk terdengar lagi dari lelaki itu setelah menyapa kedua pemuda.
.
"Benar, kisanak. Jika kyai tidak ada halangan, mohon kiranya mau menyeberangkan kami." Arya Dipa-lah yang berkata.
Dipandangi wajah pemuda itu dengan cermat oleh lelaki yang baru keluar dari gubuk. Sejenak kemudian lelaki itu menghela nafas, dan kembali terbatuk cukup lama. Sepertinya keadaan orang itu kurang enak badan.
.
"Mohon maaf, angger. Badanku kurang enak dua hari ini. Jika angger berdua bersabar, tunggulah esok hari. Besok keponakanku akan datang dari padukuhan yang berada di hulu kali." kata lelaki itu, dan lagi - lagi batuk.
.
Apa boleh buat, keadaan malam itu harus dilalui dengan bermalam bersama lelaki tukang satang itu. Keduanya dipersilahkan memasuki gubuk tukang satang. Di dalam gubuk hanya ada amben saja sebagai tempat tidur atau duduk - duduk.
.
"Ini ngger, ubi rebus sisa tadi sore." tukang satang itu menghidangkan sepiring ubi rebus dan kendi.
.
"Terima kasih, ki." ucap Arya Dipa dan Windujaya, berbarengan.
.
Dalam pada itu, Windujaya teringat adanya kegiatan yang ada di seberang kali, di hilir tadi. Maka ia mencoba menanyakan kepada tukang satang, siapa tahu tukang satang itu mengetahuinya.
.
"He.. !" seru tukang satang setelah mendengarkan apa yang ditanyakan oleh Windujaya, "Di mana itu, ngger ?"
.
"Dari sini kurang lebih seratus tombak, ki."
.
Dahi orang itu mengerut dan sejenak kemudian ia menggigil.
.
"Ada apa, ki ?"
.
"Jangan ke sana, ngger.Tempat itu sangat wingit, dan mungkin yang angger lihat itu bukanlah sebangsa kita " ucap tukang satang, agak gemetar.
.
Arya Dipa dan Windujaya saling berpandangan. Jelas yang mereka lihat adalah manusia biasa, seperti mereka.
.
"Mengapa kisanak bilang begitu ? Mereka jelas - jelas manusia, ki ?"
.
"Angger keliru. Sudah tiga kali orang padukuhan melihat seperti yang angger lihat. Dan mereka penasaran ingin mengetahui lebih dekat. Apa yang terjadi ?"
Tukang satang mencoba mengulur waktu untuk tamunya supaya menduga. Tetapi tamunya hanya menggeleng saja. Terpaksalah ia menjawab pertanyaan yang ia ucapkan.
.
"Mereka tidak pernah terlihat lagi. Ketiga penghuni padukuhan itu telah dibawa bangsa dedemit ke alamnya.. Hiiii.." tutur orang itu dengan diakhiri tubuhnya yang merinding.
.
"Tidak hanya itu saja, ngger. Kawanku yang juga seorang tukang satang, pernah menyaksikan dua orang yang tak terlihat wajahnya, berkelahi hingga membuat tanah pasir di seberang tak karuan jadinya." tukang satang itu kembali berkata.
.
"Apakah keduanya juga bangsa dedemit, ki ?" tanya Windujaya.
.
"Sepertinya begitu, ngger. Coba bayangkan, mana ada orang yang mampu terbang melebihi pohon waru di luar gubuk ini ? Itulah yang dilakukan oleh kedua mahkluk tak berwajah itu. Dan tidak hanya itu saja, salah seorang yang membekal cambuk, mampu melecutkan cambuknya seperti halilintar dan saat lecutannya tak berbunyi, kawanku mampu dibuatnya pingsan."
.
Arya Dipa kembali menatap Windujaya. Tanpa bersuara, keduanya saling memahami siapa yang disebut dengan mahkluk tak berwajah itu. Dalam benak Arya Dipa dan Windujaya, apa yang diucapkan oleh tukang satang itu adalah orang yang disebut dan terkenal dengan orang bercambuk.
.
Ternyata adanya warta pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta, juga memancing kedatangan orang bercambuk.Tentu kedatangan orang bercambuk itu menambah ramainya tepian kali Brantas.
.
Dan kedua pemuda itu berharap bisa berjumpa dengan orang bercambuk. Karena sedikit banyak keduanya pernah mendengar sepak terjang dari orang bercambuk itu, yaitu selalu berbuat baik menolong sesama.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 8 bagian 30
oleh : Marzuki
.
.
Malam semakin kelam. Di luar gubung, burung hantu terdengar seru dan keras saat terbang tepat melintasi atap gubuk. Pun dengan jangkrik dan serangga lainnya, ikut mewarnai gelapnya sang malam.
.
Deru air kali Brantas terdengar lebih ketara dibandingkan bila di siang hari. Aliran sungai memanjang yang membelah Bang Wetan itu, selau mengalir meskipun di musim kemarau. Dari aliran ini orang - orang yang tinggal disekitarnya, mampu menghasilkan uang bagi mereka. Yaitu, dari sumber ikannya yang melimpah ruah, lalu airnya sebagai pengairan sawah atau kebun dan juga adanya tempat - tempat penyeberangan.
.
Dalam pada itu, setelah menyuguhkan makanan dan minuman ala kadarnya, serta berbicara sesaat, tukang satang yang tidak enak badan itu mulai terlelap dengan kantuknya. Nampaknya sakitnya, benar - benar membuatnya payah. Itu terbukti dengan tubuhnya yang selalu menggeliat - geliat tak karuan.
.
"Kasian.." desis Arya Dipa.
.
Windujaya mencoba menyentuh dahi orang itu. Sejenak kemudian ia merasakan hawa hangat dengan tubuh tukang satang. Karenanya ia mengambil wadah yang terbuat dari lempung, dituang dengan air dari kendi. Selanjutnya diambilnya sepotong kain kecil dan mencelupkan ke air. Diangkat kain tersebut sambil diperas, lalu ia taruh di dahi tukang satang. Dari bumbung kecil yang ada diikat pinggangnya, sebutir pil dimasukan ke mulut oranh itu.
.
Tindakan yang dilakukan oleh Windujaya itu, membuat Arya Dipa kagum. Ternyata murid eyangnya, selain terampil dalah olah kanuragan, ia dapat berlaku cepat dalam menangani orang sakit.
.
"Kau juga mendalami ilmu pengobatan, adi ?" tanya Arya Dipa.
.
Windujaya menggeleng perlahan, "tidak, kakang. Ini hanyalah penanganan sementara saja. Sepertinya tukang satang ini memakan jenis umbi - umbian yang mengandung racun."
Penjelasan dari Windujaya itu membuat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Umbi - umbian ?"
.
Murid Begawan Jambul Kuning mengangguk. Tangannya menyibak pakaian yang menutupi perut tukang satang. Adanya bintik hitam disekitar perut, membuat Windujaya tercengang.
.
"Apa yang kau lihat, adi ?"
.
"Aneh, kakang." seru Windujaya.
.
"Aneh bagaimana, adi ?" Arya Dipa mendekat dan ikut memperhatikan perut tukang satang.
.
Bintik hitam disekitar pusar lebih dari tiga. Yang membuat heran ialah, disetiap bintik seperti ada bekas jarum kecil dan tajam.
.
"Hm... " desuh Windujaya, "Gejala racun dari umbi - umbian hanyalah sebagai pengaburan saja bagi tabib atau dukun biasa. Dan yang membahayakan adalah ini, kakang."
.
Arya Dipa tak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang tukang satang yang pekerjaannya hanya menyeberangkan orang dan benda ke seberang, mengalami seperti itu. Karenanya Arya Dipa mencoba mengingat - ingat kejadian disekitar kali Brantas dan apa yang telah dituturkan oleh tukang satang.
.
"He.... " seru Arya Dipa kemudian.
.
Sontak saja Windujaya memutar tubuhnya dan menghadap ke Arya Dipa. Dengan hati heran Windujaya bertanya.
"Ada apa, kakang ?" ucapnya, "Adakah sesuatu yang kau ingat atau pikirkan ?"
.
Kepala Arya Dipa manggut - manggut, "Aku mengerti adi, apa yang dialami oleh tukang satang ini hanyalah pancingan saja."
.
"He... Pancingan bagaiman, kakang ?" Windujaya tak mengerti.
.
Sebelum menerangkan, Arya Dipa menarik nafas dalam - dalam. Dipandangi wajah tukang satang yang semakin pucat dan bibir bergetar. Dalam hati Arya Dipa berdo'a kalau apa yang ia duga benar adanya dan semoga orang itu hadir.
.
"Adi Windujaya. Tadi sewaktu tukang satang ini berbicara, ia pernah menyinggung adanya dua hantu tanpa wajah." sejenak Arya Dipa berhenti berucap.
.
Lalu sambungnya, "Aku rasa salah satu yang dimaksud itu adalah orang bercambuk. Dan tahukah kalau orang itu juga ahli dalam ilmu pengobatan ?"
.
Windujaya menggeleng, "Kalau itu aku kurang mengerti, kakang."
.
"Yang aku dengar, dia sangat ahli dalam ilmu pengobatan dan penawar racun. Bahkan salah seorang yang pernah diselamatkan olehnya, mengatakan kalau orang bercambuk itu bisa menghidupkan orang yang sudah mati."
.
"Ah.. Bukankah itu berlebihan, kakang ?" kata Windujaya tak sepaham dengan orang yang diceritakan oleh Arya Dipa.
.
"Hehehe... Itulah manusia adi. Bila ia melihat sesuatu yang membutnya takjub, ia akan melebih - lebihkan. Tentu saja apa yang diucapkan orang itu hanyalah ungkapan senang yang lebih saja." kata Arya Dipa tenang.
"Lalu apa hubungannya dengan luka yang dialami oleh tukang satang ini, kakang ?"
.
"Kemunculan orang bercambuk disekitar kali Brantas tentu menjadi perhatian semua orang, khususnya orang - orang yang merasa dirugikan dengan kemunculannya." jawab Arya Dipa, "lalu untuk memancingnya, orang yang tidak suka itu mencoba menggunakan tukang satang ini."
.
Apa yang diduga oleh Arya Dipa itu, membuat Windujaya berdebar. Bagaimana tidak berdebar ? Alat yang dijadikan pancingan adalah seorang manusia dengan taruhan nyawa orang itu.
.
"Sungguh keji tindakan mereka, kakang." geram Windujaya, "Bila orang bercambuk itu tidak datang, nyawa orang ini akan melayang. Dan aku rasa, racun ini tidak lebih besok saat fajar saja bekerjanya."
.
Arya Dipa merenung sejenak. Sebenarnya tubuhnya kebal dengan racun, tetapi dia tidak bisa menawarkan tubuh orang lain. Maka ia mencoba akan mencari orang bercambuk disekitar kali Brantas. Semoga sebelum fajar, ia dapat berjumpa dengan orang bercambuk itu.
.
"Adi, kau tunggulah di sini. Aku akan mencoba mencari orang bercambuk disekitar sini." kata Arya Dipa, "Aku rasa ia pun masih disekitar kali ini. Kau berhati - hatilah di sini."
.
"Baik kakang. Aku mengerti dengan maksud kakang."
.
Tak berselang lama, derit pintu terdengar disusul tubuh Arya Dipa melesat ke dalam gelapnya malam. Dalam hati pemuda itu berketetapan harus menemui orang bercambuk. Semak - semak ia lewati seraya mempertajam panggraitanya. Pandulu, Pangrungu, Pangrasa dia terapkan demi hasil yang lebih baik bagi keselamatan tukang satang.
.
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Arya Dipa saat keluar dari gubuk, tak jauh dari gubuk bersembunyi beberapa orang dibawah lindungan pohon ketapang. Orang paling depan nampak menyeringai.
.
"Sebentar lagi semua jalan akan lapang. Sekali tepuk, tiga lalat kita dapatkan." desis orang itu.
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar