Senin, 16 Januari 2017

Panasnya Langit Demak jilid 7

Panasnya Langit Demak jilid 7


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 1
OLEH : MARZUKI
.
..
Perkelahian di balik rumpun bambu semakin seru dan sengit. Terutama antara ki Ajar Bajalpati dan Raden Arya Singasari, dua orang ini dalam setiap gempurannya sudah melambari tenaga cadangan yang mendebarkan. Yaitu terlihat samar - samar adanya warna semburat merah melingkupi tubuh ki Ajar Bajulpati. Sedangkan pada diri Raden Arya Singasari sekilas terlihat adanya kabut tipis selalu mengitari dan mengikuti setiap serangannya.
.
Suatu kali tangan ki Ajar Bajulpati meluncur menerpa dada bidang lawannya, walau bukan berbentuk pukulan namun jika punggung tangan itu dapat mengenai sebuah benda, niscaya benda itu akan leleh. Itu semua dikarenakan akibat lambaran dari aji Brajamusti.
.
Akan tetapi bangsawan lawannya juga bukan sembarang manusia. Bangsawan ini selain seorang Nayaka Praja dari kadipaten bang wetan, ia juga seorang yang putus dalam ilmu jaya kawijayan. Itu terbukti dengan adanya kabut yang menyeruak dari badannya dan menjadi penghalang bagi terpaan ki Ajar Bajulpati.
.
"Ceess... wuss.. " terdengar suara api yang terkena embun dan buyar seketika.
.
"Hm.. Braja Bayu milik orang ini mampu mengimbangi Barajamusti'ku.. " desis ki Ajar Bajulpati.
.
Tata gerak keduanya semakin rumit dan aneh. Pertemuan dua jalur ilmu kanuragan berbeda dasar, seakan - akan berlomba saling mengungguli satu dengan yang lainnya. Tak hanya saling adu lambaran aji semata, kadang kala keduanya mengadu kegesitan dan kepiawaian dalam menentukan langkah untuk mengecoh lawan.

Ketika sebuah tendangan mengarah lambung dan lawan berusaha menangkis, secepat kilat serangan itu ditarik yang kemudian berganti pukulan dengan pelipis sebagai titik serangan. Ketajaman mata si empunya pelipis menyadari jikalau pelipisnya dalam bahaya, tentu tak tinggal diam membiarkan pelipisnya remuk, oleh karenanya dengan sedikit melengos menghindari serangan lawan, seraya melakukan sapuan tangan ke leher musuh.
.
"Huh.. " desuh Raden Arya Singasari, sembari beringsut jauh ke belakang yang kemudian meloncat tinggi berusaha menyergap lawan.
.
Sergapan ini merupakan salah satu ilmu yang disebut Nágábándhá, sebuah ilmu penguncian untuk menghentikan langkah lawan. Sekali lawan terkena ilmu ini, maka tubuh lawan bagai dililit seekor naga.
.
"Cukup sampai disini pergerakanmu, orang tua !" seru raden Singasari.
.
Sergapan bangsawan itu begitu erat dan mencekam tubuh ki Ajar Bajulpati. Meskipun tubuh orang tua itu terlapisi lambaran aji Brajamusti, tiada akibat yang melukai Raden Singasari yang telah melambari tubuhnya dengan aji Braja Bayu. Maka terlihatlah tubuh meronta dari ki Ajar Bajulpati dan disisi yang lain adanya usaha untuk menahan rontaan daripada orang tua timur alas Baluran tersebut.
.
Adu kekuatan-lah yang kemudian terjadi antara kedua orang yang sudah kenyang dengan dunia kanuragan itu. Saling mengoyak dan saling mengerat tenaga terus berlanjut, hingga suatu kali tubuh ki Ajar Bajulpati terasa licin dirasa oleh tangan Raden Singasari.
.
"Uh.. " Desuh Raden bang wetan itu, "Aji Welut putih."
.
Sementara itu tak kalah serunya dirasakan dikedua kalangan lainnya. Empat orang yang bercadar kini sudah terlihat wajah - wajah mereka. Ini dikarenakan keberhasilan ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa, dalam setiap langkah serangnya selalu berusaha menyibak cadar para lawan - lawannya.

"Kau, ki Panji !" seru ki Lurah Arya Dipa, mengenali salah seorang diantara lawannya.
.
"Hm.. Kau masih ingat denganku, anak muda ?" tanya orang yang disebut seorang Panji.
.
"Masih segar dalam ingatanku saat tuan berusaha membunuh ki Lurah Lembu Sora di gumuk luar gapura kotaraja." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Bagus anak muda, ingatanmu masih bekerja dengan baik. Tapi kali ini aku akan membayar kekeliruanku kala itu, yang mengira kau musnah ditelan dahsyatnya aji Prahara Geni." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
"O jadi orang ini yang kakang ceritakan itu ?" tanya seorang yang berada di samping ki Panji Menak Sengguruh.
.
Ki Lurah Arya Dipa memperhatikan orang yang bertanya itu, namun ia tak mengenalnya sama sekali.
.
"Benar adi Rawes, berhati - hatilah."
.
Demi mengetahui lawan - lawannya orang yang membahayakan, ki Lurah Arya Dipa selalu waspada dan menyiapkan aji Niscala Praba untuk melindungi tubuhnya. Apalagi lawannya ialah ki Panji Menak Sengguruh, yang ia tahu memiliki aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung api yang tercipta dari ilmunya merupakan serangan jarak jauh mematikan. Dan satu lagi ialah lawan satunya tentu juga memiliki ilmu yang nggegirisi.
.
Debar jantung pemuda itu berdetak semakin kencang, manakala lawannya mulai melancarkan serangan secara serempak. Sisi kanan yaitu ki Panji Menak Sengguruh menyerang dengan sebuah pukulan. Di sisi kiri ki Rangga Rawes, yang berbadan pendek tetapi gempal dengan gesit melakukan dua pukulan sekaligus. Inilah kerjasama yang ditunjukan oleh dua Nayaka Praja dari bang wetan untuk melahap mangsanya.

Serangan kedua lawan itu segera ditanggapi oleh ki Lurah Arya Dipa. Pertama segera pemuda itu menekan debar jantungnya supaya tetap tenang dalam menentukan langkah selanjutnya. Karena ketenangan jiwa dan pikiran merupakan kunci utama untuk menentukan langkah - langkah yang baik dalam setiap tindakan. Sehingga dalam setiap langkah itu tak ternodai oleh sesuatu yang merugikan jiwa orang itu sendiri. Bisa dibayangkan saat orang mengalami kesusahan dan berpikir secara grusa - grusu, tentu hasilnya jauh dari kata memuaskan. Bahkan malah menjadi lebih parah dari sebelumnya.
.
Oleh karenanya disetiap masalah yang dihadapi saat ini, putra angkat dari ki Panji Mahesa Anabrang mencoba menekan debar jantungnya, dan menghadapi serangan lawan dengan tenang. Pukulan ki Panji Menak Sengguruh dihindari dengan mengisar langkah ke kiri, yang kemudian membuka telapak tangan untuk menangkis serta menangkap pukulan tangan kiri ki Rangga Rawes dan menyiak serangan berikutnya.
.
"Krek.. " bunyi tangan ki Rangga Rawes dalam genggaman tangan kanan ki Lurah Arya Dipa. Yang kemudian berusaha dipelintir ke belakang. Tetapi si empunya tangan yang awalnya melemaskan tangan, tiba - tiba menyentakan dengan tenaga kuat, maka lepaslah tangan itu.
.
"Hebat... " puji ki Lurah Arya Dipa, sembari meloncat menjauhi serangan dari ki Panji Menak Sengguruh.
.
Keadaan semakin seru dan sengit mengiringi setiap adu tenaga dan ilmu antara ki Lurah Arya Dipa yang dikeroyok oleh dua orang yang sangat tinggi ilmunya. Kerjasama yang apik sangat - sangat membuat Lurah muda dari Demak, agak tertekan. Hanya ketenangan dan keuletannya saja yang masih membuatnya mampu bertahan sampai sejauh ini.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 2
OLEH : MARZUKI
.
..
Sama hal-nya keadaan yang dialami oleh ki Ageng Gajah Sora, dua musuhnya juga sangat menakutkan dalam setiap tandangnya. Setiap gerakan tangan atau kakinya mengandung hawa kematian. Bahkan kain panjang keduanya bila mengenai kulit membuat rasa nyeri sampai ke tulang.
.
Apa sebenarnya maksud daripada orang - orang itu ? Yang dengan mati - matian berusaha melenyapkan ki Ageng Gajah Sora ?.
.
Pertanyaan itulah yang membuat hati dan pikiran ki Buyut Banyubiru itu menemui jalan buntu. Oleh karenanya kesempatan itu ia gunakan untuk melontarkan pertanyaan kepada lawan - lawannya.
.
"Kisanak, apa yang kalian inginkan dari ku ?" tanya ki Ageng Gajah Sora seraya mengimbangi gerak lawan.
.
"Hm.. " geram salah seorang, yang mempunyai hidung bagai paruh burung kakak tua, "Nyawamu, Buyut !"
.
Walau sudah menduga dengan jawaban lawannya, tetap saja hati ki Ageng Gajah Sora berdesir, "Lalu apa untungnya setelah aku mati ?"
.
"Hahaha... Kau kira kami akan terpancing dengan kata - katamu itu, Buyut bodoh !" kali ini orang satunya.
.
"He.. Galih Lumintang, jangan kau kurang tata terhadap seorang Buyut !" seru orang berhidung mancung.
.
Orang yang disebut Galih Lumintang itu, tertawa sinis seraya mengejek, "Itu dulu, Kuda Krida. Sekarang ia hanyalah seorang tawanan Demak saja."

Panas terasa menyengat telinga ki Ageng Gajah Sora, mendengar ejekan dari Galih Lumintang. Kemarahan Buyut Banyubiru bagai gunung Merbabu yang tak kuat menahan limpahan lahar dari inti bumi. Begitu cepat geraknya dalam melakukan serangan, hingga Galih Lumintag kaget bukan kepalang. Pundak Galih Lumintang dapat diterkam erat, lalu tubuh orang itu diangkat dan diputar demikin cepatnya.
.
"Mati aku... !" batin Galih Lumintang.
.
Melihat kawannya dalam bahaya, Kuda Krida berniat menyelamatkan kawannya. Tetapi baru melangkah satu tindak, serangkum angin mengarah kepadanya.
.
"Oh.. " desuh Kuda Krida sambil menyambut serangkum angin yang berasal dari hempasan tubuh Galih Lumintang.
.
Walau agak keteteran untung saja Kuda Krida mampu menahan tubuh Galih Lumintang. Dan segera siap menanti sergapan lawan selanjutnya.
.
"Licik kau Gajah Sora !" seru Galih Lumintang, ketika kakinya sudah menginjak tanah.
.
"Tahu apa kau dengan kata licik, kisanak ?!" seru ki Ageng Gajah Sora yang kembali menyerang.
.
Hanya dengusan yang terdengar dari Galih Lumintang. Orang itu memerhatikan kawannya yang sedang meladeni serangan laksana badai dari ki Buyut Banyubiru. Rasa kagum sempat menusuk hati Galih Lumintag, tetapi secepatnya rasa itu ia singkirkan dan berganti rasa dengki serta ingin membuat lawan Kuda Krida menyesali tindakannya.
.
Majulah dia ikut mengeroyok seorang yang harus mati di malam itu juga. Bila Buyut itu mati, maka kerjasama kelompoknya dengan telatah Banyubiru akan menguntungkan di masa yang akan datang. Dan ia akan menerima ganjaran berupa uang atau bahkan kedudukan dari junjungannya. Oleh karenanya Galih Lumintang sangat bernafsu dalam melancarkan setiap serangannya. Begitu juga dengan Kuda Krida yang tak mau kalah dengan kawannya.

Peluh sudah membasahi tubuh mereka yang bertempur, sampai - sampai merembes ke pakaian mereka. Namun memang orang - orang itu lain dari orang pada umumnya. Tenaga mereka sungguh mengagumkan. Sepasang kaki mereka mampu membuat tanah bagai terbajak. Sepasang tangan mereka bisa meremukan batu ataupun membuat batang pohon berukuran sedang, terpapas.
.
Sudah sekian lama perkelahian itu belum ada ujungnya. Keuletan dan ketangguhan ki Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora masih mampu melayani lawan - lawannya. Sama halnya dengan ki Ajar Bajulpati, meskipun wadagnya lebih tua dari lawannya, orang tua itu masih bisa berloncatan dengan begitu gampangnya.
.
Gelapnya malam semakin kelam manakala di langit, segumpal awan tebal beriring - iring memayungi hutan bambu itu. Air yang terkandung di awan dengan rintik - rintik mulai turun. Tetapi perkelahian masih berlanjut dengan sengitnya. Malah air gerimis itu membuat tubuh mereka kembali segar.
.
"Huh.. Sudah sekian lama, apa yang diperbut oleh Galih Lumintang dan Kuda Krida ? Hanya menghadapi seorang saja, sampai sebegitu lamanya ?" batin Raden Singasari, "Juga dengan Panji Menak Sengguruh, padahal Rangga Rawes membantunya."
.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Raden ?" tanya ki Ajar Bajulpati.
.
"He, ki Ajar. Mengapa kau berlainan dengan murid - muridmu dalam menyikapi tekad Panembahan Bhre Wiraraja ?" Raden Singasari malah balik bertanya.
.
"Hm... Aku ya aku, sedangkan muridku ya muridku. Juga tak semua muridku ikut - ikutan dengan junjunganmu itu." jawab ki Ajar Bajulpati.

"Apa kau tak takut jika padepokan yang kau tinggalkan itu akan karang abang ?!" ancam Raden Singasari.
.
Tiada terlihat rasa cemas di raut wajah orang tua pendiri padepokan Bajulpati, ketenangannya dalam menyikapi kejadian yang dialami sungguh mengagumkan.
.
"Hohoho.. Padepokan itu sudah tak ada sangkut pautnya denganku, Raden. Aku sudah menyerahkan padepokan itu kepada murid termudaku, Raganata. Dan bila kau berusaha mengusik padepokan itu, kau akan berurusan dengan kadipaten Puger dan Blambangan."
.
"Omong kosong !"
.
"Coba saja jika kau penasaran." tantang ki Ajar Bajulpati, "Raganata itu kemenakan Adipati Blambangan dan calon menantu Adipati Puger."
.
Sejenak hati Raden Singasari tercekat, tapi ia malu untuk mengunjukan di wajahnya. Yang ada ialah semakin gencarnya serangannya. Namun kali ini ada yang berbeda dari tubuh bangsawan dari bang wetan itu.
.
"Hm.. Kakang Pambarep Adi Wuragil.." desis ki Ajar Bajulpati.
.
Semakin nyatalah perkelahian antara dua orang itu. Semakin lama ilmu simpanan keluar satu demi satu. Raden Singasari yang sudah melambari aji Braja Bayu, pernah mengeluarkan aji Nágábándhá dan kini aji yang nggegirisi, yaitu aji Kakang Pambarep adi Wiragil.
.
Sementara orang tua dari alas Baluran itu tak mau kalah. Aji Brajamusti yang melambari setiap gerakannya, juga telah mengungkap aji Welut putih, dan kini orang itu juga mengejutkan lawannya.
.
"He.. " kejut salah satu tubuh Raden Singasari.
.
"Mengapa kau begitu pucatnya, Raden ?" kata ki Ajar Bajulpati, yang tak terlihat wujudnya.

"Pengecut kau orang tua ! Ilmumu itu hanya cocok disandangkan bagi seorang maling kampungan !"
.
"Hahaha... Terserah kau berkata Raden, yang penting aku tak berbuat hal serendah itu dengan ilmuku ini." sahut suara ki Ajar Bajulpati.
.
Ketiga tubuh Raden Singasari terlihat bingung menentukan arah sumber suara lawannya. Suara lawan seolah - olah terdengar disegala penjuru.
.
"Keluar kau !" teriak salah satu tubuh Raden Singasari.
.
"Hm.. Baik jika itu mau mu.. " sahut suara ki Ajar Bajulpati.
.
Sejenak kemudian sesosok tubuh dengan cepat bagai mengudara dari langit, menerjang salah satu dari tubuh Raden Singasari.
.
"Dess.. ! Bukk.. "
.
Tubuh seorang Raden Singasari mencelat jauh mengenai rimbunnya batang bambu.
.
"Byaar.. Cess.. !" tubuh itu terbakar dan kemudian lenyap.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 3
OLEH : MARZUKI
.
..
Sekali lagi tubuh ki Ajar Bajulpati lenyap dan muncul secara tiba - tiba di dekat tubuh Raden Singasari lainnya. Kejadian mengerikan kembali terulang dengan tubuh Raden Singasari itu. Saat kepalan tangan ki Ajar Bajulpati mendarat di dada bangsawan itu, tubuh itu terbakar dan lenyap.
.
"Kini tinggal kau dan aku lagi, Raden !" seru ki Ajar Bajulpati.
.
"Kau salah, orang tua. Lihatlah di belakangmu !"
.
Segera ki Ajar Bajulputih menengok ke belakang. Bersamaan dengan diri orang tua itu menoleh, kesiur angin dari sebuah pukulan mengarah dadanya. Dengan gerak naluriah orang tua itu mengisar kakinya untuk menghindari pukulan dari sosok yang mirip daripada Raden Singasari. Walau ki Ajar Bajulpati sempat menghindar, tiada sepenuhnya berhasil, malah pundaknya kini yang menjadi bulanan pukulan tangan sosok kembaran Raden Singasari.
.
"Dess.. "
.
Tubuh orang tua itu bagai layang - layang putus dari benangnya. Mencelat jauh dan hampir jatuh dibibir jurang. Bergegas orang dari timur alas Baluran itu bangkit seraya menyeka darah yang merembes dari bibirnya. Dan tak lama kemudian tubuhnya raib tak nampak oleh mata wadag.
.
"Kurang ajar, orang itu hilang kembali !" gerutu Raden Singasari.
.
Sementara itu di sisi selatan ki Panji Menak Sengguruh mulai mengeluarkan aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung bola api menghujam tubuh Ki Lurah Arya Dipa. Begitu juga dengan ki Rangga Rawes, ilmu Tapak Dahana menyeruak dari telapak tangannya.
.
"Dess.. Dess.. Dess.. !"
.
Dua gelembung Prahara Geni dan pukulan Tapak Dahana mendarat di tubuh Lurah muda Demak itu. Untunglah sebelumnya aji Niscala Praba sudah melindungi diri pemuda itu. Sehingga ki Lurah Arya Dipa mampu menahan semua gempuran tenaga dahsyat dari kedua orang itu.

"Edan.. !" maki ki Rangga Rawes sembari meloncat menjauh dari lawannya, "Ilmuku membal. Cahaya apa kuning kemilau yang menyelimuti pemuda itu ?"
.
"Hati - hati, adi Rawes. Pemuda ini sangat sakti." seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Keduannya kembali memusatkan nalar dan budinya untuk melontarkan ilmu masing - masing. Di depan pun ki Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Kuda - kuda yang mantab dan kokoh, lalu kemudian aji Niscala Praba masih terus menyelimuti pemuda itu, dan kini aji Sepi Angin siap ia lontarkan.
.
"Buuummmmm... !!!!"
.
Tanah bagai dilanda gempa dan terdengar ledakan yang memekakan telinga bagi siapapun yang mendengarkan. Air hujan seakan - akan buyar bersamaan dengan muncratnya rumput, tanah, dan bebatuan kecil. Dimana tempat berdirinya ki Lurah Arya Dipa, tak terlihat karena terhalang oleh bekas ledakan itu.
.
Ki Panji Menak Sengguruh sudah tak berada di tempatnya juga. Tubuhnya mencelat dua tombak dan terlihat payah. Dari mulutnya merembes darah segar dan dadanya selalu ditekan. Sama juga dengan ki Rangga Rawes, saat pertemuan tenaga itu dan terjadi ledakan yang dahsyat, tenaganya terasa membalik ke arahnya dan membuat isi dalam dadanya nyeri sekali. Darah segar pun terlihat membasahi bibirnya. Kedua orang itu segera duduk memusatkan nalar dan budi untuk mengendalikan pernafasan dan meredakan rasa sakit dalam dada mereka.
.
Bekas tempat ki Lurah Arya Dipa berdiri kini tinggalah lubang besar, tiada wujud anak muda itu secuil pun. Sehingga ki Ageng Gajah Sora dan ki Ajar Bajulpati yang sempat memerhatikan adu tenaga tadi, terlihat cemas dangan keadaan ki Lurah Arya Dipa.
.
"Ah.. Hancurkah anak muda tadi ?" batin ki Ageng Gajah Sora.

"Sekarang kau akan menyusul juga, ki Buyut !" seru Kuda Krida sambil menjulurkan pedang yang sudah ada ditangannya.
.
Hampir saja pedang itu memengal kepala ki Buyut Banyubiru, andai tak segera merendahkan tubuhnya. Namun lawannya tak tinggal diam, ditariknya pedangnya dan mengayun ke bawah. Untung saja ki Ageng Gajah Sora cepat bertindak dengan melentingkan tubuhnya ke belakang agak jauh. Tetapi lawan yang lainnya sudah memperhitungkan langkah selanjutnya daripada Orang Banyubiru itu. Tangan kuat dari Galih Lumintang langsung menumbuk punggung anak ki Ageng Sora Dipayana.
.
"Duukk... !"
.
Rasa nyeri menjalar punggung ki Ageng Gajah Sora, akibat jotosan dari Galih Lumintang. Tak sempat orang itu untuk mengeluh, karena lawan satunya sudah siap mengancam nyawanya dengan sebilah pedang tajam. Sekali ia lengah maka matahari indah di esok hari, tentu tak akan ia lihat kembali. Dengan menggelindingkan tubuhnya ki Ageng Gajah Sora menghindari terjangan tajamnya pedang, lalu setelah dirasa aman bergegas ia melenting berdiri dan waspada.
.
"Nafasku hampir putus.. " keluh ki Ageng Gajah Sora.
.
Mendadak Galih Lumintang sudah meloncat tinggi dan Kuda krida juga merangsek mengayun - ayunkan pedangnya. Walau nafas sudah saling berkejaran, ki Ageng Gajah Sora siap menanti serangan dua lawannya. Pertama dengan kedua tangan menyilang, ia tahan gempuran dari Galih Lumintang. Selanjutnya setelah berhasil mengatasi gempuran lawan, dengan gerak ringan badan ki Ageng Gajah Sora melenggak demi menghidari tusukan pedang Kuda Krida, lalu dengan kerasnya memukul pergelangan tangan dan satu lagi memukul dada lawannya.
.
"Heegg.. " dada Kuda Krida bagai tersodok batang besi dan tangannya terasa nyeri terkena tebasan alu, sehingga pedangnya jatuh ke tanah. Tetapi orang ini tak ingin dirinya sendiri yang menderita. Sambil membungkukan badan, ia sundul lambung lawan dengan kerasnya.

Ki Ageng Gajah Sora hampir saja terjatuh. Namun secepatnya ia mengokohkan kakinya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
.
Debar jantung masih berdetak kencang bila menyaksikan apa yang terjadi kemudian. Dimana tangan kanan Galih Lumintang sudah tergenggam sebuah nanggala dan dengan gerakan cepat mengarah tengkuk ki Ageng Gajah Sora.
.
Meskipun terasa kesiur angin menerpa tengkuknya, ki Ageng Gajah Sora tak sempat untuk menghindar atau pun menangkis. Jantungnya bagai tercekat berhenti berdetak, menanti ajal yang akan datang kepadanya.
.
"Oh.. Inikah ajalku ?" batinnya.
.
Saat itulah sebuah bayangan sudah dekat dengan tubuh ki Ageng Gajah Sora. Sebuah pedang tipis tepat menempel ditengkuk ki Buyut Banyubiru.
.
"Tring.. Bukk.. Bukk.. "
.
Pertama bunyi bertemunya nanggala dan pinggang daun pedang, lalu disusul dua tumbukan mendarat di tubub Galih Lumintang hingga membuat orang itu mencelat.
.
"Ki Ageng tak apa - apa ?" tanya orang itu, cemas.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 4
OLEH : MARZUKI
.
..
"Oh.. A.. anakmas, kau kah ini ?!" ucap ki Ageng Gajah Sora sambil mengguncang tubuh ki Lurah Arya Dipa tanpa membalas pertanyaan Lurah muda itu.
.
Lurah muda itu tersenyum dengan tindakan ki Ageng Gajah Sora, "Yang Maha Agung masih bermurah hati melindungiku, ki Buyut."
.
Gerimis masih turun membasahi hutan bambu itu. Bahkan semakin lama bertambah deras. Tak jauh dari hutan itu terdengar suara air mengalir dengan derasnya, mungkin malah dikatakan banjir. Memang hutan bambu itu berdekatan dengan anak sungai yang berada di bawah tebing curam.
.
"Bersiaplah, ki Buyut. Sepertinya mereka akan melanjutkan tindakan mereka." kata ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Iya anakmas, begitu juga dengan lawanmu itu." sahut ki Ageng Gajah Sora, mengarahkan pandangannya ke arah ki Panji Menak Sengguruh dan ki Rangga Rawes.
.
"Maaf, ki Ageng. Aku akan melawan dua orang lawanku yang sebelumnya. Semoga ki Ageng tak segan - segan untuk memberi pelajaran kepada ki Ageng."
.
"Hahaha.. Pergilah, anakmas. Aku akan berusaha mengatasi dua orang ini." kata ki Ageng Gajah Sora, sambil memandang kepergian anak muda yang umurnya lima tahun lebih tua dari anaknya.
.
"Murid siapa dia sebenarnya ? Tak ku sangka ia semuda itu mampu melawan aji - aji yang mendebarkan." sambung putra ki Ageng Sora Dipayana.

Kepala tanah perdikan Banyubiru itu harus menghentikan rasa kagumnya kepada pemuda yang dua kali menyelamatkan nyawanya. Karena lawannya, Kuda Krida dan Galih Lumintang sudah bergerak. Kembalilah perkelahian itu terulang dengan serunya.
.
Sementara ki Lurah Arya Dipa bersungguh - sungguh menangani lawannya. Pedang kyai Jatayu tergenggam erat di tangan kanan. Mata tajam setajam burung garuda. Selapis warna kuning kemilau selalu melindungi tubuh perwira muda itu. Sebuah sikap dan tata gerak yang membuat lawan terkesima.
.
Ki Rangga Rawes mengeraskan hatinya, agar lepas dari pengaruh perbawa dari lawannya, sambil berucap perlahan,."Dia hanya anak - anak yang baru belajar berloncatan."
.
Dari balik kain pakaiannya tersembul keris panjang luk sebelas. Pusaka andalannya yang ia warisi dari gurunya di telatah pulau selatan. Keris kyai Sisik Jangkung.
.
Sedangkan di tangan ki Panji Menak Sengguruh, Tergenggam senjata berwujud pedang, pedang lengkung dengan ujung berkait. Sekali pedang itu menghujam daging, apabila ditarik tentu akan menimbulkan luka mengerikan, daging robek dan sangat menyakitkan.
.
Walau terlihat dalam kewadahan rasa tatag dan jauh dari rasa gentar, kenyataannya dalam hati kecil seorang Lurah Arya Dipa sungguh miris. Mengapa seorang bernama manusia masih menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan setiap masalah ?
.
Tapi itulah yang terjadi sejak manusia terlahir dan kehidupan selanjutnya. Kekerasan dengan mengucurkan darah sesama tak terhenti. Sudah terukir dengan jelas di rontal - rontal, kitab - kitab kuno, kakawin dan sejenisnya bagaimana kejadian itu terus berlangsung.
.
"Hiatt.. !" teriak ki Rangga Rawes, seraya mengayunkan keris panjangnya.
.
"Tring.. Tring.. Tring.. "

Suara beradunya logam pilihan mulai terdengar bersamaan berpercikan api dari dua batang besi pilihan. Ilmu senjata keduanya sangat mengagumkan dengan bermacam corak dan kembangan.
Apalagi saat ki Panji Menak Sengguruh memasuki perkelahian, perkelahian itu semakin seru dan sengit. Pedang berkait milik Panji dari bang wetan itu sungguh ngedab - ngedabi. Sekali pedang itu menusuk saat ditarik, pedang itu berusaha mengait senjata lawan atau tubuh lawan.
.
"Mati Riko !" teriak ki Panji Menak Sengguruh dengan logat Blambangan.
.
Pedang berkait itu menebas tangan ki Lurah Arya Dipa, saat pemuda itu masih menahan serangan ki Rangga Rawes. Demi menghindari tebasan pedang berkait, terpaksa ki Lurah Arya Dipa melepas pedang kyai Jatayu. Dan pedang itu jatuh, tetapi secepat kilat kaki pemuda itu menendang tangkai pedangnya dan dengan meloncat tinggi, pedang kyai Jatayu telah kembali dalam genggaman.
.
"Hebat benar kau, anak muda !" puji ki Rangga Rawes yang sudah melakukan serangan ganda.
.
"Tring.. Tring.. Dess.. Dess..!"
.
Dua kali tajamnya keris panjang dan dua kali tendangan dan pukulan dari ki Rangga Rawes, berhasil dimentahkan. Selanjutnya kedua orang dari bang wetan itu terus merangsek menghalau ki Lurah Arya Dipa. Beradunya tajam senjata disertai pukulan atau pun tendangan semakin sering terlihat.
.
Tak jauh, ki Ageng Gajah Sora berusaha meladeni kedua lawannya. Kedua lawannya dengan mati - matian terus malakukan serangan mematikan dan bahkan disebut buas. Tata gerak Kuda Krida dan Galih Lumintang terlihat kasar dengan umpatan - umpatan kasar.
.
"Apa kedua orang ini seorang perampok atau berandal ?" batin ki Ageng Gajah Sora sembari menghindari sergapan senjata Kuda Krida.
.
"Wuts.. "

Sembari menghindar tadi, ki Ageng Gajah Sora berhasil melontarkan pedang lawan dengan menggunakan kain panjangnya. Meskipun begitu ia pun harus membayar dengan tumbukan kepalan tangan Galih Lumintang tepat di pinggangnya. Tak sempat ki Buyut itu untuk mengeluh demi melihat lawan satunya lagi akan menendang tubuhnya. Kain panjangnya segera ia kibaskan dan melilit kaki Kuda Krida. Disentaklah kain itu dengan kerasnya.
.
"Heeg.. Duk.. Duk.."
.
Tubuh Kuda Krida terjengkang dan rubuh. Tak hanya itu saja, punggungnya juga terkena sabetan kain panjang ki Ageng Gajah Sora.
.
Mengetahui kawannya dihajar babak belur, Galih Lumintang yang sudah menerapkan aji Hasta Wesi langsung menumbuk putra ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi ki Ageng Gajah Sora tak lengah atas lawannya itu. Kakinya bergegas mengisar ke samping seraya melintangkan kain panjangnya dan segera melilitkan ke tangan itu.
.
Terjadilah adu tenaga dari dua orang itu, yang kini tiada yang mengganggu. Dikarenakan Kuda Krida tak mampu bergetak akibat dari sentuhan kain panjang ki Ageng Gajah Sora yang mengenai titik simpul.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 5
OLEH : MARZUKI
.
..
Dirasa dirinya tak kuat untuk mempertahankan pijakannya atau pun melepas lilitan kain panjang milik ki Ageng Gajah Sora, terpaksa Galih Lumintang mengendorkan tenaganya. Sudah bisa dibayangkan tubuh itu terseret tenaga tarikan dari lawan dengan kencangnya. Dan ini memang diharapkan oleh Galih Lumintang untuk melakukan rencananya. Yaitu sekali kaki tak lagi menginjak tanah, serta tubuh melayang ke depan akibat tarikan tenaga lawan, kecepatan pikiran menggerakan kakinya lurus menggejik dada ki Ageng Gajah Sora.
.
Adanya serangan kaki dari Galih Lumintang tak membuat gugup ki Ageng Gajah Sora. Kedua tangan yang masih memegang kain panjang, ia gerakan memutar kain panjang itu. Akibat yang ditimbulkan semakin membuat lilitan tak hanya di tangan Galih Lumintang saja, malah ke tubuh orang itu. Sembari beringsut di hentakan kain itu sedemikian kuatnya.
.
"Hegg.. Blukk.. "
.
Tubuh Galih Lumintang terbanting ke tanah. Sebelum orang itu menyadari keadaan, secepat kilat ki Ageng Gajah Sora meloncat dan menyentuh simpul di tubuh orang itu.
.
"He lepaskan sentuhanmu dan kita lanjutkan perkelahian kita sampai kematian mengakhiri sapah satu dari kita.. !" seru Galih Lumintang penuh kegeraman dan mata memerah.
.
"Istirahatlah, kisanak." sahut ki Ageng Gajah Sora, singkat.
.
Kemudian ki Buyut Banyubiru itu memperhatikan lingkungan disekitar tempat itu. Hujan sudah reda, tinggalah perkelahian yang masih berlangsung dengan serunya. Manakala ki Ageng Gajah Sora memandang ke sisi selatan, tatapannya tertumbuk dengan pandangan salah satu sosok dari Raden Singasari.
.
"Kedalaman ilmu dari orang itu, sungguh mendebarkan." batin ki Ageng Gajah Sora, dengan menyiagakan diri jikalau sesuatu terjadi.
.
Di sisi selatan perkelahian terlihat aneh. Dikatakan aneh karena munculnya dua sosok Raden Singasari yang menghadapi sosok timbul tenggelam ki Ajar Bajulpati. Kadangkala diselingi beradunya tenaga dahsyat aji Braja Bayu dan Brajamusti. Juga adanya pergumulan adu kekuatan aji Nágábándhá yang dapat dimentahkan licinnya aji Welut putih.

Sementara tak jauh dari situ, beradunya senjata berdenting keras disertai pecikan bunga api. Darah dari luka sudah mulai ikut berbicara dari salah satu dari mereka. Ki Rangga Rawes mengumpat ketika ia merasakan pedang tipis lawan meliuk dan menggores pundaknya. Senjata pedang tipis itu sangat luwes ditangan lawannya yang masih berusia dua puluhan tahun. Ini yang membuat dirinya tak mengakui kekalahannya.
.
Untuk itu ki Rangga Rawes dengan meng-eratkan pegangan keris panjangnya, yang kemudian menebas dengan sepenuh tenaga.
.
"Tak.. !"
.
"He.. " kejut perwira bang wetan itu.
.
Di ulangi serangannya untuk meyakinkan apa yang ia lihat benarkah terjadi.
.
"Tuk.. "
.
Kerisnya bagai mengenai lapisan besi gligen. Tak mampu menembus sejarak seruas tubuh lawan, yang berwarna kuning kemilau. Dirinya tak sempat untuk melanjutkan keheranannya, karena pedang tipis lawan kembali menggores lengan tangan kanannya. Seketika ki Rangga Rawes meloncat surut menjaga jarak. Senjatanya sudah lepas dari tangannya tergantikan rasa pedih dilengannya, terkena goresan pedang Jatayu.
.
"Jangkrik.. Demit cilik.. " makinya dengan kasar.
.
Ki Lurah Arya Dipa tak menghiraukan umpatan dari lawannya itu, karena ia harus menyambuti pedang berkait dari ki Panji Menak Sengguruh. Mata pedang dengan ujung berkait itu sungguh mendebarkan. Apalagi ilmu yang diterapkan juga penuh ancaman terhadap keselamatan nyawa.
.
Tak hanya itu saja, sembari menyerang menggunakan senjata, ki Panji Menak Sengguruh juga menerapkan aji Prahara Geni. Gelembung - gelembung kecil itu berusaha memecah perhatian dari ki Lurah Arya Dipa. Andai saja Lurah muda itu tak mempunyai aji Niscala Praba, tubuhnya akan leleh terkena gelembung Prahara Geni.
.
Tandang ki Panji Menak Sengguruh semakin cepat. Aji Prahara Geni yang dirasa tak menemui hasil, segera ia pusatkan ke senjatanya untuk menambah gedor tenaganya. Selapis semburat merah menghiasi daun pedangnya, yang kemudian ia ayunkan dengan kerasnya ke tubuh lawan.
.
"Traaaang.... !"

Bunyi keras disertai percikan bunga api sekaligus mencelatnya tubuh ki Lurah Arya Dipa. Aji Niscala Praba tergetar hebat hingga membuat sang pemiliknya merasakan rasa nyeri yang sangat.
.
Di depan ki Panji Menak Sengguruh menganggukan kepala dan tatapan tajam ke depan. Pedang ia tancapkan ke tanah, kemudia dengan sikap sempurna ia memusatkan nalar dan budinya. Segelombang hawa panas tiba - tiba terlihat dari segenap penjuru dan berkumpul di depan ki Panji Menak Sengguruh. Gelompak itu semakin membesar membentuk pusaran badai api setinggi pohon kelapa.
.
"Hiaat... !" seru ki Panji Menak Sengguruh seraya melepas pusaran badai api ke depan.
.
Di depan sebenarnya ki Lurah Arya Dipa sudah siap melepas aji Sepi Angin. Tapi betapa kagetnya ketika ia melihat bayangan ki Ageng Gajah Sora berusaha menggempur pusaran itu dengan aji Lebur Saketi.
.
"Wuts.. Byaaar.. "
.
Aji Lebur Saketi tak mampu menahan gempuran aji Prahara Geni tingkat tinggi itu. Tubuh ki Ageng Gajah Sora terhempas jauh bagai layang - layang putus.
.
"Ki Ageng.... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar dan menangkap tubuh itu.
.
Berhasil diri pemuda itu menangkap tubuh ki Ageng Gajah Sora. Tetapi, untung tak dapat diraih, sial tak mampu dihindari. Kakinya menginjak tanah gembur ujung tebing yang rawan longsor.
.
Akibatnya tubuh itu meluncur deras ke bawah tebing yang tinggi.
.
"Mampus kalian !" seru ki Panji Menak Sengguruh.
.
Teriakan itu membuat ki Ajar Bajulpati dan Raden Singasari menghentikan pertarungan dan memperhatikan apa yang terjadi.
.
"Oh .." kejut ki Ajar Bajulpati seraya meloncat jauh ketika menyaksikan tubuh ki Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora terjun ke bawah tebing.
.
Sementara Raden Singasari meloncat membebaskan kedua bawahannya yang tak mampu bergerak akibat sentuhan tangan lawannya.

"Ki Panji, lekas tinggalkan tempat ini.." serunya.
.
Kepergian orang - orang itu dibiarkan saja oleh ki Ajar Bajulpati. Orang tua itu lebih mencemaskan nasib ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa. Bergegas ia mencari jalan untuk menuruni tebing dekat hutan bambu itu.
.
"Aku harus bergegas.. " desisnya, " Ya Gusti, semoga welas asihMu menyertai mereka... "


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 6
OLEH : MARZUKI
.
..
Alam mulai terlihat sumringah dengan bersinarnya surya di langit nan biru. Mendung di malam hari telah tertiup angin ke arah utara setelah mencurahkan kandungan air hasil uap di samudera selatan. Sungai ber-air keruh dari luapan air akibat hujan semalam. Terus mengalir menyusuri alur tanah rendah dan akhirnya akan sampai di samudera.
.
Di pinggiran sungai dua sosok tubuh tersangkut sebatang batang pohon waru, yang menjorok ke bibir sungai. Dua tubuh itu tiada bergerak, entah mati atau hanya pingsan saja.
.
Teriknya sinar mentari-lah yang ikut andil memberikan tanda adanya kehidupan dengan sosok tubuh itu. Awalnya ada gerakan perlahan dari tangan salah satu sosok itu. Kemudian dilanjutkan secara perlahan mata itu mulai terbuka.
.
Sejenak terlihat bingung mencuat di raut wajah sosok yang masih muda itu. Rasa pening di kepala berdenyut memainkan rasa dengan liarnya. Untuk mengurangi rasa pening, si pemuda mengangkat tangan dan memijit perlahan peningnya, juga mencoba menghirup segarnya udara di pagi hari itu.
.
Akhirnya pening di kepalanya berangsur reda dan ingatannya kembali mengisi relung pikiran dan hatinya. Apalagi ketika pemuda itu bangkit duduk dan menoleh ke samping kanan.
.
"Ki Buyut.. " serunya sambil menggoyang tubuh yang terlentang itu.
.
Tubuh itu tetap diam. Segera pemuda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa, mengangkat tubuh ki Buyut yang tak berdaya ke tempat yang mapan. Dibaringkan tubuh itu di tanah yang ditumbuhi serumpun rumput hijau. Ia tempelkan telinganya di dada orang tua itu.
.
"Syukurlah, ki Buyut hanya pingsan." desis ki Lurah Arya Dipa.

Selanjutnya ki Lurah Arya Dipa berlari kecil memetik daun pohon jati dan menuju ke sungai, berniat mengambil air.
.
"Ah.. Terlalu keruh." desis ki Lurah Arya Dipa, lalu saat meliarkan pandang ke pinggir sungai arah hulu, "Ha.. Air terjun."
.
Ia pun berlari ke air terjun yang keluar dari rembesan padas tebing. Dengan menggunakan daun untuk menampung air itu dan di bawa ke tempat ki Ageng Gajah Sora terbaring.
.
Setitik demi setitik air diteteskan ke mulut Buyut Banyubiru itu. Segarnya air perlahan meresap membasahi bibir kemudian masuk ke tenggorokan terus berlanjut ke dalam lambung, dicerna ke segenap alat karunia Illahi di dalam tubuh manusia, diubah menjadi tenaga.
.
"E... e.. " bibir ki Buyut Banyubiru sudah mulai bergerak.
.
Rasa syukur terucap dari mulut ki Lurah Ary Dipa sampai dalam hati. Menunjukan ketulusan dalam arti ucapan syukur itu, atas keadaan ki Ageng Gajah Sora. Harapan adanya kehidupan selanjutnya semakin besar.
.
Sesaat kemudian nyatalah ki Ageng Gajah Sora siuman dengan membuka kedua panca penglihatannya.
.
"Berbaringlah, ki Ageng." kata ki Lurah Arya Dipa ketika ki Buyut itu akan bangkit duduk.
.
"A.. anakmas, apa yang terjadi selanjutnya ?" tanya ki Ageng Gajah Sora.
.
Lurah muda itu menghela napas, "Entahlah Ki Buyut. Saat aku hendak menangkap tubuh ki buyut dan berhasil menangkapnya, kakiku menginjak tanah bibir tebing yang gembur. Sehingga kita berdua terjatuh ke bawah tebing."

Uraian dari pemuda itu masih belum dipahami benar oleh ki Ageng Gajah Sora, "Anakmas apakah tak menyadari sepenuhnya ?"
.
"Benar, ki Ageng..."
.
"Panggil aku paman saja, anakmas." potong ki Ageng Gajah Sora sambil berusaha duduk yang dibantu oleh ki Lurah Arya Dipa.
.
"Baik, paman." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian menerangkan apa yang juga ia alami.
.
"Jadi anakmas juga pingsan dan hanyut bersamaku ?"
.
"Iya, paman. Saat aku menangkap paman dan kaget ketika akan terperosok ke bawah tebing, seleret sinar menghentak dadaku. Dan kemudian aku tak menyadari selanjutnya, sampai akhirnya aku siuman." kata ki Lurah Arya Dipa.
.
"Maafkan aku, anakmas. Itu semua karena kesalahanku." pinta ki Ageng Gajah Sora.
.
"Tidak, paman. Karena paman Gajah Sora sebenarnya berniat baik dengan tindakan yang paman lakukan." kata Lurah muda itu.
.
"Ilmu lawan anakmas sungguh mendebarkan. Selama hidupku baru dua kali aku merasaka kekuatan seperti itu." ucap ki Ageng Gajah Sora, "Yaitu saat aku beradu tenaga dengan sahabat, adi Mahesa Jenar yang kemudian sering dipanggil Tohjaya."
.
"He.. " seru ki Lurah Arya Dipa, kaget.
.
"Ada apa, anakmas ?"
.
"Pa...man tadi menyebut Tohjaya ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, lalu, "Maksud paman, ki Rangga Tohjaya ?"
.
"Benar, anakmas. Apa kau mengenalnya ?"
.
"Tentu, paman. Saat masih dalam pendadaran prajurit, ki Rangga yang masih seorang Lurah menjadi pembimbing kelompok ku." jawab Lurah muda itu, "Tahukah paman dengan keberadaannya saat ini ?"

Putra ki Ageng Sora Dipayana itu tersenyum, "Adi Mahesa Jenar berada di Banyubiru, anakmas."
.
"He.. Benarkah itu paman ?"
.
"Mengapa aku harus bohong dengan orang yang sudah tiga kali menyelamatkan ku ? Saat kita saling berhadapan di bukit Telamaya, ia juga hadir bersamaku. Bahkan dialah yang meredakan dan membujuku untuk tidak gegabah dalam menanggapi persoalan Banyubiru dengan Demak." kata ki Ageng Gajah Biru, dan orang itu terbatuk.
.
"Ah.. Paman sepertinya terkena luka dalam ?" cemas ki Lurah Arya Dipa.
.
"Hm.. Tak apa - apa, mungkin dengan mengatur pernapasan keadaanku akan segera pulih."
.
Dengan duduk bersila, ki Ageng Gajah Sora memusatkan nalar dan budinya untuk memperbaiki simpul - simpul alur darah yang mengalami sumbatan akibat dirinya membenturkan aji Lebur Saketi dengan aji Prahara Geni, milik ki Panji Menak Sengguruh. Sementara ki Lurah Arya Dipa duduk sekaligus menjaga keadaan di sekitar tebing itu.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 7
OLEH : MARZUKI
.
..
"Kreshekk...Kreshekk.. Kreshekk.. "
.
Terdengar bunyi gremeseknya semak belukar, terkena gesekan entah itu orang atau hewan. Hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa waspada dan siap menyongsong kemunculan makhluk dari balik semak belukar.
.
"Angger, ini aku Ajar Bajulpati." seru seorang dari balik semak belukar itu.
.
"Oh, ki Ajar." kata ki Lurah Arya Dipa sambil mengangguk hormat.
.
Saat bersamaan, ki Ageng Gajah Sora sudah menyelesaikan dirinya dalam melancarkan perputaran darah dan pernapasannya. Kepala perdikan Banyubiru itu berdiri dan ikut menyambut sesepuh kanuragan dari timur alas Baluran itu. Segera ia mengucapkan terima kasih atas pertolongan ki Ajar Bajulpati dari ancaman Raden Singasari yang mengelabuinya, menggunakan aji malih rupa.
.
"Sudahlah, anakmas. Semua itu atas kehendakNYA." kata ki Ajar Bajulpati, lalu orang tua itu memandang ki Lurah Arya Dipa, "Ki Lurah, bukankah kau tadi malam memperagakan tata gerak dari sebuah kitab kuno ?"
.
Kerut mendalam terlihat di dahi anak muda itu, atas pertanyaan ki Ajar Bajulpati. Mungkinkah orang ini juga mengetahui mengenai kitab Cakra Paksi Jatayu ? Ah.. Pemuda itu ingat saat dirinya sudah mewarisi ilmu itu baru satu tahun. Seorang ajar dari padepokan Lemah Jenar juga mengetahui dan ingin merebut kitab itu.
.
"Angger, Sedikit banyak aku pernah mendengar dan milhat dari kawanku yang tinggal di Penarukan. Yaitu selembar lontar dengan guratan tata gerak dari ilmu yang angger peragakan." sejenak orang tua itu berhenti, lalu sambungnya, "Namun tata gerak itu putus - putus tak selengkap tata gerak angger. Ia pun mengatakan itu hanyalah lembaran tiruan dari kitab aslinya."

Sambil duduk beralaskan rumput, ki Ajar Bajulpati kemudian menceritakan apa yang ia dengar dari kawannya tentang sebuah kitab kuno peninggalan raja Bedahulu di pulau dewata.
.
Sri Raja Mahendradatta adalah seorang raja yang bijaksana dalam memerintah kerajaannya. Raja yang masih ada pertalian keluarga dengan Medang Kumalan ini, mempunyai tiga orang anak. Anak pertama seorang pemuda tampan yang bernama Airlangga, dan setelah remaja dinikahkan dengan putri Raja Medang Kamulan atau Mataram kuno di jawa bagian timur. Memang awalnya Mataram kuno di masa pendahulunya, yaitu Sri Sanjaya terletak dekat dengan gunung Merapi, tetapi karena adanya letusan gunung merapi oleh Prabu Mpu Sendok di pindah ke timur gunung Lawu tepatnya saat ini di Maospati sampai raja terakhir, prabu Teguh Darmawangsa yang tak lain mertua Airlangga muda.
.
Karena Airlangga muda harus mengikuti sang istri, sang Prabu Mahendradatta mewariskan sebuah kitab Cakra Paksi Jatayu. Tetapi kedua adiknya iri dengan Ramandanya menyerahkan kitab itu kepada Airlangga, namun untuk merebut secara langsung keduanya tidak berani.
.
Untunglah sang Prabu selain seorang yang putus dalam ilmu sastra dan nagari, beliau juga seorang wicaksana dan mampu membaca isi hati seseorang. Oleh karenanya sehari sebalum Airlangga berangkat ke Jawa Dwipa, sang Prabu memanggil ketiga putranya di balai agung.
.
"Putranda sekalian, pada hari Sukra ini kalian aku panggil untuk menghadap di balai agung Bedahulu ini." sejenak Prabu Mahendradatta menghentikan ucapannya demi melihat kesan dari ketiga anaknya.
.
"Tahukah putranda sekalian dengan maksud ramanda ini memanggil kalian ?"
.
Ketiga pangeran itu saling berpandangan satu dengan lainnya. Kenyataannya memang tiada yang tahu maksud hati ramandanya.
.
Airlangga yang merupakan putra tertua memberanikan diri untuk mewakili adik - adiknya, "Ampun, Ramanda. Sungguh putranda ini picik dari segala - galanya, oleh karenanya jika ramanda melimpahkan kemurahan hati, mohon kiranya ramanda memberitahukan supaya putranda sekalian ini, lebih terang dengan semuanya."
.
Mengangguklah kepala sang Prabu atas ucapan putra sulungnya itu.

"Ananda sekalian tahukan kalain dengan rontal ini ?" tanya sang Prabu yang sudah memegang sebuah kitab dari lembaran rontal.
.
"Ampun, ramanda prabu. Kalau tidak salah bukankah itu kitab Cakra Paksi Jatayu ?"
.
"Hm.. Bagaimana dengan ananda berdua ?" selanjutnya tanya Prabu Mahendradatta kepada kedua adik Airlangga.
.
"Ampun, Ramanda Prabu. Kami berdua sependapat dengan kakanda Airlangga."
.
"Bagus.. " seru sang Prabu, "Kalian bertiga merupakan putra yang sangat aku sayangi dan cintai. Tiada dalam hati kecilku untuk memanjakan salah satu dari kalian bertiga, semua sama dalam segala hal. Dan hari ini aku akan mewariskan kitab ini kepada salah satu diantara kalian, jika kitab ini berjodoh dengan salah satu dari kalian."
.
Kedua adik Airlangga mendongakan kepala saat mengetahui ramandanya merubah niatnya untuk tidak menyerahkan kitab itu langsung kepada kakandanya. Hati kedua pangeran itu senang bukan main, masih ada peluang bagi mereka berdua untuk mendapatkan kitab sakti itu. Terlihat wajah keduanya berseri - seri layaknya sinar mentari di pagi hari.
.
Sangat jauh berbeda dengan pangeran Airlangga. Dalam hati pangeran sulung itu sebenarnya tiada maksud secuil pun untuk mendapatkan kitab itu. Oleh karenanya dengan tatag Pangeran Airlangga bersembah kepada ramandanya, "Duh Ramanda Prabu, yang sangat hamba cintai. Bukannya hati ananda ini berlaku deksura atas kemurahan ramanda yang sangat besar ini. Namun bila ramanda berkenan, biarlah kedua adinda saja yang berhak mewarisi kitab itu."
.
Alis sang Prabu mencuat, walau dalam hatinya sudah memahami perkataan dari putra sulungnya itu. Lalu katanya, "Hm.. Tidak, kalian bertiga harus mencobanya dahulu, apa yang akan aku katakan ini."
.
"Sudah ku katakan dari awal, kitab ini bukan sembarang kitab. Di lembar pertama ada sebuah guratan cakra yang melingkari seekor burung garuda yang mengepakan sayapnya." sambung sang Prabu, sambil memperlihatkan guratan itu, lalu kemudian, "Bukalah pakaian atas kalian."

Ketiga pangeran itu nampak bingung dengan perintah dari ramandanya, tetapi perintah itu keluar dari seorang Prabu Bedahulu, oleh karenanya ketiga pangeran itu kemudian membuka pakaian yang menutupi dada bidang mereka.
.
"Menghadaplah putranda ke timur." seru sang Prabu.
.
Kembali ketiganya bingung, karena jika menghadap ke timur maka ketiganya akan membelakangi Prabu Mahendradatta.
.
"Cepat kalian bertiga menghadap ke timur !" seru sang Prabu agak keras.
.
Seketika ketiganya menghadap ke timur. Keajaiban muncul melingkupi balai agung. Cahaya kuning kemilau bersinar terang mengelilingi ketiga pangeran itu, dan secara mendadak setelah berputaran cahaya itu menusuk salah satu dari pangeran Bedahulu.
.
"Cess.. Cess.. Cess.."
.
Cahaya kuning kemilau menggores punggung salah satu pangeran dengan kerasnya, tetapi tiada terdengar rintihan dari pangeran itu. Sebuah goresan membentuk Cakra melingkari seekor burung garuda yang mengepakan sayap. Dan yang terpilih ialah pangeran Airlangga.
.
Kemudian setelah sinar itu sirna, sang Prabu menyuruh kedua adik pangeran Airlangga untuk melihat punggung kakandanya. Kejut menghinggapi hati keduanya, tubuh kakandanya yang sebelumnya putih bersih, kini terdapat sebuah simbol yang mirip dengan simbol di kitab Cakra Paksi Jatayu.

Sang Prabu pun kemudian mengumumkan bahwa kitab itu berjodoh dengan Pangeran Airlangga. Tetapi ketika memandang kedua pangeran yang lain, raut wajah mereka masih belum puas dengan keputusan yang ia ambil. Maka sang Prabu berdiri dan mendekati ketiga putranya.
.
"Hm.. Putranda sekalian, aku akan berlaku adil untuk kedua kalinya. Yaitu akan aku tunjukan kitab ini kepada kalian bertiga. Salinlah kitab ini di sebuah lembaran kulit, dan serahkan kepadaku di esok hari. Siapa yang jodoh dengan kitab ini akan dengan gamblang menyalinnya."
.
Ke esok harinya ketiga pangeran itu menghadap kembali ke Balai Agung. Ketiganya kemudian memperlihatkan hasil dari salinan kitab Cakra Paksi Jatayu kepada sang Prabu. Keanehan terjadi kembali, ketiga pangeran itu sebenarnya seorang yang mempunyai ingatan bagus dan dalam membuat goresan tata gerak sangat mahir. Tetapi kali ini sangat lain dengan hari - hari yang lalu. Hanya Pangeran Airlangga saja yang sama persis.
.
Kembali Pangeran Airlangga yang berjodoh dengan kitab Cakra Paksi Jatayu. Demi melihat keanehan - keanehan itu, kedua saudaranya dengan ikhlas menerima keputusan sang Prabu. Maka hari itu juga pangeran sulung berangkat ke Jawa Dwipa setelah menerima warisan berharga dari Prabu Mahendradatta. Bukan kerajaan tetapi sebuah kitab kanuragan yang memuat tata gerak, jaya kawijayan, dan kebatinan tingkat tinggi. Sedangkan kerajaan Bedahulu dilanjutkan oleh adik - adik Airlangga.
.
"Begitulah, ngger. Dan salah satu salinannya berada di sahabatku." kata ki Ajar Bajulpati, mengakhiri ceritanya.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 8
OLEH : MARZUKI
.
..
Penuturan dari ki Ajar Bajulpati membuat kesan tersedendiri bagi ki Lurah Arya Dipa dan ki Ageng Gajah Sora. Bagi ki Lurah Arya Dipa, riwayat asal - usul dari kitab Cakra Paksi Jatayu hampir serupa dengan apa yang dikatakan oleh ki Ajar Bajulpati, namun itu hanya secuil saja bila dibandingkan dengan penuturan dari eyang Resi Puspanaga yang merupakan keturunan langsung dari Resi Gentayu.
.
Sedangkan bagi ki Ageng Gajah Sora, cerita itu bagai dongeng saja. Walau ia dengan hal itu semakin mengagumi sosok pemuda yang kini disampingnya. Sosok pemuda yang sudah beberapa kali menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Bila pemuda itu benar - benar mewarisi ilmu dari kitab kuno peninggalan Prabu Airlangga, tentu pemuda itu bukan orang biasa.
.
"Apakah anak ini keturunan ningrat ?" batin ki Ageng Gajah Sora dalam hati.
.
"Angger, selain tata gerak Cakra Paksi Jatayu, aku pun juga melihat adanya ilmu tata gerak yang sangat aku kenal dari sahabatku yang berada di Penanggungan. Adakah hubungan kau dengan Resi Puspanaga ?" tanya ki Ajar Bajulpati.
.
Demi disebut Resi Puspanaga sebagai kawan ki Ajar Bajulpati, maka tiada rasa curiga lagi Lurah muda itu terhadap orang dari bang wetan itu, lalu katanya dengan santun, "Ki Ajar, aku yang bodoh ini beruntung atas kemurahan eyang Resi Puspanaga, dengan memberikan tuntunan ilmu Prana."
.
Ditepuklah pundak anak muda itu, "Sungguh kau sangat beruntung, ngger. Usiamu semuda ini sudah mendapatkan ilmu Prana pemimpin pertapaan Pucangan itu dan kau juga berkesempatan dengan mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu."
.
"Ah.. Ilmu ku masih mentah bila dibandingkan dengan kemampuan ki Ajar dan paman Gajah Sora." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.

Tawa renyah mengiringi ki Ageng Gajah Sora untuk menyahuti, "Hahaha.. Kau merendah tapi kalau membandingkan denganku, kau berbohong besar, anakmas. Bukankah kau tahu sendiri dengan mudahnya orang yang bernama Menak Sengguruh itu membuatku pingsan ?"
.
"Hahaha.. Anakmas Gajah Sora, sebenarnya jalur ilmu keluargamu sangat tinggi. Maafkan aku jika aku akan berkata jujur." ucap ki Ajar Bajulpati.
.
"Berkatalah, ki Ajar."
.
Sejenak orang tua timur alas Baluran itu menggeser duduknya, lalu kemudian berkatalah ia, "Anakmas belum sepenuhnya menemukan pengembangan dasar ilmu ki Ageng Sora Dipayana."
.
Kerut melintang di dahi ki Buyut Banyubiru.
.
"Anakmas, kekuatan aji Lebur Saketi dalam puncaknya sangat mendebarkan. Aji itu bila menumbuk sebuah batu sebesar kerbau, batu itu terlihat masih utuh tiada sesuatu yang terjadi. Namun saat batu itu tersentuh, batu itu luruh menjadi debu halus." orang tua itu berhenti.
.
Sayup angin semilir membuai daun muda dibagian pucuk tanaman. Bergerak melambai seiring gemulainya sang bayu, yang asyik memerankan perannya di buana raya. Gemericik air terjun menambah suasana syahdu di alam raya. Membuat pikiran tenang dan menemukan pencerahan sampai menyusup ke dalam kalbu.
.
Begitu pun dengan keadaan ki Buyut Banyubiru. Hatinya menyadari betul dengan apa yang diucapkan oleh ki Ajar Bajulpati. Memang selama ini dirinya terlalu sibuk dengan tanah perdikan Banyubiru dan keluarganya. Gajah Sora muda yang gemar tapa brata, lelaku nepi di tempat - tempat yang wingit dan sepi dari keramaian manusia. Tapi setelah pulang dari selat Malaka, ketekunannya dalam melihat kedirian itu luntur secuil demi secuil. Dirinya setelah menjadi seorang Buyut, terlalu mengandalkan kekuatan laskar Banyubiru semata. Dan tindakan itu sangat merugikan dirinya, atas kegagalannya dalam menjaga dua pusaka Demak.
.
"Terima kasih, ki Ajar. Ucapan ki Ajar telah memberikan keterangan dalam hatiku. Ku akui selama ini diriku bagai mandeg dalam melihat kedirian dari ilmu yang diwariskan oleh ayah ki Ageng Sora Dipayana." ucap ki Ageng Gajah Sora.

"Syukurlah jika mendengar dengan baik apa yang aku tuturkan tadi, anakmas." kata ki Ajar Bajulpati, "Semuanya belum terlambat, selama nafas masih ada."
.
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu memandang ke arah ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian katanya, "Tapi aku sekarang seorang yang diamankan oleh Demak. Bukankah begitu ki Lurah ?"
.
Suara dari ki Ageng Gajah Sora itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa. Dirinya merupakan seorang prajurit Demak yang mempunyai tugas untuk ikut membawa ki Ageng Gajah Sora. Tetapi ia juga menyadari semua ini adalah ulah dari Raden Singasari yang memperalat dirinya dengan malih rupo menjadi Empu Citrasena.
.
"Paman, ini semua kesalahanku." desis pemuda itu.
.
"Apa maksudmu, anakmas ?" ki Ageng Gajah Sora heran.
.
Untuk mengurangi rasa bersalahnya, ki Lurah Arya Dipa menjelaskan semua yang ia alami saat akan menuju ke Purbaya. Dimana dirinya dikelabui oleh aji dari Raden Singasari.
.
"Itu semua bukan kesalahanmu, anakmas. Aji itu memang sulit sekali dalam membandingkan wujud yang asli maupun yang tiruan." kata ki Ageng Gajah Sora, setelah mendengarkan cerita pemuda di sampingnya.
.
"Betul, ngger. Ilmu itu hanya mampu terlihat dengan aji Netra Kinasih dan sejenisnya." sela ki Ajar Bajulpati.
.
"Apakah ki Ajar memiliki aji itu "

Orang tua itu mengangguk, "Syukur diriku waktu masih muda bertemu seorang sakti yang berdiam di pulau Menjangan."
.
Ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa mengangguk - angguk.
.
Tiba - tiba orang tua itu bangkit berdiri dan menghadap kedua orang itu.
.
"Anakmas Gajah Sora dan Angger Dipa, karena kalian tak mengalami suatu apa pun dan tiada lagi yang harus dicemaskan, aku akan melanjutkan langkah kakiku."
.
"Kemanakah tujuan ki Ajar ?" tanya ki Ageng Gajah Sora.
.
Dengan senyum tulus ki Ajar Bajulpati berkata, "Mengikuti langkah kaki ini, anakmas."
.
"Baiklah, ki Ajar. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan bila sempat mohon sekiranya ki Ajar singgah di Banyubiru." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Iya anakmas," sahut ki Ajar Bajulpati, lalu kepada ki Lurah Arya Dipa, "Angger, berhati - hatilah dengan orang yang bernama Lodaya. Dialah yang mempunyai salinan kitab Cakra Paksi yang tak utuh itu."
.
"Baik ki Ajar Bajulpati."
.
Setelah sekali lagi ki Ajar Bajulpati mohon diri, dia pun dengan langkah ringan meninggalkan tepian sungai itu. Dan kini tinggalah ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas, bawalah aku ke perkemahan pasukan Demak."
.
"Tapi, ki Ageng ?"

"Sudahlah, bila aku dan kau menjelaskan semua yang terjadi kepada Kanjeng Sultan, Beliau tentu akan memahami." terang ki Ageng Gajah Sora.
.
Lantas keduanya mencari jalan ke perkemahan pasukan Demak di bawah senopati Panji Arya Palindih. Setibanya di perkemahan, ki Lurah Arya Dipa menuturkan apa yang terjadi tanpa mengurangi atau melebihkan.
.
Penuturan itu bagi ki Panji Arya Palindih merupakan bahan yang harus dijadikan pertimbangan mengenai adanya Banyubiru dan orang yang disebut seorang bangsawan dari telatah bang wetan, Raden Singasari. Dan ki Panji Arya Palindih segera memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Demak Bintoro.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 9
OLEH :MARZUKI
..............................
..............................
Udara terasa memanaskan ruang Balai Manguntur dan sang Nata yang duduk di dampar kencana, manakala terdengar laporan dari ki Panji Arya Palindih mengenai tugas yang diembannya. Dengan sepenuh tenaga Kanjeng Sultan berusaha menekan kemarahannya melalui helaan nafas panjang.
.
Kepala Panji Arya Palindih menunduk membeku hanya mampu melihat keindahan ubin tanpa bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Dalam hati sudah mantab andaikata dirinya akan mendapat murka berupa pidana hukum badan atau pencopotan pangkat keprajuritannya. Namun Senopati Bergota itu sangat heran tiada mendengar suara dari Kanjeng Sultan untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, hingga terasa waktu begitu lama.
.
"Paman Panji, walau engkau tiada membawa pusaka kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten, syukurlah paman bisa membawa ki Buyut Banyubiru kehadapanku tanpa adanya korban." akhirnya Kanjeng Sultan bersuara walau nadanya begitu bergetar, "Oleh hal itulah aku mengucapkan terima kasih."
.
Wajah yang sebelumnya sudah membeku, seketika mencair manakala mendengar ucapan dari sang Sultan. Tak kurang - kurangnya, Panji Arya Palindih mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung dalam hatinya. Serta ia juga mengucapkan terima kasih atas kemurahan sang Nata.
.
"Sekarang, kalian boleh meninggalkan tempat. Dan untuk ki Buyut dan Arya Dipa, kalian tetap disini."
.
"Hamba, Kanjeng Sultan !" serempak suara para Nayaka Praja.
.
Tinggalah kini Kanjeng Sultan Trenggono dan ki Buyut Banyubiru serta Lurah Arya Dipa. Kedua orang itu memang sengaja akan ditanyai sendiri oleh Sultan Trenggono, mengenai peristiwa yang baru terjadi di Banyubiru maupun rentetan terjadinya kejadian yang berkesinambungan.

Pertama - tama Kanjeng Sultan menatap tajam Lurah Arya Dipa. Pemuda yang sangat berkesan dalam hatinya, tetapi kali ini membuatnya sedikit kecewa.
.
"Lurah Arya Dipa." seru Kanjeng Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
"Sekarang coba kau jelaskan dengan rencana yang kau beberkan waktu itu. Mengapa berakhir seperti ini ?"
.
Sejenak pemuda itu menggeser letak duduknya, seraya mengankat kedua tangan dimana telapak tangan saling menempel dan kedua ibu jari menyentuh hidung, lalu katanya, "Ampun Kanjeng Sultan, hamba yang picik dan bodoh ini telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan sungguh layak, jikalau hamba dijatuhui hukum seberat - beratnya."
.
"Masalah pidana itu gampang, ki Lurah. Tetapi semuanya harus dilihat secara jelas dengan meneliti dahulu kesalahan yang nyata dari orang itu. Karena itu aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan, dan menilainya apakah perkataanmu itu jujur atau tidak. Sekarang coba kau terangkan lagi."
.
"Kanjeng Sultan, yang hamba muliakan. Kala itu, hamba kedatangan orang yang sangat hamba kenal yaitu, paman Empu Citrasena." kata ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian menceritakan kembali kejadian dimana dirinya berjumpa dengan Empu Citrasena, di perkemahan selatan kademangan Prambanan.
.
Malam itu sosok yang mengaku Empu Citrasena mendatangi Lurah Arya Dipa. Dalam pembicaran itulah Empu Citrasena berkata, kalau dirinya berjumpa dengan ki Ageng Sora Dipayana dan muridnya.
.
"Oh.. " kejut ki Ageng Gajah Sora, ketika dalam penuturan itu menyebut adanya ayahnya.
.
"Ada apa, ki buyut ?" tanya Kanjeng Sultan seraya melirik ke arah ki Ageng Gajah Biru.

"Ampun, Kanjeng Sultan. Memang ayah Sora Dipayana-lah yang merebut kedua pusaka Demak dari tangan Lowo Ijo, tetapi tidak di sekitar Demak, melainkan di Alas Mentaok." jawab Buyut Banyubiru.
.
Kanjeng Sultan mengangguk, tetapi ia pun memerintahkan kepada Lurah Arya Dipa untuk melanjutkan ceritanya.
.
Selanjutnya Orang yang mirip dengan Empu Citrasena berbincang - bincang dengan ki Ageng Sora Dipayana, setelah mengalahkan gerombolan Lowo Ijo. Pada waktu itulah ki Ageng Sora Dipayana mempunyai siasat untuk mengembalikan kedua pusaka itu lewat putra yang nantinya akan diangkat sebagai penerusnya, yaitu ki Ageng Gajah Sora.
.
"Begitulah, Kanjeng Sultan. Tetapi ketika hamba bersama ki Panji Arya Palindih bertamu ke Banyubiru, paman Empu Citrasena dan ki Ageng Sora Dipayana tak nampak hadir sama sekali." akhir dari penuturan Lurah Arya Dipa.
.
"Ki Buyut, kini giliranmu berkata mengenai kedua pusaka itu. Dari mana kau memperoleh dan mengapa kedua pusaka itu lenyap ?!" perintah Kanjeng Sultan Trenggono.
.
Suara ki Buyut Banyubiru terdengar mantab dalam setiap katanya. Secara terperinci diceritakan mengenai kedua pusaka Demak yang merupakan sipat kandel kesultanan yang pernah ia abdi.
.
Naga Sasra dan Sabuk Inten. Ya kedua benda pusaka yang membuatnya terkagum - kagum, saat pertama kali Gajah Sora diperlihatkan dengan kedua pusaka itu. Ayahnya, ki Ageng Sora Dipayana yang baru pulang dari kebiasaannya jajah milang kori, membawa buntalan besar yang berisi selain kain pakaian, juga dua keris yang begitu elok dipandang.
.
Tanpa ditanya ki Ageng Sora Dipayana menceritakan kalau keris itu ia dapat dari orang - orang yang menginginkan kedua pusaka itu. Yaitu Lowo Ijo dan seorang pemuda yang mengaku murid sesepuh kanuragan dari Blambangan. Kedua orang itu bertempur habis - habisan demi mendapatkan kedua pusaka yang diyakini mampu menampung wahyu keprabon di Jawa Dwipa ini. Tetapi ternyata keduanya sama - sama sebanding, dalam kecepatan maupun kekuatan tandangnya.

"Disaat itulah seorang pemuda yang mengaku murid ki Ageng Menak Muncar berhasil mendepak buntalan yang ada dalam lindungan Lowo Ijo, hingga mencelat jauh." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Hm.. Lalu ayahmu, ki Ageng Sora Dipayana mengambilnya ?" tanya Kanjeng Sultan.
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
"Lalu.. ?"
.
Kemudian ki Ageng Gajah sora melanjutkan ceritanya, yaitu ayahnya yang berhasil mengambil bungkusan itu segera dibawa pergi. Awalnya ki Ageng Sora Dipayana ingin membawa ke Demak, tetapi karena jalan yang dilalui melewati kampung halamannya, ia pun singgah sambil melepas rindu kepada keluarganya.
.
Setelah merasa terobati rasa rindu dengan kampung halaman, ki Ageng Sora Dipayana berangkat ke Demak seorang diri saja. Awalnya tiada sesuatu yang mencurigakan diperjalanan, hingga suatu kali di sebuah gumuk tak kurang dari empat orang menghadang langkah ki Buyut Banyubiru sepuh. Orang - orang yang membuat seorang Sora Dipayana tergetar hatinya. Bagaimana tidak ? Kelima orang itu ialah, Sima Rodra dan kedua anak menantunya serta kawannya dari gunung Kelud, Resi Gangsiran.
.
Tanpa basa basi keempat orang itu menyerang ki Ageng Sora Dipayana, dengan tujuan mendapatkan kedua pusaka yang mereka yakini di bawa oleh orang dari Banyubiru itu. Sekuat seorang Sora Dipayana tentulah akan sulit jika menghadapi empat pengeroyok yang ilmunya tak jauh beda dengan dirinya. Tak bisa dipungkiri keberuntungan berpihak kepada empat orang lawannya, dengan mengandalkan kerjasama yang apik, lawannya mampu mendobrak pertahanan ki Ageng Sora Dipayana. Sekaligus berhasil membawa kabur kedua pusaka Demak.
.
Terpaksa ki Ageng Sora Dipayana pulang dengan kekecewaan yang mendalam. Apalagi sesampainya di rumah, seorang utusan dari sahabatnya mengabarkan warta yang membuat ki Ageng Sora Dipayana semakin sedih. Yaitu sahabatnya telah pulang keharibaan Sang Pencipta.
.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Maka dengan berat hati ki Ageng Sora Dipayana memerintahkan putranya, Gajah Sora untuk mencari keberadaan kedua pusaka Demak.
.
"Syukurlah, hamba mampu merebut kembali kedua pusaka itu dengan bantuan sahabat hamba, Kanjeng Sultan." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
"Siapa nama sahabatmu itu, ki Buyut ?"


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 10
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
"Mahesa Jenar, Kanjeng Sultan." jawab ki Ageng Gajah Sora.
.
Nama itu seperti tak asing ditelinga Kanjeng Sultan. Namun wajah dari nama itu tak terkilas dibenak Kanjeng Sultan Demak. Hanya anggukan kepala saja yang kemudian terlihat dari sang Nata Demak.
.
"Lanjutkan ceritamu, ki Buyut." kata Kanjeng Sultan Trenggono selanjutnya.
.
"Tiga hari sebelum kedatangan pasukan yang dipimpin oleh paman Arya Palindih, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh gerombolan orang - orang golongan hitam, Kanjeng Sultan. Mereka tiada lain ingin merebut kedua pusaka Demak untuk mereka gunakan sebagai wadah wahyu keprabon."
.
"Hm... " dengus Kanjeng Sultan sambil mengeraskan kepalan tangan, sehingga terdengar jemari bergemeretakan.
.
"Sekali lagi hamba mohon beribu maaf, atas ketidak becusan hamba dalam mempertahankan kedua pusaka itu, Kanjeng Sultan." ucap ki Buyut Banyubiru, lalu, " Pusaka yang hamba simpan, berhasil diambil oleh seorang yang masih gelap jati dirinya."
.
Kali ini Kanjeng Sultan mencoba mengurai setiap kata dari ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya Dipa. Juga mengaitkan dengan laporan ki Panji Arya Palindih, dari keberangkatan ke Banyubiru, sesampainya di Banyubiru, kedatangan pasukan dari Tumenggung Prabasemi, dan yang terakhir seorang bangsawan telatah Singasari yang mampu mengungkap aji Malih Rupá.
.
"Kemungkinan itu memang ada. Raden Singasari, hm.. nama itu kembali mencuat lagi, setelah sekian lama hilang." batin Kanjeng Sultan.
.
Kemudian Kanjeng Sultan berkata, "Buyut Banyubiru, kata - katamu dapat aku percayai."
.
"Hamba, Kanjeng Sultan."
.
"Dan kamu, ki Lurah Arya Dipa.."
.
"Hamba, Sinuwun."

"Kemungkinan engkau memang dikelabui oleh ilmu Malih Rupá, milik Raden dari telatah Singasari itu." kata Kanjeng Sultan, "Walau begitu, engkau tetap salah. Karena menelan dari orang yang kau sangka pamanmu itu, tanpa harus meneliti terlebih dahulu."
.
Lurah muda itu menggeser tempat duduknya. Dengan hati tatag menyadari kesalahan yang ia perbuat, maka ia pun berkata, "Hamba, Kanjeng Sultan. Hamba siap menerima hukuman yang terberat dengan hati lapang."
.
"Hm.. Baiklah, aku akan menghukummu. Mulai hari ini kau akan melepas keprajuritanmu."
.
Bumi bagai bergetar dan suara petir saling bersahut - sahutan memekakan telinga. Cahaya yang menerangi Balai Manguntur tiba - tiba sirna tergantikan kabut hitam pekat menyelimuti penglihatan Arya Dipa.
.
"Di mana aku ?" desisnya.
.
Semua sungguh gelap. Bahkan tangannya sendiri tiada nampak, walau samar sedikit pun.
.
"Aneh.. " desis Arya Dipa, "Tadi aku berada dihadapan sang Nata, tetapi sekarang dimanakah diriku ini ?"
.
Lamat - lamat terdengar suara tembang mengalun lembut mengusik telinga. Tembang itu terus meluncur masuk ke hati, membuat hati tenteram. Tak berhenti disitu saja, selanjutnya tembang itu berputar mencuat ke arah pikiran dan bersarang di mahkota insan.
.
"Jalanmu angger." sebuah suara halus terdengar, setelah berakhirnya tembang.
.
"Oh.. Eyang Pikulun.. " desis Arya Dipa.
.
Seketika pemuda itu kembali keadaannya dimana ia duduk di Balai Manguntur. Anehnya, walau Arya Dipa mendengarkan tembang di alam yang begitu gelap, namun dirinya tak mendapat teguran dari Kanjeng Sultan. Seperti hanya kilatan cahaya saja, karena ia kemudian hanya mendengar lanjutan dari Kanjeng Sultan.
.
"Kau tak berpangkat Lurah Prajurit, sampai kau dapat mendapatkan keris kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten." seru Kanjeng Sultan saraya memberi perintah kepada Arya Dipa.

Dengan sikap lapang, pemuda itu menerima perintah itu, "Sendiko, Kanjeng Sultan. Hamba siap menjalankan perintah dari Sinuwun."
.
"Bagus, sekarang juga kau harus meninggalkan Demak."
.
Setelah memintah pangestu dari junjungannya, Arya Dipa pamit langsung menjalankan perintah sekaligus hukuman yang disandangnya. Walau begitu tak ada secuil rasa mangkel di hati pemuda itu, terhadap Kanjeng Sultan Trenggono. Arya Dipa menyadari kesalahannya yang tak meneliti dahulu sebenarnya yang terjadi.
.
"Memang aku yang harus menyandang hukuman itu, daripada paman Gajah Sora." desis Arya Dipa, saat ia sudah berada di luar istana.
.
Sesampainya di lorong luar istana, pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, yaitu ke arah lorong menuju Kaputren.
.
"Tidak." desisnya, lalu, "Bila ia tahu keadaanku, tentu ia akan sedih. Biarlah untuk sementara waktu dia menganggapku sedang melaksanakan tugas yang lalu."
.
Arya Dipa pu kembali melangkahkan kakinya. Tetapi di sebuah tikungan dirinya bimbang. Antara langsung mencari keberadaan kedua pusaka Demak, atau ke Suranatan dimana lurah Mas Karebet berada.
.
"Aku akan ke sana terlebih dahulu."
.
Langkahnya kemudian mengarah ke Suranatan. Dengan ramah Arya Dipa disambut oleh penjaga gardu Suranatan.
.
"Lama sekali, ki Lurah tak main ke sini." kata penjaga gardu Suranatan.
.
"Iya, paman. Aku baru datang dari Banyubiru." sahut Arya Dipa, "Oh iya paman, adi Karebet ada di rumah ?"
.
"ki Lurah, sehari setelah kepergian ki Lurah ke Banyubiru, ki Lurah Mas Karebet bagai lenyap tertelan bumi." jawab orang penjaga gardu.

"He.. " kejut Arya Dipa, "Lalu bagaimana dengan paman Ganjur ?"
.
Penjaga gardu itu menggeleng, "Ki Ganjur telah pulang ke kampung halamannya, ki Lurah."
.
"Pengging ?"
.
"Bukan, melainkan ke Tingkir."
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya, dalam ingatannya Mas Karebet mengatakan kalau dirinya berasal dari Pengging, tetapi mengapa ki Ganjur di katakan orang Tingkir oleh penjaga Gardu itu ?
.
"Ada apa, ki Lurah ?"
.
"O.. tidak." kata Arya Dipa, "Baiklah, paman berdua. Kalau begitu aku pamit."
.
"Eh.. Mengapa ki Lurah buru - buru ?" tanya penjaga gardu.
.
"Sebaiknya, ki Lurah ikut menyantap ketela rebus dengan kami." sela kawan penjaga pertama.
.
"Terima kasih, paman. Lain kali saja, karena aku sedang mendapat tugas."
.
Setelah pamit dengan kedua penjaga gardu Suranatan, Arya Dipa berjalan ke arah gapura kotaraja. Rasa heran menggelayuti hati pemuda itu, mengenai hilangnya Mas Karebet serta perginya ki Ganjur dari Demak.
.
"Semuanya tak berjalan seperti mestinya. Perkenalanku dengan adi Mas Karebet, seakan - akan ada sesuatu dengan dirinya." desisnya, "Ia pun juga seorang murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
.
"Hm.. Apakah ia berada di Kadilangu ?" lanjut Arya Dipa, "Ah aku akan ke sana, siapa tahu ada titik terang."
.
Lapanglah perasaan pemuda itu. Rencana pertama ialah menuju Kadilangu, menghadap Kanjeng Sunan Kalijaga sekaligus mencari keberadaan keris Kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 11
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Gerimis di pagi hari membuat langkah seorang pemuda tertahan dalam menjalankan tugas dan hukuman. Untunglah disekitar tempatnya berdiri ada sebuah lekukan tanah yang dapat dijadikan tempat berteduh. Selain itu di dalam lekukan tanah yang tak terlalu dalam itu, tumbuh pohon pisang yang sudah matang walau hanya terdiri dari tiga lirang.
.
"Sungguh Yang Maha Agung melimpahkan nikmat tak terkira." desis pemuda itu, sambil memetik buah pisang dan memakannya.
.
Daging manis dari buah pisang perlahan memasuki mulut dan terkunyah oleh gigi, sehingga bisa lancar memasuki tenggorokan untuk dicerna alat dalam tubuh. Dua buah sudah cukup membuat tubuh pemuda itu kenyang.
.
Beristirahatlah pemuda itu sambil menunggu hujan reda. Namun, sayup - sayup terdengar suara seorang wanita berteriak memilukan..
.
"Jangan.. Jangan tuan... Ampuni aku... "
.
Pemuda yang tak lain Arya Dipa, langsung berdiri dan mempertajam pendengarannya. Sejenak kemudian setelah memastikan arah suara teriakan, Arya Dipa berlari menerobos lebatnya hujan ke arah sumber suara.
.
"Hehehe.. Semakin kau melawan, semakin asyik diriku menikmatimu wong ayu... " Kata seoarang lelaki berwajah sangar.
.
"Jangan tuan, aku mohon.... "
.
Tetapi orang berwajah sangar tak menghiraukan ratapan dari wanita itu. Tangan kokohnya dengan kasar menarik pakaian di betis wanita.
.
"Sreeeek.... "

Pakaian itu robek dan menontonkan betis yang indah. Mata orang itu langsung melotot penuh nafsu. Diraih lagi pakaian wanita di hadapannya, untuk mendapatkan pemandangan yang akan membangkitkan gelora nafsu bejatnya.
.
"Hentikan..... !"
.
Sebuah teriakan dari arah belakang membuat orang berwajah sangar kaget dan berpaling.
.
"Bangsat.. Munyuk kecil tak tahu diri !" umpat orang itu dengan kasarnya.
.
"Pergi kau dari sini, sebelum kau kucincang dengan golokku ini !" lanjut orang berwajah sangar seraya menodongkan golok besar.
.
Tetapi orang yang baru muncul itu malah masuk ke dalam tanpa menunjukan rasa jerih.
.
"Berhenti kau monyet !" hardik orang berwajah sangar.
.
Tiada tanggapan dari orang yang baru muncul. Kaki orang itu terus melangkah lebih dalam.
.
"Memang minta mampus kau.... !" teriak orang berwajah sangar seraya mengayunkan goloknya.
.
"Sriingg...!"
.
Tajamnya golok selapis ujung rambut lewat di depan wajah orang yang baru muncul. Hal itu membuat orang berwajah sangar semakin marah, segera ditarik kembali goloknya dan menebas orang yang mengganggu kesenangannya.
.
Arya Dipa hanya melakukan penghindaran kecil - kecil saja dengan tujuan melihat sampai dimana kemampuan lawan dalam olah senjata. Sejenak kemudian setelah dengan cermat memperhatikan kemampuan lawan, ternyata hanya tenaganya saja yang besar tanpa didukung ilmu tata senjata yang memadai. Maka sekali tangan Arya Dipa bergerak, golok itu sudah berpindah di tangannya.
.
"Nyawamu akan lepas jika kau teruskan !" ancam Arya Dipa sambil menghunuskan golok di leher orang itu.
.
Mata orang itu memerah menandakan kemarahan yang sangat. Tetapi tubuhnya tak bergerak untuk melanjutkan perlawanannya.
.
"Tinggalkan tempat ini, sebelum aku berubah pikiran !"
.
Orang itu menggeretakan giginya, lalu dengan meninggalkan tempat itu ia mengancam, "Awas, lain kali kau yang akan kucincang kisanak !"

Sepeninggal orang itu, Arya Dipa mengambil sebuah kain dan memberikan kepada wanita yang masih menangis.
.
"Sudahlah, nyai Orang itu sudah pergi." kata Arya Dipa, mencoba menenangkan wanita muda di hadapannya.
.
Walau masih terisak - isak, wanita itu mengucapkan terima kasih kepada Arya Dipa, "Terima kasih, tuan."
.
Arya Dipa mengangguk, "Dari mana asal, nyai ?"
.
Sambil menyeka air mata, wanita itu menjawab, "Kademangan Mlanding, tuan."
.
"Jauhkah dari sini ?"
.
"Tidak, tuan. Setelah menyeberangi kali Tuntang sudah sampai."
.
Arya Dipa mengangguk, dilihat keluar hujan sudah reda. Lalu ia pun mengantar wanita itu untuk ke pulang ke rumahnya, di kademangan Mlanding. Tak memakan waktu banyak, sampailah keduanya di regol kademangan.
.
"Nyi Surkanthi.. " desis seorang pemuda yang duduk di depan rumah.
.
Pemuda itu pun langsung berteriak, "Nyi Surkanthi kembali... Nyi Surkanthi kembali.. Nyi Surkanthi kembali..!"
.
Teriakan pemuda itu memancing penghuni kademangan keluar semua. Entah itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil. Semuanya berlari ke arah regol.
.
"Nyai, kau.. Se..lamat... !?" seorang lelaki mengguncang bahu wanita di samping Arya Dipa.
.
Wanita itu meneteskan air matanya, dan memeluk lelaki itu, "Berkat tuan ini, aku selamat kakang Demang."
.
Dilepasnya pelukan nyi Surkanti oleh orang yang disebut Demang. Lelaki itu kemudian menatap Arya Dipa, "Terima kasih, tuan. Tuan telah menyelamatkan istri saya."
.
"Semua kemurahan dari Sang Pencipta, ki." sahut Arya Dipa.

Bergembiralah penghuni kademangan Mlanding atas keselamatan dari nyi Surkanthi, istri ki Demang Mlanding. Oleh karenanya, ki Demang mengundang Arya Dipa ke rumahnya.
.
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, tuan." ucap ki Demang, setelah berada di rumahnya.
.
"Sudahlah, ki Demang. Sudah sepantasnya sesama insan saling membantu terhadap kesulitan yang diderita oleh sesamanya."
.
"Baiklah. Kalau boleh tahu, siapakah nama tuan ? dan dari mana ? mau kemana ?" ki Demang melontarkan berbagai pertanyaan.
.
"Ah, kakang Demang terlalu banyak tanya." desis Nyu Surkanthi.
.
Arya Dipa tersenyum, "Jangan memanggil tuan, ki Demang. Aku Arya Dipa yang berasal dari kadipaten Ponorogo dan saat ini ingin melihat luasnya tanag Jawa Dwipa ini."
.
"Oh, jadi anakmas ini seorang pengembara ?"
.
"Begitulah, ki Demang."
.
Pembicaraan itu terhenti manakala pembantu ki Demang menghidangkan berbagai makanan dan minuman.
.
"Silahkan, anakmas."
.
"Terima kasih, ki Demang."
.
Sambil melahap nikmatnya hidangan, Arya Dipa mengajukan pertanyaan yang menyangkut orang yang membawa nyi Surkanthi.
.
"Kemunkinan salah seorang gerombolan padepokan Kalamuda, anakmas. Sudah sepekan ini mereka melakukan tindakan yang membuat kami cemas."

"Apakah ki Demang tidak menindaknya ?"
.
"Sudah, anakmas. Tetapi kami tak berdaya menghadapai mereka. Bahkan ki Jagabaya dan anaknya, tewas oleh mereka." kata ki Demang, sambil menundukan kepala.
.
"Dimana padepokan itu berada, ki Demang ?"
.
"Di hulu kali Tuntang, anakmas." jawab ki Demang, "Tetapi sebaiknya anakmas jangan kesana."
.
"Kenapa ?"
.
"Padepokan itu sarang orang - orang yang kejam dan bengis." jawab ki Demang, lalu lanjutnya, "Sejak kematian kyai Kalaseta, padepokan itu bukan lagi padepokan yang mengayomi hidup bebrayan."
.
"Lalu siapa sekarang yang menjadi pemimpin mereka ?"
.
"Murid durhaka, ki..... "
.
Kata ki Demag tak terselesaikan, dikarenakan adanya seorang bebahu kademangan berlari memasuki pendopo.
.
"Ki Demang ketiwasan.. " kata bebahu itu dengan nafas terengah - engah.
.
"Ada apa ki Kamituwo ?"
.
"Orang - orang Kalamuda mengancam akan membakar kademangan keseluruhannya jika tuntutan mereka tak dipenuhi."
.
Wajah ki Demang terlihat pucat, "Apakah mereka melakukan pengrusakan ?"
.
"Benar, ki Demang. Rumah ki Siwi telah mereka bakar."
.
Arya Dipa bangkit berdiri.
.
Tetapi ki Demang segera mencegahnya, "Duduklah kembali, anakmas."


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 12
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
"Tapi mereka... " gumam Arya Dipa.
.
"Duduk-lah, anakmas." sekali lagi ki Demang menenangkan Arya Dipa.
.
Akhirnya Arya Dipa kembali duduk ditempatnya.
.
"Ki Kamituwo, perintahkan para pemuda untuk bersiaga di regol kademangan." perintah ki Demang.
.
"Baik, ki Demang." sahut ki Kamituwo yang kemudian bergegas melaksanakan perintah.
.
Tinggalah ki Demang dan Arya Dipa di pendopo itu. Nyi Surkanthi bersama pembantunya sudah berada di ruang dalam, setelah membersihkan hidangan di pendopo.
.
"Anakmas, ki Plosorejo yang merupakan murid dari ki Kalaseta kini yang menguasai padepokan Kalamuda. Sepekan yang lalu ia ingin menjadikan dirinya sebagai Demang di Mlanding ini." kata ki Demang, "Sebenarnya aku tak mempersoalkan keinginan kakang Ploso Slangkrah itu."
.
"Tunggu dulu, ki Demang." kata Arya Dipa sambil mengerutkan keningnya, "Apa maksud dari ki Demang dengan tak mempersoalkan keinginan orang yang ki Demanh sebut tadi ? Bukankah itu ber-arti ki Demang menyia - nyiakan kewenangan dari pelungguhan yang ki Demang peroleh dari turun - menurun ?"
.
Helaan nafas begitu berat terhembus dari muluy ki Demang. Mata lelaki berusia kepala empat itu menatap pelatatan dengan kosong, seolah - olah mata itu memandang tempat lain.
.
"Anakmas Arya Dipa, ayahku ki Demang sebelumnya mempunyai dua anak lelaki. Yaitu kakang Ploso Slangkrah dan aku, Danurejo."
.
"Jadi orang itu masih saudara, ki Demang ?"
.
Ki demang Danurejo mengangguk, "Benar, ia kakak yang aku banggakan sejak masa kanak - kanak. Seorang kakak yang selalu menyayangi adiknya dan melindungi dari ancaman anak - anak nakal."
.
Sambil berkata begitu, ki Demang tersenyum. Seakan - akan masa kanak itu terlihat di depannya. Di mana suasana damai yang pernah ia rasakan bersama kakaknya. Tetapi helaan kembali terulang.

"Kakang Ploso Slangkrah yang juga murid kesayangan ki Kalaseta berubah sejak ia mengenal seorang perempuan itu. Ia menjadi sosok yang menakutkan bagi kademangan ini. Oleh karena itu, ayah mengusir kakang dari kademangan ini." kata ki Demang, lalu sambungnya, "Kemudian akulah yang menggantikan kedudukan ayah sebagai Demang Mlanding."
.
Arya Dipa mendengarkan dengan sungguh - sungguh setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut ki Demang Danurejo.
.
"Sebenarnya aku hampir melupakan kakang Ploso Slangkrah, andaikata sebuah kabar tak aku dengar. Kakang muncul di seberang kali Tuntang dengan orang - orang yang tak kami kenal. Selanjutnya aku segera bergegas ke sana, tetapi kakang dan kawan - kawannya sudah pergi meninggalkan sesosok tubuh yang sangat aku kenal, yaitu ki Kalaseta."
.
Sejenak ki Demang berhenti. Tangannya mengepal seolah - olah meremas sebuah benda di dalam genggamannya, "Dia telah membunuh gurunya dengan kejam ! Kakang tega momotong kepala ki Kalaseta !"
.
"Oh.. " Arya Dipa terbeliak dengan perkataan ki Demang.
.
"Mungkinkah hal itu terjadi, ki Demang ?" Arya Dipa mencoba mencari ketegasan.
.
"Kalau aku tak membaca sebuah pesan yang ia tinggalkan, aku tak akan menuduhnya, anakmas." kata ki Demang dengan suara agak berat, "Ia meminta aku menyerahkan kedudukan Demang kepadanya."
.
"Lalu bagaimana tanggapan dari ki Demang ?"
.
"Jelas aku menolaknya. Bukan karena aku gila kedudukan, tetapi adanya sebuah pertimbangan untuk kebaikan kademangan selanjutnya. Dan hal itulah yang mengakibatkan ki Jagabaya dan anaknya tewas di tangan gerombolan kakang Ploso Slangkrah."
.
Semilir angin tak membuat ruangan pendopo kademangan terasa sejuk di hati. Apalagi ki Demang Mlanding masih mengingat ancaman dari kakaknya. Masih terngiang di telinganya suara kakak yang kini telah berubah watak dan tabiatnya.
.
"Besok malam jika aku tak menyerahkan kademangan ini kepadanya, ia akan menyerang dengan seluruh gerombolannya."
.
Tergugahlah hati Arya Dipa dengan permasalahan yang dialami oleh ki Demang. Permasalahan yang menyangkut hak waris dari sebuah palungguhan berupa Demang.
.
"Mengapa Kanjeng Sunan menyuruh aku melewati daerah ini ?" batin Arya Dipa, "Adakah ini akan mempertemukan aku dengan adi Mas Karebet ?"

Pikiran pemuda itu masih ingat dengan jelas akan kata - kata dari seorang suci di Kadilangu setelah ia pergi dari Demak. Ia di suruh ke arah kali Tuntang, di sana akan ada sebuah peristiwa yang memerlukan bantuan. Serta di seberang kali itu nantinya ia akan berjumpa dengan seorang yang ia cari, yaitu Mas Karebet.
.
"Anakmas..." seru ki Demang.
.
"Oh.. Maaf, ki Demang." kata Arya Dipa, setelah dirinya sadar dari lamunannya.
.
"Adakah yang anakmas pikirkan ?"
.
Arya Dipa tampak berpikir, lalu kemudian ia pun berkata, "Ki Demang, berapa banyakah gerombolan Kalamuda itu ?"
.
Ki Demang tak mengerti jalan pikiran dari Arya Dipa. Tetapi tanpa ia sadari mulutnya menjawab, "Sekitar seratus orang, anakmas."
.
"Lalu berapakah pengawal Kademangan ini ?"
.
"Hanya lima puluh saja, anakmas."
.
Sebuah perbedaan yang banyak di dalam jumlah dan tentu kemampuan gerombolan itu juga patut diwaspadai, bila melakukan perlawanan. Untuk melakukan penyerangan ke pusat lawan, tak menguntungkan. Andai meminta bantuan ke prajurit Demak sangat mustahil di dapat, selain dirinya bukan lagi seorang Lurah prajurit, letak Demak jauh.
.
"Ki Demang, maaf bila aku ingin mengusulkan sesuatu.. "
.
"Maksud anakmas ?"
.
"Bila ki Demang ingin melakukan perlawanan, aku ingin membantu tenaga dan pikiran dalam menyelesaikan ancaman di kademangan Mlanding ini."
.
"Oh.. Anakmas, kau terlalu baik. Sebaiknya anakmas menghindar saja dari pertikaian ini." kata ki Demang.
.
"Mudah itu ki Demang. Tetapi selanjutnya aku akan dihantui dengan sikap penghindaran itu, ki Demang." Arya Dipa masih mencoba bertahan untuk membantu.
.
"Bukannya aku menyombongkan diri, ki Demang. Kekuatanku ini hanyalah secuil saja. Tetapi jika ikut bersama ki Demang, tentu akan menambah kekuatan ki Demang walau itu hanya satu orang." sambung Arya Dipa.
.
"Baiklah bila itu keinginan, anakmas sendiri. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih." Akhirnya ki Demang menerima uluran tangan Arya Dipa." Kalau begitu besok kita akan menghadapi mereka."

"Ki Demang, kalau boleh mengusulkan sebaiknya kita menyusun siasat."
.
Ki Demang mengernyitkan alisnya tiada terpikir dirinya akan menggunakan sebuah siasat. Dalam pemikirannya ia dan para pengawalnya akan lansung bertempur begitu saja.
.
"Siasat bagaimana, anakmas ?" tanyanya kemudian.
.
"Sebaiknya ki Demang memanggil seluruh bebahu dan para pemimpin pengawal ke pendopo."
.
Usul itu mendapat tanggapan yang baik oleh ki Demang. Bertepuklah ia untuk memanggil pembantunya dan segera memberikan perintah untuk memanggil seluruh bebahu dan pemimpin pengawal.
.
"Baik, ki Demang." kata pembantu ki Demang yang kemudian bergegas menyampaikan perintah ki Demang.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 13
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Seperti yang sudah disepakati ki Demang Mlanding, Arya Dipa dengan gamblang membeberkan rencana yang ia susun dalam melakukan sebuah perlawanan menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh ki Ploso Slangkrah. Waktu sehari yang tersisa digunakan dengan baik oleh para penghuni kademangan itu. Bahu - membahu penghuni kademangan mempersiapkan sambutan kepada lawannya, yaitu membuat berbagai jebakan bagi musuh yang mengancam ketenangan tempat tinggal mereka.
.
Pengawal pilihan disebar ke setiap penjuru kademangan demi mengamankan wilayah kademangan dari para penyusup. Lalu bebahu dan para pengawal serta pemuda mengikuti arahan dari Arya Dipa, mengerjakan berbagai macam jebakan bagi lawan mereka.
.
Regol kademangan diperbaiki dan membuat lebih kokoh dari sebelumnya. Lima langkah dari pintu regol, sebuah lubang dibuat sedalam satu tombak yang kemudian ditutupi kembali dengan ranting, jerami serta paling atas tanah. Tak hanya itu saja, dua rumah penghuni paling dekat dengan regol dikosongkan, yang nantinya akan digunakan sebagai tempat bagi pengawal yang piawai dalam menggunakan panah.
.
"Ki Demang, siapakah sebenarnya anakmas Arya Dipa ?" tanya ki Bayan lirih.
.
"Entahlah, ki Bayan. Ia hanya mengatakan kalau dirinya hanyalah seorang pengembara dari kadipaten Ponorogo." jawab ki Demang.
.
"Memangnya kenapa kakang ?" ki Kamituwo heran dengan pertanyaan dari ki Bayan.
.
"Lihatlah anak muda itu, adi. Ia sangat piawai dalam mengerjakan segala hal yang sulit kita lakukan."
.
"Ah, bukankah pengawal lainnya juga bisa ? Lihat itu si Arja dan Boma.. "
.
Pandangan mata ki Bayan mengarah kepada kedua pemuda yang disebut oleh ki Kamituwo. Memang keduanya juga dapat berbuat seperti arahan dari Arya Dipa, tetapi bukanlah itu yang dipertanyakan oleh ki Bayan.

"Bukan itu, adi. Coba lihat anakmas Arya Dipa." kata ki Bayan, "Lihatlah, dengan mudahnya pemuda itu menebas pohon sekali tebasan golok. Dan menyusun pohon tak beraturan setinggi tiga tombak itu."
.
Ki Kamituwo dan ki Demang mengangguk penuh takjub dengan apa yang mereka lihat itu. Dimana Arya Dipa membuat sesuatu yang belum dibuat oleh para penghuni kademangan. Serta mereka pun tak mengerti kegunaan dari batang pohon tersusun itu.
.
Seorang pemuda yang tak tahan lagi dengan pertanyaan membebani pikiran, memberanikan diri bertanya kegunaan batangan itu kepada Arya Dipa.
.
"Adi, susunan batang ini nantinya akan dililitkan tali tambang yang kuat untuk menarik tali tambang sehingga susunan batang yang masih ada ranting itu bergerak." kata Arya Dipa.
.
"Bagaimana itu bisa, kakang ?"
.
"Lihatlah dasaran dari susunan batang itu dilandasi kayu bulat sebagi roda di sisi - sisinya." kembali Arya Dipa menerangkan, "Nantinya lima orang masing - masing akan menarik dua susunan batang di sisi berbeda, untuk membuat lawan yang akan memasuki kademangan terjepit dan susah melewati.
.
Pemuda itu mengangguk, "Kakang, akibat yang ditimbulkan akan mengerikan."
.
"Carilah kain sebanyak - banyaknya dan lilitkan dengan erat disetiap ujung batang yang melintang disusunan itu."
.
"Buat apa kakang ?"
.
"Supaya korban tak sampai mati, karena tumpukan kain itu hanya akan menyesakan dada korban yang terjepit."
.
"Baik kakang." pemuda itu pun berlari mencari kain bekas di rumah - rumah penghuni kademangan.
.
Matahari di langit semakin menggelincir ke barat. Pekerjaan membuat berbagai jebakan tingal sedikit lagi selesai. Kerjasama yang ditunjukan oleh penghuni kademangan dalam mempertahankan tempat tinggalnya, terlihat begitu semangatnya. Hal itu membuat seorang yang berdiri di balik pohon trembesi, tersenyum.
.
"Terampil sekali mereka dalam menyusun siasat." desis orang dibalik pohon, "Hm.. Pasti anak muda itu. Tetapi sayang, pengawal yang bertugas mengamankan penyusup lengah, sehingga aku lolos dan mampu menyaksikan apa yang dikerjakan oleh orang - orang kademangan.

Tak lama sehabis memperhatikan keadaan di kademangan, orang itu bergegas pergi. Kakinya sangat lincah dan cekatan. Hanya beberapa loncatan saja orang itu telah lenyap dibalik semak belukar.
.
Akhirnya malam pun tiba. Langit terasa kelam di malam itu. Mendung hitam melapisi langit menutupi sinar rembulan dan bintang - gemintang. Ditambah lagi angin ikut mengoyak udara dan menimbulkan rasa dingin menyengat kulit. Rintik - rintik air hujan membasahi tanah walau hanya sekejap, karena segera tersapu sang bayu.
.
Malam itu tak seperti biasanya, dimana serangga yang biasanya meramaikan malam - malam sebelumnya tak nampak batang hidungnya. Bahkan suara cengkerik lenyap bak ditelan bumi. Heninglah malam itu dari segala bunyi. Sunyilah malam itu tiada rasa. Tetapi sejatinya keheningan, kesunyian itu mempunyai tanda bagi setiap insan yang memiliki hati peka terhadap alam.
.
Seorang manusia yang peka dengan alam akan mampu membaca setiap kejadian yanh ditimbulkan oleh alam itu sendiri. Seakan alam dengan murah hati mengabarkaan adanya seseuatu kejadian kepada orang itu. Tetapi bila manusia mencemohkan alam, berlaku kasar dengan alam, tentu alam juga akan membuat manusia itu menyesal.
.
Sudah banyak kejadian dimana manusia melakukan pengrusakan terhadap alam. Pohon ditebang membabi buta, tanah digali tanpa perhitungan, sampah berserakan membuat tanah tak mampu mencerna sehingga tanah menjadi tandus dan kering. Itu semua merupakan kesalahan tangan - tangan manusia yang tak peka dengan alam.
.
Begitu juga di malam itu. Alam memberikan pertanda adanya kejadian di kademangan Mlanding. Sebuah kejadian yang akan membuat darah menetes membasahi bumi nan suci ini, karena keserakahan seorang terhadap palungguhan Demang yang berdiri di atas bumi, yang merupakan bagian dari alam.
.
Derap kuda mulai terdengar dari luar regol kademangan. Tak hanya satu, melainkan lebih dari lima kuda dan masih juga diikuti oleh berlarinya banyaknya orang di belakang penunggang kuda.
.
"Mereka datang.. " bisik seorang pengawal.
.
"Bersiaplah.. "
.
Derap kaki kuda itu pun berhenti tepat lima tindak di luar regol.
.
"Hmm... " geram penunggang kuda paling depan, "Hai buka regol ini !!''
.
Teriakan itu berkumandang mengalun mengikuti aliran udara. Namun tiada sahutan yang menjawabnya. Seakan - akan kademangan yang dituju kosong ditinggalkan penghuninya.

"Kakang, sepertinya mereka lari dari kademangan ini." seorang wanita bersuara.
.
"Hm.. Kincang, buka pintu regol itu !"
.
"Baik, ki Lurah."
.
Lelaki berwajah sangar turun dari kudanya dan mendekati pintu regol. Dirabanya regol itu, kemudian ia buka buka dengan pelan.
.
"Hekk.. "
.
Pintu tak bergerak seujung rambut pun. Hal itu membuat Kincang bersungguh - sungguh untuk membukanya. Tetapi tak menampakan hasil.
.
"Apa yang kau lakukan, Kincang ?!" tegur penunggang kuda yang paling depan.
.
Teguran itu membuat Kincang gelagapan, lalu ia kembali berusaha membuka regol itu. Kembali tenaga yang ia kerahkan sia - sia. Pintu regol kokoh dan membuat Kincang tak berkutik.
.
Tiba - tiba sebuah suara terdengar menegur dari atas panggungan, "Kakang Ploso, tinggalkan kademangan ini."
.
"Hm..Danurejo, apa maksudmu ini?" geram penunggang kuda yaitu, ki Ploso Slangkrah, "Jadi kau ingin melakukan perlawanan denganku, he !!!"
.
Orang yang berdiri di atas panggungan memang ki Danurejo, Demang Mlanding. Ki Demang mencoba membujuk agar saudaranya itu tak melanjutkan tindakan yang akan merusak hubungan mereka sebagai saudara kandung. Tetapi itu akan sia - sia saja, karena ki Ploso Slangkrah sudah dibutakan hati dan pikirannya.
.
"Kakang, kita ini saudara se-ayah dan se-ibu, mengapa kita harus meneteskan darah karena hal semacam ini ?"
.
"Huh.. Bila kau sadar dengan omonganmu, lekas buka pintu regol dan kau cepat angkat kaki dari tanah yang memang menjadi hak-ku ini." kata ki Ploso Slangkrah dengan ketusnya.
.
"Kau salah, ki Ploso Slangkrah." sebuah suara menentang, "Walau kau anak sulung, tetapi watakmu tak berkenan dihati ki Demang terdahulu, oleh karenanya ia mengusirmu dan mengangkat kakang Danurejo sebagai penggantinya."
.
"Tikus busuk, kau bayan. Sepantasnya kau menyusul Jagabaya dan anaknya ke liang lahat !!" teriak ki Ploso Slangkrang.
.
"Kakang jangan terlalu lunak kepada mereka, sebaiknya lumatkan orang - orang itu. " kata wanita yang berdiri disamping ki Ploso Slangkrah.
.
Dalam pada itu sebuah suara mengagetkan wanita itu, "Jadi kau di sini nyai Cempaka ?"


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 14
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Suara teguran itu kembali mengingatkan nyi Cempaka kepada seorang remaja di pertapaan Pucangan. Dadanya berdebar kencang bersamaan dengan timbulnya gejolak dendam menggelora memenuhi ruang dadanya. Pemuda yang membuat dirinya dan kawan - kawannya tercemar rasa malu memenuhi guratan dunia olah kanuragan.
.
"Kau mengenalnya, nini ?" tanya ki Ploso Slangkrah.
.
Nyi Cempaka mengangguk, "Dia yang membunuh murid kakang Ajar Lodaya, kakang."
.
"Berhati - hatilah, pemuda itu pewaris kitab kuno Prabu Airlangga." sambung nyi Cempaka.
.
"He.. Benarkah itu ?" kejut ki Ploso Slangkrah.
.
"Jangan kau takut, Ploso Slangkrah." kata seorang berambut putih, lanjutnya, "Biar aku urus anak itu, tetapi imbalannya ialah kitab yang mungkin ia bawa.. hahaha.. "
.
Tawa orang itu telah menggetarkan udara malam. Sebuah pertanda betapa ilmu yang diungkap oleh orang itu tak bisa dipandang sebelah mata.
.
"Baik, ki Jara Mudra. Aku serahkan anak itu kepadamu." kata ki Ploso Slangkrah.
.
Sementara itu di atas panggungan Arya Dipa memerhatikan dengan sungguh - sungguh ke arah orang yang dipanggil ki Jara Mudra. Seorang berperawakan tinggi besar dengan muka bengis terhias diraut wajahnya.
.
"Orang - orang ini tak mampu dipandang sebelah mata. Selain nyi Cempaka dan orang tua itu, pemuda yang dibelangkang itu juga patut aku waspadai." batin Arya Dipa.
.
"Ki Demang, suruhlah dua atau tiga orang bebahu untuk menghadapi perempuan dan pemuda yang berada di belakang orang tua yang tertawa tadi." Arya Dipa mencoba memberi petunjuk kepada ki Demang.
.
"Baik, anakmas." sahut ki Demang Mlanding, "ki Bayan katakan hal itu kepada bebahu dan pemimpin pengawal."
.
"Iya, ki Demang."
.
Bersamaan dengan turunnya ki Bayan dari panggungan, ki Ploso Slangkrah kembali memerintahkan Kincang dan anak buahnya untuk membuka pintu regol dengan paksa. Tetapi bahan pintu regol terlalu kokoh walau empat orang sudah mendobrak pintu itu.
.
"Minggir !" teriak pemuda penunggang kuda di belakang kuda ki Jara Murda, seraya turun dari kudanya.

Pemuda itu berdiri kokoh memusatkan nalar dan budi. Jemari mengepal itu pun sesaat memukul ke arah pintu regol, sebuah serangan jarak jauh melontarkan tenaga mendebarkan dan menggebrak pintu regol.
.
"Byaaarr !!!"
.
Pintu dari kayu besi itu hancur berkeping - keping terkena lontaran dahsyat dari si pemuda. Sorak membahana memekik dari mulut anak buah ki Ploso Slangkrah. Sorak kesombongan yang akan menciutkan nyali lawan yaitu penghuni kademangan.
.
"Jangan takut !" seru ki Kamituwo, menenangkan pengawal kademangan yang bersembunyi tak jauh dari pintu regol.
.
Rusaknya regol segera disambut dengan teriakan perintah dari ki Ploso Slangkrah, "Serbu.... !!!"
.
Seketika anak buak gerombolan Kalamuda menghambur memasuki regol yang rusak. Tetapi baru satu tombak, jerit membahana keluar dari mulut gerombolan yang memasuki regol. Ternyata lebih dari sepuluh orang jatuh ke dalam lubang yang menganga.
.
"Licik kau, Danurejo !!" umpat ki Ploso Slangkrah.
.
"Hindari lubang !" seru Kincang memberi aba - aba kepada bawahannya, "Menyebar !"
.
Tak ingin mengalami kesialan yang sama, anak buah gerombolan Kalamuda mencari jalan memutar dari lubang jebakan.
.
"Sekarang... !" seru ki Kamituwo sambil menggerakan tangannya.
.
Dari balik dua rumah penghuni yang sebelumnya sudah dikosongkan, berhamburanlah anak panah mengincar tubub yang berlarian ke dalam kademangan. Jeritan pilu kembali meraung menggetarkan bumi Mlanding. Tajamnya panah menghujam di tubuh anak buah gerombolan Kalamuda, tetapi kebanyakan menyasar paha ke bawah. Itu seperti permintaan dari Arya Dipa, supaya mengurangi korban nyawa sebanyak - banyaknya.
.
"Kurang ajar !" umpat Kincang seraya memutar goloknya demi melindungi tubuhnya dari sasaran panah lawan.
.
"Mari ki Demang." ajak Arya Dipa untuk terjun menghadang lawan.

"Kincang, pimpin kawan - kawanmu memasuki kademangan lebih dalam dan bakar kademangan ini !" perintah ki Ploso Slangkrah sambil turun dari kuda dan siap menghadapi adiknya, ki Danurejo Demang Mlanding.
.
Kincang memanggil kawan - kawannya untuk memasuki kademangan lebih dalam. Tetapi orang berwajah sangar itu terkejut bukan kepalang saat terdengar adanya bunyi berderak dari samping kanan dan kirinya.
.
"Awas jebakan !!!"
.
Tubuh Kincang berhasil menghindari susunan batang menjulang tinggi itu, tetapi puluhan kawannya terjepit keras susunan batang kayu dengan landasan bawah beroda. Selain itu, Kincang dan kawan - kawannya tak mampu memasuki lorong jalan dikarenakan lorong itu telah tertutup oleh susunan batang tersebut.
.
Walau gerombolan Kalamuda berkurang banyak, tetapi kekuatan mereka masih terlalu banyak bagi para penghuni kademangan. Terjadilah kini pertempuran brubuh di segenap jalan terdepan kademangan. Suara denting benda tajam menggema mencari mangsa tak pandang bulu.
.
"Lawan terlalu banyak, paman. Sebaiknya kita keluar membantu mereka." desis seorang pemuda.
.
"Hm.. Mari, ngger."
.
Kedua orang itu lantas muncul dari kegelapan dan menyerang serbuan dari gerombolan Kalamuda. Tandang keduanya sangat mengagumkan sehingga sekali gerak, satu dua orang jatuh terjerembab.
.
"Bangsat ! Siapa kalian ?" teriak Kincang.
.
"Kami penghuni kademangan ini, kisanak." jawab orang yang dipanggil paman.
.
"Tepatnya danyang kademangan ini, kisanak.. hehehe.. " celetuk pemuda lainnya.
.
"Lancang kau pemuda edan !" maki Kincang, "Akan ku buat kau menyesal atas kelancangan mulutmu !"
.
Sementara itu ki Demang sudah bergerak menghadapi kakaknya. Keduanya bergerak tangkas dengan menggunakan tata gerak berbeda jalur. Walau begitu Ki Danurejo atau ki Demang sedikit banyak mengetahui dasar dari ilmu kakaknya itu, yaitu ilmu dari perguruan Kalamuda.

"Lumayan juga kau, Danurejo." puji Ki Ploso Slangkrah, lalu, "Tapi hal itu lumrah.. "
.
Kerut menghiasi dahi ki Demang Mlanding atas ucapan kakaknya. Tentu kata - kata itu mempunyai kelanjutan dari tindakan kakaknya selanjutnya. Benar saja, Tata gerak kakaknya berubah menjadi lain dan sulit ia baca arahnya.
.
"Ilmumu dangkal, Danurejo."
.
Dua pukulan bersarang di dada ki Demang Mlanding. Tubuh itu bergeser dari tempatnya dan wajah ki Demang seperti menahan rasa sakit. Dadanya bagai ditumbuk besi gligen.
.
Walau begitu ki Demang tak segera menyerah. Semangatnya muncul seiring datangnya kesadaran yang melintas di benaknya. Dimana tanggung jawab dari ayahnya untuk memakmurkan kademangan yang diwariskan kepadanya. Semangat itulah yang menjadi pendorong untuk meningkatkan kemampuannya untuk mencegah perbuatan kakaknya.
.
"Kau tak sadar juga, anak cengeng !" seru ki Ploso Slangkrah.
.
"Kau keliru, kakang. Kita sudah sama - sama memutih rambut kita dan bukanlah seorang anak bengal lagi."
.
"Hm.. Bagus, kalau begitu tunjukan ilmu yang kau warisi dari orang tua mu itu."
.
"Kakang, jangan kau berlaku durhaka. Ayah demang juga ayahmu juga !"
.
"Cuh.. Itu dahulu, sekarang tidak !"
.
"Kakang... "
.
"Diam kau !" bentak ki Ploso Slangkrah sambil meloncat menyerang ki Demang.
.
Keduanya kembali beradu liatnya daging dan kerasnya tulang. Semakin sengitlah tandang keduanya dalam setiap gerak. Kerasnya hamtaman dielakan gesitnya langkah menghindar. Lajunya tendangan terhenti denga kuatnya cengkraman tangan.
.
Di sisi lain Ki Jara Murda memandang tajam ke arah Arya Dipa. Pamuda yang dikatakan menyimpan ilmu dari kitab kuno peninggalan Prabu Airlangga. Oleh karena itu orang tua itu berhati - hati dalam menentukan setiap langkahnya. Walau musuh masih muda, tetapi bila nyi Cempaka telah memperingatkan dirinya, tentu itu menjadikan pertimbangan di hatinya.
.
"Bersiaplah, anak muda !" seru ki Jara Murda.
.
"Baik, kisanak." sahut Arya Dipa sembari membuka kuda - kuda dengan kokohnya.
.
"Hm.. Kuda - kuda yang bagus." desis ki Jara Murda, "Majulah !"


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 15
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Setapak demi setapak kaki Arya Dipa bergeser memulai penyerangan terhadap lawan yang ia pandang mempunyai kemampuan olah kanuragan mumpuni. Di cobanya untuk melakukan penjajagan terlebih dahulu, guna mengetahui besarnya tenaga lawan. Dengan sebuah ayunan tangan ke depan, digunakan sebagai serangan tipuan.
.
Tipuan ayunan tangan termakan oleh ki Jara Murda, yaitu orang tua itu bermaksu  menangkap tangan Arya Dipa. Pada saat itulah, tangan Arya Dipa lekas ditarik kembali dan mengubah serangan dengan tendangan mendatar.
.
Ternyata ki Jara Murda sudah memperhitungkan kalau serangan lawan hanyalah tipuan belaka, maka secepat serangan lawan berganti, orang tua itu mengisar kakinya seraya melakukan serangan balik. Sengitlah perkelahian dua orang itu, tangan dan kaki begitu cepat dan kuat dalam setiap serangannya. Udara disekitar keduanya pun bagai terkena prahara dan menyibak semua yang ada dijangkauan ki Jara Murda dan Arya Dipa.
.
Sedangkan di sisi yang lainnya lagi, sesuatu yang berat sebelah dialami oleh kerumunan pengawal kademangan Mlanding. Nyi Cempaka dan murid ki Jara Murda mengamuk mengobrak - abrik pertahanan pengawal kadekangan yang hanya mempunyai dasar kanuragan cethek. Dua orang itu sekali bergerak mengakibatkan beberapa korban tak berdaya.
.
"Cukup, kisanak !" seru seorang pemuda yang keluar dari kegelapan bersama pamannya.
.
"Hm.. Mau apa kau ?" bentak murid ki Jara Murda.
.
"Mencoba menghentikan tingkah lakumu yang kasar tak sesuai tatanan ini !" seru pemuda yang mempunyai sorot mata tajam.
.
"Hehehe.. Kau belum tahu siapa calon lawanmu ini, he !" sahut pemuda murid ki Jara Murda, "Aku Bagus Sagopa, murid kinasih ki Jara Murda."
.
"Nama yang bagus, kisanak." ucap pemuda bersorot tajam, "Namun sayang, namamu tak sesuai perilakumu."
.
"Tutup mulutmu ! Sebelum kau mati, sebutkan siapa kau ini !"

"Aku hanyalah anak Tingkir, Bagus Sagopa. Kawan - kawanku sering menyebut namaku, Jaka Tingkir."
.
Bagus Sagopa mengerutkan keningnya. Ia teringat dengan cerita sepekan yang lalu, dimana seorang pemuda mampu membunuh buaya putih di kedung dekat sebuah perkampungan.
.
"Huh.. Hanyalah cerita ngayawara saja." batin Bagus Sagopa.
.
"Mengapa kau terlihat termenung seperti itu, Bagus Sagopa ? Sakitkah kau ?"
.
Pemuda murid ki Jara Murda itu menggeretakan giginya, seraya meloncat ke arah Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Dua pemuda itu pun kemudian terlibat adu kecepatan, kegesitan dan kuatnya tenaga. Sama - sama muda dan tangkas menjadikan perkelahian itu seru. Apalagi disetiap serangan yang dilakukan keduanya tak menahan kekuatan masing - masing. Maka kekuatan itu bagai bendungan yang jebol sehingga meluruk aliran dibawahnya.
.
Tak kalah seru juga dialami oleh nyi Cempaka. Wanita dari bang wetan itu bertemu dengan lelaki yang sangat lihai dalam setiap gerakannya. Sehingga hal itu sangat menjadi perhatian dari nyi Cempaka untuk berhati - hati.
.
"Aku tak mengira jikalau kademangan ini menyimpan seekor banteng sepertimu, kisanak !" seru nyi Cempaka.
.
"Hahaha.. Bukan hanya kademangan ini saja, nyai. Di setiap kademangan yang mengalami perilaku seperti yang dilakukan oleh orang bernama Ploso Slangkrah, tentu akan lahir beribu macan untuk memberikan ketenangan." sahut paman Jaka Tingkir, yaitu ki Sembada atau Raden Kebo Kanigara.
.
"Cih.. Omong kosong, kau !" geram nyi Cempaka seraya melanjutkan serangannya.
.
Para bebahu yang menyaksikan lawan - lawan yang mereka anggap menakutkan telah mendapat lawan seimbang, membuat mereka tenang dan memusatkan perhatian mereka kepada anak buah gerombolan Kalamuda. Kedudukannya kini menjadi imbang, dikarenakan anak buah gerombolan Kalamuda semakin berkurang sejak terkena jebakan dan kedatangan Jaka Tingkir dan ki Sembada.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 16
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Denting beradunya senjata sering terjadi disusul erangan maupun jeritan yang menyayat kalbu. Luka tergores tajamnya pedang, belati panjang, nanggala, tombak dan senjata tajam lainnya nampak mewarnai tubuh masing - masing pihak yang lengah. Luka memar juga didapat oleh kedua belah pihak.
.
Dalam pada itu, Arya Dipa merasakan tekanan hebat dari ki Jara Murda. Serangan orang tua itu seoalah - olah mampu mendahului wadagnya.
.
"Untung saja aji Niscala Praba sudah aku ungkap sejak tadi." batin Arya Dipa.
.
Jikalau Arya Dipa tak melindungi tubuhnya dengan aji yang mampu memberikan benteng kasat mata itu, tentu tubuhnya akan remuk terkena tangan ki Jara Murda yang sudah dilambari aji Hasta Wesi. Yaitu sebuah aji yang dapat membuat si pengguna bagaikan terbuat dari besi gligen.
.
Demikian pula yang dirasakan oleh orang tua guru Bagus Sagopa, rasa heran menyelimuti hatinya manakala merasakan tangannya bagai menumbuk sesuatu yang keras dan tebal.
.
"Gila, jadi inikah kesaktian dari seseorang yang menyerap ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu ?" ucapnya dalam hati.
.
"Ah, aku akan mendobrak dengan aji Waja Geni " lanjut ki Jara Murda.
.
Sehabis berkata, orang tua itu melompat menjaga jarak demi menerapkan ilmu andalannya setelah aji Hasta Wesi, yaitu aji Waja Geni. Secepat kilat tangan yang sebelumnya berwarna hitam kelam, berubah menjada merah membara berselang seling dengan warna hitam pekat.
.
"Mampus kau, anak muda !!!!" teriak ki Jara Murda sambil menyongsongkan kedua tangan kepada lawannya.
.
Sejak ki Jara Murda meloncat menjaga jarak, Arya Dipa sudah memperhitungkan kalau lawannya tentu akan berbuat sesuatu yang akan mengejutkan dirinya. Oleh sebab itulah, Arya Dipa sudah menempatkan dirinya dengan baik. Yaitu mempertebal aji Niscala Praba sampai tingkatan teratas.
.
Suara menggelegar menghentakan udara malam di kademangan Mlanding. Dua ilmu berbeda penerapan, yaitu aji Wesi Geni sebagai pendobrak melawan aji Niscala Praba yang dikhususkan sebagai benteng, menjadi penyebab suara keras itu.
.
Sesaat setelah suara hentakan itu reda, dua orang sebagai sumber kedua kekuatan masih terlihat berdiri kokoh ditempat masing - masing.
.
"Gila !" seru ki Jara Murda, "Setan kecil itu mampu menahan pukulanku."
.
Sementara Arya Dipa mengucap syukur dalam hati, "Ya Gusti, Engkau masih memberikan perlindungan kepada hamba-mu ini."
.
"Edan... !" umpat Bagus Sagopa, ketika menyaksikan lawan gurunya mampu menahan serangan aji Wesi Geni.

"Mengapa kau mengumpat seperti itu, Bagus Sagopa ?" tanya Jaka Tingkir yang memberikan waktu bagi lawannya untuk memperhatikan keadaan disekitarnya, "Masih untung kakang Arya Dipa itu tak menggunakan tenaga penuh."
.
Bagi Bagus Sagopa, suara yang keluar dari mulut lawannya merupakan ejekan yang perlu ia balas dengan sebuah hajaran. Lalu ia pun dengan cepat menampar mulut lawannya tanpa ampun. Tetapi yang ia dapat malah rasa mangkel dihati, bukan tangannya menyentuh mulut lawan, melainkan batang pohon randu-lah yang terkena gamparan tangannya.
.
Secepatnya ia membalikan tubuh dan kembali menyerang Jaka Tingkir dengan segenap kemampuannya. Tetapi ia salah lawan, karena pemuda anak angkat nyi Ageng Tingkir itu merupakan pemuda yang rajin mesu diri diberbagai tempat dan mempunyai guru lebih dari satu.
.
Betapa mudahnya Jaka Tingkir dalam memperlakukan lawannya yang mempunyai kemampuan menggetarkan itu. Setiap serangannya mampu dimentahkan dengan gamblangnya. Kecepatan Bagus Sagopa bagi Murid ki Ageng Sela itu bagai sekuku ireng. Padahal Bagus Sagopa mempunyai ilmu meringankan tubuh mengagumkan, tetapi hal itu jauh dari kemampuan murid ki Ageng Sela itu, dimana kelincahan ki Ageng Sela mampu menghindari kilatan petir dan menangkapnya, mampu diserap oleh Jaka Tingkir.
.
"Sudahlah, Bagus Sagopa. Sebaiknya kau menyadari kekeliruanmu ini. Janganlah kau mengikuti perbuatan dari gurumu." ucap Jaka Tingkir perlahan.
.
Namun Bagus Sagopa tak mendengarkan perkataan dari lawannya. Malah tangannya telah menggenggam sebilah keris dengan pamor menakjubkan. Sinar hijau memancar dari keris ditangan pemuda itu.
.
"Bagus Sagopa, sadarkah kau jika yang ada di tanganmu itu sebuah benda tajam ?"
.
"Hahaha.. Menyesalkah kau berhadapan denganku, Jaka Tingkir ?" kata Bagus Sagopa dengan sinis, "Ketahuilah, jika kyai Sagopa ini sudah keluar dari sarangnya, darahlah sebagai tumbalnya. Dan darahmu-lah sebagai tumbalnya."
.
Mata tajam dari Jaka Tingkir semakin tajam. Tubuh pemuda itu selapis nampak samar warna hijau kebiru - biruan. Menandakan aji Lembu Sekilan sudah manjing dalam setiap langkahnya. Cucu Adipati Handayaningrat itu kini mulai bersungguh - sungguh demi menghadapi keris kyai Sagopa di tangan lawannya.

Selanjutnya sudah dipastikan kedua pemuda itu memulai kembali perkelahian yang telah meningkat lebih seru dan mendebarkan. Kini nyawalah yang dipertaruhkan dalam perang itu, nyawa yang tiada orang memperjual belikan harus menjadi harta yang harus mereka pertahankan.
.
Kembali dengan Arya Dipa. Pemuda itu kali ini terlihat menghindari pukulan ki Jara Murda. Kedua tangan lawan yang membara berselang warna hitam, dihindari dengan berjumpalitan tiga kali sambil menjauh dari jangkauan lawan.
.
"Pengecut !!!" seru ki Jara Murda, "Kenapa kau melompat terus ? Bukankah kau mempunyai ilmu kasat mata ?"
.
"Hm.. Kyai, Kau selalu berkata begitu terus sejak tadi. Bila aku menahan, kau memaki dengan kasar. Dan bila aku menghindar, kau menganggap aku pengecut." kata Arya Dipa, "Ingatlah, kisanak. Usia yang sudah setua kisanak ini seharusnya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dengan berkata memuji kebesaran-NYA."
.
Wajah ki Jara Murda seketika memerah. Baru kali ini dirinya disesorahi oleh seorang anak yang usianya masih hijau. Beginilah jika seseorang yang mempunyai harga diri terlalu berlebihan. Nasehat kebaikan dari seorang yang usianya lebih muda, dianggapnya berlaku kurang tata. Dan ini merupakan yang dialami oleh kebanyakan orang dimasa ini.
.
"Diam kau, anak setan !!" umpat ki Jara Murda dengan kasarnya.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 17
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Seleret warna merah membara terlontar dari tangan ki Jara Murda setelah mengakhiri umpatannya. Aji Waja Geni atau Wesi Geni meningkat pada sifat dan kemampuannya, lebih dahsyat dari sebelumnya. Selain itu, ilmu ini ialah hasil dari penempaan diri ki Jara Murda selama ini untuk mencari kesempurnaan ilmunya.
.
Di depan Arya Dipa yang tak pernah mengendorkan kewaspadaannya, terus tetap bersiaga. Maka lontaran aji dari ki Jara Murda dapat ia hindari dengan cara melentingkan tubuhnya ke samping kanan.
.
Alangkah terkejutnya Arya Dipa, saat dirinya yakin akan terhindar dari terjangan tenaga lontaran dahsyat, ternyata lontaran lawan tak berhenti sampai di situ saja. Seleret warna merah membara kembali terlontar dari ki Jara Murda tanpa henti.
.
"Mampus kau anak setan !" seru ki Jara Murda dengan keyakinan tinggi.
.
"Bluum.. Bluum.. Bluum.. Bluum.. Bluum.. "
.
Tenaga dari aji Waja Geni terarah ke satu titik, yaitu dimana Arya Dipa berdiri di atas tanah semula. Kobaran api membara meluluh lantahkan tanah beserta rumput sejarak empat kali tangan merentang. Serta tanah itu berlubang cukup besar menyisakan bara yang masih terlihat dari kegelapan malam.
.
"Luar biasa orang ini." desis seorang pemuda yang duduk di atas batang pohon.
.
Sementara ki Jara Murda setelah memerhatikan disekitarnya, ia menyeringai bagaikan serigala yang kenyang seusai melahap mangsanya. Dadanya membusung lebih maju, seolah - olah menunjukan kalau di dunia ini tiada yang mampu menyainginya.
.
"Kebesaran kitab Prabu Airlangga ternyata hanyalah omong kosong belaka !" serunya disusul dengan tawa menggelora.
.
Mengetahui ki Jara Murda terbuai dengan kemenangannya, orang yang duduk di cabang pohon hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. Sejenak orang itu mengambil nafas untuk melonggarkan rasa sesak di dada. Lalu dengan gerak ringan orang itu menjejak cabang pohon, kemudian melontarkan tubuhnya ke udara dengan berjumpalitan dua kali, dan kemudian menginjakan kakinya di bumi.

Saat sepasang kaki orang itu menginjak tanah, kegusaran melanda hati ki Jara Murda. Untuk meyakinkan bahwa orang yang berdiri dihadapannya benar - benar orang, tangan ki Jara Murda mengucek - ucek kelopak matanya.
.
"Ka.. Kau masih hidup ?!"
.
"Lihatlah kakiku, ki. Bukankah kakiku masih menapak di tanah ?" balas orang yang baru turun dari cabang pohon.
.
"Te.. ta.. pi Ah mustahil kau mampu menahan aji Waja Geni-ku !"
.
Orang yang berdiri di depan ki Jara Murda tiada lain Arya Dipa, memandang dengan perasaan lembut. Sekali lagi pemuda itu mencoba memberi peringatan kepada ki Jara Murda untuk menyadari kekeliruannya.
.
"Lebih baik kisanak mengundurkan diri dari tempat ini. Ajaklah murid kisanak itu, bila kisanak kasihan dengannya."
.
Tanpa sadar ki Jara Murda memandang ke arah muridnya yang mengalami tekanan hebat dari lawannya. Orang tua itu kembali terkejut saat matanya dengan cermat memperhatikan adanya sinar aneh dari lawan muridnya.
.
"Sebuah ciri aji Lembu Sekilan." desis ki Jara Murda, "Siapa sebenarnya anak muda itu ?"
.
Demi mendengar disebut sebuah aji yang langka, tak pelak Arya Dipa juga kaget bukan kepalang. Tadi dirinya hanya memperhatikan bagaimana Bagus Sagopa terdesak oleh Jaka Tingkir tanpa meneliti sinar samar yang menyelimuti murid Kanjeng Sunan Kalijaga itu.
.
"Lembu Sekilan.. "ucapnya lirih mengulang kata dari ki Jara Murda.
.
Sementara itu, ki Jara Murda yang mampu berpikir untung ruginya, telah memutuskan untuk menghindar dari kademangan Mlanding. Oleh sebab itu, ia dengan tangkas melenting ke arah muridnya dan menyambar membawa Bagus Sagopa pergi.

Perginya ki Jara Murda dan Bagus Sagopa, merupakan pukulan berat bagi gerombolan Kalamuda. Karena orang tua dan muridnya itu salah satu kekuatan yang mendukung gerombolan dari hulu sungai Tuntang sekaligus sahabat dari ki Ploso Slangkrah. Hal itulah yang kemudian mengakibatkan sebagaian dari anak buah gerombolan Kalamuda menyerah.
.
"Bagus, bila kalian menyerah kami akan menjamin keselamatan kalian !" teriak Jaka Tingkir.
.
Lain halnya dengan ki Ploso Slangkrah dan nyi Cempaka, kaburnya ki Jara Murda dan Bagus Sagopa membuat keduanya semakin menggila. Tandang keduanya bagai malaikat pencabut nyawa yang haus dengan nyawa lawan - lawannya.
.
Bila ki Sembada mampu mengimbangi nyi Cempaka, tak begitu dengan ki Demang Mlanding. Ki Demang Mlanding jauh tertinggal dari ilmu kakaknya, ki Ploso Slangkrah. Tubuhnya bertubi - tubi terkena hantaman dan tendangan yang sulit dielakan. Serta darah merembes dari mulutnya saat sebuah gamparan mengenai pipi kanannya.
.
Darah yang keluar dari mulut ki Demang itu membuat ki Ploso Slangkrah lebih bernafsu untuk segera mengakhiri hidup adiknya. Tangan kanan ki Ploso Slangkrah meraih keris di balik pinggang adiknya, dan mencabut dari warangkanya. Tajamnya keris nampak berkilat ketika sebuah cahaya obor mengenainya, dan sejenak kemudian keris itu mulai terayun menebas leher ki Demang Mlanding.
.
"Plaakkk... Dess.. !"
.
Tubuh kokoh itu terguling menghantam pagar pembatas halaman rumah penduduk. Tubuh itu berusaha bangkit seraya menahan rasa pedih menyengat pergelangan tangan yang sebelumnya memegang keris.
.
"Sadarkah kau, kisanak ?!" sebuah suara mengelora menghentak udara, "Betapa kejamnya kau ini. Bukankah ki Demang itu adik kandung, kisanak ?"
.
Ki Ploso Slangkrah terdiam. Entah sadar akan ucapan orang yang memapas tangannya dengan daun pedang, ataukah menahan rasa pedih di tangannya ?
.
Sementara ki Demang yang mengetahui siapa penolongnya, bernafas lega, "Terima kasih, anakmas Arya Dipa."

Arya Dipa sesaat menengok ke arah ki Demang dan mengangguk perlahan. Selanjutnya pemuda itu kembali menatap tajam kepada ki Ploso Slangkrah. Baru kali ini dirinya merasakan adanya kemarahan yang menyesak dalam hatinya, manakala melihat ki Ploso Slangkrah akan menebas leher adiknya sendiri.
.
"Kau hanyalah orang luar, anak muda !" seru ki Ploso Slangkrah, lanjutnya, "Ini urusan keluarga kami."
.
"Tidak !" kata Arya Dipa lantang, "Ini sudah menjadi urusan umum !"


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 18
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Ki Slangkrah tertawa hambar demi menanggapi teriakan dari pemuda yang telah memukul pergelangan tangannya. Rasa pedih yang menyengat pergelangan tangan dan tubuhnya sudah mulai reda. Murid durhaka dari ki Kalaseta berdiri tegap dengan mendongak menatap langit di malam hari.
.
"Danureja, berapakah upah yang kau berikan kepada nya ?" tanya ki Ploso Slangkrah.
.
Ki Danureja atau ki Demang hanya menggelengkan kepalanya.
.
"Mustahil bila tiada uang yang kau berikan kepada orang - orang ini, sehingga mereka membelamu !"
.
"Kau keliru, kisanak. Tak semua orang seperti itu, yang berbuat keliru demi mendapatkan uang atau pun harta." Arya Dipa-lah yang menjawab.
.
Ki Ploso Slangkrah kembali tertawa, tawa yang sangat memuakan bagi pendengarnya. Habis tertawa tangan orang itu mencabut senjata di balik pinggangnya. Sebuah keris agak besar dengan warna hitam pekat, menandakan keris itu telah dilumuri warangan yang mematikan.
.
"Hiaat... !" teriak ki Ploso Slangkrah sambil menghunuskan keris ke dada lawan.
.
"Trang.. Trang.. Trang..!"
.
Tiga kali keris itu bergerak, tiga kali senjata Arya Dipa mampu menghadang pula. Maka percikan bola api timbul dari gesekan dua senjata berbeda jenis dan bahannya. Keris ki Ploso Slangkrah terbuat dari besi baja pilihan dari bumi. Sedangkan senjata tipis kyai Jatayu terbuat dari pecahan batu lintang langit yang ditempa oleh seorang empu, yang masih keponakan dari empu Supa.
.
Beradunya kedua senjata yang juga dilambari ilmu olah senjata, menimbulkan adanya tenaga dahsyat mengoyak udara dalam jangkauan kedua senjata. Selain itu desir angin yang ditimbulkan juga tak kalah dahsyatnya, dibandingkan dari senjata sesungguhnya.

Suatu kali keris ki Ploso Slangkrah melaju lurus mengarah dada lawan, tetapi saat lawan berusaha menebas tajamnya keris, ki Ploso Slangkrah dengan cepat menarik serangan seraya memutar tubuhnya. Niatnya yaitu menyasar pinggang samping lawannya.
.
"Tuuk.. !"
.
"He.. " kejut ki Ploso Slangkrah, karena kerisnya mengenai benda tajam di balik pakain lawannya.
.
Saat itu memang nyata keris ki Ploso Slangkrah tepat mengenai pinggang Arya Dipa. Dan Arya Dipa sengaja tak menghindar dari serangan itu, karena ia yakin dengan kerasnya ikat pinggang kyai Anta Denta yang ia pakai.
.
Namun lawannya tak berhenti sampai di situ saja. Perasan penasaran dalam hati disertai kemarahan, membuat ki Ploso Slangkrah melakukan tindakan yang disebut licik. Tangan kiri dengan cepat merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Yaitu sebuah bumbung kecil dengan sumbatan kain merah. Selekasnya orang itu mencabut sumbat kain merah sekaligus menebarkan isi di dalam bumbung ke arah Arya Dipa.
.
"Byaaar..... !"
.
Serbuk pekat bertaburan ke muka Arya Dipa, sehingga pemuda itu menjadi bingung sesaat. Tepat bersamaan dengan bingungnya Arya Dipa, ki Ploso Slangkrah menendang keras tubuh lawan sebanyak dua kali. Maka tubuh pemuda itu terdorong lima tindak, walau tak sepenuhnya tubuh itu terjerembab.
.
"Mati kau, anak muda. Kau sudah menghirup serbuk Kalapati !!" seru ki Ploso Slangkrah.
.
"Oh.. "Kejut ki Demang dengan tegangnya, lalu kemudian ia mendekat seraya berkata, "Kakang ampuni jiwa anakmas Arya Dipa. Berikanlah penawar itu kepadanya. Aku akan melakukan apa pun yang kau pinta, walau itu nyawaku."
.
"Hahaha... Baik sekali hatimu Danureja, tepatnya hatimu terlalu lunak !" sahut ki Ploso Slangkrah sambil menuding dengan kerisnya.
.
"Semua sudah terlambat, karena kematiannya juga akan kau susul dengan kematianmu beserta orang - orang yang berpihak padamu !" kembali ki Ploso Slangkrah berseru.
.
"Ka.. Kakang.. !"

Sebuah tangan menyentuh pundak ki Demang Mlanding dan terdengar suara yang lembut, "Ki Demang tak usah mengkwatirkan diriku. Aku tak apa - apa, ki Demang."
.
Ki Demang tak percaya dengan kata - kata dari Arya Dipa. Oleh sebab itulah ki Demang memperhatikan tubub Arya Dipa, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memang tak ada sesuatu yang menimbulkan rasa kawatir. Pada tubuh itu tiada timbul tanda - tanda keracunan akibat serbuk Kalapati dari perguruan Kalamuda.
.
"Bagaimana ini bisa terjadi, anakmas ?"
.
"Gusti Agung telah melimpahkan kekebalan racun dalam diriku, ki Demang." jawab Arya Dipa.
.
"Oh.. Syukur Ya Tuhan.. " desis ki Demang Mlanding.
.
Bila ada petir menghentak di malam itu, tak-kan mengagetkan ki Ploso Slangkrah sekaget ketika menyaksikan racun yang ia handalkan mampu dimentahkan lawannya, apalagi lawannya masih terlalu muda. Inilah pukulan yang menyakitkan hatinya. Seakan - akan wajahnya telah tersuruk ke dalam kotoran binatang peliharaan.
.
Semburat warna merah membias dalam wajahnya. Giginya bergemeretakan dibarengi tarikan nafas susul menyusul. Selekas itulah ia memusatkan segenap tenaganya dalam satu titik, di tangannya.
.
"Mohon ki Demang menyingkir." desis Arya Dipa, setelah mengetahui lawan sudah dalam tahap akhir dari sebuah pertarungan.

Ki Demang menurut saja demi memberikan kesempatan kepada Arya Dipa untuk menghadapi ilmu kakangnya, yang ia anggap sudah jauh dari jalur kebenaran. Ia sudah memasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta, dari akhir perseteruan antara ia dan kakangnya di malam ini.
.
Arya Dipa sudah melindungi dirinya dengan aji Niscala Praba dan juga menerapkan aji Sepi Angin untuk mengimbangi tenaga lawan. Karena tak mengetahui seberapa tinggi kekuatan lawan, Arya Dipa menerapkan ajinya sampai tingkatan mendebarkan.
.
Di depan ki Ploso Slangkrah juga menerapkan aji kebanggaannya yang mampu ia gunakan dalam pembunuhan kepada gurunya, ki Kalaseta. Sebuah aji bersumber dari api, yaitu aji Guntur Geni.
.
Tak dapat terelakan tenaga dahsyat dari keduanya bertemu di satu titik, yaitu saat kedua tangan dari orang berbeda menempel satu dengan lainnya. Bergemuruhlah tanah Mlanding sekali lagi. Udara panas menghentak ke segala arah dan mengakibatkan benda disekitarnya tumpah ruah tak karuan. Daun dan ranting meranggas luluh ke bumi. Tanah dan kerikil muncrat memenuhi sekitar titik pertemuan tenaga dahsyat. Begitu-pun dengan debu juga turut andil mewarnai keadaan yang membuat orang terbelalak dan menganga.
.
Angin malam-lah yang kemudian memberikan kesegaran pada saat itu. Yang mampu meluruhkan kembali debu seperti sediakala, sehingga samar - samar terlihat seorang yang masih berdiri kokoh memandang tubuh di depannya.
.
"Kakang.... !" dua teriakan berbeda sumber berlari ke arah tubuh yang tak berdaya.
.
Sementara itu, ki Sembada membiarkan lawannya berlari ke arah tubuh itu berbaring lesu dan ia kemudian mengikuti dengan perlahan.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 19
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Rasa haru menyelimuti suasana di ujung kademangan Mlanding. Waktu dini hari sudah merambat mendekati waktu fajar. Satu dua kokok ayam mulai bersahutan dari kandang milik penghuni kademangan maupun dari dalam hutan.
.
Ki Demang pada saat itu memangku kepala ki Ploso Slangkrah yang tak mampu lagi untuk menegakan badan, atau pun kepalanya. Sementara di sisi yang lain, nyi Cempaka dengan mata berlinang sembari memegang erat tangan ki Ploso Slangkrah, terus menyebut orang yang ia cintai itu.
.
Dalam pada itu pertempuran sudah usai. Anak buah gerombolan Kalamuda sudah tak dapat lagi melanjutkan perlawanan. Dengan pasrah mereka melempar senjata dan menerima kedua tangan mereka diikat dengan menggunakan ikat kepala mereka sendiri. Tetapi ada juga sebagian kecil dari gerombolan Kalamuda yang lari tunggang langgang mencari keselamatan diri, dari tawanan pengawal kademangan Mlanding.
.
Kembali pada tubuh di pangkuan ki Demang, sang kakak sudah dalam keadaan yang parah. Nafasnya mulai sesak dikarenakan aji Guntur geni senduri dan ilmu pukulan lawan telah merontokan isi dalam dadanya. Darah segar terus merembes dari bibirnya, meluber ke pakaiannya.
.
"Kakang.. " desis ki Demang.
.
Kepala ki Ploso Slangkrah bergerak disertai kelopak mata yang mencoba memandang wajah adiknya. Bibir ki Ploso Slangkrah tampak bergerak lirih, ingin mengucapkan sesuatu.
.
"Hatimu selembut kapas, adi." desis ki Ploso Slangkrah terbata - bata, "Maukah kau memaafkanku ?"
.
"Tentu, kakang." jawab ki Demang dengan tulus, "Kuatkan kakang, kakang akan sembuh seperti sedia kala. Ki Panut sudah dipanggil kemari."
.
Putra sulung dari mendiang Demang Mlanding hanya tersenyum. Matanya berbinar terkenang masa - masa yang lampau, dimana ia selalu menjaga adiknya dari gangguan anak - anak nakal. Dirinya-lah yang selalu memberikan rasa aman kepada adiknya, tetapi kini justru dirinya yang membuat adiknya hampir tewas ditangannya.

Kemudian ia teringat kepada seorang wanita yang ada di sampingnya, wanita yang selama ini ia cintai dan kasihi. Di dalam rahimnya ada benih hasil kasihnya yang suci dan murni.
.
"Adi, maukah kau menjaga calon jabang bayiku ?"
.
Ki Demang mengerutkan dahinya sambil menatap nyi Cempaka. Nyi Cempaka yang ditatap hanya mampu menundukan kepalanya mencium tangan suaminya saja.
.
Dan sekali lagi ki Ploso Slangkrah bertanya kepada adiknya, "Tolong adi, anak itu tak bersalah."
.
Akhirnya ki Demang Mlanding mengangguk, "Baik, kakang. Aku akan menjaga anak itu dan ikut merawatnya."
.
Kesanggupan dari ki Demang, membuat dada ki Ploso Slangkrah lapang. Rasanya ia tenang jika ia menghadap kepada Sang Pencipta.
.
"Nyai.. "
.
"Iya, kakang. Aku disini... "
.
"Jagalah anak kita dan tinggalah di kademangan ini sebagai penebus kesalahanku. Berikanlah ilmu mu untuk melindungi kademangan ini dari ancaman yang mengganggu. Maukah kamu ?"
.
Nyi Cempaka memandang ke arah ki Demang, dimana ki Demang menganggukan kepala, mengisyaratkan kalau pemimpin kademangan itu tak keberatan. Lantas Nyi Cempaka tanpa terbebani kemudian menyanggupi permintaan dari suaminya itu.
.
"Aku berjanji kakang, aku akan memberikan apa yang aku punya untuk ketenangan kademangan ini. Aku akan membantu ki Demang."
.
"Ah.. Andai saja waktu itu aku tak tergoda dengan rayuan dari nyi Saroya untuk menguasai kademangan ini, tentu kedamaian menyelimuti kita." sesal ki Ploso Slangkrah, yang kemudian terbatuk mengeluarkan darah.

"Sudah, kakang. Jangan banyak bicara dahulu, supaya kakang cepat pulih." kata ki Demang dengan perasaan yang cemas.
.
Tetapi ki Ploso Slangkrah menggelengkan kepalanya, "Ajalku sudah mendekat adi, sekali lagi maafkan aku. Dan jadikan istriku, sebagian dari kademangan ini..."
.
Dan akhirnya, ki Ploso Slangkrah tak mampu lagi untuk melanjutkan kata - katanya. Namun sebuah senyum tersungging dalam bibirnya, ke arah seorang pemuda yang berdiri. Seolah - olah memuji keperkasaan pemuda yang telah menekan kemampuannya.
.
Tak pelak lagi, nyi Cempaka menjerit memanggil - manggil suaminya. Penyesalan yang sangat ia rasakan dalam kehidupan ini. Wanita itu sedikitpun tak memimpikan kalau perpisahan begitu cepat terhadap suaminya. Untunglah seorang wanita yang dipanggil oleh seorang bebahu, berusaha menenangkan guncangan yang diderita wanita yang perkasa di medan perang itu.
.
"Mari nyai, ikhlaskan kepergian ki Ploso." desis wanita itu.
.
Kemudian dengan hati - hati jasad ki Ploso Slangkrah di bawa ke rumah ki Demang untuk dirawat secara semestinya. Sementara para bebahu memimpin pengawal kademangan, mengurus kawan dan tawanan yang terluka mau pun yang tewas.
.
Korban tewas terdapat pada gerombolan penyerang yang kebanyakan terkena tikaman dari amukan para pengawal kademangan. Sedangkan bagi pengawal hanya mengalami luka saja dan tak sampai adanya korban jiwa. Setelah jasad dimandikan, kemudian segera dibawa ke pemakaman untuk dikuburkan, begitu juga dengan jenasah ki Ploso Slangkrah.
.
Di waktu selanjutnya, nyi Cempaka yang sudah berubah mulai menata kehidupan yang baik bersama penghuni kademangan Mlanding. Begitu juga dengan bekas gerombolan Kalamuda, mereka menyadari kesalahan mereka dan ingin menebus kesalahan dengan hidup semestinya.
Sementara itu Arya Dipa bersama dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet dan ki Sembada, meninggalkan kademangan Mlanding setelah berpamitan dengan ki Danureja, Demang Mlanding. Ketiganya berjalan ke arah sebuah bukit yang dihuni oleh seorang tua dari keturunan Majapahit.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Ketiga orang itu menaiki undakan tinggi yang terbuat dari susunan batu. Sesampai di ujung undakan, terdapat regol sebuah padepokan yang tak terlalu besar. Tetapi padepokan itu terlihat asri dan nyaman, dikarenakan ketrampilan pemilik atau-pun para cantriknya dalam menyusunnya.
.
Halaman depan dengan kanan kiri ditanami beraneka ragam bunga dan tetumbuhan. Sedangkan di tengah halaman sebuah pohon bramasta atau beringin, berdiri kokoh dan rindang dedaunnya. Sehingga di atas dahan itu, dijadikan sarang oleh burung yang merasa betah tinggal di pohon beringin itu, karena pohon itu selain aman untuk tempat tinggal mereka, di pohon itu juga tumbuh buah sebagai makanan burung - burung itu.
.
Di saat ketiga orang itu memasuki regol, seorang cantrik berlari menyambut kedatangan mereka.
.
"Selamat datang kembali di Karang Tumaritis, kakang." sambut cantrik itu, ketika mengenali dua orang dari ketiga orang itu.
.
"Bagaimana keadaan padepokan saat kami tinggalkan ?"
.
"Sama seperti sebelumnya, kakang. Kedamaian suasana pegunungan masih menyejukan."
.
"O.. Syukurlah. Di mana Panembahan ?"
.
"Beliau berada dalam sanggar tertutup sejak dua hari ini, kakang. O ya, beliau memberikan pesan jika kakang dan angger Karang Tunggal datang bersama seseorang, harap menunggu di bangunan belakang."
.
Orang yang disebut kakang itu menoleh kepada dua pemuda di belakangnya, lalu katanya, "Hm.. Ayo Karang Tunggal dan anakmas Arya Dipa."
.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.

Ketiganya lantas memenuhi pesan dari seorang Panembahan untuk menunggu di bangunan belakang itu. Sementara tak berselang lama, cantrik yang tadi menyambutnya, datang dengan membawa nampan berisi jajanan dan minuman.
.
"Silahkan kakang Kanigara, angger Karang Tunggal dan anakmas..."
.
"Oh.. Panggilah pemuda ini Arya Dipa." kata ki Sembada yang mengetahui kalau cantrik itu bingung menyebut nama Arya Dipa.
.
"O.. Silahkan anakmas Arya Dipa." kembali cantrik itu mengulang.
.
"Terima kasih ki cantrik." ucap Arya Dipa.
.
Lalu cantrik itu keluar dari bangunan untuk melanjutkan tugasnya.
.
Sepeninggal cantrik, Arya Dipa tak tahan untuk mengetahui kebenaran dari nama yang disebut cantrik tadi terhadap ki Sembada dan Mas Karebet. Tetapi sebelum ki Sembada angkat bicara, pintu bangunan itu berderit. Dari luar pintu muncul sosok orang tua yang sudah memutih rambutnya.
.
"Selamat datang di padepokan terpencil ini, anakmas Arya Wila Dipa ." ucap orang tua itu.
.
Sungguh rasa kejut hinggap di hati Arya Dipa, saat mendengar orang tua itu menyelipkan nama ayahnya. Siapakah orang ini ?
.
Orang itu tersenyum demi melihat rau wajah Arya Dipa, sehingga ada rasa kasihan menyentuh sanubarinya. Tak terasa air mata menetes membasahi pipinya yang sudah mulai mengeriput.
.
"Tenangkan hatimu, anakmas." kata orang tua itu sambil menoleh kearah ki Sembada dan Mas Karebet, tersenyum menganggukan kepala.
.
"Panembahan." desis ki Sembada.
.
"Eyang Panembahan." kata Mas Karebet mengangguk hormat.
.
Arya Dipa menyadari kalau ia berada dihadapan seorang linuwih, maka ia pun mengangguk hormat pula.

"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan." kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada, "Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan kepada Demak."

Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Maksud, ki Sembada ?"
.
"Bukankah anakmas prajurit sejati Demak ?" tanya ki Sembada. Tetapi sebelum Arya Dipa berkata, ki Sembada telah kembali berkata, "Namaku ialah Kebo Kanigara, kakak kandung dari adimas Kebo Kenanga."
.
"He.. " kejut Arya Dipa.
.
"Dan Mas Karebet keponakanku ini putra dari adimas Kebo Kenanga."
.
Lantai yang diduduki Arya Dipa, seolah amblong demi mendengar kenyataan yang ia dengar itu. Di hadapannya berkumpul seorang berdarah ningrat Majapahit. Sama dengan keturunan dengan trah Demak.
.
"O.. ampuni hamba yang berlaku kurang tata ini, Raden." seketika Arya Dipa menghormat kepada ki Sembada dan Mas Karebet.
.
"O.. Tak usah anakmas berlaku begitu, aku sudah lama menanggalkan kebangsawananku. Bahkan sejak ayahanda Handaningrat masih hidup." kata ki Sembada atau raden Kebo Kanigara.
.
Arya Dipa masih menunduk, hal itu membuat Mas Karebet menegurnya, "Jika kakang seperti itu, ber-arti kakang tak menghargai hubungan kita sebagai sahabat."
.
"Tetapi.. "
.
"Sudahlah kakang, bukankah kita ini seorang sahabat dan aku hanyalah prajurit yang diusir oleh Kanjeng Sultan." sambung Mas Karebet.
.
"He.. Benarkah itu, Raden ?"
.
"Sekali lagi kakang menyebutku seperti itu, persahabatan kita cukup sampai disini saja !" nada Mas Karebet meninggi.
.
"Oh.. maaf Ra.. eh Adi." kata Arya Dipa gelagapan.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya dan ki Kebo Kanigara tersenyum Hati mereka senang dengan ketulusan diantara kedua pemuda itu.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Ketiga orang itu menaiki undakan tinggi yang terbuat dari susunan batu. Sesampai di ujung undakan, terdapat regol sebuah padepokan yang tak terlalu besar. Tetapi padepokan itu terlihat asri dan nyaman, dikarenakan ketrampilan pemilik atau-pun para cantriknya dalam menyusunnya.
.
Halaman depan dengan kanan kiri ditanami beraneka ragam bunga dan tetumbuhan. Sedangkan di tengah halaman sebuah pohon bramasta atau beringin, berdiri kokoh dan rindang dedaunnya. Sehingga di atas dahan itu, dijadikan sarang oleh burung yang merasa betah tinggal di pohon beringin itu, karena pohon itu selain aman untuk tempat tinggal mereka, di pohon itu juga tumbuh buah sebagai makanan burung - burung itu.
.
Di saat ketiga orang itu memasuki regol, seorang cantrik berlari menyambut kedatangan mereka.
.
"Selamat datang kembali di Karang Tumaritis, kakang." sambut cantrik itu, ketika mengenali dua orang dari ketiga orang itu.
.
"Bagaimana keadaan padepokan saat kami tinggalkan ?"
.
"Sama seperti sebelumnya, kakang. Kedamaian suasana pegunungan masih menyejukan."
.
"O.. Syukurlah. Di mana Panembahan ?"
.
"Beliau berada dalam sanggar tertutup sejak dua hari ini, kakang. O ya, beliau memberikan pesan jika kakang dan angger Karang Tunggal datang bersama seseorang, harap menunggu di bangunan belakang."
.
Orang yang disebut kakang itu menoleh kepada dua pemuda di belakangnya, lalu katanya, "Hm.. Ayo Karang Tunggal dan anakmas Arya Dipa."
.
Terlihat Arya Dipa mengernyitkan alisnya, ketika ki Sembada menyebut Mas Karebet dengan Karang Tunggal. Sudah dua kali ia mengetahui dua nama yang digunakan oleh Mas Karebet. Yaitu Jaka Tingkir dan sekarang Karang Tunggal. Tetapi ia tak banyak bicara, diikuti saja ki Sembada dan Mas Karebet.

Ketiganya lantas memenuhi pesan dari seorang Panembahan untuk menunggu di bangunan belakang itu. Sementara tak berselang lama, cantrik yang tadi menyambutnya, datang dengan membawa nampan berisi jajanan dan minuman.
.
"Silahkan kakang Kanigara, angger Karang Tunggal dan anakmas..."
.
"Oh.. Panggilah pemuda ini Arya Dipa." kata ki Sembada yang mengetahui kalau cantrik itu bingung menyebut nama Arya Dipa.
.
"O.. Silahkan anakmas Arya Dipa." kembali cantrik itu mengulang.
.
"Terima kasih ki cantrik." ucap Arya Dipa.
.
Lalu cantrik itu keluar dari bangunan untuk melanjutkan tugasnya.
.
Sepeninggal cantrik, Arya Dipa tak tahan untuk mengetahui kebenaran dari nama yang disebut cantrik tadi terhadap ki Sembada dan Mas Karebet. Tetapi sebelum ki Sembada angkat bicara, pintu bangunan itu berderit. Dari luar pintu muncul sosok orang tua yang sudah memutih rambutnya.
.
"Selamat datang di padepokan terpencil ini, anakmas Arya Wila Dipa ." ucap orang tua itu.
.
Sungguh rasa kejut hinggap di hati Arya Dipa, saat mendengar orang tua itu menyelipkan nama ayahnya. Siapakah orang ini ?
.
Orang itu tersenyum demi melihat rau wajah Arya Dipa, sehingga ada rasa kasihan menyentuh sanubarinya. Tak terasa air mata menetes membasahi pipinya yang sudah mulai mengeriput.
.
"Tenangkan hatimu, anakmas." kata orang tua itu sambil menoleh kearah ki Sembada dan Mas Karebet, tersenyum menganggukan kepala.
.
"Panembahan." desis ki Sembada.
.
"Eyang Panembahan." kata Mas Karebet mengangguk hormat.
.
Arya Dipa menyadari kalau ia berada dihadapan seorang linuwih, maka ia pun mengangguk hormat pula.

"Sudahlah, marilah menikmati makanan gunung ini." desis orang tua itu, lalu lanjutnya, "Anakmas Arya Dipa, maaf jika tadi aku menyebut nama seseorang yang aku kenal dan menyelipkan diantara namamu. Karena wajahmu sangat mirip dengan anak menantu kawanku itu."
.
"Oh ya aku sering dipanggil sebagai Ismaya dan para cantrik memberikan nama depan Panembahan. Hm.. sebuah gelar yang memberatkan." desis orang itu.
.
"Oh.. Mohon terima salam bektiku, eyang Panembahan. Sungguh aku tak mengira seberuntung kali ini, berjumpa dengan seorang sesepuh kanuragan." kata Arya Dipa dengan gopohnya.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya tertawa, "Hehehe, kau mengenal nama ku itu ?"
.
"Benar, eyang Panembahan. Waktu pertama aku turun dari gunung, eyang guru memberikan bekal selain ilmu kanuragan dan kajiwan, beliau juga memberitahukan beberapa nama tokoh kanuragan di Jawa Dwipa ini."
.
"Hm.. Kalau boleh tahu, siapakah guru dan orang tua mu anakmas ?"
.
Sejenak Arya Dipa mengambil nafas, kemudian tanpa sungkan lagi ia katakan apa adanya menyangkut jati dirinya terhadap Panembahan Ismaya.
.
"Pantas kau terlihat sangat kokoh., tak tahunya kau didikan dari pertapaan Pucangan. Selain itu ternyata aku tak salah jika menyelipkan nama Wila diantara namamu, karena kau anak Arya Wila." kata Panembahan Ismaya setelah mendengar penuturan Arya Dipa.
.
Kemudian orang tua itu tersenyum seraya memandang kepada ki Sembada, "Tak perlu kau tutupi jati dirimu terhadap anakmas Arya Dipa, Kanigara."
.
Ki Sembada mengangguk lalu katanya, "Jika Panembahan Ismaya percaya dengan anakmas Arya Dipa, tentu aku tak keberatan."
.
"Anakmas Arya Dipa, memang selama ini aku dan Mas Karebet menutupi jatidiri kami yang sebenarnya. Tetapi tiada maksud lain yang membuat kerusuhan kepada Demak."

Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Maksud, ki Sembada ?"
.
"Bukankah anakmas prajurit sejati Demak ?" tanya ki Sembada. Tetapi sebelum Arya Dipa berkata, ki Sembada telah kembali berkata, "Namaku ialah Kebo Kanigara, kakak kandung dari adimas Kebo Kenanga."
.
"He.. " kejut Arya Dipa.
.
"Dan Mas Karebet keponakanku ini putra dari adimas Kebo Kenanga."
.
Lantai yang diduduki Arya Dipa, seolah amblong demi mendengar kenyataan yang ia dengar itu. Di hadapannya berkumpul seorang berdarah ningrat Majapahit. Sama dengan keturunan dengan trah Demak.
.
"O.. ampuni hamba yang berlaku kurang tata ini, Raden." seketika Arya Dipa menghormat kepada ki Sembada dan Mas Karebet.
.
"O.. Tak usah anakmas berlaku begitu, aku sudah lama menanggalkan kebangsawananku. Bahkan sejak ayahanda Handaningrat masih hidup." kata ki Sembada atau raden Kebo Kanigara.
.
Arya Dipa masih menunduk, hal itu membuat Mas Karebet menegurnya, "Jika kakang seperti itu, ber-arti kakang tak menghargai hubungan kita sebagai sahabat."
.
"Tetapi.. "
.
"Sudahlah kakang, bukankah kita ini seorang sahabat dan aku hanyalah prajurit yang diusir oleh Kanjeng Sultan." sambung Mas Karebet.
.
"He.. Benarkah itu, Raden ?"
.
"Sekali lagi kakang menyebutku seperti itu, persahabatan kita cukup sampai disini saja !" nada Mas Karebet meninggi.
.
"Oh.. maaf Ra.. eh Adi." kata Arya Dipa gelagapan.
.
Hal itu membuat Panembahan Ismaya dan ki Kebo Kanigara tersenyum Hati mereka senang dengan ketulusan diantara kedua pemuda itu.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.............................
.............................
Untuk memberikan penjelasan kepada Arya Dipa yang masih bingung dengan keadaan Mas Karebet, maka putra ki Ageng Pengging anom menuturkan bagaimana dirinya diusir oleh Kanjeng Sultan Demak. Kebenaran dari cerita itu ialah adanya seseorang yang memergoki dirinya sedang bermesra - mesraan dengan gusti Putri Cempaka, di taman Kaputren.
.
"Sebenarnya Kanjeng Sultan tak melarang hubungan kami itu, karena diantara kami terjalin hubungan cinta yang tulus dan murni. Tetapi adanya seorang ketigalah, maka Kanjeng Sultan telah menjatuhkan titah supaya aku keluar dari kotaraja." Kata Mas Karebet.
.
"Namun untuk menutupi kesalahanku dalam mempermalukan kaputren, Kanjeng Sultan menyebarkan kalau aku telah membunuh seorang prajurit dalam pendadaran." Sambung Mas Karebet.
.
Arya Dipa mengangguk, "Kita berdua sama adi, aku pun kini dalam pengasingan juga. Namun selain itu aku juga mendapat tugas dari Sang Nata."
.
"He.. Betulkah itu kakang ? Apa yang menyebabkan kakang bisa seperti itu ?" tanya Mas Karebet.
.
"Ini semua karena kurang cermatnya diriku, adi. Ada seseorang yang mengelabui diriku untuk melakukan rencana besar dalam menyangkut dua pusaka Demak dan Banyubiru oleh bangsawan bang wetan."
.
Semua orang di bangunan itu terkejut, kecuali Panembahan Ismaya. Di sebutnya dua pusaka Demak yang tentu itu kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten telah dikaitkan dengan Banyubiru oleh bang wetan, bagi Mas Karebet dan ki Kebo Kanigara terlalu mengejutkan kedua orang itu. Sedangkan bagi Panembahan Ismaya hal itu ia anggap sesuatu hal yang lumrah saja.
.
"Dan aku pun masuk dalam perengkap mereka, termasuk paman Gajah Sora. Karena tujuan sebenarnya ialah menguasai tanah perdikan itu untuk pijakan selanjutnya dari Purbaya."
.
"Lalu Kanjeng Sultan menghukum, anakmas ?"
.
"Begitulah, paman Kanigara. Tetapi aku boleh kembali ke Demak, asalkan mampu membawa kembali kedua pusaka itu." kata Arya Dipa.
.
Kata terakhir tadi membuat Panembahan Ismaya sedih, "Anakmas, sungguh sulit dan tak mungkin anakmas dapat menemukan kedua keris itu."

"Oh.. Mohon eyang Panembahan memberikan penjelasan mengapa hal itu sulit, eyang ?"
.
Orang tua yang menyepi di bukit Karang Tumaritis itu menghela nafas. Mata yang tajam memandang seolah mampu menembus tebalnya dinding kayu bangunan itu. Sekejap kemudian ia menghela nafas kembali dan menatap Arya Dipa.
.
"Bukan jodohmu, anakmas. Kedua pusaka itu sulit bersatu kembali jika salah satu dapat kau bawa menghadap ke Kanjeng Sultan."
.
Arya Dipa tak membantah lagi untuk sekedar menanyakan kenapa hal itu bisa terjadi. Kepala anak muda itu terlihay tiada dapat tersangga, sehingga kepala itu menunduk lesu dengan mata terpejam.
.
Saat itulah tiba - tiba dirinya terasa terbang ke dalam alam yang sangat jauh. Dan terhempas di sebuah padang yang ditumbuhi oleh beragam bunga dengan aroma semerbak menyegarkan hidung. Samar - samar seberkas cahaya putih cemerlang memudarkan asap putih, dan munculah seorang berjubah dengan rambut tergelung ke atas. Wajahnya terlihat putih bersih memancarkan wibawa nan agung.
.
"Eyang Resi... " desia Arya Dipa.
.
"Hm.. Angger, cucuku. Mengapa wajahmu bermuram durja ? Adakah kesusahan melanda sanubarimu ?" tanya orang tua itu dengan senyum mengembang.
.
Arya Dipa menunduk hormat dan bersimpuh di depan kaki orang tua itu. Dengan kata yang halus ia tumpahkan segala beban yang ia rasa menyesakan dadanya.
.
"Eyang Resi, mohon beribu ampunan atas ketidak becusan, cucu dalam melaksanakan tugas yang eyang berikan kepada cucu ini."
.
"Hohoho.. Teruskan."
.
"Cucu sekarang jauh dari lingkup Kanjeng Sultan, sehingga akan sulit dalam memberikan tenaga dan secuil ilmu cucu dalam melakukan pengabdian ini, Eyang Resi."
.
Orang tua itu tersenyum dan menepuk pundak anak muda di hadapannya, ujarnya dengan sareh, "Angger, cah bagus. Trenggono seorang nata praja yang mendapat wahyu keprabon yang sah dari Gusti Agung. Di jaman inilah Demak akan jaya dan termasyur sampai beberapa tahun ke depan. Walau bagitu, memang duri - duri kecil akan terus tumbuh membuat rasa pedih dalam tubuh di istana."

Sejenak orang tua itu terdiam demi melihat kesan yang timbul di raut wajah anak muda yang ia banggakan itu. Lalu lanjutnya, "Aku berharap kepadamu untuk tak putus asa dalam mewujudkan pengabdianmu kepada tanah pertiwi ini. Tak usah kau kau berlarut dalam kesedihan, angger. Walaupun kau tak berjodoh dengan kedua pusaka itu, tetapi kau akan tetap dekat dengan Kanjeng Sultan. Sebuah jalan akan menuntunmu menuju ke istana walau jalan itu berliku - liku dan penuh kerikil tajam."
.
Ketika Arya Dipa akan mengangkat kepala, yang nampak kemudian bukan lagi orang tua yang ia panggil Eyang Resi, tetapi ia kembali di bangunan padepokan Karang Tumaritis.
.
"Oh.. Terima kasih, Eyang Resi." ucap Arya Dipa dalam hati.
.
Dipandanglah Panembahan Ismaya dengan senyum ramah. Seolah tiada sesuatu yang memberatkan hatinya kembali. Karena kini hatinya terasa lapang bagaikan padang nun luas.
.
Hal itu juga membuat Panembahan Ismaya tersenyum, "Kau sudah mendapat jawabannya, anakmas ?"
.
Arya Dipa mengangguk, "Terima kasih eyang Panembahan sudah menunjukan kalau kedua keris itu tak berjodoh denganku. Jalan itu berbeda eyang Panembahan."
.
Panembahan Ismaya mengangguk perlahan. Sedangkan ki Kebo Kanigara dan Mas Karebet terlihat tak mengerti dengan kedua orang itu.
.
"Baiklah, kalau begitu aku tinggal dahulu. Beristirahatlah kalian di sini." kata Panembahan Ismaya dan meninggalkan bangunan itu.
.
Tak terasa waktu cepat berlalu. Kodrat alam berjalan sesuai dengan garis Sang Pencipta. Matahari bergerak dari timur ke barat menerangi segenap bumi yang dilewatinya. Satwa - satwa bersuka cita dengan berbagai ragam suara yang ditimbulkan, mewarnai indahnya buana ini. Udara semilir terasa bersahabat membuai mahkluk untuk mengucap syukur kehadapan Illahi.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 22
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Di malam harinya, Arya Dipa dipanggil secara terpisah oleh Panembahan Ismaya. Tiada lain maksud orang tua itu ialah untuk memberikan jalan keluar bagi Arya Dipa dalam permasalahannya dengan Kanjeng Sultan Demak.
.
"Anakmas Arya Dipa, tahukah mengapa aku memanggilmu di malam ini ?" Panembahan Ismaya mengawala dengan sebuah pertanyaan.
.
Pemuda itu menatap Panembahan Ismaya dengan tatapan yang menyimpan seribu macam tanda tanya.
.
"Mohon kiranya eyang Panembahan memberikan kejelasan tentang maksud pemanggilanku ini."
.
"Baiklah anakmas, aku akan menunjukan jalan yang akan membawamu kembali ke Demak." suara Panembahan Ismaya nampak bersungguh - sungguh. "Tetapi sebelumnya aku akan meyakinkan dirimu untuk tidak terlalu memikirkan keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Lihatlah ini.. "
.
Usai berkata, Panembahan Ismaya membuka kotak peti yang sejak tadi berada di depannya. Dari dalam kotak peti, tersembulah bungkusan putih bersih yang diambil oleh orang tua itu.
.
"Oh.. " Arya Dipa memekik perlahan.
.
"Kau mengenali benda ini, anakmas ?"
.
Arya Dipa menggeleng, tetapi ia menjawab walau terlihat ragu - ragu, "Aku tak tahu, eyang Panembahan. Namun aku mengira itulah kedua pusaka Demak yang hilang..."
.
"Hm.. Memang inilah kedua pusaka itu, anakmas. Pusaka ini akulah yang menyimpannya."
.
"Apa maksud semua ini, eyang Panembahan ?"
.
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, "Kedua pusaka ini merupakan benda yang sangat dikeramatkan bagi beberapa golongan. Sehingga tersiarlah kabar kalau siapa yang mendapatkan kedua pusaka ini, maka orang itu akan menerima pulung keprabon. Namun bukan itu yang menjadikan aku menyimpan benda ini anakmas, karena aku tak silau dengan sesuatu yang menyangkut dengan keraton."
.
Karena dilihatnya ada kesan yang tak pas dihati Arya Dipa, Panembahan Ismaya telah mengambil sebuah benda dari balik pakaiannya. Benda kuning keemasan dengan simbol matahari dan di hadapkan kepada Arya Dipa.

"Lencana Surya Kencana... !" desis Arya Dipa tak percaya.
.
"Bukannya aku ingin menyombongkan diri, anakmas. Aku sebenarnya masih kerabat kanjeng Sultan Trenggono. Namaku Buntaran dari Wilwatikta."
.
"Oh... " kejut Arya Dipa.
.
Pemuda itu berulang kali dibuat tercengang manakala disekitarnya dikelilingi oleh keturunan Wilwatikta. Dari pertemuannya dengan seorang kakek bongkok di pinggiran hutan, yang ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban Arya Wilwatikta. Lalu ki Sembada dan Mas Karebet, puyra dan cucu adipati Handaningrat Pengging. Dan sekarang dihadapannya duduk bangsawan dari Wilwatikta, yaitu Raden Buntaran.
.
Untuk membuat suasanan mencair, Panembahan itu kemudian kembali berkata, "Aku akan mengembalikan pusaka ini pada saatnya, tetapi pusaka ini kurang lengkap, anakmas. Dan kaulah yang berjodoh dengan pusaka itu."
.
Seketika kepala Arya Dipa mendongak demi Panembahan mengatakan kalau dirinya akan berjodoh dengan pusaka yang akan melengkapi keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Pusaka jenis apakah itu ?
.
"Besok pagi berangkatlah ke arah matahari terbit. Tembuslah pertahanan pasukan bang wetan di Purbaya. Dan telusurilah aliran Brantas hingga kau menemui onggokan tanah yang menyerupai emas bila terkena sinar sang surya." kata Panembahan Ismaya.
.
"Baiklah, eyang Panembahan. Mohon restunya supaya aku dapat memenuhi keinginan eyang dalam mendapatkan pusaka itu." kata Arya Dipa mantab. Lalu katanya selanjutnya, "Namun apakah tak sebaiknya aku minta diri kepada paman Kanigara dan adi Mas Karebet ?"
.
Panembahan itu menggelengkan kepala, "Tidak anakmas, pamanmu Kanigara dan Karang Tunggal saat ini sedang melakukan lelaku di gua belakang padepokan."
.
"Dan supaya jalanmu tak terganggu oleh seseorang yang kau kenal, lewatlah jalan tikus selatan bukit ini. Sekarang beristirahatlah"
.
"Baik, eyang Panembahan."
.
Selanjutnya Arya Dipa kembali ke bangunan yang ia tempati sebelumnya. Disana ki Kebo Kanigara dan Mas Karebet sudah tak ada. Oleh karena itu Arya Dipa segera membaringkan tubuhnya untuk mempersiapkan tenaga untuk esok hari. Sebuah perjalanan panjang akan ia tempuh.

Sekejap kemudian ia pun terlelap dengan buaian mimpi. Kokok ayam pagi harilah yang membuat pemuda itu terjaga dan segera ke pakiwan untuk membersihkan diri dan sesuci. Ketika Arya Dipa memasuki bangunan tempatnya istirahat, di atas bangku sudah tersedia sarapan yang diperuntukan baginya.
.
Kini saatnya ia pamit kepada Panembahan Ismaya untuk meminta restu dari orang tua keturunan bangsawan Majapahit itu.
.
"Berhati - hatilah, anakmas. Semoga Gusti Agung selalu melindungimu."
.
"Terima kasih, eyang. Kalau begitu aku pamit."
.
Kepergian Arya Dipa diantar sendiri oleh Panembahan Ismaya sampai di depan regol padepokan. Kemudian pemuda itu menuruni undakan tangga tersusun dari batu. Sampailah ia di pertigaan lorong, Arya Dipa mengambil jalan tikus menghindari jalan utama.
.
Saat itulah dari jalan utama terlihat seorang lelaki dengan anak remaja melewati pertigaan jalan itu dan naik ke arah regol padepokan.
.
"Ayo cepat Bagus Handoko !" tegur lelaki itu.
.
"Baik paman Mahesa." sahut remaja itu seraya mengikuti langkah orang berbadan tegap di depannya.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 23
OLEH : MARZUKI
..............................
..............................
Debur ombak di tepian pantai selatan di sore hari terus menerus menghempas karang tiada henti. Gelombang air samudera itu mengombak dahsyat bagai diaduk oleh kekuatan tenaga selaksa raksasa. Buih yang ditimbulkan nampak timbul tenggelam tergantikan dengan yang baru.
.
Di atas karang yang menjorok ke bibir laut itulah, seorang pemuda duduk dengan sekali - kali menggaruk rambutnya. Pemuda yang berusia delapan belasan tahun ini sudah satu purnama melakukan pengembaran yang hanya ia dan seorang saja yang mengetahuinya.
.
Sejak pagi hari setelah memasuki pesisir selatan, ia berniat bermalam di pantai yang masuk telatah gunung kidul itu. Entah mengapa hatinya mengatakan kalau akan ada sesuatu terjadi di telatah pesisir selatan itu. Padahal ia harus segera ke bang wetan menembus benteng pertahanan pasukan bang wetan di Purbaya.
.
"Karang ini terlalu terjal untuk dituruni." desis pemuda itu sembari mengeliarkan pandang ke sekitarnya.
.
"Oh itu ada sebuah belik di balik bebatuan karang yang memisahkan dengan bibir pantai." kembali pemuda itu berkata sambil melangkahkan kaki menuruni bebatuan yang agak landai.
.
Jalan yang ia lalui ternyata licin dikarenakan adanya lumut hijau tumbuh di permukaan bebatuan. Selain itu di sela bebatuan juga tumbuh semak berduri kecil - kecil. Maka pemuda itu mengurai benda yang melingkar di pinggangnya, yang ternyata itu sebuah pedang tipis dan lentur.
.
Digunakanlah pedang tipis itu untuk membabat semak yang menghalangi langkahnya, sehingga memudahkan dirinya melewati permukaan tanah berbatu itu. Dan tibalah ia dibawah, dimana di situ terdapat belik atau mata air yang tawar dan jernih sekali air itu.
.
Segera pemuda itu menyiduk air itu dengan kedua tangannya dan ia dekatkan dengan bibirnya. Seteguk dua teguk air dalam cangkupan kedua tangannya, mulai memasuki bibir dan membasahi rongga mulut dan kerongkongannya.

"Hm.. Sungguh segar sekali air ini." ucapnya perlahan.
.
Setelah dirasa cukup pemuda yang tak lain Arya Dipa, membuka pakaian atasnya dan diletakan di batu samping belik. Selanjutnya ia mandi membersihkan tubuhnya dengan menceburkan di belik itu. Rasa lelah seketika lenyap manakala air membasahi dada yang bidang itu.
.
Bersamaan waktu Arya Dipa mandi di belik, di atas karang terdengar ringkikan seekor kuda. Ringkikan itu membuat Arya Dipa waspada dan segera naik dari belik dan memakai pakaiannya, untuk selanjutnya mengetahui siapa penunggang kuda diatas batu karang. Untunglah hari mulai remang sehingga menyamarkan Arya Dipa dari penglihatan orang dari atas karang.
.
"Siapa mereka ?" tanya Arya Dipa dalam hati.
.
Di atas karang, seorang penunggang kudaturun dari kudanya dan menyerahkan tali kendali kepada orang lain.
.
"Duaji, benarkah kalau mereka akan ke sini ?" tanya orang yang turun dari kuda.
.
"Aku yakin mereka segera muncul, Denmas." sahut orang yang memegang tali kekang kuda, "Mereka tak akan berani bertindak tanpa kehadiran kita."
.
Orang yang dipanggil Denmas itu mematung, tangannya mengelus janggot tipis yang tumbuh menghiasi janggutnya. Wajah orang itu terlihat cakap apalagi dengan tumbuh jenggot tipis meruncing, menambah kesan yang ditimbulkan.
.
Sudah sepenginang lamanya kedua orang itu berdiri di atas karang, tetapi orang yang dinantikan juga belum menunjukan batang hidungnya. Sehingga hal itu membuat orang yang dipanggil Denmas itu, gelisah dan berjalan mondar - mandir.
.
"Huh apa mereka mempermainkan diriku ? Berjanji di senja hari tetapi sampai gelap juga belum muncul !!" geramnya.
.
"Bersabarlah, denmas. Kita tunggu sesaat lagi, jika mereka melanggar janji, aku akan mendatangi tempat mereka satu persatu." kata Duaji.

Tiba - tiba sebuah suara menggelegar menghentak udara di atas karang itu, "Hahaha.. Mulutmu besar juga, Serigala pesisir selatan !"
.
Habis dari suara itu, sesosok tubuh bagai terbang meluncur menjotoskan tangannya kepada Duaji. Kesiur angin dari pukulan itu bukan olah - olah. Tetapi Duaji bukanlah orang biasa, sebutan yang ia sandang Serigala dari pesisir tak kosong mlompong. Tubuhnya masih berdiri di samping kuda, tetapi kepalanya-lah yang bergerak menghindar dari sergapan sosok itu.
.
"Wuuuss.... !"
.
Tangan sosok orang yang baru datang itu hanya mengenai udara kosong. Bahkan hempasan udaranya tak membuat Duaji cedera sedikitpun.
.
"Bango Banaran, sekali lagi kau berbuat seperti itu akan ku buat kau pincang !" ancam Duaji.
.
Orang yang dipanggil Bango Banaran hanya tertawa terkekeh, "Hehehe.. Janganlah kau begitu kaku, Duaji. Aku hanya ingin melemaskan otot - ototku saja."
.
"Sudah.. !" seru orang yang dipanggil denmas oleh Duaji, "Mana yang lainnya ?!"
.
Bango Banaran mengangguk hormat kepada orang itu, walau hanya basa - basi. Selanjutnya sambil menunjuk ke arah timur ia berkata, "Itu mereka, Sanjaya."
.
Dari arah timur bermunculan lima tiga orang yang berbadan tinggi tegap dengan wajah menunjukan kalau orang orang itu menyimpan ilmu dalam tubuhnya. Seorang dengan rambut panjang namun tengahnya botak, bernama Ki Widarba. Selanjutnya lelaki dengan tongkat di tangan kanan, disebut Gonggang Keling. Yang terakhir berwajah penuh bulu dan kedua lengan terdapat akar bahar melingkar, bernama Pandak Wengker.
.
Selintas Arya Dipa yang mencoba menyembunyikan getar keberadaannya, mempertajam apa yang dibicarakan oleh orang - orang itu. Awalnya keenam orang itu hanya saling mengumpat satu dengan yang lainnya, hingga orang yang disebut Sanjaya menghentakan kakinya. Padahal kaki itu hanya sekedar menghentak saja, tetapi kekuatan yang ditimbulkan membuat daerah itu bagai diterjang lindu.

"Bukan main tenaga orang itu." desis Arya Dipa, semakin menekan getar keberadaannya.
.
Usai hentakan kaki dari Sanjaya, kelima orang lainnya terlihat bersungguh - sungguh. Selanjutnya kelima orang itu menanti apa yang akan keluar dari mulut lelaki berjenggot runcing.
.
Sanjaya yang dinanti akan suaranya, tak kunjung mengangkat suara. Orang itu malah memusatkan segala panca inderanya untuk memlerhatikan keadaan di tempat itu. Untunglah orang itu tak mendengar detak jantung atau pun keberadaan Arya Dipa, maka orang itu mulai bersuara.
.
"Keberadaan benda itu memang nyata." ucapnya perlahan sambil memperhatikan kesan dari setiap wajah yang hadir.
.
"Tetapi benda itu sudah tak disekitar tempat ini lagi." sambungnya.
.
"He.. " kejut dari Gonggang Keling, "Ah, jauh - jauh aku datang kemari, hanya kesia - sia'an saja yang aku dapat."
.
"Hm.. " desuh ki Widarba dan Pundak Wengker berbarengan.
.
"Tunggu sebentar, biarlah denmas Sanjaya selesai bicara." kata Duaji, mencoba menenangkan.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.............................
:::::::::::::::::::::::::::::
Wajah - wajah dari orang - orang itu berkesan kecewa, apalagi raut muka dari Gonggang Keling yang sudah jauh meninggalkan tempat tinggalnya di utara pulau jawa, yaitu pulau Karimun.
.
Kaki Gonggang Keling sudah akan beranjak pergi meninggalkan karang, tetapi saat itulah Sanjaya mengucapkan kata yang membuat orang Karimun itu menghentikan langkah kakinya.
.
"Biarlah ia pergi, Jadi harta yang menyertai benda itu akan mudah kita bagi." kata Sanjaya.
.
Gonggang Keling langsung membalik menghadap Sanjaya, "He.. Kau tadi bilang kalau benda itu berikut hartanya ? Harta apakah yang kau maksud, Sanjaya ?"
.
"Bukannya kau akan pergi, Cleret Lor ?" celetuk Bango Banaran kepada Gonggang Keling, diselingi tawa menyindir.
.
Wajah Gonggang Keling memerah dan melototi Bango Banaran. Diantara ke-enam orang itu, hanyalah Bango Banaran yang mempunyai sifat usilan. Maka tak heran jika setiap ia bicara pasti membuat orang yang belum tahu betul dengan orang ini, akan mudah tersulut kemarahannya. Jangankan orang yang belum kenal, Gonggang Keling yang sudah mengenal bertahun - tahun itu saja masih mampu dibuat jengkel dengan ulah Bango Banaran.
.
"Diam kau bocah gemblung !!" umpat Gonggang Keling.
.
"Hehehe.. Walau aku gemblung, tetapi wajahku tampan dan banyak gadis perawan yang mengerubutiku, Cleret Lor."
.
"Sudahi permainan kalian !" lerai Sanjaya, "Baiklah aku akan menjelaskan kepada kalian semuanya."
.
"Dua hari yang lalu, orang yang membawa benda dan harta itu mengetahui rencana yang kita susun. Maka dia meninggalkan gua di bawah karang ini, dan pergi ke timur."
.
"Apa kau tak mengejarnya, Sanjaya ?" tanya Pandak Wengker.
.
Lelaki dengan Jenggot tipis runcing itu menghela nafas sambil menggeleng, "Orang itu sangat sakti, hanya menggunakan pelepah pisang ia mengarungi derasnya ombak lautan."

"He.. " seru sekalian orang.
.
Begitu juga dengan Arya Dipa yang berada di balik gundukan batu. Pemuda itu kagum dengan adanya orang yang mampu menyebrangi lautan luas hanya menggunakan pelepah pisang. Berarti orang itu mempunyai ilmu meringankan tubuh mengagumkan.
.
"Kemungkinan orang itu di pesisir Wengker atau bahkan memasuki pedalaman. Karena itulah aku mempunyai rencana untuk melakukan pencarian orang itu dengan lelaku di malam ini. Apakah kalian ingin terus mendapatkan benda itu atau tidak ? terserah kepada kalian." Kata Sanjaya.
.
Semua orang kecuali Duaji terlihat merenung memikirkan keuntungan dari benda dan harta yang dibawa orang dalam gua.
.
"Sanjaya," desis Ki Widarba, "Mengapa orang itu membawa benda dan harta tetapi terus sembunyi dari keramaian ? Bukankah lebih baik ia menggunakan harta itu untuk membangun istana dan hidup bermewah - mewahan ?"
.
"Hahaha.. ki Widarba, orang itu sudah bosan hidup seperti yang kau sebutkan tadi. Dahulu orang tua itu seorang bangsawan Majapahit yang hidup di kotaraja Wilwatikta. Sejak kematian ayahnya ditangan Prabu Kadiri, ia lari ke sini dan menetap di gua itu untuk melupakan masa lalunya." Jawab Sanjaya.
.
"Dan kau mencoba menghianatinya, Sanjaya ?" kini giliran Pandang Wengker.
.
"Sudahlah, itu urusanku dengan orang tua itu. Yang terpenting kita akan merebut benda dan harta orang itu."
.
Semua orang mengangguk menyetujui apa yang direncanakan Sanjaya. Kelima orang itu kemudian mengikuti Sanjaya yang berjalan ke timur untuk melakukan lelaku dalam menyusuri keberadaan orang tua yang membawa benda dan harta peninggalan Majapahit.
.
Tempat di atas karang itu kembali sunyi. Angin laut leluasa mempermainkan tempat disekitar itu, sekehendak hatinya. Sayup - sayup suara binatang malam mulai meramaikan suasana di atas karang.

Di rasa keadaan sudah aman, Arya Dipa melangkah keluar dari persembunyiannya ke tengah karang. Tak habis pikir dirinya dengan apa yang ia dengar tadi. Ternyata sebuah benda dan harta kembali menjadi permasalahan yang panjang dengan akhir sebuah perebutan.
.
"Harta dan benda apa yang membuat orang - orang itu berlaku seperti itu ?" desisnya.
.
"Oh iya, tadi orang yang bernama Sanjaya mengatakan kalau di bawah karang ada sebuah gua. Ah aku ternyata tak cermat mengamati keadaan di bawah karang tadi."
.
Selesai berkata, Arya Dipa beranjak kembali ke bawah karang. Yang ia tatap pertama hanyalah belik yang ia gunakan untuk mandi tadi. Kemudian ia teliti satu demi satu setiap dinding karang itu, dengan cara meraba dan mempertajam panca inderanya.
.
"Oh.. Ini dia." serunya manakala sebuah mulut gua yang tersamarkan oleh tetumbuhan menggelantung di mulut gua.
.
Ruang di dalam gua sangat gelap dan pekat. Sinar rembulan terhalang oleh rerumputan yang menggelantung di mulut gua. Secepatnya Arya Dipa merogoh batu titikan dan sejumput rumput kering untuk kemudian dia bakar.
.
Ternyata ruang di dalam gua agak luas setelah cahaya menerangi tempat itu. Tiada yang aneh dalam gua itu, semuanya sama dengan gua - gua yang pernah Arya Dipa lihat.
.
"Malam ini sebaiknya aku tidur di gua ini." desisnya, sembari melangkah mengumpulkan ranting di atas karang.
.
Tetapi langkah kaki belum sampai di mulut gua, pandangan matanya tertumbuk ke permukaan lantai gua. Samar - samar ada sebuah goresan aksara di atas lantai gua itu.
.
"Terlalu kecil nyala api, " desis Arya Dipa, manakala ia tak mampu membaca goresan dikarenakan api semakin redup.
.
Segera ia bergegas naik kembali ke atas karang dan mengumpulkan ranting kering untuk dibawa kembali ke dalam gua. Ranting yang banyak itulah yang kemudian memberikan nyala api yang memadai setelah dibakar oleh Arya Dipa. Dan nyala api itulah yang membuat mata Arya Dipa semakin mudah membaca setiap goresan di dasar lantai.
.
"Sebuah ungkapan penyesalan atas keserakahan." desis Arya Dipa, setelah membaca sebaris goresan itu.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 25
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
"Gambar ini ?" desis Arya Dipa ketika meneliti sebuah goresan di bawah goresan aksara dalam gua.
.
Sebuah lambang yang sama dengan apa yang pernah ia lihat ketika berada di Padepokan Karang Tumaritis satu bulan yang lalu. Lambang Surya Kencana menandakan ciri dari darah biru keraton Wilwatikta. Tak hanya itu saja, di bawah lambang itu tergores juga sebuah benda yang menyerupai sebilah keris.
.
"Apakah benda ini yang diperebutkan oleh mereka ?" batin pemuda itu sambil menyentuh goresan di permukaan lantai gua.
.
"Bluuk.."
.
Lantai itu amblong sebesar tiga kilan dan membuat tangan Arya Dipa jatuh ke dalam dasar lubang itu, walau sebatas siku.
.
Kaget dan bingung sempat hinggap dalam hati Arya Dipa, tetapi sekejap kemudian telapak tangannya yang berada dalam lubang menyentuh sebuah benda dalam bungkusan kain. Secepatnya ia tarik tangan sembari menjumput benda itu keatas.
.
Ketika tangan keluar seluruhnya, nampaklah sebatang benda terbungkus kain hitam mewah dengan simbol Surya Kencana. Tangan Arya Dipa bergetar dan jantung berdegub keras. Sebuah getaran halus merambat pada tangannya, memasuki urat dan nadi menuju jantungnya.
.
Meskipun begitu, Arya Dipa tetap bertahan untuk menjaga kesadarannya dan menekan getaran halus itu untuk tidak merusak simpul di jantungnya. Upayanya berhasil dengan baik. Maka selanjutnya ia dekatkan benda itu ke dahinya seraya memejamkan mata sesaat, dan kemudian menyingkap kain pembukus itu.
.
Arya Dipa melebarkan kelopak matanya demi melihat benda dalam bungkusan itu, yang ternyata berwujud warangka keris yang bersalut intan berlian.
.
"Apa maksud dari ini semua ?" batin Arya Dipa.
.
Diamati warangka itu secara cermat. Indah memang dan tentunya mahal jika benda itu dijual kepada pedagang. Namun getaran benda itu sangat kuat, itu membuktikan kalau benda itu tentu sebuah warangka dari keris pusaka.
.
Akal pemuda itu terus berpikir mengenai guratan penyesalan dari si-empunya penulis dan mengkaitkan dengan warangka keris.
.
"Penyesalan - Bangsawan Wilwatikta - Warangka keris." kata Arya Dipa lirih sambil memutar warangka terbalik.

Tanpa disadari dari dalam warangka, secarik kertas putih terjatuh ke lantai. Di jumput kertas itu dan di buka lipatan secarik kertas itu. Ternyata dalam permukaan kertas terdapat sebuah pesan bagi orang yang mampu menemukan warangka keris yang disembunyikan oleh empunya keris.
.
Dalam pesan itu, si-empunya keris mengatakan kalau warangka itu akan berjodoh dengan seorang yang berhati lurus dalam pengabdian terhadap negerinya. Dan hendaknya, ia berjalan ke matahari terbit menyusuri sungai brantas sampai di sebuah gundukan tanah berkilau kuning keemasan saat disenja hari.
.
"He.. Ada persamaan dengan tempat yang ditunjukan oleh eyang Panembahan Ismaya !" seru Arya Dipa sekaligus membuat tubuhnya berdiri.
.
Di lihat kertas itu dan dibaca ulang. Setelah yakin benar dengan tulisan itu, ia lipat kembali dan ia masukan ke dalam warangka tadi, serta membungkus warangka dengan kain hitam seperti semula.
.
Malam semakin dalam memasuki peraduannya. Di luar debur ombak terus menghentak kerasnya karang. Cahaya rembulan terus menerangi buana, namun kadangkala sang awan mencoba menggoda dengan menghalingi sinar rembulan, sehingga sulit menembus ke permukaan buana raya. Untunglah sang bayu muncul sebagai sang penolong, memukul sang awan supaya pergi meninggalkan indahnya sang rembulan. Tetapi segalanya segera buyar manakala dari arah timur, warna kemerahan menyeruak dari atas cakrawala. Sang surya tertawa terbahak - bahak untuk melanjutkan singgasana di siang hari itu.
.
Pesisir selatan dimana Arya Dipa bermalam dalam gua telah mendapat sinar fajar. Bersamaan dengan riuhnya ayam hutan dekat pesisir selatan. Arya Dipa segera memadamkan bara dari ranting yang ia bakar tadi malam. Kemudian ke belik untuk membersihkan diri dan sesuci ke hadapan sang Illahi.
.
Hari yang masih pagi telah ia manfaatkan untuk melanjutkan perjalanan ke timur. Namun kali ini ia akan lebih berhati - hati terhadap rombongan orang yang tadi malam berkumpul di atas karang. Bila perlu menghindari bentrokan yang akan menyita waktunya sampai di tujuan.
.
Lembah, ngarai, dan pegunungan pesisir selatan di lalui oleh pemuda itu selama berhari - hari. Dan pada hari itu sampailah ia di telatah Wengker bagian selatan. Untuk itu kemudian ia mengarah ke utara mendaki bukit terjal yang bagai dinding tebal dari alam.
.
Sungguh perjalanan yang menguras banyak tenaga. Namun tiada keluhan yang keluar dari prajurit yang dalam masa hukuman itu. Ketetapan hatinya telah membawanya memasuki sebuah padukuhan kecil di balik bukit.

Kedatangan Arya Dipa ditempat itu menarik perhatian para penghuninya. Penghuni padukuhan itu memandang dengan tatapan penuh kecurigaan, apalagi akhir - akhir ini di timur kadipaten terjadi perang besar. Sehingga adanya penyusup dan pengganggu sangat meresahkan penghuni padukuhan itu.
.
Sebenarnya Arya Dipa sendiri mengetahui kalau dirinya dicurigai oleh mereka yang berjumpa dengan dirinya. Tetapi ia berusaha tak menghiraukan dan terus melangkah memasuki padukuhan makin dalam.
.
Rasa lapar mempengaruhi langkahnya untuk mencari sebuah kedai ataupun warung di padukuhan yang termasuk dalam kadipaten Ponorogo atau Wengker.
.
"Ah, akhirnya ketemu juga." desis Arya Dipa saat mendapati sebuah kedai.
.
Masuklah ia ke kedai dan disambut oleh pelayan kedai.
.
"Kisanak ini siapa ?" tanya pelayan itu kurang bersahabat.
.
Arya Dipa mencoba menjawab dengan ramah, "Aku hanyalah pengembara, kisanak. Dan ingin membeli hidangan yang ada di kedai ini."
.
"Hm.. Masuklah. Tetapi jika berbuat mencurigakan, kisanak akan berurusan dengan penghuni padukuhan ini." kata pelayan dengan ketusnya.
.
"Baik, kisanak." sahut Arya Dipa dan duduk di dingklik dalam kedai.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 26
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
Sembari menunggu makanan yang ia pesan, Arya Dipa mengeliarkan pandangannya memperhatikan keadaan di dalam kedai. Ruang yang tak terlalu lebar dengan sekat dari anyaman bambu memisahkan dapur dan ruang untuk pembeli. Ruang muka menampilkan meja panjang yang berisi jajanan ringan dan buah - buahan dan dingklik memanjang di depan meja, dua deret meja kecil bersama dua dingklik mengintari setiap meja kecil tersebut.
.
Arya Dipa memilih meja dekat dengan lubang angin, yang berhadapan langsung dengan pelataran kedai juga jalan. Di situ ia bisa mengetahui orang berlalu lalang ataupun mereka yang akan memasuki kedai.
.
"Ini anak muda." kata pelayan kedai sambil menghidangkan nasi kehadapan Arya dipa.
.
"Terima kasih, kisanak." ucap Arya Dipa, "Kisanak, kalau boleh tahu apa nama padukuhan ini ?"
.
Pelayan ini ternyata bukanlah pelayan yang menyambutnya tadi. Ia termangu sesaat dan memperhatikan penampilan Arya Dipa. Dalam hatinya mengatakan kalau orang ini berbeda dengan orang - orang yang sempat singgah di kedai itu. Karenanya ia pun dengan ramah menjawab.
.
"Denmas saat ini memasuki padukuhan Bungkul, Denmas."
.
"Apakah jalan menuju kadipaten Ponorogo masih jauh, kisanak ?" sekali lagi Arya Dipa bertanya.
.
Pelayan itu nampak kebingungan untuk menjawabnya.
.
"Kenapa kisanak kebingungan ?"
.
"E.. Aku belum pernah kesana, Denmas." jawab pelayan itu, tersipu malu.
.
Arya Dipa tersenyum dengan perilaku pelayan yang seumurnya itu. Di ambilnya uang kepeng dan ia berikan kepada pelayan itu.

"Terima-lah."
.
"Terima kasih, Denmas." ucap pelayan itu.
.
Sepeninggal pelayan kedai, Arya Dipa memusatkan untuk menikmati makanan yang sudah terhidang. Perut yang sejak tadi sudah berkeroncongan, kini bersyukur lega mendapatkan apa yang sudah diidam - idamkan. Tak lupa air putih dalam kendi tertuang ke gelas dan selanjutnya melancarkan sisa makanan di mulut dan tenggorokan.
.
Pada saat Arya Dipa menyantap makanan di kedai, tiga penunggang kuda berjalan pelan memasuki pelataran kedai. Suara ringkikan kuda membuat Arya Dipa menoleh demi mengetahui siapa penunggang kuda itu.
.
Ketiga penunggang kuda itu segera turun dari kuda mereka dan memberikan kepada pelayan yang tadi menyambut Arya Dipa dengan ketus. Tapi kali ini sangat lain apa yang diperlihatkan oleh pelayan itu. Dengan ramahnya pelayan itu menyambut ketiga penunggang kuda tersebut. Bahkan menunduk hormat kepada salah seorang yang lengannya ada gelang akar bahar melingkar sebagai hiasan.
.
"Mereka.. " desis Arya Dipa yang mengenali ketiga orang itu.
.
Namun kemudian Arya Dipa tak menghiraukan lagi dan sibuk dengan makanan di atas meja.
.
Sementara itu ketiga orang itu segera memasuki kedai dan duduk di meja dekat pojokan.
.
"Pahing, cepat kau siapkan makanan yang paling enak di kedai ini !" seru si lengan akar bahar.
.
"Segera, ki Pandak Wengker." sahut si pemilik kedai dan berlari ke dapur.
.
"He Gonggang Keling, apa tidak apa - apa kita berpisah dengan rombongan Sanjaya ?" kata ki Widarba.
.
Gonggang Keling tak langsung menjawab. Orang dari Karimun itu mengunyah pisang sampai habis dan meneguk air dari kendi. Barulah ia menjawab.

"Ki, kita ini sudah dewasa. Mengapa kau merengek layaknya anak kecil ?"
.
"Tampangmu..! Bukan itu maksudku !" bentak ki Widarba, "Jika si murid durhaka itu menemukan benda dan harta itu, kita akan dikhianati juga."
.
Gonggang Keling terdiam, tetapi bibirnya tersenyum tak terlalu memikirkan kegelisahan ki Widarba. Sama halnya dengan si lengan bergelang akar bahar, orang itu dengan asyiknya memothel pisang hijau dan mengupas kulitnya.
.
"Uh, kalian terlalu meremehkan pemuda itu." desuh ki Widarba.
.
"Sudahlah, ki. Kita berempat tentu dapat menangani Sanjaya dan Duaji. Di sana juga ada Bango Banaran yang menjadi mata dan telinga kita." kata ki Pandak Wengker.
.
Orang tua bersenjata tongkat itu ingin berkata lagi, tetapi kedatangan pemilik kedai dan pelayan yang menghidangkan makanan telah mengurungkan niatnya. Berganti dengan menyantap hidangan yang menimbulkan nafsu perutnya.
.
Sambil menikmati makanan itulah, ki Pandak Wengker berkata, "Kita sebaiknya mencari bantuan kepada kawan kita."
.
"Ah, bertambahnya orang akan membuat pembagian harta semakin sedikit." sahut Gonggang Keling.
.
"He, kau lupa dengan orang yang kita bunuh kemari ?" tanya ki Pandak Wengker, lalu, "Benda dan harta itu sekarang tak rahasia lagi. Banyak orang yang menginginkan dan merebutnya."
.
Kata terakhir itu telah mengejutkan Arya Dipa. Sepertinya permasalahan semakin runyam menyangkuy benda itu. Tetapi apakah mereka sudah mengetahui dimana letak benda itu ? Inilah yang masih membuat Arya Dipa agak tenang bilamana orang - orang itu tak mengetahuinya.

Kembali Arya Dipa mengikuti setiap kata yang terucap dari ketiga orang di pojokan tanpa membuat mereka curiga dengan dirinya. Maka dari itu ia dengan lahap memakan nasinya.
.
Di meja dekat pojokan, pembicaraan ketiganya semakin mengarah terhadap tujuan dari orang - orang itu.
.
"Kita pikirkan nanti saja setelah sampai di rumahku." kata ki Pandak Wengker.
.
"Ah kau sudah merindukan belaian anak muda itu, ya ?"
.
"Dasar kelakuan warok sepertimu tak pernah berubah, Pandak Wengker !" celetuk ki Widarba.
.
"Biarkan saja, ki Widarba. Memang hal itu akan menambah kesaktiannya." sahut Gonggang Keling, dan tanpa sengaja menatap ke arah Arya Dipa.
.
Melalui sebuah isyarat orang dari Karimun itu memberitahukan kepada kawan - kawannya. Ki Widarba dan ki Pandak Wengker yang diberitahu, mengikuti tatapan itu. Dan ki Pandak Wengker langsung berdiri melangkah ke meja Arya Dipa.
.
"Cah bagus, sepertinya kau bukan dari padukuhan ini. Siapa kau dan dari mana ?"
.
Arya Dipa menatap ki Pandak Wengker dengan ketakutan dan gemetar, "A.. aku dari Ngurawan, kisanak."
.
Jawaban itu membuat ki Pandak Wengker mengerutkan dahinya, "He benarkah ?"
.
"Iya, kisanak. Bekas perdikan itu saat ini menjadi benteng pasukan Demak dan kadipaten Ponorogo, hal itu membuat aku mengungsi ke sini."
.
Ki Pandak Wengker memperhatikan seluruh tubuh Arya Dipa, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Raut wajah itu berseri gembira dengan lekuk tubuh bidang dari Arya Dipa.

"Hm.. Bila kau ingin hidupmu enak, ikutlah kau bersamaku, cah bagus."
.
Tetapi sebuah tawa membuat ki Pandak Wengker menoleh ke arah tawa yang menyakitkan telinganya.
.
"Hehehe.. Wong edan wis mulih, marai nggawe pagebluk... !"
.
Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan berdiri di pelataran sambil mencoret - coretkan ranting ke tanah, itulah yang tertawa dan berbicara.
.
Tak hanya ki Pandak Wengker saja yang dibuat terkejut, ki Widarba dan Gonggang keling juga berdiri dan berlari keluar kedai. Sementara dengan hati - hati Arya Dipa terus mengamati orang aneh itu.
.
"Begawan edan !" bentak ki Pandak Wengker setelah di luar kedai, "Mau apa kau ikut campur urusanku, he ?!"
.
"Hehehe.. Pandak Wengker, Widarba dan juga Gonggang Keling. Bila Pandak Wengker berkeliaran di sini itu sudah lumrah." kata orang berpakaian tambalan itu, "Namun adanya orang Karimun dan Jipang membuatku bertanya - tanya, hehehe... "
.
"Bangsat kau Begawan edan !" maki ki Pandak Wengker yang merasa perkataannya tak di gubris oleh orang itu, "Kau rupanya sudah bosan hidup, ya ?"
.
"E ladalah, wong ra duwè tátá.. !" seru orang yang disebut begawan itu, "Sudah bertingkah buruk dengan menggendak lelaki muda, kini berucap kasar kepada orang tua sepertiku."
.
Perkataan dari orang tua itu membuat wajah ki Pandak Wengker sudah memerah bagai kepiting rebus. Tanpa sebuah aba - aba, warok itu meluncur deras menyasar batok kepala si orang tua.
.
Sekilas kedua tangan kokoh ki Pandak Wengker akan mendarat di batok kepala orang aneh itu. Tetapi seperti tak menghiraukan, orang tua yang masih asyik menggores ranting ke tanah, membiarkan batok kepalanya terkena gempuran.
.
"Whuus.. Dhuukk.. !"
.
Kedua tangan ki Pandak Wengker berhasil menggempur batok kepala si orang tua aneh. Dan ki Pandak Wengker telah mendarat kembali di tanah dan menatap tajam dimana kakek aneh tadi berdiri.
.
"Hehehe........ "
.
Semua mata mengarah ke arah si kakek aneh tadi.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 27
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::::
Semua mata tercengang ketika menyaksikan akibat gempuran ki Pandak Wengker. Bukannya batok kepala yang pecah, tetapi mulut ki Pandak Wengker-lah yang meringis menahan sakit yang sang dikedua tangannya. Entah mengapa seakan - akan tangannya telah membentur besi gligen dan membuat nyeri tangan warok tersebut.
.
Tadi ketika serangan ki Pandak Wengker hanya sejarak seruas jari, kakek Begawan aneh itu menggerakan ranting yang ia pegang sejak tadi. Kecepatan tangan dalam menggerakan ranting itulah yang tak banyak orang mengetahuinya, sehingga dalam pandangan orang awam akan sulit mengikuti langkah itu. Tak hanya itu saja, kakek Begawan juga menyalurkan tenaga cadangan ke ranting biasa itu, dan mampu menjadikan ranting itu sekeras baja gligen. Tak ayal lagi penderitaan yang sangat dialami oleh ki Pandak Wengker.
.
Ketangkasan dan kehebatan kakek Begawan itu sempat diketahui Arya Dipa yang menatap tajam dan jeli. Sudah dari awal Arya Dipa meyakini kalau orang tua aneh itu mempunyai bekal olah kanuragan yang mumpuni. Oleh karenanya ia merasa lega untuk tidak menunjukan jati dirinya kehadapan mereka dan hanya menanti hingga akhir dari permainan itu.
.
Kedatangan kakek Begawan yang tiba - tiba itu, sebenarnya mengagetkan ki Pandak Wengker dan kawan - kawannya. Mereka mengenal dengan benar siapa kakek Begawan satu ini. Dan hati mereka sebenarnya sejak awal sudah menciut bagai kapas yang terkena air, tetapi rasa jerih itu ditindih rasa malu bila meninggalkan gelanggang.
.
Di depan pintu kedai, ki Widarba dan Gonggang Keling sudah bersiap meloncat. Tangan keduanya mulai memper-erat pegangan di senjata masing - masing.
.
"Hehehe... Yang satu bawa penthung celeng, satunya lagi mau mengembalakan wedhus." sindir kakek Begawan, lalu, "He Cleret Keling, di Karimun wedhus-mu sudah beranak pinak, ya ?!"
.
Sindiran itu membuat Arya Dipa tersenyum. Ia merasakan adanya sifat usilan dari Begawan satu ini. Bila tak mempunyai bekal yang cukup tentu ia akan mendapat akibat yang parah dari lawan yang sudah terungkit rasa kemarahannya.
.
Itulah yang terjadi, Gonggang Keling tak mampu lagi untuk bersabar. Kawah kemarahan dalam dadanya tak mampu terbendung lagi. Sehingga meletuslah kemarahan itu dan meluberkan panasnya hawa kemarahan dari puncak gunung berapi. Sehingga dengan loncatan bagaikan burung elang, Gonggang Keling melecutkan cambuknya.

"Taarr.. Taarr.. Taarr.. !"
.
Tiga lecutan cambuk ekor pari menggetarkan udara disekitar tubuh kakek Begawan. Sudah tentu sang kakek Begawan tak tinggal diam, kakinya beringsut beberapa kali seraya menangkis dengan ranting di tangan kanannya. Terjadilah adu lecutan dari dua senjata berbeda.
.
Cambuk khusus terbuat dari ekor ikan pari milik Gonggang Keling, mempunyai kekuatan yang menakutkan. Dan lawannya hanya menggunakan ranting biasa yang diambil dari pohon yang tumbuh dipinggiran jalan. Inilah yang membedakan keduanya melalui kemampuan dan tenaga dari masing - masing. Terbukti jelas siapa dari mereka yang hebat dalam melambari senjata mereka dengan tenaga sakti.
.
Cambuk ekor pari ditangan Gonggang Keling begitu lentur dan kuat, melecut dengan cepat bagai kilat. Sementara ranting kakek Begawan yang bercabang - cabang tak kalah hebat, ranting yang masih muda dilambari dengan tenaga cadangan mampu menjadikan senjata mendebarkan bagi lawan. Setiap lecutan dari Gonggang Keling mampu dimentahkan oleh kakek Begawan aneh ini.
.
Di luar gelanggang, ki Pandak Wengker mulai mengurai ikat pinggangnya, yaitu koloran berwarna putih. Koloran ini bukan sembarang koloran, melainkan terbuat dari kulit binatang yang sangat jarang dilihat oleh manusia. Dan hewan itu hanya berada di puncak gunung Wilis serta hidup di alam lain. Jika koloran itu mengenai gunung, niscaya gunung itu akan gugur dan lautan akan mengering, itulah yang diyakini oleh ki Pandak Wengker.
.
Lain lagi dengan ki Widarba, orang tua dari Jipang itu berdiri dengan tegang memperhatikan keadaan yang tak menguntungkan bagi kelompoknya. Kemunculan Begawan yang ia kenal sebagai Begawan Kakrasana dari alas Parang timur laut gunung Kidul itu, saudara seperguruan dari seorang begawan yang sifatnya tak kalah edannya. Untuk itu ia bersiaga dan menunggu waktu yang tepat mengajak kawan - kawannya menyingkir.
.
Dan waktu yang ditunggu - tunggupun tiba juga. Ki Widarba mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya. Lima benda tajam secepatnya ia lemparkan mengarah Begawan Kakrasana, dilambari tenaga cadangan. Sembari melempar itulah ki Widarba memberikan isyarat kepada kawannya untuk menghindari Begawan Kakrasana.
.
"Hehehe, kampret kalian... !" seru Begawan Kakrasana seraya memapas seluruh senjata rahasia ki Widarba dan membiarkan musuhnya kabur.
.
Sesudah kaburnya ki Widarba dan kawan - kawannya, Begawan Kakrasana termenung menatap arah kepergian lawannya. Seolah mengikuti tubuh mereka menyusuri lorong - lorong jalan, lari terbirit - birit.

"Hehehe... " Begawan Kakrasana masih tertawa.
.
"Terima kasih, eyang Begawan." ucap Arya Dipa, yang lekas mendekati kakek Begawan.
.
Begawan Kakrasana membalikan tubuhnya dan melotot dengan tajamnya, "He, kau hanya mengucap dengan lisan saja, bocah gemblung ?"
.
Tindakan Begawan itu tentu membuat Arya Dipa bingung kepalang. Ia tak mengerti dengan maksud ucapan dari Begawan tua ini. Sehingga tanpa ia sadari, Arya Dipa hanya melongo saja.
.
"E.. Ladalah, malah diam saja. Kau kesambet danyang Bungkul, bocah gemblung..'" seru Begawan Kakrasana sembari memukul pemuda di depannya menggunakan ranting.
.
"Plaak.. !"
.
Keduanya terkejut setelah ranting itu mengenai tubuh Arya Dipa. Begawan Kakrasana heran dengan apa yang ia rasakan, tangannya bagai kesemutan seolah - olah adanya tenaga yang menyakiti tangannya. Sementara Arya Dipa merasakan pundaknya bagai terkena besi, padahal ia tadi sempat menerapkan aji Niscala Praba.
.
Begawan Kakrasana menggelengkan kepalanya, "He bocah gemblung, apakah kau akan mendiamkan aku seperti ini ? Tidak menghidangkan sesuap nasi kepada orang yang menolongmu ?!"
.
"He.. " desuh Arya Dipa, lalu ia tersenyum dan mempersilahkan kakek Begawan memasuki kedai.
.
Dimintanya pelayan kedai untuk menyediakan makanan yang enak untuk kakek Begawan. Dan setelah hidanhan tersedia, kakek itu segera melahab dengan nafsunya. Seolah - olah perutnya belum terisi sejak sepekan, sehingga meraup dam menjejalkan makanan itu ke mulutnya.
.
Tingkah laku kakek Begawan itu membuat hati Arya Dipa senang. Entah mengapa ia merasakan kegembiraan bila memandang wajah kakek Begawan itu.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 28
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::::
Di kala Arya Dipa menjamu Begawan Kakrasana di kedai padukuhan Bungkal, ki Widarba bersama kedua kawannya berjalan keluar menjauhi padukuhan tersebut. Ki Widarba mengajaka kawannya untuk tak berurusan dengan Begawan dari alas Parang, yang ia ketahui mempunyai sebidang ilmu kanuragan yang mendebarkan.
.
"Bila tadi tak kau tarik, aku sudah meloncat melecut orang tua itu dengan Sasra Geni ini, ki Widarba." gerutu ki Pandak Wengker sembari merapikan ikat pinggangnya.
.
"Sudahlah, lebih baik kita tak berurusan dengannya untuk sementara waktu, Wengker." sahut ki Widarba, "Sebaiknya kita bergegas saja ke timur."
.
Sementara itu Gonggang Keling masih menenangkan gelora amarahnya, "Sudah sering orang tua itu menghina diriku, ingin rasanya aku meremas wajahnya !"
.
Ki Widarba tersenyum, "Sudahlah Gonggang Keling, bukalah matamu lebar - lebar. Sejak kau bertarung dengannya, apakah kau mampu mengungguli Begawan edan itu ?"
.
Pertanyaan yang tak disangka - sangka itu membuat Gonggang Keling terdiam. Memang diakuinya kalau setiap ia beradu ilmu dengan Begawan Kakrasana, ia bagai anak kecil yang terus dipermainkan oleh Begawan itu. Oleh karenanya ia hanya berjalan menunduk menyusuri jalan yang membelah persawahan itu.
.
Di kedai padukuhan Bungkal, Begawan Kakrasana menyudahi makannya. Perutnya sudah tak sanggup lagi menampung makanan yang dipesan untuk katiga kalinya itu. Sembari menepuk perutnya ia menghela nafas panjang.
.
"Tak hari - harinya perutku dilayani seperti siang ini." ucapnya perlahan, sementara matanya terkatup - katup.

"Kalau begitu kita sudah impas bukan, eyang ?" kata Arya Dipa.
.
Suara dari Arya Dipa itu telah menyadarkan Begawan Kakrsana. Bukannya berkata baik - baik, melainkan tangan kakek itu bergerak menjewer pemuda di sampingnya dengan kerasnya.
.
"Aduh... Aduh...Aduuuh.. !" keluh Arya Dipa, tak menyangka kalau ia akan diperlakukan seperti itu.
.
"Anak edan, kau mengganggu ketenanganku dalam menikmati perutku yang kenyang !" bentak Begawan Kakrasana, lalu kemudian, "Cepat kau bayar dan ikuti aku !"
.
Entah mengapa Arya Dipa tak menolak perintah Begawan yang uring - uringan itu. Tanpa menunggu lagi setelah tangan Begawan Kakrasana melepas tangan dari kupingnya, Arya Dipa memanggil pelayan kedai dan membayar semua makanan tadi. Sehabis itu mengikuti langkah kakek Begawan.
.
Semenjak keluar dari kedai, keduanya tak banyak bicara. Keduanya terus berjalan menyusuri jalan setapak yang kanan kiri ditumbuhi semak belukar berselang tanaman luntas. Setelah sepengunyah sirih, sampailah di sebuah gubuk yang berdiri di pinggir kolam.
.
"Masuklah anak muda." kata Begawan Kakrasana mempersilahkan Arya Dipa.
.
Di dalam gubuk itu hanya terdapat amben besar yang menyisakan tempat berjalan ke pintu bekakang. Di dinding gubuk yang terbuat dari potongan bambu, terdapat dua arit terselip ke bawah dan caping besar.
.
"Duduklah." kata Begawan Kakrasana dan terus berjalan ke belakang.
.
Duduklah Arya Dipa di amben sambil menunggu kemunculan Kakek tadi. Tak berselang lama munculah kakek itu sambil membawa kendi dan selirang pisang hijau.
.
"Hanya ini yang aku sajikan, cah bagus."
.
"Terima kasih, eyang. Lebih dari cukup."

"Ya jelas lebih dari cukup to cah edan, hehehe." kata Begawan itu sambil melototkan matanya dan tertawa riang.
.
"He cah edan, siapa kamu ini ?" sambung Begawan dengan pertanyaan.
.
"Aku hanya seorang yang ingin melihat luasnya tanah jawa ini, eyang. Ayahku sering memanggilku dengan Dipa."
.
"Dipa.. " desis Begawan Kakrasana, sambil meneliti setiap lekuk pemuda di hadapannya.
.
"Nama yang bagus, mengingatkan aku dengan putra Gajah Pagon yang menjadi benteng Wilatikta." kata Begawan dalam hati, "Seorang mahapatih yang mampu menyatukan nusantara walau akhirnya ia menjadi korban kepentingan dari kerabat keraton Wilatikta, gara - gara ingin menyatukan Prabu Hayam Wuruk dan putri Dyah Pitaloka."
.
"Mengapa eyang melamun ?" tegur Arya Dipa ketika melihat Begawan Kakrasana termenung.
.
Begawan itu menghela nafas seakan - akan ingin melapangkan dadanya yang sesak. Dirinya tak menyangka kalau pengabdian seorang nayaka praja yang sangat setia kepada negerinya, disudutkan karena pokal seorang saja. Sehingga seorang Gajah Mada meninggalkan tujuan yang lebih gemilang bagi Wilatikta mengasingkan diri dan tak diketahui rimbanya.
.
"Tidak, ngger. Namamu tadi telah mengingatkan diriku ini terhadap orang yang aku bangakan. Semoga kelak kau mampu sepertinya dalam melakukan pengabdian yang benar." kata Begawan Kakrasana dengan diiringi sebuah do'a yang tulus.
.
"Ah sudahlah." desisinya, "O ya, mengapa kau tadi diam saja terhadap tiga begundal tadi ? Aku rasa kau tentu mampu melawan mereka."
.
"Ah, eyang terlalu berlebihan. Ketiga orang itu sangat lihai dalam ilmu tata kenuragan. Jika aku melawan mungkin dalam beberapa gebrakan akan terbujur pingsan."
.
"Hehehe.. Bila itu terjadi, mungkin aku akan mendukung tubuhmu yang pingsan dan ku ceburkan ke kolam !" seru Begawan Kakrasana.

Arya Dipa tersenyum.
.
Begawan itu memothel pisang hijau dan mengupas kulitnya untuk ia makan. Masih mengunyah pisang hijau, orang tua itu berkata, "Aku yakin kau seorang ahli kanuragan, entah dari perguruan mana. Mungkin kau juga ingin ikut merebutkan benda yang saat ini diperebutkan oleh dunia kanuragan."
.
"Maksud, eyang... ?"
.
Begawan itu menggeser letak duduknya, "Akhir - akhir ini, selain pertempuran pasukan Demak dan pasukan kadipaten Bang Wetan, juga mulai menyerabak adanya desas - desus sebuah benda peninggalan Majapahit yang menggetarkan dunia olah kanuragan. Banyak golongan - golongan dari kalangan padepokan ataupun bangsawan yang mencari kebenaran itu."
.
"Apakah eyang juga tertarik dengan benda itu ?"
.
"Hm.. Sebenarnya aku tak mengharapkan untuk memilikinya. Tetapi ada perasaan yang menggelitik hatiku ingin mengetahui apakah kebenaran benda itu nyata." sejenak Begawan Kakrasana berhenti untuk mengambil nafas, kemudian, "Yang aku takutkan jikalau benda itu jatuh ke tangan yang salah. Tentu sesuatu akan semakin mengeruhkan keadaan di Bang Wetan ini, ngger."
.
Arya Dipa menganggukan kepalanya. Kegelisahan Begawan Kakrasana itu bisa ia rasakan juga. Dirinya sudah mengetahui kenyataan jika benda itu jatuh ke tangan Sanjaya atau penguasa dari Bang Wetan, yaitu Panembahan Bhre Wiraraja.
.
"Sudahlah, ngger. Istirahatlah disini dahulu. Aku akan pergi sebentar."
.
"Baik, eyang." kata Arya Dipa yang kemudian ditinggal Begawan Kakrasana.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 29
OLEH : MARZUKI
:::::::::::::::::::::::::::::::
:::::;::::::::::::::::::::;::::
Menjelang malam di tepian kolam di luar padukuhan Bungkul, Arya Dipa dan Begawan Kakrasana membicarakan adanya gerakan dari tokoh - tokoh kanuragan ke gumuk emas, pinggiran kali Brantas.
.
"Semakin hari banyak dari mereka mulai bergerak, ngger. Desas - desus itu semakin santer menunjukan kalau benda itu berada di sebuah gumuk kalau disenja hari menyerupai bongkahan emas." Begawan Kakrasana mulai pembicaraannya.
.
"Apakah eyang mengetahui siapa yang menyebarkan letak benda itu ?"
.
"Seorang pemuda tampan yang dagunya berbulu runcing."
.
"Sanjaya.." desis Arya Dipa perlahan.
.
"Kau mengenalnya, ngger ?"
.
Arya Dipa kemudian menceritakan awal pertemuannya tatkala di pesisir pantai Gunung Kidul, walau tak bertatap mata secara dekat.
.
Begawan Kakrasana mengangguk setelah mendengarkan cerita dari Arya Dipa. Orang tua dari alas Parang itu terlihat sedang memikirkan sesuatu.
.
"Hm.. Sepertinya pemuda itu mempunyai rencana yang mendebarkan.."
.
Tanpa disadari Arya Dipa menoleh ke Begawan Kakrasana, "Apa maksud dari eyang ?"
.
"Coba kau renungkan, ngger. Pemuda bernama Sanjaya itu ingin merebut benda dari gurunya. Awalnya ia bekerja sama dengan Pandak Wengker, Widarba, Gonggang Keling dan Bango Banaran, lalu kemudian ia malah membeberkan rencana itu kepada orang lainnya. Bukankah ia hanya membuat palagan luas bagai tokoh - tokoh kanuragan dan kemudian ia akan merebut benda itu dari tangan orang yang terakhir ?"
.
"Hm.. Sungguh culas sekali anak itu." sambung Begawan Kakrasana.
.
"Lalu apa rencana eyang sekarang ?"

Orang tua itu terlihat memikirkan sesuatu, lalu kemudian jawabnya, "Andai akan mengatakan kepada mereka yang mengincar barang, tentu mereka tak percaya dan menuduh kita sebaliknya. Tetapi bila membiarkan, tentu darah akan membanjiri gumuk pinggir Brantas.
.
Orang tua itu memukul kepalanya dengan perlahan sambil mengumpat sendiri, "Bodoh.. Bodoh.. Bodoh.. "
.
"Dari dulu kau memang Bebal, Kakrasana !" seru sebuah suara dan disusul dua sosok.
.
Arya Dipa segera waspada atas kemunculan dua orang yang terdiri dari seorang kakek dan anak muda hampir sebaya dengan dirinya.
.
"Tenang, ngger. Ia kakang seperguruanku." desis Begawan Kakrasana perlahan.
.
Walaupun suara Begawan Kakrasana tadi perlahan, tetapi orang tua yang baru datang itu bisa mendengar dengan jelas dan membentak, "Huh kau menganggap saudara terhadapku ?!"
.
Tiada jawaban terdengar, melainkan sebuah terjangan deras mengarah kakek tua yang baru muncul.
.
"Dess.. Dess.. Dess.. "
.
"Edan kau Kakrasana.... !" seru orang tua itu sambil menangkis setiap gempuran dari Begawan Kakrasana.
.
Sehabis menyerang dengan tiga gebrakan, Begawan Kakrasana mumbul ke udara dua kali putaran dan sepanjutnya meluncul ke tempatnya berdiri sejak awal.
.
"Hehehe.. Walaupun tulang kakang sudah termakan usia, ternyata masih mampu menahan gempuran Tri Bayu Murda." seru Begawan Kakrasana.
.
Orang itu menoleh kepada pemuda disampingnya, "Windujaya, ternyata bila dibandingkan dengan paman gurumu, masih hebat gempuran Tri Bayu Murda yang kau miliki.. Hehehe."
.
Pemuda disamping orang tua itu menunduk hormat kepada Begawan Kakrasana seraya berucap, "Maafkan kedatangan kami berdua paman, yang mengganggu ketenangan paman Begawan."

Begawan Kakrasana tertawa riuh, sementara orang tua disamping Windujaya mencak - mencak tak karuan. Sedangkan Arya Dipa hanya menggelengkan kepalanya saja.
.
"Sudahlah kakang Bancak marilah ke gubuk. Di sana udara tak terlalu dingin." ajak Begawan Kakrasana sambil berjalan ke gubuk seraya menggamit Arya Dipa.
.
"Baik jika kau buatkan aku wesang sere dan nasi megana." sahut Orang tua itu.
.
Sesampainya di dalam gubuk, Begawan Kakrasana mengenalkan Arya Dipa kepada kakak seperguruannya dan murid kinasihnya itu, begitupun sebaliknya. Arya Dipa mengangguk hormat kepada kedua guru murid itu.
.
Windujaya membalasnya dengan ramah, lain halnya dengan orang tua yang dipanggil kakang Bancak, orang tua itu tak menoleh sedikitpun kepada Arya Dipa. Untunglah Arya Dipa tak menanggapi dengan sungguh - sungguh.
.
"Apakah kau mengambilnya sebagai murid, Kakrasana ?" tanya orang tua itu.
.
Begawan Kakrasana yang masih di ruang belakang tak segera menjawab. Barulah saat ia muncul kembali dan membawa suguhan, ia menjawab, "Tidak, kakang Bancak. Dia pemuda yang aku rasa menyimpan ilmu lebih dari cukup."
.
Kakang Bancak itu sekilas melirik ke Arya Dipa memperhatikan tubuh pemuda itu. Memang benar apa yang dikatakan oleh adiknya, sekilas melihat saja ia mampu mengetahui adanya tumpukan ilmu berada dalam tubuh anak itu.
.
"Siapa yang mendidikmu, bocah ?"
.
Arya Dipa dengan terus terang menjawab, "Eyang Puspanaga, eyang."

Suara Arya Dipa sebenarnya lirih dan halus, tetapi ditelinga kakang Bancak bagaikan gemuruh kilat yang meledak diatas kepalanya.
.
"Puspanaga..." desis orang tua itu dengan muka memerah, walau hanya sekilas.
.
"Wah, jadi kau murid pertapa Pucangan, ngger." kata Begawan Kakrasana.
.
"Hanya sebatas ilmu dasar saja, eyang."
.
"Hm.. Seorang pertapa yang benar - benar dahsyat ilmunya." puji Begawan Kakrasana.
.
"Huh.. Hanya ilmu setetes sempalan Ningrat kau terlalu memuji, Kakrasana." desuh kakang Bancak.
.
Arya Dipa mengerutkan keningnya lebih dalam. Kata - kata itu terlalu tajam sehingga membuat telinganya panas. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menenangkan amarah yang hampi terungkit itu.
.
"Maafkan jika aku berlaku kasar, eyang Bancak. Mengapa eyang mencemoh diri eyang Puspanaga ?"
.
Orang tua itu menatap tajam ke arah Arya Dipa, "Kau tersinggung bocah ?"
.
Keadaan semakin tegang dan panas. Begawan Kakrasana yang mampu membaca suasana segera bertindak.
.
"Ayo minumannya diminum dan ini kakang nasi megana yang tadi aku hangatkan." kata Begawan itu, lalu menoleh kepada Arya Dipa "Dipa, minumlah."
.
Kakak Begawan Kakrasana mengambil gelas wedang sere dan meneguknya, sehabis itu memakan nasi megana. Dan Arya Dipa setelah mendapat isyarat dari Begawan Kakrasana, mengikutinya demi menghormati orang tua itu. Sedangkan Windujaya yang tadinya merasa tak enak, akhirnya bisa bernafas lega.


PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 7 BAG 30
OLEH : MARZUKI
::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::
Orang tua kakak dari Begawan Kakrasana menyudahi makannya. Ia berdiri kemudian berjalan keluar untuk selanjutnya duduk di dingklik depan gubuk. Orang tua itu mengambil suling yang diselipkan diikat pinggangnya.
.
Suling yang terbuat dari bambu gading itu, ia pandang lekat - lekat. Seakan dicermati kalau suling itu mengalami kerusakan, sehingga nantinya akan merusak suara dari hasil tiupan tembang.
.
Di dalam, Begawan Kakrasana yang ingat setiap tindak tanduk kakak seperguruannya, mulai bergumam lirih kepada Windujaya, "Ngger, gurumu mulai lagi dalam mengidungkan tembang yang membuatku merinding."
.
Benar saja, tak lama kemudian mulailah bunyi suara suling menceritakan sebuah cerita pilu menyayat hati. Bunyi tembang itu mengalun tinggi penuh dengan sayatan luka yang menggores daging hati.....
.
.... Gunung tentram berubah membara....
.... Keluarga kecil lenyap seketika....
.... Darah berceceran membasahi buana....
.... Luka menganga menggores dada....
.... Si wanita tak bernyawa sekali tebas....
.... Nyawa si lelaki akhirnya lepas....
.... Bayi mungil entah kemana....
.... Kakek berilmu tak mampu jua....
.... O kenapa tua bangka ini masih bernyawa....
.
Suara suling itu pun berhenti berganti dengan desau angin malam, angin yang menyeret awan untuk menutupi cahaya rembulan. Suasana malam itu seolah - olah mengikuti hati Begawan Bancak dalam menuangkan kegundahan dalam hatinya. Masa lalu suram yang sulit ia lupakan sampai usianya sudah mendekati senja.
.
"Hm.. Semua menganggap akulah yang berbuat. Mungkin ini adalah karma dari masa mudaku." keluh Begawan Bancak.
.
Sebuah tepukan dipundak Begawan Bancak membuat orang tua itu menoleh kepada tangan yang menepuknya.
.
"Hidup adalah sebuah perjalanan pencarian bekal, kakang Bancak. Bila kau menyesali masa mudamu, saat inilah kita mendekatkan diri kepada Gusti Agung." desis Begawan Kakrasana.

Begawan Bancak menunduk dalam, "Hehehe.. Dahulu, seorang raden Kadiri selalu berlaku sesuka hatinya. Tanpa menghiraukan orang lain kesusahan dalam kehidupannya. Sangat berbeda dengan seorang putra patih Udara, ia selalu menghormati sesama insan, entah itu bangsawan atau pun kawula alit."
.
"Raden Kuda Mapanji sejak kecil sudah berlaku benar, kakang. Ia sangat berbeda dengan patih Udara yang tamak dengan kekuasaan. Sampai saat ini ia selalu bersembunyi menjauhkan diri dari kehidupan duniawi." sahut Begawan Kakrasana, "Karena dirinyalah kita mengerti dengan adanya titik putih dari pancaran Sang Nata."
.
Begawan Bancak menghela nafas, "Sulit Kakrasana, diriku ini kadang lepas kendali dan sering membuat ulah. Padahal kawan - kawan kita banyak yang telah kembali keharibaanNYA. Handaningrat pun dengan cepatnya meninggalkan kita tanpa berpamit kepadaku."
.
"Kalau begitu cobalah kakang mengirim warta kepadanya..." celetuk Begawan Kakrasana.
.
Seketika Begawan Bancak meraup tanah di bawah dingklik dan dilempar kepada adiknya itu. Lemparan pasir itu bukanlah lemparan biasa, terbukti adanya kesiur angin yang menyertainya.
.
Adapun Begawan Kakrasana yang sudah menduha serangan itu, menotolkan kedua kaki ke tanah untuk melambungkan tubuhnya.
.
"Sruut.. Byaar.. "
.
Dinding gubuk jebol seukuran pasir sejauh lingkup serangan. Sedangkan Begawan Kakrasana tertawa terkekeh - kekeh duduk di batu depan gubuk dengan santainya.
.
Bersamaan dengan itu, Arya Dipa dan Windujaya berlari keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun keduanya terkejut manakala melihat bekas serangan yang mengenai dinding tembok. Keduanya saling bertatap muka dengan tegangnya bercampur rasa bingung.

"He, kalian berdua jangan menampakan wajah bagai kunyuk seperti itu !" seru Begawan Kakrasana, "Kami berdua hanya bermain melemaskan otot."
.
Windujaya yang mengerti watak guru dan paman gurunya itu, menggamit Arya Dipa untuk diajaknya ke dalam lagi. Niat hati ingin melanjutkan pembicaraan diantara keduanya, tetapi baru berbalik Begawan Bancak berseru kepada keduanya.
.
"Keluarlah kalian berdua." seru Begawan Bancak yang kemudian lanjutnya, "He, kau anak muda. Coba kau tunjukan sejauh mana kau menguasai ilmu dari Pucangan."
.
Arya Dipa tak mengerti, oleh karenanya Begawan Bancak kembali berkata kepada muridnya.
.
"Windujaya, tunjukan kemampuan Cakra Ningrat kepada murid Puspanaga !"
.
"Tetapi, guru... "
.
"Cepat.. !" bentak Begawan Bancak.
.
Arya Dipa masih diam mematung, sementara Windujaya dalam kebimbangan dalam hatinya.
.
"Hehehe.. Lakukanlah, ngger. Hitung - hitung kalian membuat senang hati seorang yang mau sekarat." tiba - tiba Begawan Kakrasana bersuara.
.
"O kau mau mati Kakrasana ?!" kata Begawan Bancak, lalu lanjutnya kepada kedua pemuda, "Dengar bukan, ini permintaan dari adik seperguruanku yang sudah sekarat."
.
"Wong tuo gemblung !" maki Begawan kakrasana.
.
Tetapi Begawan Bancak membalas dengan usilnya, "Apa matamu lamur, Kakrasana ? Kau sendiri juga tua, jelek, gemblung, dan tadi mengaku bebal.. Hehehe."

Ejekan itu membuat Begawan Kakrasana mengkal, sehingga ia mendupak potongan bambu sepanjang tiga ruas.
.
"Wyuuut.. Dess.. "
.
Bambu itu meluncur menghujam Begawan Bancak dengan derasnya, tetapi saat bambu sejarak sekilan, tangan Begawan Bancak bergerak dan meremas bambu itu hingga hancur berderak.
.
"Hehehe.. Tangan kakang masih sekuat di keraton dahulu."
.
Begawan Bancak tak menghiraukan ocehan adik seperguruannya, ia kembali berseru kepada kedua pemuda untuj menunjukan kemampuan keduanya. Dan keduanya pun akhirnya mengikuti kemauan orang tua itu.
.
"Kakang Dipa, mohon bimbingannya." ucap Windujaya.
.
"Ah.. Akulah yang harus memperhatikan apa yang akan kau tunjukan, adi." balas Arya Dipa, tak kalah merendah.
.
Maka keduanya mulai memasang kuda - kuda sesuai jalur masing - masing. Kaki mulai bergeser setapak demi setapak menggores tanah memutar. Tangan dan kaki selalu berpindah seiring bergesernya tempat keduanya.
.
Inilah gerak penantian dalam mengekang rasa. Yaitu rasa bosan yang timbul dari lamanya waktu dalam penantian gerak selanjutnya. Dan yang menang ialah siapa yang bertahan dalam penantian serangan.

BERSAMBUNG...







Tidak ada komentar:

Posting Komentar